Senin, 31 Maret 2025

Konsep Kewenangan Atribusi, Mandat, dan Delegasi dalam Hukum Administrasi Negara Indonesia: Perspektif Ahli Hukum

1. Pendahuluan

Dalam sistem hukum administrasi negara, konsep kewenangan (bevoegdheid) memegang peranan sentral sebagai landasan bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh organ-organ pemerintahan dan pejabat negara. Sebagai negara hukum (rechtsstaat), Republik Indonesia menuntut agar seluruh tindakan penyelenggara negara didasarkan pada kekuasaan yang sah, yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanpa adanya kewenangan yang jelas dan legitimate, tindakan administrasi negara dapat dianggap tidak sah dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum serta pelanggaran terhadap hak-hak warga negara. Laporan ini bertujuan untuk menyajikan analisis komprehensif mengenai tiga konsep fundamental yang berkaitan dengan perolehan dan pelaksanaan kewenangan dalam hukum administrasi negara Indonesia, yaitu kewenangan atribusi, mandat, dan delegasi. Pembahasan ini akan didasarkan pada pendapat para ahli hukum terkemuka di Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang relevan, guna memberikan pemahaman yang mendalam mengenai perbedaan, karakteristik, implikasi hukum, dan dasar hukum dari masing-masing konsep tersebut. Pemahaman yang jernih terhadap ketiga konsep ini krusial untuk memastikan kepastian hukum, akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan, dan berjalannya sistem administrasi negara yang efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum.

2. Kewenangan Atribusi (Attribution of Authority)

  • Definisi dan Penjelasan oleh Ahli Hukum:

Kewenangan atribusi merupakan konsep dasar dalam hukum administrasi negara yang merujuk pada pemberian kewenangan pemerintahan secara langsung oleh peraturan perundang-undangan kepada suatu organ atau pejabat negara pada saat pembentukan organ atau jabatan tersebut. Menurut Boli, kewenangan atribusi adalah kompetensi yang secara langsung diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang. Pandangan ini menekankan bahwa sumber utama kewenangan atribusi adalah konstitusi dan undang-undang, yang secara eksplisit mencantumkan kekuasaan yang dimiliki oleh suatu lembaga atau pejabat negara.

Contoh yang dikemukakan oleh Boli adalah kewenangan Mahkamah Agung untuk membatalkan peraturan daerah, yang secara atribusi diberikan oleh Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan atribusi bersifat orisinal dan melekat pada jabatan atau lembaga yang bersangkutan sejak awal pembentukannya.  

Philipus M. Hadjon mendefinisikan atribusi sebagai pemberian kewenangan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau undang-undang. Hadjon lebih lanjut menjelaskan bahwa kewenangan melalui atribusi memiliki beberapa ciri, yaitu diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang, merupakan kewenangan baru atau sebelumnya tidak ada, dan diberikan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan. Aspek "baru atau sebelumnya tidak ada" ini penting karena menunjukkan bahwa atribusi menciptakan kewenangan yang sebelumnya tidak dimiliki oleh organ pemerintahan mana pun dalam konteks spesifik tersebut.  

Definisi yang serupa juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyatakan bahwa atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Definisi ini mengukuhkan pandangan bahwa sumber utama kewenangan atribusi adalah pembentuk undang-undang, baik dalam arti formal (DPR bersama Presiden) maupun dalam arti materiil (UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi).  

Secara etimologis, istilah "atribusi" berasal dari bahasa Latin "ad tribuere," yang berarti "memberikan kepada". Dalam konteks hukum tata negara dan hukum administrasi, konsep teknis kewenangan atribusi diartikan sebagai kewenangan yang diberikan atau ditetapkan untuk jabatan tertentu. Jabatan yang dibentuk oleh UUD memperoleh atribusi kewenangan dari UUD, seperti wewenang atribusi Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan. Begitu pula, jabatan yang dibentuk oleh undang-undang memperoleh kewenangan atribusi yang ditetapkan oleh undang-undang, contohnya adalah wewenang Gubernur dan Bupati/Walikota yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan demikian, atribusi menunjuk kepada Kewenangan Asli atas dasar ketentuan Hukum Tata Negara dan merupakan wewenang untuk membuat Keputusan (Besluit) yang langsung bersumber kepada Undang-Undang dalam arti Materiil.  

H.D van Wijk dan Willem Konijnenbelt juga mendefinisikan atribusi sebagai pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Ridwan HR menambahkan bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli dan berasal langsung dari peraturan perundang-undangan, di mana organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang memiliki kapasitas untuk menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada.

Indroharto berpendapat bahwa atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu, J.G Brouwer menyatakan bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang independen, dan kewenangan ini bersifat asli, tidak diambil dari kewenangan lain maupun merupakan perluasan kewenangan sebelumnya.  

  • Karakteristik Utama Kewenangan Atribusi:

Berdasarkan berbagai definisi dan penjelasan dari para ahli hukum, dapat disimpulkan beberapa karakteristik utama dari kewenangan atribusi. Pertama, kewenangan atribusi bersumber langsung dari peraturan perundang-undangan yang memiliki kedudukan paling tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar dan undang-undang. Kedua, atribusi menciptakan kewenangan yang baru atau yang sebelumnya tidak ada pada organ pemerintahan yang bersangkutan. Ketiga, kewenangan atribusi diberikan secara spesifik kepada badan atau pejabat pemerintahan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya. Keempat, tanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan yang diatribusikan sepenuhnya berada pada badan atau pejabat pemerintahan yang bersangkutan. Kelima, kewenangan atribusi pada umumnya tidak dapat didelegasikan kepada pihak lain, kecuali jika secara eksplisit diatur atau diperbolehkan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang. Pembatasan ini menunjukkan sifat fundamental dan orisinal dari kewenangan atribusi, di mana pembuat undang-undang telah secara khusus mempercayakan kewenangan tersebut kepada organ atau pejabat tertentu.  

  • Contoh Penerapan Kewenangan Atribusi dalam Praktik Administrasi Negara di Indonesia:

Beberapa contoh penerapan konsep kewenangan atribusi dalam praktik administrasi negara di Indonesia dapat diidentifikasi. Salah satunya adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang secara jelas diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Kewenangan ini merupakan atribusi langsung dari konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi khusus dalam menjaga konstitusionalitas norma hukum.

Contoh lain adalah kewenangan Presiden untuk membentuk peraturan pemerintah dalam rangka melaksanakan undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Meskipun dalam hal ini Presiden bertindak sebagai delegated legislator dalam arti membuat peraturan pelaksana, kewenangan untuk membuat peraturan tersebut secara atribusi diberikan oleh konstitusi.

Di tingkat daerah, kewenangan Pemerintah Daerah untuk membentuk peraturan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah juga merupakan contoh kewenangan atribusi yang diberikan oleh undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah oleh Menteri Dalam Negeri, yang sempat disinggung oleh Boli , juga diklaim bersumber dari atribusi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, meskipun legitimasi kewenangan tersebut dapat diperdebatkan.  

3. Mandat (Mandate)

  • Definisi dan Penjelasan oleh Ahli Hukum:

Konsep mandat dalam hukum administrasi negara merujuk pada suatu penugasan atau pemberian perintah dari atasan kepada bawahan dalam suatu struktur organisasi pemerintahan untuk melaksanakan suatu tindakan atau mengambil keputusan atas nama dan untuk kepentingan pemberi mandat. Dalam konteks mandat, tidak terjadi pelimpahan kewenangan yang sesungguhnya, melainkan penerima mandat bertindak sebagai perpanjangan tangan atau representasi dari pemberi mandat. Philipus M. Hadjon menjelaskan bahwa mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mendefinisikan mandat sebagai pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.  

Menurut Ridwan HR, mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Ia juga menekankan bahwa dalam mandat, penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat, dan tanggung jawab akhir atas keputusan yang diambil tetap berada pada pemberi mandat. Indroharto mengemukakan bahwa pada mandat tidak terjadi pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang satu kepada yang lain. Bagir Manan menyatakan bahwa mandat diartikan sebagai suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan yang bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama (a/n) pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat.  

Karakteristik penting dari mandat adalah bahwa meskipun tindakan secara faktual dilakukan oleh penerima mandat, secara yuridis tindakan tersebut dianggap dilakukan oleh pemberi mandat, sehingga segala implikasi hukum yang timbul dibebankan kepada pemberi mandat. Prosedur penyerahan kewenangan dalam mandat bersifat rutin, terutama dalam hubungan atasan dan bawahan, kecuali jika dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Pemberi mandat setiap saat dapat menggunakan sendiri kewenangan yang telah dimandatkan.  

  • Karakteristik Utama Mandat:

Beberapa karakteristik utama dari konsep mandat dapat diidentifikasi. Pertama, mandat merupakan penugasan atau perintah untuk melaksanakan suatu tugas atau mengambil keputusan atas nama pemberi mandat. Kedua, hubungan dalam mandat umumnya terjadi dalam konteks hierarki organisasi pemerintahan, yaitu antara atasan dan bawahan, dan seringkali bersifat rutin. Ketiga, tanggung jawab dan tanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh penerima mandat tetap berada pada pemberi mandat. Keempat, mandat tidak memerlukan dasar peraturan perundang-undangan yang formal dan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Kelima, pemberi mandat memiliki hak untuk sewaktu-waktu menggunakan sendiri kewenangan yang telah dimandatkan. Keenam, penerima mandat dalam bertindak harus menyebutkan bahwa ia bertindak atas nama pemberi mandat, yang biasanya ditunjukkan dengan penggunaan singkatan "a.n." (atas nama), "u.b." (untuk beliau), atau "a.p." (atas perintah) dalam tata naskah dinas.  

  • Contoh Penerapan Mandat dalam Praktik Administrasi Negara di Indonesia:

Dalam praktik administrasi negara di Indonesia, contoh penerapan konsep mandat sangat umum ditemukan dalam kegiatan sehari-hari. Misalnya, seorang Menteri memberikan mandat kepada seorang Kepala Biro untuk menandatangani surat keputusan tertentu atas nama Menteri ("a.n. Menteri"). Dalam hal ini, Kepala Biro bertindak berdasarkan perintah dan kewenangan yang diberikan oleh Menteri, dan tanggung jawab hukum atas surat keputusan tersebut tetap berada pada Menteri sebagai pemberi mandat.

Contoh lain adalah penggunaan nota dinas atau surat perintah dari atasan kepada bawahan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu, di mana bawahan bertindak atas perintah dan nama atasan. Penggunaan singkatan "u.b." (untuk beliau) juga menunjukkan adanya mandat, di mana pejabat setingkat di bawah pimpinan menandatangani surat atas nama pimpinan yang berhalangan. Kepala Seksi yang menandatangani surat atas nama Kepala Bidang juga merupakan contoh pelaksanaan mandat.  

4. Delegasi Kewenangan (Delegation of Authority)

  • Definisi dan Penjelasan oleh Ahli Hukum:

Delegasi kewenangan, atau pelimpahan wewenang, adalah pengalihan kewenangan pemerintahan dari suatu organ atau pejabat negara yang telah memiliki kewenangan tersebut (delegator atau delegans) kepada organ atau pejabat negara lain (delegatee atau delegataris). Berbeda dengan mandat, dalam delegasi terjadi pemindahan kewenangan yang sesungguhnya, di mana delegatee bertindak atas nama dan tanggung jawabnya sendiri dalam batas-batas kewenangan yang telah dilimpahkan.

Menurut Boli, kompetensi delegasi adalah pengalihan dari orang atau lembaga yang telah memiliki atribusi kepada lembaga lain. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mendefinisikan delegasi sebagai pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.  

Ridwan HR menjelaskan bahwa delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, dan dalam delegasi tidak ada penciptaan wewenang baru, melainkan hanya pelimpahan wewenang yang sudah ada dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis dalam delegasi beralih dari pemberi delegasi kepada penerima delegasi. Indroharto menyatakan bahwa delegasi adalah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya.  

Syarat penting dalam delegasi adalah bahwa delegator harus terlebih dahulu memiliki kewenangan yang akan didelegasikan melalui atribusi. Tanpa adanya atribusi, tidak mungkin terjadi delegasi. Beberapa ahli hukum juga menekankan bahwa delegasi harus bersifat definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan. Selain itu, delegasi harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang memungkinkan adanya pelimpahan kewenangan. Meskipun terdapat perbedaan pendapat, beberapa ahli menyatakan bahwa delegasi tidak diperkenankan dalam hubungan hierarki kepegawaian yang ketat (tidak kepada bawahan) , namun UU No. 30/2014 secara eksplisit menyebutkan pelimpahan dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penerima delegasi (delegataris) memiliki kewajiban untuk memberikan keterangan atau penjelasan mengenai pelaksanaan wewenang yang didelegasikan kepada pemberi delegasi (delegans). Pemberi delegasi juga dapat memberikan instruksi atau petunjuk mengenai penggunaan wewenang yang didelegasikan.  

  • Karakteristik Utama Delegasi Kewenangan:

Beberapa karakteristik utama dari delegasi kewenangan adalah sebagai berikut: Pertama, delegasi merupakan pelimpahan kewenangan yang sudah ada, yang sebelumnya diperoleh melalui atribusi. Kedua, tanggung jawab dan tanggung gugat atas pelaksanaan kewenangan yang didelegasikan beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi (delegataris). Ketiga, delegasi umumnya harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit memperbolehkan adanya pelimpahan kewenangan tersebut. Keempat, setelah terjadi delegasi, pemberi delegasi (delegans) pada umumnya tidak dapat lagi menggunakan sendiri kewenangan yang telah dilimpahkan, kecuali dalam kondisi tertentu seperti pencabutan delegasi berdasarkan asas contrarius actus. Kelima, delegasi harus bersifat definitif dan tidak bersifat insidental. Keenam, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, delegasi terjadi dari badan/pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.  

  • Contoh Penerapan Delegasi Kewenangan dalam Praktik Administrasi Negara di Indonesia:

Contoh penerapan delegasi kewenangan dalam praktik administrasi negara di Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai bidang. Misalnya, Presiden dapat mendelegasikan kewenangan untuk menerbitkan peraturan pelaksanaan undang-undang tertentu kepada Menteri terkait. Dalam hal ini, Menteri bertindak atas nama dan tanggung jawabnya sendiri dalam menerbitkan peraturan tersebut, sesuai dengan kewenangan yang telah dilimpahkan oleh Presiden.

Contoh lain adalah Gubernur yang mendelegasikan kewenangan untuk memberikan izin tertentu kepada Kepala Dinas di tingkat provinsi, berdasarkan peraturan daerah atau peraturan gubernur yang relevan. Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota oleh Gubernur di ibu kota provinsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juga merupakan contoh delegasi kewenangan. Dalam konteks ini, Gubernur, yang memiliki kewenangan atribusi terkait pemerintahan daerah, mendelegasikan sebagian kewenangannya dalam hal pelantikan kepada kepala daerah terpilih.  

5. Perbedaan Mendasar Antara Kewenangan Atribusi, Mandat, dan Delegasi

Perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi, mandat, dan delegasi terletak pada beberapa aspek kunci, termasuk sumber kewenangan, mekanisme transfer kewenangan, dan tanggung jawab yang melekat pada pelaksanaan kewenangan tersebut.  

Fitur

Kewenangan Atribusi

Mandat

Delegasi Kewenangan

Sumber Kewenangan

Undang-Undang Dasar atau undang-undang (orisinal)

Pemberi mandat (atasan dalam hierarki)

Badan/pejabat yang memiliki kewenangan atribusi (transfer)

Transfer Kewenangan

Pemberian kewenangan baru

Penugasan untuk bertindak atas nama pemberi mandat

Pelimpahan kewenangan yang sudah ada

Tanggung Jawab

Penerima atribusi

Tetap pada pemberi mandat

Beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi

Dasar Hukum

Umumnya diperlukan (konstitusi atau undang-undang)

Tidak selalu memerlukan dasar hukum formal (seringkali rutin)

Umumnya diperlukan (undang-undang atau peraturan di bawahnya)

Hubungan

Pembentukan kewenangan asli

Hubungan atasan-bawahan

Hubungan antara dua badan/pejabat pemerintahan (seringkali hierarkis)

Kemampuan Mendelegasikan Lebih Lanjut

Umumnya tidak dapat didelegasikan kecuali diizinkan oleh undang-undang

Tidak dapat dimandatkan lebih lanjut

Berpotensi dapat didelegasikan lebih lanjut jika diizinkan peraturan

Pemberi Dapat Bertindak?

Ya, badan/pejabat yang diatribusikan kewenangannya

Ya, pemberi mandat masih dapat menggunakan kewenangan tersebut

Umumnya tidak, kecuali setelah pencabutan berdasarkan asas contrarius actus

Kewenangan atribusi merupakan sumber kewenangan yang paling utama dan orisinal, yang secara langsung diberikan oleh pembentuk undang-undang. Mandat, di sisi lain, adalah penugasan dalam konteks hubungan hierarki, di mana tidak terjadi transfer kewenangan yang sebenarnya, dan tanggung jawab tetap berada pada pemberi mandat. Delegasi kewenangan melibatkan transfer kewenangan yang sudah ada dari suatu badan atau pejabat kepada badan atau pejabat lain, dengan konsekuensi beralihnya tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima delegasi.

6. Analisis Perbandingan dan Kontras oleh Ahli Hukum

Beberapa ahli hukum secara eksplisit telah melakukan perbandingan dan kontras antara konsep mandat dan delegasi. Philipus M. Hadjon dalam tabel perbandingannya menunjukkan perbedaan mendasar antara keduanya dalam hal prosedur pelimpahan, tanggung jawab dan tanggung gugat, serta kemungkinan pemberi menggunakan wewenang lagi.

Dalam mandat, prosedur pelimpahan biasanya terjadi dalam hubungan rutin atasan-bawahan dan merupakan hal biasa kecuali dilarang tegas, sedangkan dalam delegasi, pelimpahan terjadi dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tanggung jawab dan tanggung gugat dalam mandat tetap berada pada pemberi mandat, sementara dalam delegasi beralih kepada penerima delegasi. Selain itu, pemberi mandat setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah dimandatkan, sedangkan pemberi delegasi tidak dapat lagi menggunakan wewenang yang didelegasikan kecuali setelah ada pencabutan berdasarkan asas contrarius actus.  

Sebuah artikel hukum juga memberikan perbandingan mendetail antara atribusi, delegasi, dan mandat, menyoroti perbedaan dalam pengertian, sumber wewenang, sifat wewenang, tanggung jawab, dan hubungan yang terlibat. Atribusi menciptakan wewenang baru langsung dari undang-undang, delegasi memindahkan wewenang yang sudah ada beserta tanggung jawabnya, sedangkan mandat hanya memberikan kuasa kepada bawahan untuk bertindak atas nama dan tanggung jawab atasan tanpa adanya pemindahan wewenang yang sesungguhnya.  

Lebih lanjut, wewenang atribusi adalah wewenang yang langsung diberikan, wewenang delegasi adalah bentuk pelimpahan setelah wewenang atribusi dibentuk, dan wewenang mandat merupakan bentuk penugasan dalam hubungan rutin atasan dan bawahan dan bukan sebagai pelimpahan. Hal ini menekankan bahwa delegasi selalu didahului oleh atribusi, dan mandat berbeda karena tidak melibatkan pelimpahan kewenangan yang sebenarnya.  

7. Implikasi dan Konsekuensi Hukum dari Masing-Masing Konsep

  • Kewenangan Atribusi: Badan atau pejabat yang menerima kewenangan atribusi memiliki otoritas hukum penuh untuk bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh konstitusi atau undang-undang. Tindakan yang diambil berdasarkan atribusi yang sah memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun, penggunaan kewenangan atribusi dapat menjadi subjek peninjauan yudisial (judicial review) jika dianggap melampaui batas-batas hukum atau disalahgunakan.  
  • Mandat: Konsekuensi hukum utama dari mandat adalah bahwa pemberi mandat tetap bertanggung jawab secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh penerima mandat. Penerima mandat bertindak atas nama dan untuk kepentingan pemberi mandat, sehingga secara hukum, tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan pemberi mandat.  
  • Delegasi Kewenangan: Dalam hal delegasi, penerima delegasi (delegataris) memikul tanggung jawab hukum penuh atas tindakan yang diambil dalam pelaksanaan kewenangan yang didelegasikan. Pemberi delegasi (delegans) umumnya tidak lagi bertanggung jawab atas tindakan tersebut, kecuali jika terjadi penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran hukum lainnya oleh penerima delegasi. Namun, delegator memiliki hak untuk mencabut delegasi berdasarkan asas contrarius actus. Keabsahan delegasi itu sendiri dapat dipersoalkan secara hukum jika tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau jika melampaui batas kewenangan atribusi yang dimiliki oleh delegator.  

8. Dasar Hukum yang Relevan di Indonesia

Beberapa dasar hukum yang relevan di Indonesia mendasari konsep kewenangan atribusi, mandat, dan delegasi menurut interpretasi para ahli hukum:

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945): Sebagai konstitusi negara, UUD 1945 merupakan sumber utama kewenangan atribusi bagi berbagai lembaga negara dan pejabat tinggi negara, seperti Presiden, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Pembagian kekuasaan antar cabang pemerintahan dan pembentukan lembaga-lembaga negara dalam UUD 1945 secara implisit dan eksplisit memberikan kewenangan atribusi kepada organ-organ tersebut.  
  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan: Undang-undang ini secara eksplisit mendefinisikan konsep atribusi, delegasi, dan mandat dalam Pasal 1 angka 22, 23, dan 24. Undang-undang ini menjadi dasar hukum penting dalam memahami dan menerapkan ketiga konsep tersebut dalam praktik administrasi negara di Indonesia.  
  • Undang-Undang Sektoral Lainnya: Berbagai undang-undang sektoral yang mengatur tentang organisasi dan fungsi lembaga-lembaga negara atau bidang-bidang pemerintahan tertentu juga mengandung ketentuan-ketentuan yang memberikan kewenangan atribusi kepada organ atau pejabat yang bersangkutan. Contohnya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan pemerintah daerah dan kepala daerah , serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (sebagaimana telah diubah) yang mengatur kewenangan peradilan tata usaha negara.  
  • Peraturan Perundang-undangan di Bawah Undang-Undang: Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya di tingkat bawah seringkali menjadi dasar hukum untuk delegasi kewenangan. Peraturan-peraturan ini dapat secara spesifik mengatur bagaimana dan kepada siapa suatu kewenangan yang telah diatribusikan dapat didelegasikan.  

9. Kesimpulan

Kewenangan atribusi, mandat, dan delegasi merupakan tiga konsep fundamental dalam hukum administrasi negara Indonesia yang menjelaskan bagaimana organ-organ pemerintahan dan pejabat negara memperoleh dan melaksanakan kekuasaan mereka. Kewenangan atribusi adalah pemberian kewenangan yang orisinal dan langsung dari konstitusi atau undang-undang kepada suatu badan atau pejabat negara. Mandat adalah penugasan dari atasan kepada bawahan untuk bertindak atas nama dan tanggung jawab atasan. Delegasi kewenangan adalah pelimpahan kewenangan yang sudah ada dari suatu badan atau pejabat kepada badan atau pejabat lain, dengan konsekuensi beralihnya tanggung jawab kepada penerima delegasi.

Perbedaan utama di antara ketiga konsep ini terletak pada sumber kewenangan, mekanisme transfer kewenangan, dan alokasi tanggung jawab. Pemahaman yang akurat mengenai perbedaan ini sangat penting untuk memastikan legalitas setiap tindakan administrasi negara dan untuk menetapkan pertanggungjawaban yang tepat. Dengan memahami sumber dan jenis kewenangan yang digunakan dalam setiap tindakan pemerintahan, diharapkan tercipta kepastian hukum dan penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum yang dianut oleh Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...