Senin, 14 April 2025

Kepastian Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia

Implementasi dalam Konteks Negara Hukum Pancasila

Pasca-amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia secara tegas mendeklarasikan diri sebagai negara hukum melalui Pasal 1 ayat (3). Penegasan ini memiliki implikasi fundamental bahwa seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penyelenggaraan pemerintahan, harus didasarkan pada hukum, bukan kekuasaan belaka. Konsep negara hukum Indonesia ini sering disebut sebagai "Negara Hukum Pancasila", yang menandakan adanya upaya untuk membangun sistem hukum yang tidak hanya mengadopsi prinsip-prinsip universal negara hukum (seperti supremasi hukum, persamaan di depan hukum, peradilan independen, dan perlindungan HAM), tetapi juga mendasarkannya pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.  

Dalam konteks ini, kepastian hukum sebagai salah satu pilar negara hukum diharapkan dapat diimplementasikan secara selaras dengan nilai-nilai Pancasila, terutama Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sebagaimana diutarakan oleh Jimly Asshiddiqie, Negara Hukum Pancasila idealnya merupakan sintesis yang menyeimbangkan antara penekanan pada kepastian hukum (yang sering diasosiasikan dengan tradisi Rechtsstaat) dan penekanan pada keadilan (yang sering diasosiasikan dengan tradisi Rule of Law). Hukum tidak hanya diharapkan pasti secara formal, tetapi juga adil secara substantif dan membawa kemanfaatan bagi kesejahteraan rakyat.  

Namun, upaya mewujudkan idealisme Negara Hukum Pancasila ini dalam praktik menghadapi tantangan besar. Seringkali terjadi jurang antara retorika normatif dengan realitas empiris. Di satu sisi, penegakan hukum yang terlalu kaku dan formalistik atas nama kepastian hukum dapat mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa interpretasi nilai-nilai Pancasila yang bersifat abstrak dapat digunakan secara subjektif atau bahkan disalahgunakan untuk melegitimasi tindakan yang mengabaikan aturan hukum formal demi 'kepentingan yang lebih besar' atau 'stabilitas', sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Pertanyaan kritis yang muncul adalah apakah konsep Negara Hukum Pancasila benar-benar menawarkan solusi unik untuk menyeimbangkan nilai-nilai hukum, ataukah ia justru menambah lapisan kompleksitas dan potensi ambiguitas dalam implementasi kepastian hukum di Indonesia.

Refleksi Pemikiran Pakar Hukum Indonesia

Pemikiran para pakar hukum Indonesia yang telah dibahas sebelumnya memberikan refleksi penting mengenai kondisi dan tantangan kepastian hukum di tanah air.

  • Pandangan Sudikno Mertokusumo yang menekankan pentingnya undang-undang dan jaminan pelaksanaannya mencerminkan kerinduan akan adanya aturan main yang jelas dan ditegakkan secara konsisten, sesuatu yang seringkali dirasa kurang dalam praktik.  
  • Kritik tajam Satjipto Rahardjo terhadap formalisme hukum sangat relevan dengan banyaknya kasus di mana hukum dirasa tumpul ke atas dan tajam ke bawah, serta maraknya praktik mafia peradilan yang mengorbankan keadilan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Gagasan Hukum Progresifnya, meskipun kontroversial, menyuarakan kegelisahan mendalam atas kegagalan hukum formal dalam membahagiakan manusia Indonesia.  
  • Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja, meskipun digagas dengan niat baik untuk menjadikan hukum sebagai motor perubahan, dalam praktiknya (terutama di era Orde Baru) sering dikritik karena cenderung bersifat top-down dan lebih mengutamakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi (yang seringkali diartikan sebagai kemanfaatan versi penguasa) di atas partisipasi dan keadilan sosial, yang menunjukkan potensi ketegangan antara pembangunan, kepastian (versi penguasa), dan keadilan.  
  • Upaya Jimly Asshiddiqie untuk merumuskan pilar-pilar Negara Hukum Pancasila merupakan usaha penting untuk memberikan landasan konseptual bagi sistem hukum Indonesia pasca-Reformasi, namun efektivitas implementasi prinsip-prinsip tersebut dalam praktik masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.  

Secara umum, pemikiran para pakar hukum Indonesia menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya kepastian hukum, namun sekaligus juga pengakuan atas kompleksitas pencapaiannya dan ketegangan yang sering terjadi dengan nilai keadilan dan kemanfaatan dalam konteks sosial-politik Indonesia yang dinamis.

Tantangan Praktis Penegakan Kepastian Hukum di Indonesia

Upaya mewujudkan kepastian hukum di Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan praktis yang bersifat multidimensional dan sistemik. Tantangan-tantangan ini seringkali saling terkait dan memperkuat satu sama lain, menciptakan lingkaran masalah yang sulit diputus. Beberapa tantangan utama meliputi:

  1. Kualitas Substansi Hukum: Masih banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dinilai berkualitas rendah, bersifat ambigu, tumpang tindih (overlapping) antara satu peraturan dengan peraturan lainnya, dan menimbulkan multi-interpretasi. Hal ini menyulitkan penegakan hukum yang konsisten dan prediktabel. Proses pembuatan peraturan terkadang juga dianggap kurang partisipatif dan transparan.  
  2. Inkonsistensi Penegakan dan Putusan: Salah satu keluhan paling umum adalah inkonsistensi dalam penegakan hukum dan putusan pengadilan. Kasus-kasus serupa seringkali mendapatkan perlakuan atau putusan yang berbeda, tergantung pada siapa pihak yang terlibat atau faktor-faktor non-hukum lainnya. Inkonsistensi ini merusak prediktabilitas dan rasa keadilan.  
  3. Masalah Struktural Aparat Penegak Hukum: Integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat) masih menjadi sorotan tajam. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih marak terjadi dalam sistem peradilan. Lemahnya sumber daya manusia, baik dari segi kompetensi maupun etika moral, menjadi penghambat serius bagi terwujudnya penegakan hukum yang pasti dan adil. Fenomena "mafia peradilan" dan komersialisasi hukum menunjukkan adanya masalah struktural yang mendalam.  
  4. Proses Peradilan yang Belum Efisien: Proses peradilan di Indonesia seringkali berjalan lambat, berbelit-belit, dan memakan biaya tinggi. Hal ini tidak hanya merugikan para pencari keadilan tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang berkepanjangan.  
  5. Akses terhadap Keadilan yang Tidak Merata: Masyarakat miskin, kelompok rentan, dan mereka yang berada di daerah terpencil seringkali menghadapi kesulitan dalam mengakses bantuan hukum dan sistem peradilan. Ketimpangan akses ini menciptakan ketidakadilan dan menunjukkan bahwa kepastian hukum belum dinikmati secara merata oleh seluruh warga negara.  
  6. Budaya Hukum Masyarakat: Tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat secara umum masih perlu ditingkatkan. Masih adanya sikap permisif terhadap pelanggaran hukum tertentu atau kecenderungan mencari "jalan pintas" juga turut mempengaruhi iklim penegakan hukum.  
  7. Pengaruh Eksternal: Intervensi politik atau tekanan dari kelompok kepentingan tertentu terhadap proses hukum masih menjadi masalah yang mengganggu independensi dan objektivitas penegakan hukum.  
  8. Tantangan Era Digital: Perkembangan teknologi informasi yang pesat memunculkan tantangan baru, seperti kejahatan siber yang semakin kompleks, isu perlindungan data pribadi, dan kesulitan hukum untuk mengimbangi kecepatan perubahan teknologi.  

Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa masalah kepastian hukum di Indonesia bersifat sistemik, melibatkan problem pada level substansi hukum (kualitas aturan), struktur hukum (institusi dan aparat), serta budaya hukum (nilai dan perilaku masyarakat serta aparat). Oleh karena itu, upaya perbaikan yang bersifat parsial atau tambal sulam cenderung tidak akan efektif. Diperlukan reformasi hukum yang bersifat holistik dan menyentuh ketiga aspek tersebut secara komprehensif. Lebih jauh, ketidakpastian hukum ini memiliki dampak nyata yang merugikan, seperti menghambat laju investasi , merusak kepercayaan publik terhadap negara, dan melanggengkan ketidakadilan sosial , menegaskan urgensi penyelesaiannya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...