I. Konteks Hukum Merek di Indonesia
A. Pentingnya Merek dalam
Perdagangan
Merek merupakan elemen krusial
dalam dunia bisnis dan perdagangan modern. Fungsinya sebagai identitas
memungkinkan suatu produk atau jasa dikenali oleh konsumen, membedakannya dari
produk atau jasa sejenis yang ditawarkan oleh pesaing di pasar. Pengenalan ini
tidak hanya membangun citra tetapi juga menjadi dasar bagi reputasi dan
loyalitas konsumen. Dalam konteks ekonomi yang lebih luas, perlindungan merek
memegang peranan penting dalam menjaga persaingan usaha yang sehat dan
berkeadilan.
Dengan memberikan hak
eksklusif kepada pemilik merek terdaftar, hukum mencegah praktik-praktik tidak
jujur seperti peniruan atau pendomplengan reputasi. Lebih lanjut, kerangka
hukum merek yang kuat berkontribusi pada perlindungan konsumen dengan memastikan
kejelasan asal-usul dan kualitas produk atau jasa. Secara strategis,
perlindungan merek juga menjadi instrumen vital untuk mendukung pertumbuhan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta industri dalam negeri dalam
menghadapi persaingan di era perdagangan global.
B. Landasan Hukum Utama
Di Indonesia, pengaturan
mengenai merek secara komprehensif diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG). Undang-undang ini
menjadi landasan hukum utama yang menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pergantian ini didasari oleh
kebutuhan untuk menyesuaikan kerangka hukum dengan perkembangan pesat dalam
perekonomian lokal, nasional, regional, dan internasional, serta kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi.
UU MIG dirancang untuk
memberikan pelayanan yang lebih baik dan kepastian hukum yang lebih kuat bagi
dunia industri, perdagangan, dan investasi. Undang-undang ini tidak hanya
mengatur tentang Merek tetapi juga tentang Indikasi Geografis, yang
sebelumnya tidak diatur secara komprehensif dalam UU Merek terdahulu.
C. Lingkup Tulisan
Tulisan ini bertujuan untuk
menyajikan analisis mendalam mengenai pengertian, konsep, fungsi, syarat
pendaftaran, hak-hak eksklusif, serta jangka waktu perlindungan merek dagang
(dan merek secara umum) berdasarkan hukum positif Indonesia, dengan fokus utama
pada ketentuan-ketentuan dalam UU MIG dan peraturan pelaksananya. Analisis ini
akan mengupas secara rinci aspek-aspek fundamental yang relevan bagi pemahaman
praktis maupun akademis mengenai hukum merek di Indonesia, sebagaimana
diamanatkan dalam lingkup pertanyaan yang diajukan.
D. Modernisasi dan Harmonisasi
Internasional
Pemberlakuan UU MIG pada tahun
2016 menandai upaya signifikan pemerintah Indonesia untuk memodernisasi
sistem hukum kekayaan intelektualnya, khususnya di bidang merek. Hal ini
secara eksplisit tercermin dalam bagian 'Menimbang' undang-undang tersebut,
yang menyatakan bahwa peranan Merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat
penting dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi internasional
yang telah diratifikasi Indonesia. Penggantian UU No. 15 Tahun 2001 dianggap
perlu karena undang-undang lama dinilai masih memiliki kekurangan, belum dapat
menampung perkembangan kebutuhan masyarakat, dan belum cukup menjamin
perlindungan potensi ekonomi lokal dan nasional.
Modernisasi ini terlihat jelas
dalam beberapa aspek UU MIG. Pertama, adanya perluasan definisi merek
yang secara eksplisit mencakup jenis-jenis merek non-tradisional seperti suara,
bentuk tiga dimensi, dan hologram. Kedua, penguatan pengaturan mengenai
Indikasi Geografis dalam satu undang-undang bersama merek. Ketiga, fasilitasi
pendaftaran merek internasional melalui aksesi Indonesia ke Protokol
Madrid, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 22
Tahun 2018.
Langkah-langkah ini
menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengintegrasikan sistem hukum mereknya
dengan standar dan praktik internasional, terutama yang diamanatkan oleh
Persetujuan TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) di
bawah WTO, yang ratifikasinya juga disebut dalam UU MIG. Konsekuensinya,
kerangka hukum merek di Indonesia menjadi lebih sejalan dengan norma global,
menawarkan prediktabilitas yang lebih besar bagi pelaku bisnis internasional,
sekaligus menuntut pemahaman yang lebih mendalam dari pelaku usaha domestik
terhadap sistem yang lebih kompleks dan berpotensi ditegakkan secara lebih
ketat.
II. Definisi Yuridis Merek dan
Merek Dagang
UU MIG memberikan definisi
yang jelas dan komprehensif mengenai berbagai jenis merek yang diakui dalam
sistem hukum Indonesia.
A. Definisi "Merek"
Definisi fundamental
"Merek" tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 20/2016, yang
menyatakan: "Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis
berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2
(dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2
(dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang
diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang
dan/atau jasa."
Definisi ini mengandung
beberapa elemen kunci:
- Tanda ('Sign'):
Merek pada dasarnya adalah suatu penanda.
- Dapat Ditampilkan Secara Grafis ('Capable
of Graphical Representation'): Syarat ini penting untuk
keperluan pendaftaran dan publikasi, memungkinkan pihak ketiga memahami
lingkup perlindungan yang dimohonkan.
- Bentuk Tanda:
UU MIG secara eksplisit menyebutkan berbagai bentuk tanda yang dapat
berfungsi sebagai merek, mencakup elemen visual tradisional (gambar, logo,
nama, kata, huruf, angka, susunan warna) maupun non-tradisional (bentuk
2D/3D, suara, hologram). Kombinasi dari unsur-unsur ini juga dimungkinkan.
- Fungsi Pembeda ('Distinguishing
Function'): Tujuan utama merek adalah untuk
membedakan ('membedakan') barang atau jasa suatu entitas dari barang atau
jasa entitas lain dalam kegiatan perdagangan.
B. Definisi "Merek
Dagang" (Trade Mark)
Secara lebih spesifik, Pasal
1 angka 2 UU No. 20/2016 mendefinisikan "Merek Dagang" sebagai: "Merek
Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan barang sejenis lainnya."
Definisi ini memperjelas bahwa
Merek Dagang adalah bagian dari konsep Merek secara umum, namun secara khusus
diaplikasikan pada barang (produk fisik) yang diperdagangkan. Fungsinya
tetap sama, yaitu sebagai pembeda dari barang-barang sejenis yang berasal dari
sumber lain. Contoh merek dagang meliputi nama atau logo pada kemasan produk
seperti Aqua, SONY, atau Sosro.
C. Definisi "Merek
Jasa" (Service Mark)
Sejalan dengan Merek Dagang, Pasal
1 angka 3 UU No. 20/2016 mendefinisikan "Merek Jasa": "Merek
Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan
dengan jasa sejenis lainnya."
Merek Jasa memiliki fungsi
identik dengan Merek Dagang, yaitu sebagai pembeda, namun
diaplikasikan pada jasa (layanan) yang ditawarkan dalam kegiatan
perdagangan.
D. Definisi "Merek
Kolektif" (Collective Mark)
UU MIG juga mengakui
"Merek Kolektif", yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 4 UU No.
20/2016 sebagai: "Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada
barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh
beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan
barang dan/atau jasa sejenis lainnya."
Merek Kolektif digunakan
oleh sekelompok produsen atau penyedia jasa yang tergabung dalam suatu
asosiasi atau badan hukum untuk menandai produk atau jasa mereka yang memiliki
karakteristik bersama. Pendaftaran Merek Kolektif memiliki persyaratan khusus
yang diatur lebih lanjut, misalnya dalam Pasal 46 UU MIG, yang mensyaratkan
pernyataan eksplisit dalam permohonan bahwa merek tersebut akan digunakan
sebagai Merek Kolektif.
E. Perluasan Lingkup Tanda
yang Dapat Dilindungi
Salah satu aspek modernisasi
yang paling kentara dalam UU MIG adalah perluasan definisi "Merek"
itu sendiri. Dibandingkan dengan definisi dalam undang-undang sebelumnya atau
interpretasi yang lebih sempit yang mungkin hanya fokus pada elemen visual
tradisional seperti nama dan logo , definisi dalam Pasal 1 angka 1 UU 20/2016
secara tegas mencakup tanda-tanda non-tradisional. Penyebutan eksplisit suara,
bentuk tiga dimensi, dan hologram sebagai bentuk tanda yang dapat
didaftarkan merupakan kemajuan signifikan.
Perluasan ini mencerminkan
pengakuan terhadap praktik branding modern yang semakin kreatif dan beragam,
serta upaya harmonisasi dengan standar internasional yang juga mengakui bentuk-bentuk
merek non-konvensional. UU MIG bahkan mengantisipasi kebutuhan prosedural
untuk jenis merek ini, misalnya dengan mensyaratkan lampiran notasi dan rekaman
suara untuk pendaftaran merek suara (Pasal 4 ayat 7). Implikasinya, pelaku
usaha di Indonesia kini memiliki kesempatan untuk melindungi aset branding
mereka yang lebih beragam, tidak terbatas pada nama atau logo saja. Namun,
perlu dicatat bahwa semua jenis tanda ini, baik tradisional maupun
non-tradisional, tetap harus memenuhi syarat fundamental lainnya, terutama kemampuan
untuk berfungsi sebagai pembeda (memiliki daya pembeda) dan dapat
direpresentasikan secara grafis.
III. Konsep Dasar, Tujuan, dan
Lingkup Perlindungan Merek
A. Konsep Fundamental: Pembeda
Identitas (Identity Differentiator)
Inti dari konsep merek dalam
hukum Indonesia adalah fungsinya sebagai pembeda atau penanda identitas.
Sebagaimana ditegaskan dalam definisi Pasal 1 angka 1 UU MIG, merek digunakan
untuk "membedakan barang dan/atau jasa". Artinya, sebuah tanda dapat
dianggap sebagai merek jika ia memiliki kapasitas inheren atau kapasitas yang
diperoleh melalui pemakaian untuk menunjukkan bahwa suatu barang atau jasa
berasal dari sumber tertentu, dan dengan demikian membedakannya dari barang
atau jasa serupa yang berasal dari sumber lain. Merek mempersonalisasi produk
atau jasa di pasar. Penting untuk dipahami bahwa merek merupakan aset tak
berwujud (intangible asset), suatu bentuk hak kebendaan tidak berwujud
yang eksistensinya terpisah dari barang atau jasa fisik yang diwakilinya.
Meskipun barang atau jasa tersebut habis dikonsumsi, hak atas mereknya tetap
ada.
B. Tujuan Perlindungan Merek
Perlindungan hukum terhadap
merek melalui UU MIG memiliki beberapa tujuan fundamental:
- Memberikan Kepastian Hukum dan
Perlindungan bagi Pemilik: Tujuan utama adalah
memberikan kepastian hukum dan hak eksklusif kepada pemilik merek yang
telah terdaftar. Pendaftaran berfungsi sebagai alat bukti kepemilikan yang
sah di mata hukum , melindungi investasi pemilik dalam membangun reputasi
merek.
- Menjaga Persaingan Usaha yang Sehat:
Dengan melarang penggunaan merek yang sama atau mirip secara tanpa hak,
hukum merek bertujuan mencegah praktik persaingan tidak sehat, seperti
meniru atau mendompleng ketenaran merek lain. Ini memastikan bahwa pelaku
usaha bersaing secara adil berdasarkan kualitas dan inovasi, bukan dengan
membingungkan konsumen.
- Melindungi Kepentingan Konsumen: Perlindungan
merek juga berfungsi melindungi konsumen dari kebingungan atau penipuan
mengenai asal-usul, kualitas, atau karakteristik barang atau jasa yang
mereka beli. Merek yang jelas membantu konsumen membuat pilihan yang
terinformasi.
- Mendorong Pembangunan Ekonomi Nasional:
UU MIG secara eksplisit menyebutkan tujuan perlindungan bagi UMKM dan
industri dalam negeri. Dengan melindungi aset merek mereka, diharapkan
UMKM dan industri nasional dapat berkembang dan bersaing lebih baik, baik
di pasar domestik maupun global.
C. Lingkup Perlindungan (What
is Protected)
Perlindungan merek yang
diberikan oleh UU MIG memiliki batasan atau lingkup tertentu:
- Tanda Spesifik:
Perlindungan diberikan hanya untuk tanda spesifik (logo, kata, suara,
dll.) sebagaimana yang didaftarkan dan tercantum dalam sertifikat merek.
- Barang/Jasa Tertentu:
Perlindungan berlaku untuk kelas barang dan/atau jasa tertentu yang
dimohonkan dan disetujui pada saat pendaftaran. Penggunaan merek untuk
barang atau jasa di luar kelas yang terdaftar tidak secara otomatis
dilindungi dan bahkan dapat menjadi dasar penghapusan merek jika tidak
sesuai.
- Wilayah Teritorial:
Perlindungan merek pada dasarnya bersifat teritorial, artinya hanya
berlaku di wilayah hukum Indonesia. Namun, perlindungan dapat diperluas ke
negara lain melalui mekanisme pendaftaran internasional seperti Protokol
Madrid, yang telah diakomodasi oleh Indonesia.
- Prinsip Pendaftaran Pertama
('First-to-File'): Hak atas merek di Indonesia
diperoleh melalui pendaftaran, bukan pemakaian pertama. Sistem yang dianut
adalah 'first-to-file', yang berarti pihak yang pertama kali mengajukan
permohonan pendaftaran untuk suatu merek (dan memenuhi syarat) yang akan
diberikan haknya.
D. Keseimbangan antara
'First-to-File' dan 'Itikad Baik'
Meskipun Indonesia menganut sistem
'first-to-file' , di mana prioritas diberikan kepada pendaftar pertama,
sistem ini tidaklah absolut. UU MIG secara signifikan memoderasi prinsip ini
dengan memasukkan doktrin 'itikad tidak baik' (bad faith) sebagai salah
satu dasar penolakan permohonan merek (Pasal 21 ayat 3).
Keberadaan ketentuan mengenai
itikad tidak baik ini menciptakan nuansa penting dalam sistem pendaftaran merek
Indonesia. Prioritas waktu pengajuan tidak akan melindungi pemohon jika dapat
dibuktikan bahwa permohonan tersebut diajukan dengan niat buruk. Penjelasan UU
MIG dan praktik hukum mengindikasikan bahwa itikad tidak baik dapat diartikan
sebagai adanya niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain
demi kepentingan usahanya sendiri, yang berpotensi menimbulkan kondisi
persaingan usaha tidak sehat, atau mengecoh serta menyesatkan konsumen. Contoh
konkret bisa berupa pendaftaran merek yang sangat mirip atau identik dengan
merek lain yang sudah dikenal luas oleh masyarakat, meskipun merek tersebut
belum terdaftar di Indonesia.
Penyertaan klausul itikad
tidak baik ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang menyadari potensi
penyalahgunaan sistem 'first-to-file' yang ketat. Praktik 'pembajakan
merek' (trademark squatting), di mana pihak tertentu mendaftarkan merek milik
orang lain (terutama merek asing terkenal) dengan tujuan untuk menjualnya
kembali kepada pemilik asli atau menghalangi masuknya pesaing ke pasar, dapat
dicegah melalui ketentuan ini. Dengan demikian, doktrin itikad baik berfungsi
sebagai katup pengaman (safety valve) yang memberikan perlindungan bagi pemilik
merek yang sah (meskipun mungkin belum mendaftar) terhadap upaya pendaftaran
yang didasari niat curang. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pembuktian adanya
itikad tidak baik dalam proses pemeriksaan atau sengketa merek seringkali
menjadi tantangan tersendiri dan memerlukan argumentasi serta bukti yang kuat.
Hal ini menekankan pentingnya tidak hanya kecepatan dalam mendaftar, tetapi
juga orisinalitas dan praktik bisnis yang etis dalam pemilihan dan penggunaan
merek.
IV. Kerangka Peraturan
Perundang-undangan Merek di Indonesia
Sistem hukum merek di
Indonesia tersusun secara hierarkis, dengan beberapa tingkatan peraturan yang
saling melengkapi.
A. Undang-Undang Utama
Puncak dari kerangka peraturan
adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
(UU MIG). Undang-undang ini mulai berlaku efektif sejak tanggal
diundangkan, yaitu 25 November 2016 , dan secara tegas mencabut keberlakuan
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. UU MIG memuat prinsip-prinsip
dasar, definisi, ruang lingkup perlindungan, hak dan kewajiban, prosedur
pendaftaran, penegakan hukum, serta ketentuan pidana terkait merek dan indikasi
geografis. Perlu dicatat bahwa undang-undang ini dapat mengalami perubahan
melalui peraturan perundang-undangan lain, seperti yang terjadi melalui Undang-Undang
No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), yang mengubah beberapa
ketentuan dalam UU MIG.
B. Peraturan Pemerintah (PP)
Di bawah Undang-Undang,
terdapat Peraturan Pemerintah (PP) yang berfungsi sebagai peraturan pelaksana
untuk mengatur aspek-aspek tertentu secara lebih teknis. Beberapa PP yang
relevan dengan UU MIG antara lain:
- PP No. 28 Tahun 2019
tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia: PP ini
menetapkan besaran biaya resmi untuk berbagai layanan kekayaan
intelektual, termasuk biaya permohonan pendaftaran, perpanjangan, dan
layanan merek lainnya yang diajukan ke Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual (DJKI).
- PP No. 22 Tahun 2018
tentang Pendaftaran Merek Internasional Berdasarkan Protokol Terkait
dengan Persetujuan Madrid Mengenai Pendaftaran Merek Secara Internasional:
PP ini mengatur secara rinci prosedur dan ketentuan terkait pendaftaran
merek internasional melalui sistem Madrid Protocol, baik untuk permohonan
yang berasal dari Indonesia maupun yang menunjuk Indonesia sebagai negara
tujuan.
- PP No. 90 Tahun 2019
tentang Tata Cara Permohonan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Banding pada
Komisi Banding Merek: PP ini mengatur prosedur pengajuan banding terhadap
keputusan penolakan permohonan merek oleh DJKI ke Komisi Banding Merek.
C. Peraturan Menteri Hukum dan
HAM (Permenkumham)
Lebih lanjut, detail teknis
dan prosedur administratif diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Permenkumham). Peraturan yang paling sentral adalah Permenkumham
No. 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek, yang telah mengalami perubahan
(misalnya oleh Permenkumham No. 12 Tahun 2021). Permenkumham ini menjabarkan
secara rinci mengenai tata cara pengajuan permohonan, persyaratan dokumen,
pemeriksaan formalitas dan substantif, klasifikasi barang dan jasa (mengacu
pada Nice Classification), publikasi, oposisi, penerbitan sertifikat,
pencatatan pengalihan hak, lisensi, serta prosedur perpanjangan.
D. Konvensi Internasional
Kerangka hukum merek Indonesia
juga tidak terlepas dari pengaruh konvensi-konvensi internasional di bidang
kekayaan intelektual yang telah diratifikasi. UU MIG sendiri merujuk pada
pentingnya penyelarasan dengan konvensi internasional. Indonesia adalah anggota
World Trade Organization (WTO) dan terikat pada Agreement on Trade-Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). Selain itu, aksesi Indonesia
ke Madrid Protocol menunjukkan komitmen untuk berpartisipasi dalam sistem
pendaftaran merek internasional. Konvensi-konvensi ini turut membentuk
prinsip-prinsip dan standar minimum perlindungan merek yang diadopsi dalam
hukum nasional.
E. Sifat Hierarkis dan Dinamis
Kerangka Regulasi
Struktur peraturan
perundang-undangan merek di Indonesia bersifat hierarkis, dimulai dari UU MIG
sebagai hukum dasar, diikuti oleh PP dan Permenkumham yang memberikan rincian
pelaksanaan. Struktur ini memungkinkan fleksibilitas; perubahan pada prosedur teknis,
biaya, atau adaptasi terhadap perkembangan baru dapat dilakukan melalui revisi
PP atau Permenkumham tanpa harus sering mengubah undang-undang dasarnya.
Namun, sifat dinamis juga
melekat pada kerangka ini. Sebagaimana ditunjukkan oleh adanya perubahan
melalui UU Cipta Kerja , regulasi merek dapat dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah yang lebih luas, misalnya dalam upaya penyederhanaan perizinan
berusaha atau reformasi regulasi lainnya. Oleh karena itu, para praktisi hukum,
pelaku usaha, dan pihak berkepentingan lainnya harus senantiasa memantau tidak
hanya UU MIG, tetapi juga seluruh peraturan pelaksananya (PP dan Permenkumham)
serta potensi perubahan dari undang-undang lain yang bersifat lintas sektoral.
Mengandalkan pemahaman hanya pada UU MIG saja tidak akan cukup untuk memastikan
kepatuhan penuh dan pemahaman yang akurat terhadap prosedur dan persyaratan
yang berlaku saat ini.
V. Fungsi-Fungsi Merek Menurut
Hukum Indonesia
Merek memiliki peran
multifaset dalam ekosistem perdagangan. Berdasarkan UU MIG dan pandangan para
ahli hukum, fungsi-fungsi merek dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Fungsi Pembeda
(Distinguishing Function)
Ini adalah fungsi paling
fundamental dan melekat pada definisi hukum merek itu sendiri. Merek berfungsi
sebagai tanda pengenal yang memungkinkan konsumen untuk membedakan barang atau
jasa yang berasal dari satu produsen atau penyedia jasa dengan barang atau jasa
sejenis yang berasal dari produsen atau penyedia jasa lain. Tanpa fungsi
pembeda ini, pasar akan menjadi kacau dan konsumen akan kesulitan
mengidentifikasi produk atau jasa yang mereka inginkan atau percayai. Kemampuan
membedakan ini merupakan syarat mutlak agar suatu tanda dapat didaftarkan
sebagai merek.
B. Fungsi Penunjuk Asal
(Origin Function)
Merek berfungsi sebagai
penunjuk asal-usul barang atau jasa. Ia mengidentifikasi sumber komersial
produk tersebut, menghubungkannya dengan perusahaan atau individu tertentu yang
bertanggung jawab atas produksinya atau penyediaannya. Fungsi ini penting untuk
membangun reputasi dan akuntabilitas. Konsumen dapat mengandalkan merek untuk
mengetahui siapa yang berada di balik produk atau jasa yang mereka gunakan.
Para ahli seperti Prof. Molengraaf juga menekankan fungsi merek untuk
menunjukkan asal barang.
C. Fungsi Jaminan Kualitas
(Quality Guarantee Function)
Secara tidak langsung, merek
berfungsi sebagai jaminan atas mutu atau kualitas barang atau jasa. Konsumen
yang memiliki pengalaman positif dengan suatu merek akan mengembangkan
ekspektasi bahwa produk atau jasa lain dengan merek yang sama akan memiliki standar
kualitas yang konsisten. Fungsi ini, sebagaimana juga disinggung oleh Prof.
Molengraaf , membangun kepercayaan konsumen dan mendorong produsen untuk
menjaga kualitas produk atau jasanya demi mempertahankan reputasi merek.
D. Fungsi Promosi dan
Pemasaran (Advertising/Promotional Function)
Merek adalah alat promosi dan
pemasaran yang sangat efektif. Nama, logo, atau tanda lain yang menarik dan
mudah diingat dapat membantu menarik perhatian konsumen, membangun citra merek,
dan memfasilitasi kampanye iklan. Merek yang kuat dapat menjadi daya tarik
utama dalam strategi pemasaran, memengaruhi keputusan pembelian konsumen, dan
membantu memperluas pangsa pasar.
E. Fungsi Aset Ekonomi
(Economic Asset Function)
Diakui sebagai hak
kebendaan tidak berwujud, merek memiliki nilai ekonomi yang signifikan bagi
pemiliknya. Merek yang kuat dan memiliki reputasi baik merupakan aset berharga
yang dapat meningkatkan nilai perusahaan secara keseluruhan. Nilai ini dapat
direalisasikan melalui berbagai cara, seperti penjualan merek, penggunaan
sebagai jaminan, atau melalui lisensi. UU MIG secara eksplisit mengatur
kemungkinan pengalihan hak atas merek terdaftar (Pasal 41) dan pemberian
lisensi (Pasal 42) , yang menegaskan status merek sebagai aset ekonomi yang
dapat dimonetisasi.
F. Keterkaitan Antar Fungsi
Penting untuk dipahami bahwa
kelima fungsi merek ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait dan
memperkuat satu sama lain. Kemampuan dasar sebuah merek untuk membedakan
(Fungsi A) adalah fondasi yang memungkinkan konsumen mengasosiasikannya dengan asal
tertentu (Fungsi B). Pengalaman yang konsisten dengan produk dari asal tersebut
akan membangun persepsi mengenai kualitas yang terjamin (Fungsi C), yang
kemudian dapat dimanfaatkan dalam kegiatan promosi (Fungsi D). Gabungan
dari fungsi-fungsi inilah yang pada akhirnya menciptakan nilai ekonomi
(Fungsi E) yang melekat pada merek sebagai aset tak berwujud.
Sebagai contoh, sebuah logo
yang unik (pembeda) menjadi dikenal sebagai milik Perusahaan X (asal). Jika
produk Perusahaan X secara konsisten berkualitas baik, logo tersebut menjadi
simbol kualitas (jaminan kualitas). Perusahaan X kemudian dapat menggunakan
logo tersebut dalam iklan untuk menarik lebih banyak pelanggan (promosi).
Reputasi yang terbangun melalui fungsi-fungsi ini menjadikan logo tersebut aset
berharga yang bisa dilisensikan atau meningkatkan nilai jual perusahaan (aset
ekonomi). Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap merek pada hakikatnya
melindungi keseluruhan bundel fungsi ini dan goodwill yang terkait
dengannya. Kerusakan pada salah satu fungsi, misalnya hilangnya daya
pembeda atau tercemarnya reputasi kualitas, dapat berdampak negatif pada fungsi
lainnya dan mengurangi nilai keseluruhan merek.
VI. Jenis-Jenis Tanda yang
Dapat Didaftarkan sebagai Merek
UU MIG memberikan
fleksibilitas yang cukup luas mengenai jenis tanda yang dapat memperoleh
perlindungan sebagai merek, selama memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
A. Enumerasi Berdasarkan Pasal
1(1) UU MIG
Pasal 1 angka 1 UU MIG secara
eksplisit menyebutkan berbagai bentuk tanda yang dapat didaftarkan. Daftar ini
mencakup :
- Gambar (Image/Picture):
Representasi visual dua dimensi.
- Logo: Simbol grafis
yang dirancang khusus.
- Nama (Name):
Nama orang, nama fiktif, atau nama perusahaan.
- Kata (Word):
Kata-kata yang ada dalam kamus atau kata-kata ciptaan baru (coined
words).
- Huruf (Letters):
Satu huruf atau kombinasi huruf (inisial, akronim).
- Angka (Numerals):
Satu angka atau kombinasi angka.
- Susunan Warna (Color Composition):
Kombinasi warna tertentu yang diaplikasikan secara khusus pada barang atau
kemasan.
- Bentuk 2 Dimensi (2D Form): Bentuk
atau konfigurasi dua dimensi yang unik, seperti bentuk label atau kemasan
datar.
- Bentuk 3 Dimensi (3D Form):
Bentuk produk itu sendiri atau bentuk kemasannya yang memiliki ciri khas
tiga dimensi.
- Suara (Sound):
Jingle iklan, melodi singkat, atau suara unik lainnya yang dapat
mengidentifikasi sumber barang/jasa.
- Hologram:
Gambar tiga dimensi yang dihasilkan oleh teknologi holografi.
- Kombinasi dari 2 atau lebih unsur
tersebut: Gabungan dari beberapa jenis tanda di
atas (misalnya, logo dengan nama dan susunan warna).
B. Merek Tradisional vs.
Non-Tradisional
Dari daftar di atas, dapat
diklasifikasikan jenis-jenis merek menjadi:
- Merek Tradisional:
Umumnya mencakup tanda-tanda visual seperti nama, kata, logo, gambar,
huruf, angka. Ini adalah bentuk merek yang paling umum dan telah lama
diakui.
- Merek Non-Tradisional:
Mencakup tanda-tanda yang tidak hanya mengandalkan aspek visual, seperti
suara, bentuk tiga dimensi (kemasan produk atau bentuk produk itu
sendiri), hologram, dan susunan warna per se (warna tunggal atau
kombinasi warna sebagai pengenal sumber). UU MIG secara jelas
mengakomodasi pendaftaran merek non-tradisional ini.
C. Persyaratan Representasi
Grafis
Syarat fundamental bagi semua
jenis tanda agar dapat didaftarkan sebagai merek adalah kemampuannya untuk "ditampilkan
secara grafis". Persyaratan ini penting agar merek dapat diperiksa,
dipublikasikan dalam Berita Resmi Merek, dan dipahami oleh publik mengenai
lingkup perlindungannya. Untuk merek non-tradisional, UU MIG memberikan panduan
lebih lanjut:
- Untuk Merek 3 Dimensi, label merek
yang dilampirkan harus berupa representasi visual dari karakteristik
bentuk tiga dimensi tersebut (Pasal 4 ayat 6). Ini bisa berupa gambar dari
berbagai sudut pandang atau deskripsi teknis.
- Untuk Merek Suara, label merek yang
dilampirkan harus berupa notasi musik atau sonogram, disertai dengan
rekaman suara (Pasal 4 ayat 7).
D. Tantangan Praktis Merek
Non-Tradisional
Meskipun UU MIG secara hukum
membuka pintu bagi pendaftaran merek non-tradisional, jenis merek ini
seringkali menghadapi tantangan praktis yang unik dalam memenuhi persyaratan
pendaftaran. Tantangan utama terletak pada pembuktian daya pembeda
(distinctiveness). Berbeda dengan kata atau logo yang secara inheren dapat
berfungsi sebagai penanda sumber, konsumen mungkin tidak secara otomatis
menganggap suara, bentuk produk, atau warna sebagai indikator asal. Misalnya,
bentuk fungsional suatu produk atau warna standar dalam industri tertentu
kemungkinan besar akan dianggap tidak memiliki daya pembeda. Oleh karena itu,
pemohon merek non-tradisional seringkali perlu menunjukkan bahwa tanda tersebut
telah memperoleh daya pembeda melalui pemakaian yang intensif di pasar (acquired
distinctiveness atau secondary meaning), sehingga konsumen telah
terbiasa mengasosiasikannya dengan sumber tertentu.
Selain itu, pemenuhan syarat representasi
grafis juga bisa menjadi kompleks. Bagaimana merepresentasikan suara secara
akurat hanya dengan notasi? Bagaimana gambar teknis dapat menangkap esensi
pembeda dari sebuah bentuk tiga dimensi? Representasi grafis harus cukup jelas
dan presisi untuk mendefinisikan lingkup perlindungan tanpa menjadi terlalu
luas atau ambigu. Proses pemeriksaan substantif oleh DJKI untuk merek
non-tradisional kemungkinan akan lebih mendalam dan memerlukan bukti pemakaian
yang lebih kuat dibandingkan merek tradisional. Pelaku usaha yang ingin
mendaftarkan merek non-tradisional harus siap menghadapi potensi pemeriksaan
yang lebih ketat dan berinvestasi dalam membangun bukti daya pembeda serta
memastikan representasi grafis yang memadai.
VII. Syarat Pendaftaran Merek
di Indonesia
Agar suatu tanda dapat
didaftarkan sebagai merek di Indonesia, serangkaian persyaratan formal
(administratif) dan substantif harus dipenuhi.
A. Syarat Formal/Administratif
(Ringkas)
Prosedur administratif awal
melibatkan pemenuhan kelengkapan dokumen dan data sesuai ketentuan UU MIG dan
Permenkumham terkait:
- Pengajuan Permohonan:
Diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui DJKI, baik secara elektronik
(online) maupun non-elektronik (tertulis), dalam Bahasa Indonesia.
- Informasi Pemohon:
Mencantumkan data lengkap pemohon (nama, kewarganegaraan, alamat) dan/atau
kuasa jika menggunakan jasa Konsultan Kekayaan Intelektual terdaftar.
- Detail Merek: Melampirkan
label merek (contoh visual atau representasi grafis lainnya), klaim warna
jika relevan, serta kelas dan uraian jenis barang/jasa yang dimohonkan
perlindungannya.
- Dokumen Pendukung:
Melampirkan bukti pembayaran biaya permohonan (PNBP), surat pernyataan
kepemilikan merek, dan surat kuasa (jika menggunakan kuasa). Jika
mengklaim Hak Prioritas, bukti prioritas juga harus dilampirkan.
- Kewajiban Menggunakan Kuasa:
Pemohon yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di luar wilayah
Indonesia wajib mengajukan permohonan melalui Kuasa (Konsultan KI
terdaftar di Indonesia).
- Tanggal Penerimaan:
Permohonan akan mendapatkan Tanggal Penerimaan (Filing Date) jika telah
memenuhi persyaratan minimum, yaitu formulir permohonan yang terisi
lengkap, label merek, dan bukti pembayaran biaya. Tanggal ini penting
untuk menentukan prioritas.
B. Syarat Substantif (Fokus
Utama)
Setelah syarat formal
terpenuhi, permohonan akan melalui pemeriksaan substantif untuk menilai apakah
merek tersebut layak didaftarkan berdasarkan kriteria hukum. Syarat substantif
utama adalah:
- Memiliki Daya Pembeda (Distinctiveness):
Ini adalah syarat positif fundamental. Sebagaimana telah dibahas, merek
harus mampu membedakan barang/jasa pemohon dari barang/jasa pihak lain.
Pasal 20 huruf (e) UU MIG secara eksplisit menyatakan bahwa merek tidak
dapat didaftar jika "tidak memiliki daya pembeda". Tanda
yang dianggap tidak memiliki daya pembeda mencakup tanda yang terlalu
sederhana (misalnya satu garis), terlalu rumit sehingga tidak jelas, atau
bersifat deskriptif murni terhadap barang/jasa terkait.
- Tidak Termasuk Kategori Merek yang Tidak
Dapat Didaftar (Absolute Grounds - Pasal 20):
Pasal 20 UU MIG menetapkan alasan-alasan absolut mengapa suatu merek tidak
dapat diterima untuk pendaftaran, terlepas dari apakah ada merek lain yang
serupa. Alasan-alasan ini berkaitan dengan sifat inheren tanda itu sendiri
atau kebijakan publik :
- (a) Bertentangan dengan ideologi negara,
peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau
ketertiban umum: Merek tidak boleh melanggar norma
fundamental negara dan masyarakat.
- (b) Sama dengan, berkaitan dengan, atau
hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya:
Merek tidak boleh bersifat deskriptif (misalnya, merek "ENAK"
untuk makanan) atau generik (misalnya, merek "KECAP" untuk
kecap).
- (c) Memuat unsur yang dapat menyesatkan
masyarakat: Merek tidak boleh menipu konsumen
mengenai asal, kualitas, jenis, ukuran, tujuan penggunaan, dll.
(misalnya, merek "SUTRA ASLI" untuk kain sintetis), atau
merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi.
- (d) Memuat keterangan yang tidak sesuai
dengan kualitas, manfaat, atau khasiat: Merek tidak
boleh mengandung klaim palsu atau berlebihan (misalnya, merek "OBAT
DEWA" yang mengklaim menyembuhkan segala penyakit).
- (e) Tidak memiliki daya pembeda:
Sebagaimana dijelaskan di poin 1.
- (f) Merupakan nama umum dan/atau lambang
milik umum: Merek tidak boleh menggunakan istilah
yang sudah menjadi nama jenis barang/jasa itu sendiri (misalnya,
"RUMAH MAKAN" untuk restoran ) atau simbol yang bebas digunakan
publik (misalnya, lambang daur ulang).
- Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa
merek yang mengandung bentuk yang bersifat fungsional tidak dapat
didaftarkan. Bentuk fungsional adalah bentuk yang diperlukan untuk fungsi
teknis produk itu sendiri dan tidak dapat dimonopoli sebagai merek.
- Tidak Termasuk Kategori Permohonan yang
Ditolak (Relative Grounds - Pasal 21): Pasal 21 UU MIG
mengatur alasan-alasan penolakan yang bersifat relatif, artinya penolakan
terjadi karena adanya konflik dengan hak pihak lain yang sudah ada
sebelumnya :
- (Ayat 1) Mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan:
- (a) Merek terdaftar milik pihak lain
atau yang dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau
jasa sejenis.
- (b) Merek terkenal milik pihak lain
untuk barang dan/atau jasa sejenis.
- (c) Merek terkenal milik pihak lain
untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis, jika memenuhi
persyaratan tertentu (misalnya, dapat mengurangi daya pembeda merek
terkenal tersebut atau menunjukkan hubungan yang tidak sebenarnya).
- (d) Indikasi Geografis yang sudah
terdaftar.
- (Ayat 2) Merupakan atau menyerupai:
- (a) Nama atau singkatan nama orang
terkenal, foto, atau nama badan hukum milik orang lain (kecuali ada
persetujuan tertulis).
- (b) Tiruan atau menyerupai
nama/singkatan nama, bendera, lambang/simbol negara atau lembaga
nasional/internasional (kecuali ada persetujuan tertulis).
- (c) Tiruan atau menyerupai
tanda/cap/stempel resmi negara atau lembaga pemerintah (kecuali ada
persetujuan tertulis).
- (Ayat 3) Diajukan oleh Pemohon yang
Beritikad Tidak Baik: Sebagaimana telah dibahas
sebelumnya.
- Prinsip Itikad Baik (Good Faith):
Syarat ini bersifat menyeluruh. Permohonan harus diajukan dengan niat yang
jujur dan tidak bertujuan untuk menumpang pada reputasi pihak lain atau
melakukan persaingan curang. Pasal 21 ayat (3) secara eksplisit menjadikan
itikad tidak baik sebagai dasar penolakan.
D. Peran Kritis 'Persamaan
pada Pokoknya'
Konsep "persamaan pada
pokoknya" yang digunakan dalam Pasal 21 ayat (1) merupakan salah satu
elemen paling penting sekaligus paling subjektif dalam pemeriksaan substantif
dan penyelesaian sengketa merek. UU MIG sendiri tidak memberikan definisi
matematis atau daftar periksa yang kaku untuk menentukan kapan dua merek
memiliki persamaan pada pokoknya. Penjelasan Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa
persamaan pada pokoknya adalah "kemiripan yang disebabkan oleh adanya
unsur yang dominan antara Merek yang satu dengan Merek yang lain sehingga
menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara
penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan".
Artinya, penilaian tidak hanya
didasarkan pada perbandingan elemen per elemen secara terpisah, tetapi pada kesan
keseluruhan (overall impression) yang ditimbulkan oleh merek
tersebut di benak konsumen yang relevan. Faktor-faktor yang dipertimbangkan
dapat mencakup kemiripan visual (bentuk logo, gaya tulisan), kemiripan fonetik
(bunyi pengucapan), dan kemiripan konseptual (makna atau ide yang disampaikan).
Unsur mana yang dianggap "dominan" juga bergantung pada konteks merek
dan persepsi konsumen.
Subjektivitas inheren dalam
penilaian "persamaan pada pokoknya" ini memiliki implikasi
signifikan. Pertama, hasil pemeriksaan substantif oleh DJKI bisa jadi sulit
diprediksi secara pasti. Kedua, dalam kasus sengketa di pengadilan, argumentasi
mengenai ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya seringkali menjadi inti
perdebatan. Hal ini menekankan pentingnya melakukan penelusuran merek (trademark
search) yang komprehensif sebelum mengajukan permohonan. Tidak cukup hanya
memastikan merek tidak identik; perlu dianalisis potensi kemiripannya secara
keseluruhan dengan merek-merek yang sudah ada. Konsultasi dengan ahli hukum
kekayaan intelektual sangat disarankan untuk mendapatkan penilaian risiko yang
lebih akurat mengenai potensi penolakan berdasarkan alasan persamaan pada
pokoknya.
VIII. Hak Eksklusif Pemilik
Merek Terdaftar
Pendaftaran merek yang
berhasil memberikan serangkaian hak eksklusif kepada pemiliknya, yang merupakan
inti dari perlindungan hukum merek.
A. Sumber Hak Eksklusif
Hak atas Merek, termasuk hak
eksklusif di dalamnya, baru diperoleh setelah merek tersebut terdaftar
di DJKI. Pasal 1 angka 5 UU MIG mendefinisikan Hak atas Merek sebagai "hak
eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk
jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan
izin kepada pihak lain untuk menggunakannya". Jadi, pendaftaran adalah
syarat mutlak untuk lahirnya hak eksklusif yang diakui dan dilindungi oleh
negara.
B. Rincian Hak Eksklusif
Hak eksklusif yang diberikan
kepada pemilik merek terdaftar mencakup beberapa kewenangan utama:
- Hak Menggunakan Sendiri (Right to Use):
Pemilik memiliki hak tunggal untuk menggunakan merek terdaftarnya dalam
kegiatan perdagangan untuk barang dan/atau jasa yang tercantum dalam
sertifikat merek. Penggunaan ini bisa dalam bentuk pencantuman pada
produk, kemasan, materi promosi, dan lain-lain.
- Hak Memberikan Izin (Right to License):
Pemilik berhak memberikan izin atau lisensi kepada pihak lain (penerima
lisensi) untuk menggunakan merek terdaftarnya. Pemberian lisensi ini harus
dituangkan dalam perjanjian tertulis dan dapat mencakup sebagian atau
seluruh jenis barang/jasa yang terdaftar. Kecuali diperjanjikan lain,
lisensi berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Perjanjian lisensi wajib
dimohonkan pencatatannya kepada Menteri (DJKI).
- Hak Melarang Pihak Lain (Right to
Prohibit): Ini adalah aspek defensif dari hak
eksklusif. Pemilik berhak melarang pihak lain yang tidak memiliki izin
untuk menggunakan merek yang sama atau memiliki persamaan pada pokoknya
dengan merek terdaftarnya, terutama untuk barang dan/atau jasa sejenis.
Hak inilah yang menjadi dasar untuk mengambil tindakan hukum terhadap
pelanggaran merek.
C. Hak Menegakkan Hukum
(Enforcement Rights)
Untuk memastikan hak
eksklusifnya dihormati, pemilik merek terdaftar (dan dalam beberapa kasus,
penerima lisensi) diberikan hak untuk melakukan penegakan hukum:
- Gugatan Perdata:
Pemilik merek terdaftar dan/atau penerima lisensi dapat mengajukan gugatan
perdata ke Pengadilan Niaga terhadap pihak yang tanpa hak menggunakan
merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk
barang/jasa sejenis. Gugatan dapat berupa tuntutan ganti rugi dan/atau
perintah penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan
merek tersebut. UU MIG juga memungkinkan pemilik merek terkenal
(berdasarkan putusan pengadilan) untuk mengajukan gugatan.
- Tuntutan Pidana:
Penggunaan tanpa hak atas merek terdaftar yang sama pada keseluruhannya
atau pada pokoknya untuk barang/jasa sejenis merupakan tindak pidana yang
diatur dalam Pasal 100 UU MIG. Demikian pula halnya dengan memperdagangkan
barang/jasa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
merek. Perlu dicatat bahwa tindak pidana merek ini merupakan delik aduan
(kecuali untuk beberapa kasus tertentu), yang berarti proses hukum pidana
hanya dapat dimulai atas laporan atau pengaduan dari pihak yang dirugikan
(pemilik merek/penerima lisensi).
- Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS):
Selain melalui pengadilan, UU MIG (Pasal 93) juga membuka kemungkinan
penyelesaian sengketa merek melalui mekanisme Arbitrase atau Alternatif
Penyelesaian Sengketa lainnya. Pilihan ini seringkali dianggap lebih cepat
dan efisien dibandingkan litigasi di pengadilan.
D. Hak Eksklusif Bersyarat
pada Pendaftaran
Penting untuk ditekankan bahwa
seluruh rangkaian hak eksklusif ini, terutama hak untuk melarang pihak lain dan
hak untuk menempuh jalur hukum (baik perdata maupun pidana), hanya timbul
setelah merek tersebut berhasil didaftarkan dan sertifikat merek
diterbitkan oleh DJKI. Sebuah merek yang statusnya masih dalam proses
permohonan pendaftaran, meskipun telah mendapatkan tanggal penerimaan (filing
date) dan prioritas berdasarkan prinsip 'first-to-file', secara hukum belum
memiliki hak eksklusif. Pemohon belum dapat melarang pihak lain menggunakan
merek serupa atau mengajukan gugatan pelanggaran berdasarkan permohonan yang
masih berjalan tersebut.
Konsekuensi logisnya adalah,
meskipun pengajuan permohonan sedini mungkin sangat krusial untuk mengamankan
tanggal prioritas, upaya untuk menyelesaikan proses pendaftaran hingga
terbitnya sertifikat menjadi sama pentingnya. Sertifikat merek adalah bukti formal
pemberian hak eksklusif oleh negara. Tanpa sertifikat tersebut, kemampuan
pemilik untuk secara efektif melindungi mereknya dari pelanggaran menjadi
sangat terbatas menurut hukum Indonesia. Ini menggarisbawahi pentingnya tidak
hanya mengajukan permohonan, tetapi juga secara aktif memantau dan
menindaklanjuti proses pemeriksaan hingga pendaftaran selesai.
IX. Jangka Waktu Perlindungan
dan Perpanjangan Merek
Perlindungan merek terdaftar
tidak berlaku selamanya, melainkan memiliki jangka waktu tertentu yang dapat
diperpanjang.
A. Durasi Perlindungan Awal
Berdasarkan Pasal 35 ayat
(1) UU MIG, merek yang telah terdaftar mendapatkan perlindungan hukum untuk
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun. Jangka waktu ini dihitung sejak Tanggal
Penerimaan permohonan pendaftaran merek tersebut.
B. Perpanjangan Perlindungan
Setelah jangka waktu 10 tahun
pertama berakhir, perlindungan merek dapat diperpanjang. Pasal 35
ayat (2) UU MIG menyatakan bahwa perpanjangan diberikan untuk jangka waktu
yang sama, yaitu 10 (sepuluh) tahun berikutnya. Proses perpanjangan ini
dapat dilakukan berulang kali setiap 10 tahun, selama persyaratan perpanjangan
dipenuhi oleh pemilik merek. Ini memungkinkan perlindungan merek berlangsung
terus-menerus sepanjang merek tersebut masih aktif digunakan dalam kegiatan
usaha.
C. Prosedur dan Jangka Waktu
Pengajuan Perpanjangan
Pemilik merek atau kuasanya
harus mengajukan permohonan perpanjangan secara proaktif kepada DJKI, baik
secara elektronik maupun non-elektronik. UU MIG menetapkan jendela waktu
spesifik untuk pengajuan perpanjangan:
- Periode Normal:
Permohonan perpanjangan dapat diajukan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sebelum tanggal berakhirnya jangka waktu perlindungan merek.
Pengajuan dalam periode ini dikenai biaya perpanjangan (PNBP) sesuai tarif
yang berlaku. Ini adalah waktu yang ideal untuk mengajukan perpanjangan.
- Periode Toleransi (Grace Period):
Jika pemilik merek terlambat mengajukan perpanjangan sebelum tanggal
berakhirnya perlindungan, UU MIG memberikan masa tenggang atau grace
period. Permohonan perpanjangan masih dapat diajukan dalam jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal berakhirnya
perlindungan merek. Namun, pengajuan dalam grace period ini akan
dikenai biaya perpanjangan ditambah denda sebesar biaya
perpanjangan.
- Konsekuensi Keterlambatan Melebihi Grace
Period: Apabila pemilik merek gagal mengajukan
permohonan perpanjangan bahkan setelah grace period 6 bulan
berakhir, maka merek terdaftar tersebut akan dihapus dari daftar umum
merek. Perlindungan hukumnya berakhir, dan jika pemilik ingin
mendapatkan perlindungan kembali, ia harus mengajukan permohonan
pendaftaran merek sebagai permohonan baru, dengan risiko merek tersebut
mungkin sudah didaftarkan oleh pihak lain atau tidak lagi memenuhi syarat
pendaftaran.
D. Syarat Perpanjangan (Pasal
36 UU MIG)
Agar permohonan perpanjangan
disetujui oleh DJKI, pemilik merek harus memenuhi syarat substantif yang diatur
dalam Pasal 36 UU MIG. Permohonan perpanjangan harus disertai dengan surat
pernyataan yang menyatakan bahwa :
- Merek yang bersangkutan masih digunakan
pada barang atau jasa sebagaimana dicantumkan dalam sertifikat merek
tersebut; DAN
- Barang atau jasa yang menggunakan merek
tersebut masih diproduksi dan/atau diperdagangkan.
Selain surat pernyataan
penggunaan, pemohon juga harus melampirkan bukti pembayaran biaya perpanjangan
(dan denda jika diajukan dalam grace period) serta surat kuasa jika
pengajuan dilakukan melalui kuasa. Jika syarat penggunaan ini tidak terpenuhi,
permohonan perpanjangan akan ditolak. Jika disetujui, perpanjangan akan dicatat
dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
E. Persyaratan Penggunaan
sebagai Mekanisme Anti-Penimbunan Merek
Persyaratan eksplisit dalam
Pasal 36 UU MIG, yang mengharuskan pemilik merek menyatakan bahwa mereknya
masih digunakan pada barang/jasa yang terdaftar dan barang/jasa tersebut masih
diproduksi/diperdagangkan agar perpanjangan dapat disetujui , memiliki fungsi
penting di luar sekadar formalitas administratif. Ketentuan ini berfungsi
sebagai mekanisme untuk mencegah praktik penimbunan merek (trademark
warehousing).
Meskipun sistem pendaftaran
Indonesia didasarkan pada 'first-to-file', pemeliharaan hak jangka panjang
secara efektif terikat pada penggunaan komersial yang nyata. Dengan
mensyaratkan bukti (dalam bentuk pernyataan) penggunaan pada saat perpanjangan,
UU MIG memastikan bahwa hak eksklusif atas merek dipertahankan oleh entitas
yang secara aktif memanfaatkan merek tersebut dalam kegiatan ekonomi. Hal ini
sejalan dengan tujuan dasar merek sebagai alat pembeda di pasar yang aktif.
Tanpa persyaratan penggunaan ini, pihak-pihak tertentu dapat mendaftarkan
banyak merek tanpa niat serius untuk menggunakannya, hanya untuk memblokir
pesaing atau untuk tujuan spekulatif. Persyaratan penggunaan dalam Pasal 36
membantu menjaga agar daftar merek diisi oleh merek-merek yang benar-benar
berfungsi di pasar, bukan sekadar "nama di atas kertas".
Implikasinya bagi pemilik
merek adalah keharusan untuk tidak hanya mendaftarkan merek mereka, tetapi juga
secara konsisten menggunakannya untuk barang dan jasa yang tercantum dalam
sertifikat. Dokumentasi atau bukti penggunaan (meskipun tidak wajib dilampirkan
saat perpanjangan, namun penting jika ada sengketa atau gugatan penghapusan
karena tidak dipakai) menjadi krusial. Kegagalan menggunakan merek sesuai
pendaftaran tidak hanya berisiko pada penolakan perpanjangan setiap 10 tahun,
tetapi juga dapat membuat merek rentan terhadap gugatan penghapusan oleh pihak
ketiga berdasarkan alasan tidak digunakannya merek selama 3 tahun
berturut-turut (ketentuan mengenai penghapusan karena tidak dipakai diatur
dalam Pasal 74 UU MIG, meskipun tidak secara rinci dibahas dalam materi sumber
yang tersedia).
X. Implikasi dan Rekomendasi
Praktis
Analisis terhadap kerangka
hukum merek di Indonesia berdasarkan UU MIG No. 20 Tahun 2016 menghasilkan
beberapa implikasi praktis dan rekomendasi bagi pelaku usaha:
- Pentingnya Pendaftaran Dini:
Mengingat sistem 'first-to-file' yang dianut Indonesia , tindakan
mendaftarkan merek sesegera mungkin setelah dipilih menjadi sangat
krusial. Pendaftaran awal mengamankan tanggal prioritas dan merupakan
langkah pertama menuju perolehan hak eksklusif yang dapat ditegakkan.
Menunda pendaftaran meningkatkan risiko pihak lain mendaftarkan merek yang
sama atau serupa terlebih dahulu.
- Pemilihan Merek yang Kuat dan Bebas
Konflik: Pilihlah merek yang memiliki daya pembeda
yang kuat secara inheren. Hindari merek yang bersifat deskriptif, generik,
atau menyesatkan. Sebelum menetapkan dan mengajukan pendaftaran, lakukan
penelusuran (trademark search) yang cermat untuk memastikan merek yang
dipilih tidak memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
merek terdaftar, merek terkenal, atau indikasi geografis yang sudah ada.
Hal ini untuk meminimalkan risiko penolakan berdasarkan Pasal 20 dan Pasal
21 UU MIG.
- Penggunaan Merek Secara Konsisten dan
Sesuai Pendaftaran: Setelah merek terdaftar, gunakan
merek tersebut secara aktif dan konsisten dalam perdagangan sesuai dengan
label merek yang didaftarkan dan untuk kelas barang/jasa yang tercantum
dalam sertifikat. Penggunaan yang tidak sesuai dapat menjadi dasar penghapusan.
Penggunaan aktif juga merupakan syarat mutlak untuk dapat memperpanjang
perlindungan merek setiap 10 tahun. Simpan bukti-bukti penggunaan merek.
- Pemantauan (Monitoring) Pasar dan
Publikasi Resmi: Lakukan pemantauan secara berkala
terhadap pasar dan publikasi resmi DJKI (Berita Resmi Merek). Tujuannya
adalah untuk mendeteksi secara dini potensi pelanggaran oleh pihak lain
atau adanya permohonan pendaftaran merek baru yang serupa dengan merek
Anda, sehingga dapat diajukan keberatan (oposisi) dalam jangka waktu yang
ditentukan.
- Penegakan Hak (Enforcement) Secara Tegas:
Jika menemukan adanya pelanggaran terhadap merek terdaftar Anda, jangan
ragu untuk mengambil langkah penegakan hukum. Pilihan meliputi somasi
(peringatan), negosiasi, mediasi/APS, gugatan perdata ke Pengadilan Niaga,
atau laporan pidana (untuk delik aduan). Tindakan tegas diperlukan untuk
melindungi hak eksklusif dan mencegah kerugian lebih lanjut.
- Manajemen Portofolio Merek yang Proaktif:
Bagi bisnis yang memiliki beberapa merek, kelola portofolio merek secara
sistematis. Catat tanggal penting, terutama tanggal berakhirnya
perlindungan dan batas waktu pengajuan perpanjangan. Gunakan sistem
pengingat agar tidak terlewat mengajukan perpanjangan, mengingat
konsekuensi keterlambatan bisa berupa denda atau bahkan hilangnya hak atas
merek.
- Manfaatkan Konsultasi Profesional:
Hukum merek bisa menjadi kompleks. Pertimbangkan untuk menggunakan jasa
Konsultan Kekayaan Intelektual (Kuasa Merek) yang terdaftar di DJKI.
Mereka dapat membantu dalam proses penelusuran, pendaftaran, perpanjangan,
penanganan sengketa, dan memberikan nasihat strategis. Penggunaan Kuasa
adalah wajib bagi pemohon asing , namun juga sangat dianjurkan bagi
pemohon domestik untuk memastikan kepatuhan dan memaksimalkan peluang
keberhasilan.
XI. Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis merupakan pilar utama sistem
perlindungan merek di Indonesia saat ini. Undang-undang ini mencerminkan upaya
modernisasi dan harmonisasi dengan standar internasional, yang terlihat dari
definisi merek yang lebih luas dengan mengakomodasi tanda-tanda
non-tradisional, serta fasilitasi pendaftaran internasional melalui Protokol
Madrid.
Konsep fundamental merek
sebagai pembeda identitas barang dan jasa di pasar tetap menjadi inti, didukung
oleh fungsi-fungsi penting lainnya seperti penunjuk asal, jaminan kualitas,
alat promosi, dan aset ekonomi. Untuk memperoleh perlindungan, suatu merek
harus memenuhi syarat substantif utama, yaitu memiliki daya pembeda yang cukup
dan tidak termasuk dalam kategori alasan penolakan absolut (Pasal 20) maupun
relatif (Pasal 21), serta diajukan dengan itikad baik. Sistem 'first-to-file'
yang dianut dimoderasi secara signifikan oleh prinsip itikad baik ini.
Pemilik merek terdaftar
dianugerahi hak eksklusif yang kuat, mencakup hak untuk menggunakan sendiri,
melisensikan, dan melarang pihak lain menggunakan merek serupa tanpa izin,
serta hak untuk menempuh jalur hukum perdata maupun pidana. Namun, hak eksklusif
ini baru timbul setelah pendaftaran berhasil dan berlaku selama 10 tahun, yang
dapat diperpanjang berulang kali untuk periode 10 tahun berikutnya, dengan
syarat krusial bahwa merek tersebut masih terus digunakan secara aktif dalam
perdagangan.
Secara keseluruhan, UU MIG
menyediakan kerangka hukum yang komprehensif untuk perlindungan merek di
Indonesia. Namun, kompleksitas peraturan pelaksana dan dinamika interpretasi
hukum, terutama terkait konsep seperti 'daya pembeda' dan 'persamaan pada pokoknya',
menuntut pemahaman yang cermat dan strategi yang proaktif dari para pelaku
usaha. Pendaftaran dini, pemilihan merek yang kuat, penggunaan yang konsisten,
pemantauan aktif, penegakan hak yang tegas, dan manajemen portofolio yang baik,
idealnya dengan dukungan profesional, merupakan kunci untuk memanfaatkan merek
sebagai aset bisnis strategis yang terlindungi secara optimal dalam lanskap
hukum Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar