I. Pendahuluan
Hukum Kebendaan merupakan
salah satu pilar fundamental dalam sistem Hukum Perdata Indonesia. Ia
menempati posisi sentral dalam kerangka yang lebih luas, yaitu Hukum Harta
Kekayaan (Vermogensrecht), yang mengatur keseluruhan hak dan
kewajiban manusia yang dapat dinilai dengan uang. Secara spesifik, Hukum
Kebendaan berfokus pada pengaturan hubungan hukum antara subjek hukum (orang
perorangan maupun badan hukum) dengan objek hukum berupa benda (zaak
atau goed). Pengaturan ini melahirkan hak-hak kebendaan (zakelijke
rechten), yaitu hak-hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda
dan memiliki sifat mutlak.
Pemahaman yang mendalam
mengenai konsep, asas, klasifikasi objek, jenis hak, cara perolehan dan
pengalihan, serta perlindungan hukum dalam Hukum Kebendaan menjadi krusial. Hal
ini tidak hanya penting bagi kalangan akademisi dan praktisi hukum, tetapi juga
bagi pelaku usaha dan masyarakat umum. Kepastian hukum terkait kepemilikan,
pemanfaatan, dan penjaminan benda sangat esensial dalam menjamin kelancaran
transaksi ekonomi, mencegah sengketa, dan memberikan landasan bagi penyelesaian
sengketa yang adil dan efektif dalam konteks hukum Indonesia. Laporan ini
bertujuan untuk menyajikan penjelasan komprehensif mengenai konsep Hukum
Kebendaan di Indonesia, merujuk pada sumber-sumber hukum primer dan doktrin
yang relevan.
II. Definisi dan Ruang Lingkup
Hukum Kebendaan
Pengertian Hukum Kebendaan
Secara terminologis, Hukum
Kebendaan merupakan terjemahan dari istilah Belanda zakenrecht.
Para ahli hukum Indonesia telah memberikan berbagai definisi. Prof. Soediman
Kartohadiprojo mendefinisikannya sebagai semua kaidah hukum yang mengatur apa
yang diartikan dengan benda dan mengatur hak-hak atas benda. Serupa dengan itu,
Prof. L.J. van Apeldoorn menyatakan Hukum Kebendaan sebagai peraturan mengenai
hak-hak kebendaan. P.N.H. Simanjuntak merumuskannya sebagai peraturan-peraturan
hukum yang mengatur mengenai hak-hak kebendaan yang sifatnya mutlak.
Inti dari berbagai definisi
tersebut adalah bahwa Hukum Kebendaan merupakan keseluruhan kaidah hukum
yang mengatur hubungan hukum antara subjek hukum dengan benda, yang fokus
utamanya adalah pada pengaturan hak-hak kebendaan (zakelijke rechten).
Ruang lingkupnya mencakup pengertian benda itu sendiri, pembedaan atau
klasifikasi benda, serta jenis-jenis hak kebendaan yang diakui oleh sistem
hukum.
Hakikat Hak Kebendaan
(Zakelijk Recht) vs. Hak Perorangan (Persoonlijk Recht)
Pembedaan antara Hak Kebendaan
(Zakelijk Recht) dan Hak Perorangan (Persoonlijk Recht) merupakan
konsep fundamental dalam Hukum Perdata, termasuk Hukum Kebendaan.
- Hak Kebendaan
adalah hak mutlak (hak absolut) yang memberikan kekuasaan
langsung (kekuasaan langsung) atas suatu benda. Hak ini dapat
dipertahankan terhadap siapa pun (erga omnes), artinya setiap orang
wajib menghormati hak tersebut. Hak kebendaan memberikan wewenang yang
luas kepada pemegangnya, seperti menjual, menjaminkan, menyewakan, atau
menggunakannya sendiri. Ciri khas utama lainnya adalah droit de suite
atau zaaksgevolg, yaitu hak tersebut senantiasa mengikuti
bendanya di tangan siapa pun benda itu berada. Jangka waktunya pun
pada umumnya tidak terbatas.
- Hak Perorangan,
sebaliknya, adalah hak yang bersifat relatif (relatief). Hak
ini timbul dari suatu perikatan (misalnya perjanjian atau
undang-undang) dan hanya dapat dipertahankan terhadap pihak tertentu saja
(debitur atau pihak lawan dalam perjanjian). Hak perorangan memberikan
suatu tuntutan atau tagihan terhadap seseorang agar ia berbuat sesuatu,
tidak berbuat sesuatu, atau memberikan sesuatu. Wewenang yang diberikan
lebih terbatas, hanya sebatas menikmati apa yang menjadi haknya
menurut perikatan, dan jangka waktunya pun umumnya terbatas, misalnya
selesai setelah prestasi dipenuhi.
Perbedaan fundamental ini
memiliki konsekuensi praktis yang signifikan. Kekuatan hak kebendaan yang
absolut dan dapat mengikuti bendanya memberikan perlindungan yang lebih kuat
kepada pemegangnya dibandingkan hak perorangan. Dalam situasi seperti kepailitan,
pemegang hak kebendaan (terutama hak jaminan) umumnya memiliki kedudukan
yang diutamakan (droit de preference) dibandingkan kreditur dengan
hak perorangan (kreditur konkuren) dalam hal pembagian hasil penjualan aset
debitur. Memahami perbedaan ini esensial untuk menentukan strategi hukum yang
tepat dalam berbagai transaksi dan sengketa.
Kedudukan Hukum Kebendaan
dalam Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
Dalam sistematika hukum
perdata, Hukum Kebendaan merupakan bagian integral dari Hukum Harta Kekayaan
(Vermogensrecht). Vermogensrecht sendiri adalah keseluruhan
aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara subjek hukum dengan harta
kekayaannya yang dapat dinilai dengan uang.
Vermogensrecht
secara garis besar dibagi menjadi dua sub-sistem:
- Hukum Kebendaan (Zakenrecht):
Mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat absolut atau mutlak terhadap
suatu benda.
- Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht): Mengatur
hak-hak perorangan yang bersifat relatif, yang timbul dari perjanjian atau
undang-undang, terkait utang-piutang atau prestasi lainnya.
Kedua bidang ini diatur dalam
Buku II (Tentang Benda) dan Buku III (Tentang Perikatan) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW). Hukum Kebendaan, dengan fokusnya pada hak mutlak atas
benda, memberikan landasan bagi kepastian kepemilikan dan pemanfaatan aset,
sementara Hukum Perikatan mengatur dinamika hubungan hukum antar subjek hukum
terkait aset tersebut.
III. Sumber Hukum Utama
Kebendaan
Pengaturan Hukum Kebendaan di
Indonesia bersumber dari beberapa peraturan perundang-undangan utama, yang
mencerminkan sejarah dan perkembangan hukum di Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW/KUH Perdata)
Secara historis, Buku II
KUH Perdata (BW), yang berasal dari hukum kolonial Belanda dan diberlakukan
berdasarkan asas konkordansi, merupakan sumber utama Hukum Benda di
Indonesia. Buku ini mengatur secara rinci mengenai pengertian benda,
klasifikasi benda, hak-hak kebendaan seperti hak milik (eigendom), bezit,
hak pakai hasil (vruchtgebruik), serta hak jaminan seperti gadai (pand)
dan hipotek (hypotheek).
Namun, relevansi Buku II BW
mengalami perubahan signifikan setelah kemerdekaan Indonesia, terutama dengan
diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA secara tegas
mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan-ketentuan dalam Buku II BW
yang berkaitan dengan bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya (tanah), kecuali ketentuan mengenai hipotek yang keberlakuannya dipertahankan
sementara waktu hingga digantikan oleh peraturan baru.
Meskipun demikian, BW tetap
menjadi sumber hukum yang penting untuk:
- Konsep-konsep dasar dan asas-asas umum
Hukum Kebendaan.
- Pengaturan mengenai benda bergerak (baik
berwujud maupun tidak berwujud).
- Klasifikasi benda selain pembedaan
bergerak dan tidak bergerak.
- Cara perolehan dan pengalihan hak atas
benda bergerak.
- Hak jaminan atas benda bergerak seperti
Gadai (Pasal 1150-1160 BW).
- Hak kebendaan non-tanah lainnya seperti
hak pakai hasil atas benda bergerak.
Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA No. 5 Tahun 1960)
Diundangkan pada tanggal 24
September 1960, UUPA No. 5 Tahun 1960 bertujuan fundamental untuk melakukan unifikasi
hukum tanah nasional. UUPA mengakhiri dualisme hukum agraria warisan
kolonial (hukum adat vs. hukum barat) dan meletakkan dasar bagi sistem hukum
tanah nasional yang tunggal.
Dampak utama UUPA terhadap
Hukum Kebendaan adalah:
- Pencabutan BW untuk Tanah:
Mencabut ketentuan Buku II BW sejauh mengatur tentang bumi, air, dan
kekayaan alam di dalamnya.
- Pengenalan Hak Atas Tanah Nasional:
Memperkenalkan jenis-jenis hak atas tanah baru yang bersifat nasional,
seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak
Pakai. Hak-hak ini menggantikan hak-hak tanah menurut hukum Barat
sebelumnya (seperti Eigendom, Erfpacht, Opstal)
melalui mekanisme konversi.
- Kewajiban Pendaftaran Tanah: Menetapkan
kewajiban pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia untuk menjamin
kepastian hukum (Pasal 19 UUPA). Pendaftaran ini menjadi dasar pembuktian
hak dan peralihannya.
Dengan demikian, UUPA menjadi
sumber hukum primer dan eksklusif untuk segala aspek hukum yang berkaitan
dengan hak-hak atas tanah di Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan
Terkait Lainnya
Selain BW dan UUPA, terdapat
beberapa undang-undang dan peraturan pelaksana yang secara spesifik mengatur
aspek-aspek tertentu dalam Hukum Kebendaan, terutama terkait hak jaminan:
- Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT): Undang-undang ini secara
khusus mengatur lembaga jaminan Hak Tanggungan, yang merupakan
satu-satunya bentuk hak jaminan atas tanah (dan benda-benda terkait tanah
seperti bangunan di atasnya). UUHT menggantikan sepenuhnya ketentuan
hipotek dalam BW sejauh menyangkut tanah.
- Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF):
Undang-undang ini mengatur Jaminan Fidusia, yaitu pengalihan hak
kepemilikan atas dasar kepercayaan dimana objek jaminan (biasanya benda
bergerak atau benda tidak bergerak tertentu yang tidak dapat dibebani Hak
Tanggungan) tetap berada dalam penguasaan debitur. UUJF memberikan
kepastian hukum untuk jenis jaminan non-posesori yang banyak dibutuhkan
dalam praktik bisnis.
- Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah: Peraturan ini merupakan
aturan pelaksana utama dari Pasal 19 UUPA, yang mengatur secara rinci
prosedur dan mekanisme pendaftaran tanah, termasuk pendaftaran peralihan
hak dan pembebanan hak jaminan (Hak Tanggungan).
- Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHDagang): Masih relevan untuk pengaturan hipotek
atas kapal laut dengan tonase tertentu (Pasal 314 KUHDagang).
Kerangka hukum kebendaan di
Indonesia dengan demikian bersifat berlapis. Prinsip-prinsip dasar BW masih
berlaku umum, namun UUPA menjadi lex specialis untuk tanah, sementara UUHT
dan UUJF mengatur secara khusus lembaga jaminan Hak Tanggungan dan Fidusia.
Pemahaman mengenai lingkup aplikasi masing-masing peraturan ini menjadi kunci
dalam analisis hukum kebendaan yang akurat.
IV. Asas-Asas Fundamental
Hukum Kebendaan
Hukum Kebendaan Indonesia
didasarkan pada sejumlah asas fundamental yang membentuk karakteristik dan cara
bekerjanya. Asas-asas ini, baik yang bersumber dari BW maupun doktrin hukum,
saling terkait dan memberikan kerangka logis bagi sistem pengaturan hak atas
benda.
- Asas Sistem Tertutup (Closed System /
Numerus Clausus): Hak-hak kebendaan yang diakui
terbatas pada jenis-jenis yang telah ditetapkan secara limitatif oleh
undang-undang (BW, UUPA, UUHT, UUJF, dll.). Para pihak tidak dapat
menciptakan hak kebendaan baru melalui perjanjian di luar yang telah
diatur. Asas ini bertujuan menjaga kepastian hukum dan mencegah kerumitan
akibat munculnya hak-hak atipikal yang tidak diketahui umum.
- Asas Hukum Pemaksa (Dwingendrecht /
Mandatory Law): Sebagian besar ketentuan dalam Hukum
Kebendaan bersifat memaksa, artinya tidak dapat disimpangi oleh
para pihak melalui perjanjian. Isi dan wewenang yang melekat pada suatu
hak kebendaan ditentukan oleh undang-undang. Hal ini berbeda dengan Hukum
Perikatan yang didominasi asas kebebasan berkontrak. Sifat memaksa ini
menjaga struktur dan kepastian sistem hak kebendaan.
- Asas Individualitas (Individuality):
Objek dari hak kebendaan haruslah barang yang spesifik, tertentu, dan
dapat diidentifikasi secara individual (individueel bepaald).
Seseorang tidak dapat memiliki hak kebendaan atas sekumpulan barang yang
hanya ditentukan berdasarkan jenis dan jumlahnya (misalnya, "seratus
karung beras" secara umum), melainkan harus atas barang yang sudah
ditentukan (misalnya, "seratus karung beras merek X yang tersimpan di
gudang Y").
- Asas Totalitas (Totality):
Hak kebendaan selalu melekat pada keseluruhan objeknya, termasuk
bagian-bagian yang tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan dengannya (accessie).
Pemilik tanah juga pemilik bangunan di atasnya (kecuali ada hak lain
seperti HGB), pemilik mobil juga pemilik mesinnya. Jika suatu benda
melebur menjadi bagian dari benda lain, hak kebendaan atas benda asal bisa
lenyap.
- Asas Tak Terpisahkan (Onsplitsbaarheid /
Indivisibility): Hak kebendaan, khususnya hak milik, tidak
dapat dipisah-pisahkan dalam arti pemilik tidak dapat mengalihkan hanya
sebagian dari wewenang yang melekat pada hak miliknya. Namun, pemilik
dapat membebani hak miliknya dengan hak kebendaan terbatas (iura in
realiena) untuk pihak lain (misalnya, menyewakan, memberikan hak pakai
hasil), tetapi hak milik induknya tetap utuh.
- Asas Prioritas (Priority / Prior
tempore potior iure): Jika terdapat lebih dari
satu hak kebendaan atas objek yang sama, maka hak yang lahir lebih dahulu
memiliki kedudukan yang lebih tinggi atau didahulukan daripada hak yang
lahir kemudian. Untuk hak-hak yang wajib didaftarkan (Hak Tanggungan,
Fidusia), prioritas umumnya ditentukan berdasarkan tanggal pendaftaran.
Asas ini penting dalam penyelesaian klaim konkuren, misalnya dalam
eksekusi jaminan. Asas ini merupakan konsekuensi logis dari asas nemo
plus iuris transferre potest quam ipse habet (tak seorang pun dapat
mengalihkan hak lebih dari yang dimilikinya).
- Asas Percampuran (Vermenging / Merger):
Hak kebendaan terbatas (iura in realiena) akan hapus demi hukum
apabila hak tersebut dan hak induk (misalnya hak milik) atas benda yang
sama menyatu dalam satu tangan. Contohnya, pemegang Hak Guna Bangunan yang
kemudian membeli tanah Hak Milik yang diatasnya berdiri HGB tersebut, maka
HGB-nya hapus karena percampuran. Seseorang tidak bisa memiliki hak gadai
atas barangnya sendiri.
- Asas Publisitas (Publicity / Openbaarheid):
Status hukum suatu benda, terutama mengenai hak kebendaan yang melekat
padanya, harus dapat diketahui oleh masyarakat umum atau pihak ketiga
yang berkepentingan. Untuk benda tidak bergerak (tanah, Hak
Tanggungan, Fidusia), publisitas diwujudkan melalui sistem pendaftaran
dalam register umum. Untuk benda bergerak, penguasaan fisik (bezit)
seringkali dianggap sebagai wujud publisitasnya. Asas ini krusial untuk
melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.
- Asas Spesialitas (Specificity):
Berkaitan erat dengan asas individualitas dan publisitas, asas ini
menuntut agar hak kebendaan yang dibebankan pada suatu objek harus
jelas dan spesifik, baik mengenai objeknya maupun jenis haknya. Hal
ini penting terutama dalam pendaftaran hak, dimana uraian mengenai objek
dan hak harus jelas tercantum dalam akta dan sertifikat.
- Asas Droit de Suite (Zaaksgevolg / Hak
Mengikuti): Hak kebendaan melekat pada bendanya
dan akan terus mengikuti benda tersebut kemanapun atau dalam penguasaan
siapapun benda itu berada. Pemilik atau pemegang hak kebendaan dapat
menuntut haknya atas benda tersebut dari siapa saja yang menguasainya
tanpa hak.
- Asas Dapat Dipindahkan (Transferability):
Pada dasarnya, semua hak kebendaan dapat dialihkan atau
dipindahtangankan kepada pihak lain, kecuali jika secara khusus oleh
undang-undang ditentukan sebaliknya (misalnya, hak pakai dan hak mendiami
yang bersifat personal).
- Asas Perlakuan Berbeda terhadap Benda
Bergerak dan Tidak Bergerak: Sistem hukum
memberlakukan aturan yang berbeda untuk benda bergerak dan benda tidak
bergerak terkait dengan cara penguasaan (bezit), penyerahan (levering),
pembebanan jaminan (bezwaring), dan daluwarsa (verjaring).
Perbedaan perlakuan ini didasarkan pada sifat fisik, nilai ekonomis, dan
kebutuhan akan publisitas yang berbeda antara kedua jenis benda tersebut.
Asas-asas ini tidak berdiri
sendiri, melainkan saling berkaitan membentuk suatu sistem. Misalnya, asas
publisitas dan spesialitas menjadi landasan bagi berlakunya asas prioritas pada
hak-hak terdaftar. Asas droit de suite merupakan perwujudan dari sifat
absolut hak kebendaan. Sementara itu, asas sistem tertutup dan hukum pemaksa
menjaga integritas dan kepastian dari keseluruhan sistem hukum kebendaan.
V. Klasifikasi Benda dalam
Hukum Indonesia
KUH Perdata dan doktrin hukum
mengklasifikasikan benda (objek hukum kebendaan) ke dalam berbagai kategori.
Pembedaan ini memiliki signifikansi hukum yang penting karena berimplikasi pada
aturan mengenai penguasaan, penyerahan, penjaminan, dan daluwarsa.
Pembedaan Utama: Benda
Bergerak vs. Benda Tidak Bergerak
Pembedaan paling fundamental
adalah antara benda bergerak (roerend) dan benda tidak bergerak (onroerend),
sebagaimana diatur dalam Pasal 504 KUH Perdata.
- Benda Tidak Bergerak (Onroerend Goed):
Kategori ini mencakup:
- Karena Sifatnya:
Tanah dan segala sesuatu yang melekat padanya secara permanen,
baik secara alami (misalnya pohon yang berakar) maupun buatan (misalnya
bangunan, konstruksi). Benda-benda ini secara fisik tidak dapat
dipindahkan.
- Karena Tujuannya:
Benda-benda yang meskipun sifatnya bergerak, namun oleh pemiliknya dilekatkan
atau dihubungkan dengan benda tidak bergerak utama untuk tujuan
pemakaian yang tetap atau jangka panjang (misalnya mesin pabrik yang
dipasang permanen, perabotan hotel yang menyatu dengan bangunan).
- Karena Penetapan Undang-Undang:
Hak-hak atau tuntutan hukum yang berkaitan dengan benda tidak bergerak,
seperti hak pakai hasil (vruchtgebruik) atas benda tidak bergerak,
hak pengabdian pekarangan (erfdienstbaarheid atau servitut), Hak
Tanggungan, serta tuntutan untuk memperoleh kembali atau penyerahan benda
tidak bergerak. Kapal dengan bobot kotor 20 m³ atau lebih yang telah
didaftarkan dalam register kapal juga dikategorikan sebagai benda tidak
bergerak menurut hukum.
- Benda Bergerak (Roerend Goed):
Kategori ini meliputi:
- Karena Sifatnya:
Semua benda yang dapat berpindah atau dipindahkan dari satu tempat ke
tempat lain (misalnya kendaraan, perabot rumah tangga, hewan ternak,
buku). Termasuk juga kapal, perahu, dan sejenisnya yang tidak
didaftarkan.
- Karena Penetapan Undang-Undang:
Hak-hak yang objeknya bukan benda fisik atau berkaitan dengan benda
bergerak, seperti hak pakai hasil atas benda bergerak, hak atas bunga
pinjaman, piutang atau tagihan (vorderingen), saham atau andil
dalam perseroan (aandelen).
Pembedaan antara benda
bergerak dan tidak bergerak ini membawa konsekuensi hukum yang
signifikan dalam beberapa aspek :
- Penguasaan (Bezit):
Terhadap benda bergerak, berlaku asas dalam Pasal 1977 ayat (1) KUH
Perdata bahwa bezit (penguasaan) dianggap sebagai alas hak
kepemilikan yang sempurna (bezit geldt als volkomen titel). Siapa
yang menguasai benda bergerak (dengan itikad baik) dianggap sebagai
pemiliknya. Asas ini tidak berlaku untuk benda tidak bergerak;
penguasaan fisik atas tanah tidak serta merta membuktikan kepemilikan.
- Penyerahan (Levering):
Penyerahan hak milik atas benda bergerak umumnya dilakukan dengan
penyerahan nyata (feitelijke levering) dari tangan ke tangan (Pasal
612 KUH Perdata), yang sekaligus merupakan penyerahan yuridis. Sebaliknya,
penyerahan hak milik atas benda tidak bergerak (khususnya tanah) harus
dilakukan melalui pembuatan akta otentik oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan (Pasal 616, 620 KUH
Perdata jo. Pasal 19 UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997).
- Pembebanan Jaminan (Bezwaring):
Benda bergerak dapat dijaminkan dengan Gadai (yang memerlukan penyerahan
penguasaan, Pasal 1150 KUH Perdata) atau Fidusia (tanpa penyerahan
penguasaan, UU No. 42 Tahun 1999). Benda tidak bergerak (tanah dan objek
terkait) hanya dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun
1996), menggantikan hipotek BW untuk tanah. Hipotek masih berlaku untuk
kapal terdaftar dan pesawat udara.
- Daluwarsa (Verjaring):
Daluwarsa akuisitif (perolehan hak milik karena lewat waktu) pada
prinsipnya berlaku untuk benda tidak bergerak (Pasal 610 KUH Perdata).
Untuk benda bergerak, daluwarsa akuisitif menjadi kurang relevan karena
berlakunya asas bezit sebagai titel pada Pasal 1977 KUH Perdata
(daluwarsa bisa dianggap nol tahun) , meskipun Pasal 1977 ayat (2)
memberikan pengecualian untuk barang curian/hilang dalam jangka waktu 3
tahun.
Klasifikasi suatu objek
sebagai bergerak atau tidak bergerak, oleh karena itu, bukanlah sekadar
kategorisasi teoretis. Ia secara langsung menentukan rezim hukum yang
berlaku terkait cara memperoleh, mengalihkan, menjaminkan, dan membuktikan hak
atas objek tersebut. Kesalahan dalam mengidentifikasi klasifikasi dapat
berakibat pada ketidakabsahan transaksi atau kegagalan dalam menciptakan hak
jaminan yang efektif.
Pembedaan Benda Berwujud vs.
Benda Tidak Berwujud
Selain pembedaan utama di
atas, doktrin hukum, dengan dasar implisit pada Pasal 499 dan 503 KUH Perdata,
juga membedakan antara benda berwujud dan tidak berwujud.
- Benda Berwujud (Lichamelijk / Corporeal):
Adalah benda yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia, memiliki
bentuk fisik (misalnya tanah, bangunan, kendaraan, barang dagangan).
Sebagian besar pengaturan dalam Buku II BW berfokus pada benda berwujud.
- Benda Tidak Berwujud (Onlichamelijk /
Incorporeal): Adalah hak-hak atau konstruksi yuridis
yang oleh hukum diperlakukan sebagai objek hak milik, namun tidak memiliki
wujud fisik. Contohnya meliputi piutang atau tagihan, hak atas bunga,
hak kekayaan intelektual (hak cipta, merek, paten), saham dalam perseroan.
Perlu dicatat bahwa konsep benda tidak berwujud ini tidak dikenal dalam
sistem Hukum Adat Indonesia.
Arti penting pembedaan ini
terutama terletak pada cara penyerahan (levering) hak atas benda
tersebut:
- Benda berwujud (jika bergerak) diserahkan
secara fisik atau simbolik.
- Benda tidak berwujud diserahkan melalui
mekanisme hukum khusus:
- Piutang atas nama (op naam)
dialihkan melalui cessie (akta pengalihan) dan pemberitahuan
kepada debitur (Pasal 613 ayat (1) KUHPer).
- Piutang atas bawa (aan toonder)
dialihkan dengan penyerahan suratnya (Pasal 613 ayat (3) KUHPer).
- Piutang atas pengganti (aan order)
dialihkan dengan penyerahan surat disertai endosemen (Pasal 613 ayat (3)
KUHPer).
Klasifikasi Lainnya
KUH Perdata dan doktrin juga
mengenal klasifikasi lain , antara lain:
- Benda yang dapat dihabiskan vs. tidak
dapat dihabiskan (Verbruikbaar vs. Onverbruikbaar):
Berdasarkan apakah penggunaan normal menghabiskan substansi benda
(misalnya makanan vs. perhiasan) (Pasal 505 BW). Relevan dalam perjanjian
pinjam pakai.
- Benda yang dapat diganti vs. tidak dapat
diganti (Vervangbaar vs. Onvervangbaar / Fungible vs. Non-fungible):
Berdasarkan apakah benda dapat digantikan dengan benda lain yang sejenis
dan setara (misalnya beras vs. lukisan asli). Relevan dalam perjanjian
pinjam meminjam dan ganti rugi.
- Benda yang sudah ada vs. akan ada
(Tegenwoordig vs. Toekomstig): Berdasarkan eksistensi
benda saat perjanjian dibuat. Benda yang akan ada umumnya tidak dapat
dijadikan objek gadai atau hipotek.
- Benda dalam perdagangan vs. di luar
perdagangan (In de handel vs. Buiten de handel):
Berdasarkan apakah benda dapat menjadi objek transaksi komersial
(kebanyakan benda) atau tidak (misalnya fasilitas umum, barang terlarang).
- Benda yang dapat dibagi vs. tidak dapat
dibagi (Deelbaar vs. Ondeelbaar): Berdasarkan apakah benda
dapat dibagi tanpa kehilangan esensinya (misalnya beras vs. hewan hidup).
Relevan dalam pemenuhan prestasi dan pembagian harta bersama.
- Benda terdaftar vs. tidak terdaftar:
Berdasarkan apakah kepemilikannya dicatat dalam register publik (misalnya
tanah, kendaraan bermotor, kapal terdaftar) atau tidak. Relevan untuk
pembuktian kepemilikan dan publisitas.
VI. Jenis-Jenis Hak Kebendaan
yang Diakui
Hukum Indonesia mengakui
berbagai jenis hak kebendaan, yang secara fungsional dapat dikelompokkan
menjadi hak yang memberikan kenikmatan (zakelijk genotsrecht) dan hak
yang memberikan jaminan (zakelijk zekerheidsrecht).
A. Hak Kebendaan yang Memberi
Kenikmatan
Hak-hak ini memberikan
wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan, menikmati, atau memungut hasil
dari suatu benda.
- Hak Milik (Eigendom / Ownership):
- Menurut BW (Pasal 570):
Merupakan hak yang paling penuh (volledigste recht) untuk
menikmati dan menguasai suatu benda secara bebas, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang, peraturan umum, dan hak orang lain.
- Menurut UUPA (Pasal 20) untuk Tanah:
Didefinisikan sebagai hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan tetap mengingat fungsi sosialnya (Pasal
6 UUPA). Sifat "terkuat dan terpenuh" menandakan wewenangnya
yang paling luas dibanding hak atas tanah lain dan tidak mudah hapus.
Sifat "turun-temurun" berarti dapat diwariskan.
- Subjek Hak Milik atas Tanah:
Terbatas pada Warga Negara Indonesia (WNI) tunggal dan badan-badan hukum
tertentu yang ditetapkan pemerintah (seperti bank negara, koperasi
pertanian, badan keagamaan dan sosial untuk keperluan usahanya) (Pasal 21
UUPA, PP 38/1963). Warga negara asing (WNA) tidak dapat mempunyai Hak
Milik atas tanah di Indonesia. Jika WNA memperoleh Hak Milik karena
pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, ia wajib
mengalihkannya dalam jangka waktu satu tahun.
- Hak Guna Usaha (HGU - Right to Cultivate):
- Definisi:
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara guna
usaha pertanian, perikanan, atau peternakan (Pasal 28 UUPA).
- Objek: Tanah Negara,
dengan luas minimum 5 hektar.
- Subjek: WNI dan badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
- Jangka Waktu:
Maksimal 35 tahun, dapat diperpanjang maksimal 25 tahun, dan dapat
diperbarui (sesuai PP No. 18/2021). HGU dapat dialihkan dan dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
- Hak Guna Bangunan (HGB - Right to Build):
- Definisi:
Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan
miliknya sendiri (Pasal 35 UUPA).
- Objek: Dapat diberikan
di atas Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, atau Tanah Hak Milik.
- Subjek: WNI dan badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia (termasuk perusahaan penanaman modal asing/PT PMA).
- Jangka Waktu:
Di atas Tanah Negara/Hak Pengelolaan: maksimal 30 tahun, diperpanjang
maksimal 20 tahun, diperbarui maksimal 30 tahun. Di atas Tanah Hak Milik:
maksimal 30 tahun dan dapat diperbarui dengan akta baru (sesuai PP No.
18/2021). HGB dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang
dengan Hak Tanggungan.
- Hak Pakai (Right to Use):
- Definisi:
Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang wewenang dan
kewajibannya ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanah (yang bukan sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah) (Pasal 41 UUPA).
- Objek: Dapat diberikan
di atas Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, atau Tanah Hak Milik.
- Subjek: Kategori subjek
paling luas, mencakup WNI, WNA yang berkedudukan di Indonesia, badan
hukum Indonesia, badan hukum asing yang punya perwakilan di Indonesia,
instansi pemerintah, badan keagamaan/sosial, perwakilan negara
asing/badan internasional (Pasal 42 UUPA).
- Jangka Waktu:
Bervariasi, bisa untuk jangka waktu tertentu (dapat
diperpanjang/diperbarui), tidak tertentu (selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu), atau cuma-cuma. Hak Pakai atas Tanah
Negara/Hak Pengelolaan dengan jangka waktu tertentu dapat dialihkan. Hak
Pakai atas Tanah Negara tertentu (yang wajib didaftar dan dapat
dipindahtangankan) dapat dijadikan jaminan utang dengan Hak Tanggungan.
- Hak Kebendaan Lain yang Memberi
Kenikmatan:
- Bezit
(Kedudukan Berkuasa): Keadaan faktual menguasai suatu
benda seolah-olah miliknya sendiri. Bukan hak dalam arti sesungguhnya,
tetapi dilindungi hukum dan dapat menjadi dasar perolehan hak (misalnya
melalui Pasal 1977 BW untuk benda bergerak atau daluwarsa). Perlu
dibedakan dari detentie (menguasai untuk orang lain).
- Hak Pakai Hasil (Vruchtgebruik):
Hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari benda milik orang lain
seolah-olah ia pemiliknya, dengan kewajiban menjaga keutuhan benda (Pasal
756 BW). Masih relevan untuk objek selain tanah (misalnya atas piutang
atau saham).
- Hak Sewa untuk Bangunan:
Diatur dalam Pasal 44 UUPA, memberikan hak mempergunakan tanah milik
orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar sewa. Meskipun diatur
dalam UUPA, seringkali dikategorikan sebagai hak perorangan karena timbul
dari perjanjian sewa, namun memiliki perlindungan kuat terkait bangunan
di atasnya.
- Hak Membuka Tanah & Memungut Hasil
Hutan: Disebut dalam Pasal 46 UUPA sebagai hak
primer yang bersumber dari Hak Menguasai Negara.
- Hak Ulayat:
Hak komunal masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu beserta sumber
dayanya. Diakui keberadaannya oleh UUPA (Pasal 3, 5) tetapi pengaturannya
diserahkan pada hukum adat setempat, sepanjang masih eksis dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional.
B. Hak Kebendaan yang Memberi
Jaminan
Hak-hak ini tidak memberikan
kenikmatan penggunaan benda, melainkan memberikan jaminan pelunasan utang
kepada kreditur dengan hak prioritas atas benda tertentu milik debitur.
- Gadai (Pand / Pledge):
- Definisi:
Hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak yang
diserahkan kepadanya oleh debitur (atau kuasanya) sebagai jaminan utang,
yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari
benda tersebut dengan hak didahulukan (preferensi) dari kreditur lain
(Pasal 1150 KUH Perdata).
- Objek: Benda bergerak,
baik berwujud maupun tidak berwujud (misalnya perhiasan, kendaraan,
saham, piutang).
- Ciri Utama:
Mensyaratkan benda gadai berada dalam kekuasaan kreditur atau pihak
ketiga yang disepakati (inbezitstelling atau vuistpand).
Benda harus keluar dari penguasaan pemberi gadai.
- Sifat: Merupakan hak
kebendaan, bersifat accessoir (mengikuti perjanjian pokok
utang-piutang), tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), dan
memberikan hak preferensi.
- Fidusia (Fiduciary Transfer of Ownership
for Security):
- Definisi:
Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda (debitur) (Pasal 1 UU No. 42 Tahun 1999).
- Objek: Benda bergerak
(berwujud/tidak berwujud) dan benda tidak bergerak (khususnya bangunan di
atas tanah milik orang lain atau bangunan yang tidak dapat dibebani Hak
Tanggungan) yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya (Pasal 1
angka 4, Pasal 2, Pasal 3 UUJF).
- Ciri Utama:
Objek jaminan tetap dikuasai debitur (jaminan non-posesori). Untuk
memberikan kepastian hukum dan hak preferensi kepada kreditur, pembebanan
Fidusia wajib dibuat dengan Akta Notaris dan didaftarkan pada Kantor
Pendaftaran Fidusia (Pasal 5, 11, 14 UUJF). Pendaftaran ini melahirkan
Sertifikat Jaminan Fidusia yang berkekuatan eksekutorial.
- Sifat: Hak kebendaan
(setelah didaftarkan), accessoir, memberikan preferensi, dan
memberikan hak parate executie (dengan memperhatikan putusan MK).
- Hak Tanggungan (Security Right over Land /
Land Mortgage):
- Definisi:
Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah (berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu)
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
(preferensi) kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain
(Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1996).
- Objek: Hak Milik, HGU,
HGB; Hak Pakai atas Tanah Negara yang wajib didaftar dan dapat
dipindahtangankan; serta Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) (Pasal
4 UUHT). Dapat juga mencakup bangunan, tanaman, dan hasil karya yang
menyatu dengan tanah tersebut.
- Ciri Utama:
Pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan
(Pasal 10, 13 UUHT). Pendaftaran ini melahirkan Sertifikat Hak Tanggungan
yang berkekuatan eksekutorial.
- Sifat: Hak kebendaan, accessoir,
tidak dapat dibagi-bagi, memberikan preferensi, memiliki droit de
suite, dan memberikan hak parate executie (Pasal 6 UUHT).
- Hipotek (Mortgage):
- Setelah berlakunya UUHT, hipotek
berdasarkan Buku II BW hanya berlaku untuk pembebanan jaminan atas kapal
laut yang terdaftar (ukuran > 20 m³ atau > 7 tonase kotor) dan
mungkin pesawat udara. Pengaturannya terdapat dalam BW dan KUHDagang.
VII. Cara Perolehan dan
Pengalihan Hak Kebendaan
Hak kebendaan dapat diperoleh
melalui berbagai cara yang diakui oleh hukum. Secara umum, cara perolehan ini
dapat dibedakan menjadi perolehan secara originair (asli) dan derivatif
(turunan). Pengalihan hak kebendaan, khususnya secara derivatif, memerlukan
pemenuhan formalitas tertentu yang disebut levering atau penyerahan.
Cara Perolehan Hak (Modes of
Acquisition)
- Perolehan Originair (Asli):
Terjadi ketika seseorang memperoleh hak kebendaan baru yang tidak berasal
atau bergantung pada hak milik orang lain sebelumnya. Hak yang diperoleh
bersifat 'bersih' dari beban sebelumnya. Cara-cara perolehan originair
meliputi:
- Pendakuan/Pemilikan (Toe-eigening /
Occupatio): Pengambilan penguasaan atas benda
bergerak yang tidak ada pemiliknya (res nullius). Contoh klasik
adalah menangkap ikan di laut bebas. Untuk tanah, konsep ini tidak
berlaku karena tanah yang tidak dimiliki perorangan/badan hukum dikuasai
oleh Negara (prinsip domein verklaring yang dimodifikasi UUPA).
- Perlekatan (Natrekking / Accessio):
Bertambahnya atau menyatunya suatu benda dengan benda lain (benda pokok),
sehingga menjadi bagian dari benda pokok tersebut. Pemilik benda pokok
menjadi pemilik benda tambahan tersebut (Pasal 500-502, 586-609 BW).
Contoh: bangunan yang didirikan di atas tanah menjadi milik pemilik tanah
(asas superficies solo cedit), kecuali ada HGB atau hak opstal
sebelumnya. Hasil alam dari suatu benda (misalnya buah dari pohon) juga
menjadi milik pemilik benda pokok.
- Pembentukan Benda Baru (Zaaksvorming /
Specificatio): Menciptakan benda baru dari bahan
milik sendiri atau orang lain. Kepemilikan atas benda baru ini diatur
dalam BW (tergantung siapa pemilik bahan dan siapa yang membentuk).
- Daluwarsa Akuisitif (Acquisitieve
Verjaring / Prescription): Memperoleh hak milik
atas suatu benda (terutama benda tidak bergerak) karena menguasainya
secara terus-menerus sebagai bezitter beritikad baik selama jangka
waktu tertentu yang ditetapkan undang-undang (Pasal 584, 610, 1963 BW).
Menurut BW, jangka waktunya 20 tahun jika ada alas hak yang sah, dan 30
tahun jika tidak ada alas hak. Penerapan daluwarsa untuk tanah pasca UUPA
memerlukan penyesuaian dengan prinsip pendaftaran tanah.
- Penemuan (Vinding):
Menemukan benda bergerak yang hilang. Hukum mengatur prosedur pelaporan
dan kemungkinan menjadi pemilik setelah jangka waktu tertentu jika
pemilik asli tidak ditemukan.
- Pemberian Hak oleh Negara:
Khusus untuk hak atas tanah seperti HGU, HGB, Hak Pakai di atas Tanah
Negara, perolehannya bersifat originair melalui penetapan atau keputusan
pemerintah/pejabat yang berwenang.
- Perolehan Derivatif (Turunan):
Terjadi ketika hak kebendaan diperoleh dari orang lain yang sebelumnya
telah memiliki hak tersebut. Hak yang diperoleh 'turun' dari hak
pendahulunya, termasuk potensi adanya beban yang melekat. Cara ini
merupakan yang paling umum terjadi dalam praktik. Perolehan derivatif
memerlukan dua syarat utama:
- Adanya alas hak (rechts titel)
yang sah, yaitu peristiwa hukum yang mendasari pemindahan hak (misalnya
perjanjian jual beli, hibah, tukar menukar, warisan, pemasukan ke dalam
perusahaan/inbreng).
- Adanya perbuatan hukum penyerahan (levering)
yang sah sesuai dengan jenis bendanya.
Pengalihan Hak (Levering /
Penyerahan)
Pengalihan hak kebendaan
secara derivatif tidak cukup hanya dengan adanya perjanjian (alas hak).
Perjanjian jual beli, misalnya, hanya melahirkan kewajiban bagi penjual untuk
menyerahkan barang dan bagi pembeli untuk membayar harga (bersifat obligatoir).
Hak milik baru berpindah setelah dilakukannya perbuatan hukum penyerahan (levering)
yang bersifat zakelijk (kebendaan). Cara levering berbeda-beda
tergantung jenis bendanya:
- Benda Bergerak Berwujud:
Dilakukan dengan penyerahan nyata (feitelijke levering), yaitu
penyerahan kekuasaan fisik atas benda tersebut dari tangan ke tangan, atau
secara simbolik seperti penyerahan kunci gudang tempat benda disimpan
(Pasal 612 KUH Perdata).
- Benda Bergerak Tidak Berwujud (Piutang):
- Piutang Atas Nama (vordering op naam):
Dialihkan dengan cara cessie, yaitu pembuatan akta (otentik atau
di bawah tangan) yang menyatakan pengalihan hak tagih tersebut, diikuti
dengan pemberitahuan (betekening) kepada debitur yang bersangkutan
(Pasal 613 ayat (1) dan (2) KUH Perdata). Tanpa pemberitahuan, pengalihan
belum berlaku bagi debitur.
- Piutang Atas Bawa (vordering aan
toonder / surat berharga atas pembawa):
Dialihkan hanya dengan penyerahan fisik surat/warkatnya (Pasal 613 ayat
(3) KUH Perdata).
- Piutang Atas Pengganti (vordering aan
order / surat berharga atas pengganti):
Dialihkan dengan penyerahan fisik surat/warkatnya disertai dengan
endosemen (pernyataan pengalihan di belakang surat) (Pasal 613 ayat (3)
KUH Perdata).
- Benda Tidak Bergerak (Tanah dan Hak Atas
Tanah):
- Pengalihan hak atas tanah (seperti jual
beli, hibah, tukar menukar Hak Milik, HGU, HGB) wajib dilakukan
dengan Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta PPAT
ini berfungsi sebagai bukti formal terjadinya perbuatan hukum pemindahan
hak.
- Agar peralihan hak tersebut sah dan
mengikat pihak ketiga serta memberikan kepastian hukum, akta PPAT
tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat untuk
dicatat dalam buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan
(Pasal 19 UUPA; Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997). Pendaftaran inilah yang
secara yuridis menyempurnakan peralihan hak atas tanah.
Pentingnya pemenuhan
formalitas levering ini tidak dapat diabaikan. Dalam sistem hukum
Indonesia yang menganut sistem kausal dalam pemindahan hak, ketiadaan levering
yang sah sesuai ketentuan hukum (misalnya, jual beli tanah hanya dengan
kuitansi tanpa Akta PPAT dan pendaftaran) mengakibatkan hak milik tidak
berpindah secara hukum, meskipun harga mungkin telah dibayar lunas. Hal ini
menegaskan bahwa prosedur formal dalam hukum kebendaan memiliki konsekuensi
substantif terhadap status kepemilikan.
VIII. Perlindungan Hukum
terhadap Hak Kebendaan
Hak kebendaan, karena sifatnya
yang absolut dan memberikan kekuasaan langsung atas benda, dilengkapi dengan
mekanisme perlindungan hukum yang kuat untuk menjaganya dari gangguan pihak
lain.
Perlindungan Umum: Sifat
Absolut dan Hak Mengikuti
Dasar perlindungan utama
terletak pada sifat absolut (absolut) dari hak kebendaan itu sendiri.
Hak ini berlaku terhadap setiap orang (erga omnes), sehingga siapa pun
yang melanggar atau mengganggu hak tersebut dapat dituntut secara hukum. Sifat droit
de suite (hak mengikuti) juga memberikan perlindungan karena hak tersebut
tetap melekat pada benda, memungkinkan pemegang hak untuk menuntutnya kembali
dari tangan siapa pun benda itu berada.
Gugatan Kebendaan (Proprietary
Actions)
Hukum menyediakan upaya hukum
spesifik bagi pemegang hak kebendaan yang haknya dilanggar:
- Gugatan Revindicatoir (Reivindicatio):
Ini adalah gugatan yang diajukan oleh pemilik (eigenaar) suatu
benda untuk menuntut kembali penguasaan atas benda miliknya dari orang
lain yang menguasainya tanpa hak (Pasal 574 KUH Perdata). Gugatan ini
bertujuan untuk pemulihan penguasaan fisik benda kepada pemilik yang sah.
Untuk mendukung gugatan ini, terutama jika objeknya adalah benda bergerak
yang dikhawatirkan akan dihilangkan oleh tergugat, pemilik dapat
mengajukan permohonan Sita Revindicatoir (sita revindikasi) kepada
pengadilan (Pasal 226 HIR; Pasal 714 Rv). Sita ini bertujuan mengamankan
benda bergerak milik penggugat yang berada di tangan tergugat selama
proses pemeriksaan perkara. Syarat utamanya adalah penggugat harus
merupakan pemilik sah benda bergerak tersebut.
- Actio Negatoria:
Meskipun tidak secara eksplisit dibahas mendalam dalam sumber yang
tersedia, secara doktrinal actio negatoria merupakan gugatan yang
dapat diajukan oleh pemilik benda (terutama benda tidak bergerak) untuk
menyangkal adanya hak kebendaan terbatas (misalnya hak melintas, hak pakai
hasil) yang diklaim oleh pihak lain atas bendanya, dan menuntut agar
gangguan yang timbul dari klaim tersebut dihentikan.
- Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH):
Selain gugatan kebendaan spesifik, setiap gangguan terhadap hak kebendaan
yang menimbulkan kerugian bagi pemegang hak dapat menjadi dasar gugatan
ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata).
Gugatan ini bertujuan untuk memperoleh kompensasi finansial atas kerugian
yang diderita.
Perlindungan Khusus bagi
Pemegang Hak Jaminan
Kreditur pemegang hak jaminan
kebendaan (Gadai, Fidusia, Hak Tanggungan) mendapatkan perlindungan khusus
berupa:
- Hak Preferensi (Droit de Preference):
Hak untuk didahulukan dalam memperoleh pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan benda yang dijadikan jaminan, dibandingkan dengan
kreditur-kreditur lain yang tidak memiliki hak jaminan (kreditur
konkuren).
- Mekanisme Eksekusi Khusus:
Jika debitur cidera janji (wanprestasi), pemegang hak jaminan memiliki
kewenangan untuk melakukan eksekusi (penjualan paksa) atas objek jaminan
guna pelunasan utang, melalui beberapa cara :
- Parate Eksekusi
(Eksekusi Langsung): Hak kreditur untuk menjual objek
jaminan melalui pelelangan umum atas kekuasaannya sendiri, tanpa
memerlukan penetapan pengadilan terlebih dahulu, berdasarkan ketentuan
dalam undang-undang atau perjanjian (Pasal 1155 BW untuk Gadai; Pasal 6
UUHT untuk Hak Tanggungan; Pasal 29 ayat (1) huruf b UUJF untuk Fidusia).
Ini merupakan cara eksekusi yang paling cepat dan efisien bagi kreditur.
- Titel Eksekutorial
(Kekuatan Eksekutorial): Sertifikat Hak
Tanggungan dan Sertifikat Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
(Pasal 14 ayat (2) UUHT; Pasal 15 ayat (2) UUJF). Artinya, jika debitur
menolak menyerahkan objek jaminan secara sukarela atau menghalangi
eksekusi, kreditur dapat meminta bantuan pengadilan negeri untuk
melaksanakan eksekusi paksa berdasarkan sertifikat tersebut. Untuk Gadai,
mekanisme ini tidak tersedia karena tidak ada pendaftaran.
- Penjualan di Bawah Tangan:
Penjualan objek jaminan secara langsung (tidak melalui lelang)
dimungkinkan jika disepakati oleh kreditur dan debitur, dan diharapkan
dapat menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal
1156 ayat (2) BW untuk Gadai; Pasal 20 ayat (2) UUHT untuk Hak
Tanggungan; Pasal 29 ayat (1) huruf c UUJF untuk Fidusia). Pelaksanaannya
harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti pemberitahuan kepada pihak
berkepentingan dan pengumuman di media massa.
Perlu dicatat bahwa
pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia, khususnya parate eksekusi dan
penggunaan titel eksekutorial, mengalami penafsiran ulang oleh Mahkamah
Konstitusi (melalui Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019, No. 2/PUU-XIX/2021, dan
No. 71/PUU-XIX/2021). Putusan-putusan ini menegaskan bahwa cidera janji tidak
boleh ditentukan secara sepihak oleh kreditur. Jika debitur mengakui adanya
cidera janji dan sukarela menyerahkan objek jaminan, eksekusi dapat dilakukan
sesuai UUJF. Namun, jika terdapat sengketa mengenai cidera janji atau debitur
menolak menyerahkan objek jaminan, maka pelaksanaan eksekusi harus dilakukan
melalui permohonan kepada pengadilan negeri. Hal ini bertujuan untuk memberikan
keseimbangan perlindungan antara hak kreditur dan hak debitur.
Perlindungan Pihak Ketiga
Beritikad Baik
Hukum juga memberikan
perlindungan kepada pihak ketiga yang memperoleh benda dengan itikad baik,
terutama dalam transaksi benda bergerak. Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata
menyatakan bahwa penguasaan (bezit) atas benda bergerak (selain bunga
atau piutang yang tidak harus dibayar atas tunjuk) berlaku sebagai alas hak
yang sempurna bagi siapa yang menguasainya dengan itikad baik. Artinya, pembeli
benda bergerak yang beritikad baik (tidak mengetahui bahwa penjualnya bukan
pemilik yang sah) dilindungi kepemilikannya, meskipun penjual tersebut
sebenarnya tidak berhak mengalihkan.
Namun, perlindungan ini
dibatasi oleh Pasal 1977 ayat (2) KUH Perdata, yang memberikan hak kepada
pemilik asli untuk menuntut kembali bendanya yang hilang atau dicuri dalam
jangka waktu 3 tahun sejak kehilangan atau pencurian, sekalipun benda itu
berada di tangan pihak ketiga yang beritikad baik. Pengecualian berlaku jika
pihak ketiga memperoleh benda tersebut di pasar tahunan, pelelangan umum, atau
dari pedagang yang biasa menjual barang sejenis; dalam hal ini pemilik asli
harus mengganti harga pembelian jika ingin menuntut kembali bendanya.
Untuk benda tidak bergerak
(tanah), perlindungan pihak ketiga terutama didasarkan pada sistem pendaftaran
tanah. Pihak yang memperoleh hak atas tanah dengan beritikad baik dan
mengandalkan data yang tercatat dalam sertifikat dan buku tanah umumnya mendapatkan
perlindungan hukum yang kuat (Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997).
Secara keseluruhan, sistem
perlindungan hukum kebendaan di Indonesia mencoba menyeimbangkan berbagai
kepentingan: hak absolut pemilik untuk menikmati dan menuntut kembali bendanya,
hak kreditur pemegang jaminan untuk mendapatkan pelunasan utangnya secara
preferen dan efisien, serta kebutuhan akan kepastian dan kelancaran lalu lintas
hukum (terutama untuk benda bergerak) dengan melindungi pihak ketiga yang
beritikad baik. Keseimbangan ini tercermin dalam berbagai aturan spesifik dan
penafsiran hukum yang terus berkembang.
IX. Sintesis Konsep Hukum
Kebendaan di Indonesia
Hukum Kebendaan di Indonesia
merupakan bidang hukum yang kompleks namun fundamental, mengatur hubungan
esensial antara manusia dan aset atau benda. Berakar kuat pada tradisi Hukum
Perdata Kontinental melalui Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), sistem ini
telah mengalami evolusi signifikan, terutama melalui kodifikasi hukum agraria
nasional dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 dan
pembentukan undang-undang khusus untuk lembaga jaminan modern seperti Hak
Tanggungan (UU No. 4 Tahun 1996) dan Jaminan Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999).
Karakteristik utama Hukum
Kebendaan Indonesia meliputi:
- Kerangka Hukum Berlapis:
Adanya interaksi antara BW (untuk prinsip umum, benda bergerak, hak
non-tanah), UUPA (sebagai hukum primer untuk tanah), dan undang-undang
sektoral (UUHT, UUJF) menuntut pemahaman mendalam mengenai lingkup
penerapan masing-masing peraturan.
- Pembedaan Fundamental:
Klasifikasi benda, terutama antara bergerak dan tidak bergerak, serta
berwujud dan tidak berwujud, memiliki implikasi hukum yang krusial
terhadap cara perolehan, pengalihan, penjaminan, dan perlindungannya.
- Asas-asas Kunci:
Sistem ini dibangun di atas asas-asas penting seperti sistem tertutup,
hukum pemaksa, publisitas, spesialitas, prioritas, dan droit de suite,
yang secara kolektif bertujuan menciptakan kepastian, prediktabilitas, dan
perlindungan hukum.
- Pengakuan Hak yang Beragam:
Hukum mengakui berbagai jenis hak kebendaan, baik yang memberikan
kenikmatan (Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai) maupun yang memberikan jaminan
(Gadai, Fidusia, Hak Tanggungan), masing-masing dengan subjek, objek, dan
prosedur hukum yang spesifik.
- Formalitas dalam Peralihan:
Penekanan pada pemenuhan formalitas hukum dalam perolehan dan pengalihan
hak, terutama melalui levering yang sesuai (penyerahan fisik, cessie,
akta PPAT dan pendaftaran), menjadi syarat mutlak untuk keabsahan
peralihan hak milik.
- Mekanisme Perlindungan Berlapis:
Perlindungan hukum diberikan melalui sifat absolut hak itu sendiri,
gugatan kebendaan spesifik (seperti revindicatoir), hak preferensi
dan eksekusi bagi pemegang jaminan, serta perlindungan bagi pihak ketiga
beritikad baik dalam kondisi tertentu.
Secara keseluruhan, Hukum
Kebendaan memainkan peran vital dalam tatanan hukum dan ekonomi Indonesia. Ia
menyediakan kerangka kerja untuk pengakuan dan perlindungan hak kepemilikan,
memfasilitasi transaksi ekonomi melalui mekanisme pengalihan hak dan lembaga
jaminan yang terstruktur, serta menawarkan jalur penyelesaian sengketa terkait
aset. Meskipun UUPA telah berhasil menyatukan hukum tanah, dinamika
perkembangan ekonomi dan teknologi terus memunculkan tantangan baru, misalnya
terkait benda tidak berwujud atau transaksi digital, yang mungkin memerlukan
penyesuaian atau penafsiran lebih lanjut di masa depan untuk memastikan
relevansi dan efektivitas Hukum Kebendaan dalam menjawab kebutuhan masyarakat
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar