1. Pendahuluan
Tulisan ini bertujuan
menyajikan analisis komprehensif mengenai kerangka hukum yang mengatur praktik
gadai di Indonesia. Pembahasan mencakup ketentuan dasar dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta peraturan spesifik yang
diberlakukan bagi usaha pergadaian formal, khususnya yang diterbitkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ruang lingkup analisis terbatas pada hukum
positif Indonesia yang relevan dengan transaksi gadai.
Gadai memegang peranan penting
dalam lanskap keuangan Indonesia, berfungsi sebagai mekanisme untuk memperoleh
dana secara cepat bagi masyarakat, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM). Praktik ini telah berlangsung lama, baik melalui lembaga formal yang
teregulasi maupun transaksi informal antarindividu. Keberadaannya menawarkan
alternatif pembiayaan dengan jaminan barang bergerak.
Kerangka hukum gadai di
Indonesia bersumber dari dua pilar utama. Pertama, KUHPerdata menyediakan
landasan hukum umum mengenai hak gadai sebagai bagian dari hukum kebendaan.
Kedua, untuk entitas usaha pergadaian formal, OJK menerbitkan peraturan
khusus yang mengatur pendirian, operasional, pengawasan, dan perlindungan
konsumen. Peraturan OJK terbaru yang menjadi acuan utama adalah Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39 Tahun 2024 tentang Pergadaian (POJK 39/2024).
Selain itu, perlu dicatat pula eksistensi gadai berbasis syariah (Rahn)
yang memiliki prinsip dan aturan tersendiri, meskipun juga diakomodasi dalam
kerangka regulasi OJK bagi lembaga formal.
Tulisan ini akan mengupas
secara sistematis berbagai aspek hukum gadai, dimulai dari definisi dan dasar
hukum dalam KUHPerdata, dilanjutkan dengan regulasi OJK untuk usaha formal, hak
dan kewajiban para pihak, proses transaksi, objek gadai, prosedur penanganan
wanprestasi, perbandingan antara gadai formal dan informal, hingga aspek
perlindungan konsumen dan isu-isu hukum terkini yang relevan.
2. Definisi dan Dasar Hukum
Gadai Menurut KUHPerdata
Definisi Inti (Pasal 1150
KUHPerdata)
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) mendefinisikan gadai (dalam Bahasa Belanda disebut pand)
secara fundamental dalam Pasal 1150. Menurut pasal ini, gadai adalah “suatu
hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh orang lain atas namanya,
dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang
berpiutang lainnya; terkecuali biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya mana harus didahulukan”.
Dari definisi ini, dapat
diidentifikasi unsur-unsur esensial dari gadai menurut KUHPerdata:
- Merupakan suatu hak yang diperoleh
kreditur (penerima gadai).
- Objeknya adalah barang bergerak
(baik berwujud maupun tidak berwujud).
- Terjadi penyerahan kekuasaan atas
barang bergerak tersebut dari debitur (pemberi gadai) atau pihak ketiga
atas nama debitur kepada kreditur. Penyerahan ini harus mengakibatkan
barang keluar dari kekuasaan pemberi gadai.
- Penyerahan dilakukan sebagai jaminan
pelunasan suatu utang (perjanjian pokok).
- Memberikan kekuasaan kepada kreditur
untuk mengambil pelunasan dari barang jaminan jika debitur
wanprestasi, melalui penjualan.
- Memberikan hak didahulukan (preferensi)
kepada kreditur pemegang gadai atas kreditur-kreditur lain (kecuali biaya
lelang dan penyelamatan barang).
Dasar Hukum (KUHPerdata)
Ketentuan pokok mengenai gadai
dalam hukum perdata Indonesia diatur dalam Buku II Bab XX KUHPerdata, yang
mencakup Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160. Pasal-pasal ini mengatur
definisi, sifat, cara terjadinya, hak dan kewajiban para pihak, serta hapusnya
hak gadai.
Mengenai pembuktian perjanjian
gadai itu sendiri, Pasal 1151 KUHPerdata menyatakan bahwa persetujuan gadai
dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan
pokoknya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak mensyaratkan formalitas khusus
untuk perjanjian gadainya, berbeda dengan keharusan penyerahan fisik
barang untuk terciptanya hak gadai itu sendiri.
Sifat dan Karakteristik Gadai
Menurut KUHPerdata
Berdasarkan ketentuan
KUHPerdata, hak gadai memiliki sifat dan karakteristik sebagai berikut:
- Accessoir (Hak Ikutan/Tambahan):
Hak gadai bersifat accessoir, artinya keberadaannya mutlak
bergantung pada adanya perjanjian pokok yang dijaminnya, yaitu perjanjian
utang-piutang. Jika utang pokok lunas atau hapus karena sebab lain, maka
hak gadai secara otomatis ikut hapus. Gadai tidak dapat berdiri sendiri
tanpa adanya utang yang dijamin.
- Inbezitstelling (Penyerahan
Kekuasaan/Penguasaan): Syarat mutlak untuk lahirnya hak
gadai adalah barang yang digadaikan harus keluar dari kekuasaan pemberi
gadai (debitur) dan berada dalam kekuasaan penerima gadai (kreditur) atau
pihak ketiga yang disepakati bersama. Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata secara
tegas menyatakan bahwa hak gadai menjadi batal apabila barang gadai lepas
dari kekuasaan pemegang gadai dan kembali ke tangan pemberi gadai.
Karakteristik ini menjadikan gadai sebagai jaminan yang bersifat possessory.
- Droit de Préférence (Hak Didahulukan):
Kreditur pemegang gadai memiliki hak istimewa untuk mendapatkan
pelunasan piutangnya terlebih dahulu dari hasil penjualan barang gadai
dibandingkan dengan kreditur-kreditur konkuren (tidak dijamin) lainnya.
Hak preferensi ini ditegaskan dalam Pasal 1133 jo. Pasal 1150 KUHPerdata.
- Ondeelbaar (Tidak Dapat Dibagi-bagi):
Hak gadai membebani seluruh barang jaminan secara utuh dan setiap bagian
daripadanya untuk menjamin seluruh utang hingga lunas. Pembayaran sebagian
utang tidak secara proporsional membebaskan sebagian barang jaminan. Hal
ini diatur dalam Pasal 1160 KUHPerdata.
- Hak Kebendaan (Zakelijk Recht):
Gadai merupakan hak kebendaan, yaitu hak yang memberikan kekuasaan
langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Hak
ini melekat pada bendanya, bukan pada orangnya.
- Hak Terbatas (Jura in re Aliena):
Hak pemegang gadai atas barang jaminan bersifat terbatas, yaitu hanya
sebatas untuk menjamin pelunasan utang. Pemegang gadai tidak berhak
untuk menggunakan, menikmati hasil, atau memindahtangankan barang gadai,
kecuali jika diperjanjikan lain atau untuk tujuan eksekusi. Kedudukan
pemegang gadai adalah sebagai pemegang (houder), bukan pemilik (bezitter).
Penting untuk dipahami bahwa
KUHPerdata menetapkan gadai sebagai hak jaminan atas barang bergerak yang
sangat bergantung pada penguasaan fisik atas barang tersebut oleh kreditur. Ini
berbeda secara fundamental dengan mekanisme jaminan non-posesori seperti
fidusia, di mana debitur tetap menguasai barang jaminan. Keharusan
penguasaan fisik ini memberikan kreditur pemegang gadai akses langsung
terhadap jaminan dan prioritas pelunasan yang kuat. Namun, hal ini juga
membatasi jenis aset bergerak yang praktis untuk digadaikan secara tradisional,
misalnya inventaris usaha atau mesin produksi yang esensial bagi operasional
debitur, dan mengharuskan lembaga gadai memiliki fasilitas penyimpanan yang
aman.
Selain itu, meskipun Pasal
1151 KUHPerdata memberikan fleksibilitas dalam pembuktian perjanjian
gadai, lahirnya hak gadai itu sendiri secara hukum terikat pada tindakan
fisik penyerahan penguasaan barang (Pasal 1150 dan 1152 ayat 2). Artinya, tanpa
adanya penyerahan penguasaan yang efektif dan berkelanjutan oleh kreditur (atau
pihak ketiga yang ditunjuk), hak kebendaan gadai yang memberikan preferensi
tidak akan timbul atau dapat gugur, sekalipun terdapat perjanjian tertulis.
Fokus hukum dalam hal ini adalah pada fakta penguasaan barang jaminan.
3. Peraturan Khusus Usaha
Pergadaian Formal (OJK)
Usaha pergadaian yang
dijalankan secara formal oleh badan usaha di Indonesia tunduk pada pengaturan
dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kewenangan OJK ini berasal
dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
yang memberikan mandat kepada OJK untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa
keuangan, termasuk lembaga keuangan non-bank seperti perusahaan pergadaian.
Peraturan Utama (POJK 39/2024)
Regulasi utama yang saat ini
berlaku dan menjadi pedoman bagi penyelenggaraan usaha pergadaian formal adalah
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39 Tahun 2024 tentang Pergadaian
(POJK 39/2024). Peraturan ini secara resmi mencabut dan menggantikan
peraturan sebelumnya, yaitu POJK Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha
Pergadaian. Meskipun POJK 31/2016 merupakan langkah awal OJK dalam menata
industri pergadaian swasta pasca era kolonial dan memberikan landasan bagi
perizinan serta operasional, analisis hukum terkini harus berfokus pada
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam POJK 39/2024.
Definisi Usaha Pergadaian
(Menurut OJK)
Dalam kerangka regulasi OJK
(seperti yang tercantum dalam POJK 31/2016 dan kemungkinan besar dilanjutkan
dalam POJK 39/2024), Usaha Pergadaian didefinisikan sebagai segala usaha
menyangkut pemberian pinjaman dengan jaminan barang bergerak, jasa titipan
barang berharga, jasa taksiran, dan/atau jasa lainnya, termasuk yang
diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah. POJK 39/2024 secara eksplisit
membedakan antara Perusahaan Pergadaian (yang menjalankan usaha secara
konvensional) dan Perusahaan Pergadaian Syariah (yang seluruh
kegiatannya berdasarkan prinsip syariah).
Persyaratan Regulasi Utama
berdasarkan POJK 39/2024
POJK 39/2024 menetapkan
serangkaian persyaratan ketat bagi Perusahaan Pergadaian formal, antara lain:
- Perizinan (Licensing):
Setiap entitas yang ingin menjalankan usaha pergadaian wajib memperoleh
izin usaha dari OJK sebelum beroperasi. Proses ini melibatkan pengajuan
permohonan yang dilengkapi dokumen persyaratan, diikuti penilaian dan
keputusan persetujuan atau penolakan oleh OJK dalam jangka waktu tertentu.
- Bentuk Badan Hukum:
Usaha pergadaian formal harus berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas
(PT) atau Koperasi.
- Permodalan (Capital Requirements):
POJK 39/2024 menetapkan persyaratan modal disetor minimum saat pendirian
yang besarannya bervariasi tergantung lingkup wilayah usaha
(kabupaten/kota, provinsi, atau nasional). Sebagai contoh, modal
disetor minimum untuk lingkup kabupaten/kota adalah Rp 2 miliar, provinsi
Rp 8 miliar, dan nasional Rp 100 miliar. Selain itu, peraturan baru
ini juga memperkenalkan kewajiban pemenuhan ekuitas minimum selama
perusahaan beroperasi, yang juga didasarkan pada lingkup wilayah
(misalnya, Rp 1 miliar untuk kabupaten/kota, Rp 4 miliar untuk provinsi,
Rp 50 miliar untuk nasional). Perusahaan juga wajib menjaga rasio ekuitas
terhadap modal disetor minimal 50%.
- Kepemilikan (Ownership):
Terdapat pengaturan mengenai kewajiban memiliki Pemegang Saham Pengendali
(PSP), termasuk uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Batasan kepemilikan asing juga diatur (meskipun detail spesifik untuk
gadai perlu diverifikasi langsung di POJK 39/2024, POJK terkait fintech
lending menyebutkan batas 85% ).
- Manajemen dan Tata Kelola (Management
& Governance): Adanya persyaratan terkait susunan
Direksi dan Dewan Komisaris, kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah
(DPS) bagi usaha syariah, penerapan manajemen risiko yang komprehensif,
dan praktik tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance -
GCG).
- Operasional (Operational Requirements):
Kewajiban untuk mempekerjakan penaksir yang memiliki sertifikasi
kompetensi di bidang penaksiran , menyediakan tempat penyimpanan barang
jaminan yang aman dan memenuhi syarat , mengasuransikan barang jaminan
gadai dan barang titipan , menerbitkan Surat Bukti Gadai (SBG) yang
terstandarisasi , memberikan informasi yang jelas dan transparan mengenai
suku bunga, biaya administrasi, dan jam operasional kepada nasabah ,
menetapkan batas nilai pinjaman terhadap nilai taksiran (Loan-to-Value
ratio) , serta memiliki prosedur baku untuk penanganan wanprestasi dan
pelaksanaan lelang.
- Pelaporan (Reporting):
Kewajiban untuk menyampaikan laporan berkala kepada OJK, termasuk
laporan bulanan dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik terdaftar di OJK (terutama bagi perusahaan dengan skala
usaha provinsi/nasional atau ekuitas tertentu).
- Perlindungan Konsumen (Consumer
Protection): Keharusan untuk memiliki dan melaksanakan
mekanisme penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa nasabah.
Surat Edaran OJK (SEOJK)
Terkait
Perlu dicatat bahwa OJK
seringkali menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) sebagai peraturan pelaksana
dari POJK. SEOJK ini memberikan panduan teknis yang lebih rinci mengenai
implementasi ketentuan dalam POJK. Contohnya adalah SEOJK 51/2017 yang mengatur
detail pendaftaran dan perizinan terkait POJK 31/2016, dan SEOJK 5/2019
mengenai format dan tata cara pelaporan berkala. Kemungkinan besar, OJK akan
atau telah menerbitkan SEOJK baru untuk mendukung implementasi POJK 39/2024.
Peralihan dari POJK 31/2016 ke
POJK 39/2024 menandakan adanya pematangan dalam pengaturan industri pergadaian
oleh OJK. Fokus regulasi baru ini tampak pada penguatan fondasi industri
melalui peningkatan standar permodalan (baik modal disetor awal maupun
ekuitas minimum berkelanjutan), pengetatan tata kelola (termasuk peran PSP),
peningkatan manajemen risiko, serta profesionalisasi sumber daya manusia
(seperti kewajiban penaksir bersertifikat).
Langkah-langkah ini sejalan
dengan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan
Sektor Keuangan (UU P2SK) yang bertujuan memperkuat seluruh sektor jasa
keuangan di Indonesia. Jika POJK 31/2016 adalah langkah awal formalisasi sektor
ini, maka POJK 39/2024 bertujuan untuk meningkatkan standar dan ketahanannya.
Konsekuensinya, perusahaan pergadaian formal menghadapi beban kepatuhan yang
lebih tinggi, namun berpotensi memperoleh kepercayaan publik yang lebih
besar dan stabilitas operasional yang lebih baik. Pemain skala kecil
mungkin menghadapi tantangan dalam memenuhi persyaratan modal dan operasional
yang meningkat, yang berpotensi mendorong konsolidasi industri atau, jika tidak
dikelola dengan baik, mendorong sebagian pelaku ke sektor informal/ilegal.
Selain itu, kerangka regulasi
OJK secara eksplisit mengakui dan mengatur baik usaha pergadaian konvensional
maupun yang berdasarkan prinsip syariah (Rahn) dalam sektor formal. Hal ini
terlihat dari definisi usaha pergadaian itu sendiri, adanya persyaratan khusus
seperti kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) bagi entitas syariah,
serta dimungkinkannya konversi dari konvensional ke syariah atau pembentukan
Unit Usaha Syariah (UUS). Pengaturan dualistik ini mencerminkan upaya OJK untuk
mengakomodasi kebutuhan pasar yang beragam di Indonesia, termasuk permintaan
yang signifikan terhadap produk keuangan syariah. Entitas syariah,
bagaimanapun, menghadapi tantangan kepatuhan ganda: mematuhi regulasi OJK
sekaligus memastikan kesesuaian dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana
diawasi oleh DPS dan fatwa yang relevan.
4. Hak dan Kewajiban Para
Pihak dalam Transaksi Gadai
Transaksi gadai, baik yang
diatur secara umum oleh KUHPerdata maupun secara khusus oleh OJK bagi lembaga
formal, melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak: penerima gadai
(kreditur/pawnee) dan pemberi gadai (debitur/pawner).
Penerima Gadai
(Kreditur/Pawnee)
- Hak (Rights):
- Hak Retensi:
Berhak menahan barang jaminan (gadai) sampai seluruh utang (pokok, bunga,
dan biaya-biaya terkait, termasuk biaya penyelamatan barang gadai)
dilunasi sepenuhnya oleh pemberi gadai. Hak ini diatur dalam Pasal 1159
ayat (1) KUHPerdata.
- Hak Preferensi (Droit de Préférence):
Berhak didahulukan pelunasannya dari hasil penjualan barang gadai
dibandingkan kreditur lain yang tidak memiliki jaminan kebendaan
(kreditur konkuren), sebagaimana diatur dalam Pasal 1150 KUHPerdata.
- Hak Eksekusi:
Jika pemberi gadai wanprestasi, penerima gadai berhak menjual barang
gadai untuk melunasi piutangnya. Eksekusi dapat dilakukan melalui
penjualan di muka umum (lelang) atas kekuasaan sendiri (parate
executie) sesuai Pasal 1155 KUHPerdata, atau melalui
perantaraan/penetapan hakim sesuai Pasal 1156 KUHPerdata.
- Hak atas Penggantian Biaya:
Berhak menuntut penggantian biaya-biaya yang perlu dan berguna yang telah
dikeluarkan untuk pemeliharaan atau penyelamatan barang gadai (Pasal 1157
ayat (2) KUHPerdata). Penerima gadai juga berhak menahan barang gadai
sampai biaya ini dibayar.
- Hak atas Bunga/Hasil Piutang Gadai:
Jika objek gadai adalah piutang yang menghasilkan bunga atau hasil,
penerima gadai berhak menerimanya dan memperhitungkannya dengan utang
pemberi gadai (Pasal 1158 KUHPerdata).
- Kewajiban (Obligations):
- Kewajiban Menjaga Barang Gadai (Duty of
Care): Bertanggung jawab atas hilangnya atau
merosotnya nilai barang gadai yang disebabkan oleh kelalaiannya (Pasal
1157 ayat (1) KUHPerdata). Ia wajib merawat barang gadai sebagaimana
layaknya seorang bapak rumah tangga yang baik.
- Larangan Menyalahgunakan Barang Gadai:
Tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan barang gadai untuk kepentingan
sendiri, kecuali diizinkan (Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata).
- Kewajiban Memberi Tahu Sebelum Lelang:
Wajib memberitahukan maksud penjualan barang gadai kepada pemberi gadai
jika terjadi wanprestasi (Pasal 1156 ayat (3) KUHPerdata). Namun, dalam
praktik gadai formal, ketentuan ini seringkali diatur lebih lanjut dalam
Surat Bukti Gadai (SBG) atau peraturan OJK.
- Kewajiban Memberikan Perhitungan dan
Mengembalikan Kelebihan Hasil Lelang: Setelah barang
gadai terjual, penerima gadai wajib memberikan perhitungan hasil
penjualan kepada pemberi gadai dan mengembalikan sisa uang (kelebihan)
setelah dikurangi jumlah utang, bunga, dan biaya-biaya terkait.
- Kewajiban Mengembalikan Barang Gadai:
Wajib mengembalikan barang gadai kepada pemberi gadai segera setelah
seluruh utang (pokok, bunga, biaya) dilunasi (Pasal 1159 ayat (1)
KUHPerdata).
- Kewajiban Tambahan bagi Lembaga Formal
(OJK): Perusahaan pergadaian yang berizin OJK
memiliki kewajiban tambahan yang lebih spesifik, seperti menggunakan
penaksir bersertifikat, mengasuransikan barang jaminan, menerbitkan SBG
standar, memberikan informasi yang transparan mengenai biaya dan bunga, serta
menyediakan mekanisme penanganan pengaduan nasabah.
Pemberi Gadai (Debitur/Pawner)
- Hak (Rights):
- Hak Menerima Kembali Barang Gadai:
Berhak menerima kembali barang yang digadaikan dalam keadaan semula
(dengan uwzględnieniem normalnego zużycia) setelah melunasi seluruh
kewajibannya.
- Hak atas Kelebihan Hasil Lelang:
Berhak menerima sisa uang dari hasil penjualan (lelang) barang gadai
setelah dikurangi seluruh utang, bunga, dan biaya terkait.
- Hak Menuntut Pengembalian Jika Barang
Disalahgunakan: Berhak menuntut pengembalian barang
gadai jika penerima gadai menyalahgunakannya (Pasal 1159 ayat (1)
KUHPerdata).
- Hak atas Perawatan Barang Gadai:
Berhak agar barang gadainya dirawat dengan baik oleh penerima gadai.
- Hak Tambahan dalam Gadai Formal (OJK):
Berhak atas penilaian yang wajar oleh penaksir bersertifikat, informasi
yang jelas dan transparan mengenai transaksi, serta akses ke mekanisme
penyelesaian pengaduan yang disediakan oleh perusahaan pergadaian dan
OJK.
- Kewajiban (Obligations):
- Kewajiban Membayar Utang:
Kewajiban utama adalah melunasi utang pokok beserta bunga dan biaya-biaya
lainnya sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan.
- Kewajiban Menyerahkan Barang Gadai:
Wajib menyerahkan barang bergerak yang dijadikan jaminan ke dalam
kekuasaan penerima gadai atau pihak ketiga yang ditunjuk.
- Kewajiban Mengganti Biaya Perawatan:
Wajib mengganti biaya-biaya yang perlu dan berguna yang dikeluarkan oleh
penerima gadai untuk menyelamatkan atau memelihara barang gadai (Pasal
1157 ayat (2) KUHPerdata).
- Kewajiban Memberikan Dokumen Kepemilikan:
Terutama dalam gadai formal, pemberi gadai wajib menyerahkan dokumen yang
membuktikan kepemilikan atas barang yang digadaikan (misalnya BPKB untuk
kendaraan).
Kerangka dasar hak dan
kewajiban dalam KUHPerdata memberikan landasan hubungan hukum antara pemberi
dan penerima gadai. Namun, regulasi OJK secara signifikan memperluas dan
memperjelas kewajiban bagi perusahaan pergadaian formal. Kewajiban tambahan
ini, seperti penggunaan penaksir bersertifikat, keharusan mengasuransikan
jaminan, standardisasi kontrak melalui SBG, transparansi penuh atas biaya, dan
penyediaan mekanisme penyelesaian sengketa, secara efektif menciptakan standar
pelayanan dan tingkat kehati-hatian (duty of care) yang lebih tinggi
bagi lembaga gadai formal dibandingkan dengan transaksi gadai informal yang
hanya mengandalkan ketentuan minimal KUHPerdata. Peningkatan kewajiban ini
bertujuan utama untuk melindungi konsumen dan menjaga stabilitas serta reputasi
industri pergadaian formal.
5. Proses Transaksi Gadai
Sesuai Hukum
Proses umum transaksi gadai
yang sesuai dengan kerangka hukum di Indonesia, khususnya bagi lembaga formal
yang diatur OJK, melibatkan tahapan-tahapan sebagai berikut:
- Inisiasi Transaksi:
Calon nasabah (pemberi gadai/debitur) mendatangi kantor perusahaan
pergadaian (formal) atau menemui pihak penerima gadai (informal) dengan
membawa barang bergerak yang akan dijadikan jaminan untuk mendapatkan
pinjaman dana tunai.
- Penyerahan Barang Jaminan:
Nasabah menyerahkan secara fisik barang bergerak yang akan digadaikan
kepada petugas perusahaan pergadaian. Untuk transaksi formal, penyerahan
ini biasanya disertai dengan dokumen bukti kepemilikan yang sah, seperti
BPKB dan STNK untuk kendaraan bermotor, atau sertifikat untuk emas
batangan. Penyerahan fisik ini sangat krusial karena menjadi dasar
lahirnya hak gadai (inbezitstelling).
- Penaksiran Nilai Jaminan (Valuasi):
Petugas penaksir dari perusahaan pergadaian akan memeriksa kondisi fisik
dan kualitas barang jaminan untuk menentukan nilai taksirannya. Bagi
perusahaan pergadaian formal yang tunduk pada regulasi OJK, proses
penaksiran ini wajib dilakukan oleh penaksir yang telah memiliki
sertifikasi kompetensi. Penilaian harus didasarkan pada standar dan
referensi harga pasar yang wajar. Perusahaan juga wajib memberitahukan
hasil taksiran nilai barang kepada nasabah. Proses ini bertujuan
memastikan objektivitas dan kewajaran nilai jaminan, berbeda dengan praktik
informal yang bisa sangat subjektif dan berisiko merugikan nasabah.
- Penetapan Jumlah Pinjaman:
Berdasarkan nilai taksiran barang jaminan, perusahaan pergadaian akan
menentukan jumlah maksimum pinjaman (uang pinjaman) yang dapat diberikan
kepada nasabah. Jumlah ini biasanya merupakan persentase tertentu dari
nilai taksiran (Loan-to-Value/LTV ratio), yang batasannya mungkin diatur
oleh OJK atau kebijakan internal perusahaan.
- Perjanjian Gadai dan Penerbitan Surat
Bukti Gadai (SBG): Jika nasabah setuju dengan jumlah
pinjaman dan nilai taksiran, maka dibuatlah perjanjian gadai. Untuk
lembaga formal, perjanjian ini dituangkan dalam bentuk Surat Bukti
Gadai (SBG) yang terstandarisasi. SBG ini memuat informasi penting
yang diwajibkan oleh OJK, seperti identitas para pihak, deskripsi barang
jaminan, nilai taksiran, jumlah pinjaman, suku bunga atau imbal jasa/hasil
(untuk syariah), biaya administrasi, jangka waktu pinjaman (tenor),
tanggal jatuh tempo, konsekuensi wanprestasi, dan prosedur lelang. Nasabah
akan menerima satu salinan SBG sebagai bukti transaksi. Dalam gadai
informal, perjanjian bisa lisan atau tertulis non-standar, dengan tingkat
kejelasan dan kepastian hukum yang lebih rendah.
- Pencairan Dana Pinjaman:
Setelah SBG ditandatangani oleh kedua belah pihak, perusahaan pergadaian
akan mencairkan dana pinjaman kepada nasabah, biasanya secara tunai atau
transfer bank.
- Penyimpanan Barang Jaminan:
Perusahaan pergadaian formal wajib menyimpan barang jaminan milik nasabah
di tempat penyimpanan khusus yang aman dan memenuhi standar keamanan.
Selain itu, barang jaminan tersebut wajib diasuransikan untuk melindungi
nasabah dari risiko kehilangan atau kerusakan akibat kejadian tak terduga
(misalnya kebakaran, pencurian) selama masa gadai.
- Penebusan Barang Jaminan:
Nasabah dapat menebus kembali barang jaminannya kapan saja selama jangka
waktu pinjaman belum berakhir atau pada saat jatuh tempo dengan cara
melunasi seluruh kewajibannya, yang meliputi pokok pinjaman, bunga/imbal
jasa yang terakumulasi, dan biaya administrasi lainnya (jika ada). Setelah
pelunasan diverifikasi, perusahaan pergadaian wajib mengembalikan barang
jaminan kepada nasabah dalam kondisi fisik yang sama seperti saat
diserahkan, dengan pengecualian keausan normal.
- Perpanjangan Jangka Waktu (Opsional):
Jika nasabah belum mampu melunasi seluruh pinjaman pada saat jatuh tempo,
biasanya terdapat opsi untuk memperpanjang jangka waktu pinjaman.
Mekanisme perpanjangan umumnya melibatkan pembayaran bunga/imbal jasa yang
telah jatuh tempo dan biaya administrasi perpanjangan. Ketentuan mengenai
perpanjangan ini biasanya tercantum dalam SBG atau kebijakan perusahaan.
- Wanprestasi dan Lelang:
Jika nasabah tidak melakukan penebusan atau perpanjangan hingga melewati
tanggal jatuh tempo, maka nasabah dianggap wanprestasi. Akibatnya,
perusahaan pergadaian berhak untuk melakukan eksekusi (penjualan/lelang)
atas barang jaminan tersebut sesuai prosedur hukum yang berlaku
(dijelaskan lebih lanjut di Bagian 7).
Implementasi prosedur standar
oleh lembaga gadai formal, seperti penggunaan penaksir bersertifikat,
penerbitan SBG yang jelas, dan penyimpanan barang yang aman serta berasuransi,
merupakan elemen krusial yang membedakannya dari transaksi informal. Langkah-langkah
ini dirancang OJK untuk meningkatkan transparansi, mengurangi asimetri
informasi, memberikan kepastian hukum, dan melindungi kepentingan nasabah dari
potensi praktik yang merugikan seperti penaksiran yang tidak wajar atau
hilangnya barang jaminan tanpa kompensasi, yang merupakan risiko nyata dalam
gadai informal/ilegal. Meskipun proses formal mungkin terasa lebih birokratis,
ia menawarkan tingkat perlindungan prosedural yang jauh lebih tinggi bagi
konsumen.
6. Objek Gadai yang
Diperbolehkan
Hukum gadai di Indonesia,
sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, pada prinsipnya berlaku untuk barang
bergerak (roerende zaken atau movable property). Barang
bergerak ini dapat dikategorikan lebih lanjut menjadi:
- Benda Bergerak Berwujud (Tangible
Movables): Ini adalah kategori objek gadai yang
paling umum dikenal masyarakat. Mencakup benda-benda fisik yang dapat
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Contoh barang bergerak
berwujud yang lazim diterima sebagai jaminan oleh perusahaan pergadaian
meliputi:
- Logam Mulia dan Perhiasan:
Emas (batangan maupun perhiasan), berlian, intan, permata, dan logam
mulia lainnya. Ini sering menjadi objek gadai utama, terutama di PT
Pegadaian (Persero).
- Kendaraan Bermotor:
Sepeda motor dan mobil, dengan syarat disertai kelengkapan dokumen asli
seperti Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Tanda Nomor
Kendaraan (STNK), dan terkadang faktur pembelian.
- Barang Elektronik:
Laptop, komputer, televisi, ponsel pintar (smartphone), kamera,
dan peralatan elektronik lainnya yang masih memiliki nilai jual.
- Barang Rumah Tangga dan Mesin:
Peralatan rumah tangga tertentu atau mesin produksi skala kecil mungkin
dapat diterima oleh beberapa lembaga gadai, tergantung kebijakan
masing-masing.
- Benda Bergerak Tidak Berwujud (Intangible
Movables): KUHPerdata juga memungkinkan hak-hak atau
klaim tertentu yang bersifat bergerak untuk dijadikan objek gadai. Ini
biasanya berupa hak tagih atas sejumlah uang yang terwujud dalam bentuk
surat-surat berharga atau dokumen lainnya, seperti:
- Surat Piutang (Receivables):
Meliputi surat sanggup bayar (promes) atau surat utang lainnya, baik yang
bersifat atas tunjuk (aan order), atas nama (op naam),
maupun kepada pembawa (aan toonder). Gadai atas piutang ini
memiliki mekanisme tersendiri, termasuk hak penerima gadai untuk menagih
piutang tersebut jika pemberi gadai memberikan kuasa.
- Efek atau Saham (Securities/Shares):
Saham perusahaan merupakan benda bergerak tidak berwujud yang dapat
digadaikan. Gadai saham tunduk pada ketentuan KUHPerdata dan juga
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Pasal
60 UU PT mengatur bahwa gadai saham atau hak tagih atas saham wajib
dicatat dalam Daftar Pemegang Saham dan Daftar Khusus perseroan, serta
diberitahukan kepada direksi untuk dicatat. Pencatatan ini penting untuk
publisitas dan perlindungan bagi kreditur pemegang gadai serta pihak
ketiga lainnya.
Pengecualian dan Batasan
Tidak semua barang dapat
dijadikan objek gadai. Beberapa pengecualian dan batasan meliputi:
- Benda Tidak Bergerak (Immovable Property):
Tanah, bangunan, dan benda-benda lain yang menurut sifat atau ketentuan
undang-undang dianggap sebagai benda tidak bergerak tidak dapat
digadaikan. Jaminan atas benda tidak bergerak diatur melalui mekanisme Hak
Tanggungan.
- Barang Ilegal:
Barang-barang yang kepemilikan atau peredarannya dilarang oleh hukum
(misalnya narkotika, barang curian) tidak dapat menjadi objek gadai yang
sah.
- Barang Tanpa Nilai Ekonomis:
Objek gadai harus memiliki nilai ekonomis atau dapat diperjualbelikan,
karena tujuan utama gadai adalah pelunasan utang melalui penjualan jaminan
jika terjadi wanprestasi.
- Kewenangan Menguasai
(Beschikkingsbevoegdheid): Pada prinsipnya, pemberi
gadai haruslah orang yang berhak atau berwenang untuk memindahtangankan
atau membebani barang tersebut. Namun, Pasal 1152 ayat (4) KUHPerdata
memberikan perlindungan tertentu kepada kreditur yang menerima gadai
dengan itikad baik dari orang yang ternyata tidak berwenang, sepanjang
kreditur tidak mengetahui ketidakwenangan tersebut. Meskipun demikian,
perusahaan pergadaian formal umumnya sangat berhati-hati dan mensyaratkan
bukti kepemilikan yang jelas untuk menghindari sengketa.
Peraturan OJK (seperti POJK
39/2024) kemungkinan juga memberikan kewenangan kepada perusahaan pergadaian
untuk menetapkan kebijakan internal mengenai jenis-jenis barang jaminan yang
diterima, kriteria penilaiannya, serta barang-barang yang dikecualikan, selama
tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Cakupan "barang
bergerak" dalam hukum perdata Indonesia ternyata cukup luas, tidak hanya
terbatas pada barang-barang fisik yang umum digadaikan, tetapi juga mencakup
hak-hak tak berwujud seperti piutang dan saham. Fleksibilitas ini secara teoretis
memungkinkan gadai berfungsi sebagai mekanisme jaminan untuk berbagai jenis
aset. Namun, perlu dicatat bahwa penggadaian aset tak berwujud seperti saham
melibatkan prosedur yang lebih kompleks, seperti kewajiban pencatatan sesuai UU
PT, dibandingkan dengan penggadaian barang fisik biasa.
7. Prosedur Hukum Jika Terjadi
Wanprestasi
Wanprestasi dalam konteks
gadai terjadi ketika pemberi gadai (debitur) gagal memenuhi kewajiban utamanya,
yaitu melunasi pinjaman beserta bunga dan biaya terkait pada saat atau sebelum
tanggal jatuh tempo yang telah disepakati dalam perjanjian gadai.
Hak Kreditur Saat Wanprestasi
Ketika terjadi wanprestasi,
penerima gadai (kreditur) memperoleh hak untuk mengambil pelunasan piutangnya
dari barang yang dijadikan jaminan. Namun, cara pengambilan pelunasan ini
diatur secara ketat oleh hukum.
Larangan Perjanjian
Kepemilikan Otomatis (Pasal 1154 KUHPerdata)
KUHPerdata secara tegas
melarang adanya janji atau klausul dalam perjanjian gadai yang memberikan hak
kepada kreditur untuk memiliki barang gadai secara otomatis jika debitur
wanprestasi (beding van eigenlijke toe-eigening atau klausul milik).
Pasal 1154 menyatakan bahwa setiap janji semacam itu adalah batal demi hukum
(nietig). Artinya, kreditur tidak bisa serta-merta menjadi pemilik
barang jaminan hanya karena debitur gagal bayar. Kreditur harus menempuh jalur
penjualan barang jaminan untuk mendapatkan pelunasannya.
Mekanisme Eksekusi Jaminan
Gadai
KUHPerdata menyediakan dua
mekanisme utama bagi kreditur untuk mengeksekusi barang gadai apabila debitur
wanprestasi:
- Eksekusi Langsung (Parate Executie - Pasal
1155 KUHPerdata):
- Ini adalah hak kreditur pemegang gadai
untuk menjual barang gadai atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum (lelang) setelah debitur wanprestasi dan lewatnya tenggang waktu
yang mungkin ditentukan. Mekanisme ini tidak memerlukan penetapan atau
perantaraan pengadilan terlebih dahulu.
- Parate executie
merupakan cara eksekusi yang paling umum digunakan, terutama oleh lembaga
gadai formal, karena lebih cepat dan efisien.
- Pasal 1156 ayat (3) KUHPerdata
mensyaratkan pemberitahuan kepada debitur sebelum penjualan dilakukan.
Namun, dalam praktik gadai formal, prosedur pemberitahuan dan lelang
biasanya diatur lebih rinci dalam SBG sesuai dengan ketentuan OJK.
- Untuk objek gadai berupa efek atau surat
berharga lainnya, penjualannya dapat dilakukan di bursa atau pasar
terkait sesuai cara yang lazim.
- Eksekusi Melalui Pengadilan (Pasal 1156
KUHPerdata):
- Sebagai alternatif, kreditur dapat
mengajukan tuntutan ke pengadilan agar hakim memerintahkan
penjualan barang gadai. Penjualan kemudian dilakukan sesuai dengan cara
yang ditetapkan oleh hakim (misalnya melalui juru sita atau balai lelang
yang ditunjuk pengadilan).
- Mekanisme ini mungkin dipilih jika
terdapat sengketa mengenai wanprestasi, nilai utang, atau keabsahan gadai
itu sendiri, atau jika objek gadainya bersifat khusus (misalnya barang
antik ) sehingga memerlukan penetapan pengadilan.
- Pasal 1156 ayat (1) juga memberikan
kemungkinan bagi kreditur untuk meminta kepada hakim agar barang gadai ditetapkan
menjadi miliknya sebagai pelunasan utang, hingga sebesar jumlah utang
beserta bunga dan biaya, berdasarkan harga yang akan ditetapkan oleh
hakim. Opsi ini merupakan pengecualian terbatas terhadap larangan dalam
Pasal 1154 dan hanya dapat terjadi melalui putusan pengadilan.
Proses Lelang (Khususnya
Formal)
Meskipun detail spesifik
prosedur lelang dalam POJK 39/2024 perlu dirujuk langsung, proses lelang barang
gadai oleh perusahaan pergadaian formal umumnya mengikuti prinsip-prinsip
lelang yang diatur oleh peraturan perundang-undangan terkait lelang (misalnya,
peraturan dari Kementerian Keuangan seperti PMK 122/2023 , meskipun OJK mungkin
memiliki ketentuan khusus). Prinsip umum meliputi:
- Pengumuman lelang secara publik untuk
menjangkau calon pembeli.
- Pemberian kesempatan terakhir bagi debitur
untuk menebus barang sebelum lelang dilaksanakan.
- Pelaksanaan lelang secara terbuka dan
kompetitif, menjual kepada penawar tertinggi.
- Kemungkinan penggunaan jasa Balai Lelang
resmi untuk memastikan profesionalisme dan akuntabilitas.
Pembagian Hasil Lelang
Hasil penjualan barang gadai
melalui lelang akan didistribusikan dengan urutan prioritas sebagai berikut:
- Biaya lelang dan biaya-biaya lain yang
terkait dengan proses penjualan.
- Biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditur
untuk pemeliharaan atau penyelamatan barang gadai setelah digadaikan.
- Pelunasan utang pokok kepada kreditur
pemegang gadai.
- Pelunasan bunga dan denda (jika ada)
sesuai perjanjian.
- Sisa atau kelebihan uang hasil lelang
(jika ada) wajib diserahkan kepada pemberi gadai (debitur).
Kewajiban pengembalian sisa hasil lelang ini merupakan aspek penting
perlindungan bagi debitur. Praktik penahanan sisa hasil lelang oleh pelaku
gadai ilegal merupakan salah satu risiko utama bertransaksi di luar jalur
formal.
Ketentuan hukum mengenai
eksekusi gadai dalam KUHPerdata, khususnya larangan toe-eigeningsbeding
(Pasal 1154) dan keharusan melalui penjualan (Pasal 1155 atau 1156), secara
fundamental melindungi kepentingan debitur atas nilai sisa asetnya setelah
utang dilunasi. Kreditur tidak berhak atas keseluruhan nilai barang jaminan,
melainkan hanya sebatas jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya terkait.
Kerangka hukum ini bertujuan menciptakan keseimbangan antara hak kreditur untuk
mendapatkan pelunasan dan hak debitur atas potensi kelebihan nilai jaminannya.
Adanya dua jalur eksekusi (parate
executie dan jalur pengadilan) memberikan fleksibilitas bagi kreditur. Parate
executie menawarkan kecepatan, namun menempatkan tanggung jawab pelaksanaan
lelang yang sesuai aturan pada kreditur. Kesalahan prosedur dalam parate
executie dapat menjadi dasar bagi debitur untuk mengajukan gugatan.
Sebaliknya, eksekusi melalui pengadilan memberikan kepastian hukum melalui
putusan hakim, namun memerlukan waktu dan biaya yang lebih besar. Pilihan jalur
eksekusi akan bergantung pada situasi spesifik kasus, jenis agunan, dan potensi
sengketa. Regulasi OJK kemungkinan besar menstandardisasi prosedur parate
executie bagi lembaga gadai formal untuk meminimalkan potensi perselisihan
dan memastikan kepatuhan.
8. Perbandingan Aspek Hukum
Gadai Formal dan Informal
Di Indonesia, praktik gadai
dapat dibedakan menjadi dua kategori utama berdasarkan legalitas dan kerangka
hukum yang mengaturnya: gadai formal dan gadai informal/ilegal.
- Gadai Formal: Merujuk
pada transaksi gadai yang dilakukan oleh lembaga atau perusahaan
pergadaian yang telah mendapatkan izin usaha resmi dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan operasionalnya diawasi oleh OJK. Contoh utamanya adalah
PT Pegadaian (Persero) sebagai BUMN dan perusahaan-perusahaan gadai swasta
yang telah berizin OJK. Gadai formal tunduk pada ketentuan KUHPerdata
sebagai dasar hukum umum dan secara spesifik diatur oleh POJK 39/2024
serta peraturan pelaksanaannya.
- Gadai Informal/Ilegal: Mencakup
transaksi gadai yang terjadi antarindividu secara pribadi, atau yang
dijalankan oleh entitas usaha (perorangan maupun badan usaha) tanpa
memiliki izin dari OJK. Praktik ini sering disebut sebagai "gadai
liar" atau "gadai ilegal". Secara hukum, transaksi
antarindividu mungkin masih dapat berpegang pada prinsip-prinsip
KUHPerdata, namun usaha gadai ilegal beroperasi di luar kerangka hukum
formal dan seringkali mengabaikan ketentuan hukum yang ada.
9. Perlindungan Konsumen dan
Isu Hukum Terkini
Perlindungan konsumen
merupakan aspek krusial dalam industri jasa keuangan, termasuk sektor
pergadaian. OJK sebagai regulator memiliki peran sentral dalam memastikan
adanya perlindungan yang memadai bagi nasabah perusahaan pergadaian formal.
Kerangka Perlindungan Konsumen
dalam Gadai Formal (OJK)
Perlindungan konsumen di
sektor jasa keuangan, termasuk pergadaian, secara umum diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan. Selain itu, POJK spesifik mengenai usaha pergadaian
(saat ini POJK 39/2024, yang kemungkinan besar melanjutkan dan memperkuat aspek
perlindungan dari POJK 31/2016) juga memuat ketentuan perlindungan konsumen
yang lebih teknis, antara lain:
- Transparansi Informasi:
Perusahaan pergadaian formal wajib memberikan informasi yang jelas,
akurat, dan mudah dipahami kepada nasabah mengenai produk dan layanannya.
Ini termasuk kewajiban mencantumkan nama perusahaan, status perizinan dan
pengawasan OJK, suku bunga pinjaman atau imbal jasa/hasil, biaya
administrasi, serta hari dan jam operasional di setiap kantor atau unit
layanan.
- Penilaian Jaminan yang Wajar:
Kewajiban menggunakan penaksir bersertifikat bertujuan untuk memastikan
bahwa penilaian barang jaminan dilakukan secara profesional, objektif, dan
tidak merugikan nasabah.
- Perjanjian Baku yang Adil (SBG):
Penggunaan Surat Bukti Gadai (SBG) yang terstandarisasi memastikan bahwa
syarat dan ketentuan transaksi tercantum secara jelas dan tidak merugikan
nasabah secara sepihak. Konteks ini juga relevan dengan SEOJK 13/2014
tentang Perjanjian Baku.
- Kerahasiaan dan Keamanan Data:
Perusahaan wajib menjaga kerahasiaan data pribadi nasabah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. SEOJK 14/2014 tentang
Kerahasiaan dan Keamanan Data Pribadi Konsumen memberikan kerangka kerja
terkait hal ini.
- Keamanan Barang Jaminan:
Kewajiban menyediakan tempat penyimpanan yang aman dan mengasuransikan
barang jaminan memberikan perlindungan kepada nasabah terhadap risiko
kehilangan atau kerusakan barang selama masa gadai.
- Proses Lelang yang Adil dan Pengembalian
Surplus: Adanya prosedur lelang yang teratur dan
kewajiban untuk mengembalikan kelebihan hasil lelang kepada nasabah
setelah dikurangi utang dan biaya merupakan bentuk perlindungan terhadap
hak ekonomi nasabah.
- Mekanisme Penanganan Pengaduan:
Perusahaan pergadaian formal wajib memiliki dan menginformasikan prosedur
internal untuk menerima, menindaklanjuti, dan menyelesaikan pengaduan
nasabah secara efektif dan efisien. SEOJK 2/2014 tentang Pelayanan dan
Penyelesaian Pengaduan Konsumen menjadi acuan dalam hal ini. Nasabah yang
tidak puas dengan penanganan internal dapat melanjutkan pengaduan ke OJK
atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa.
- Pemasaran yang Bertanggung Jawab:
Praktik pemasaran produk gadai juga harus dilakukan secara bertanggung
jawab dan tidak menyesatkan, sejalan dengan prinsip dalam SEOJK 12/2014
tentang Penyampaian Informasi dalam Rangka Pemasaran Produk Jasa Keuangan.
Isu Hukum Terkini dalam
Industri Pergadaian
Beberapa isu hukum dan
perkembangan terkini yang signifikan dalam industri pergadaian di Indonesia
meliputi:
- Pemberantasan Gadai Ilegal:
Ini masih menjadi tantangan dan prioritas utama OJK. Praktik gadai ilegal
yang dijalankan oleh entitas tanpa izin OJK terus bermunculan dan
meresahkan masyarakat karena seringkali menerapkan praktik predatory
seperti bunga sangat tinggi, penaksiran tidak wajar, dan penanganan
jaminan yang buruk. OJK melalui Satgas PASTI secara aktif melakukan
pemantauan, pemblokiran akses, dan melaporkan entitas ilegal kepada aparat
penegak hukum. Ratusan entitas gadai ilegal telah diidentifikasi dan
ditindak sejak beberapa tahun terakhir. Namun, penindakan seringkali
terkendala karena baru bisa dilakukan secara maksimal jika ada laporan
dari masyarakat yang dirugikan.
- Penguatan Landasan Hukum Penindakan
melalui UU P2SK: Lahirnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2023
tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) memberikan
angin segar bagi upaya pemberantasan aktivitas keuangan ilegal, termasuk
gadai ilegal. UU P2SK, khususnya Pasal 237, secara eksplisit melarang
kegiatan usaha di sektor keuangan (termasuk penyaluran dana seperti gadai)
tanpa izin OJK. Lebih penting lagi, Pasal 305 UU P2SK mengatur sanksi
pidana yang tegas bagi pelanggar, berupa pidana penjara minimal 5
tahun dan maksimal 10 tahun, serta denda minimal Rp 1 miliar dan maksimal
Rp 1 triliun. Adanya sanksi pidana ini memberikan dasar hukum yang jauh
lebih kuat bagi OJK dan aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku
gadai ilegal, tidak hanya sanksi administratif. UU P2SK juga memperkuat
kewenangan OJK dalam pengawasan perilaku pasar (market conduct) dan
perlindungan konsumen.
- Relaksasi/Masa Transisi untuk Legalisasi:
Di sisi lain, terdapat indikasi bahwa sebagai bagian dari implementasi UU
P2SK, OJK memberikan masa transisi atau relaksasi bagi pelaku usaha gadai
yang sudah beroperasi namun belum berizin untuk segera mengajukan
permohonan izin menjadi legal. Beberapa sumber menyebutkan batas waktu
hingga tahun 2026. Kebijakan ini tampaknya merupakan pendekatan pragmatis
untuk mendorong formalisasi sektor, memberikan kesempatan bagi pelaku
usaha yang berniat baik untuk masuk ke dalam sistem yang teregulasi,
sambil tetap mempersiapkan penindakan tegas bagi yang tidak patuh.
- Peningkatan Standar Industri melalui POJK
39/2024: Sebagaimana telah dibahas, POJK 39/2024
merupakan upaya OJK untuk meningkatkan standar industri pergadaian formal.
Peningkatan persyaratan modal disetor dan ekuitas minimum, kewajiban
memiliki penaksir bersertifikat, penguatan tata kelola dan manajemen risiko
adalah beberapa pilar utama dalam peraturan baru ini. Hal ini diharapkan
dapat menciptakan industri yang lebih sehat, profesional, dan terpercaya.
- Pertumbuhan Industri yang Berkelanjutan:
Meskipun dihadapkan pada tantangan regulasi dan pemberantasan ilegalitas,
industri pergadaian formal menunjukkan tren pertumbuhan aset dan
penyaluran pinjaman yang positif. OJK juga terus memproses dan memberikan
izin usaha baru bagi perusahaan pergadaian swasta, menunjukkan potensi
pengembangan sektor ini ke depan.
- Digitalisasi Layanan:
Meskipun belum banyak disinggung dalam materi rujukan, tren digitalisasi
kemungkinan juga mempengaruhi industri pergadaian. PT Pegadaian (Persero)
misalnya, telah mengembangkan aplikasi Pegadaian Digital untuk memudahkan
transaksi. Potensi munculnya platform gadai digital atau integrasi layanan
gadai dengan ekosistem digital lainnya dapat menjadi isu di masa depan
yang memerlukan perhatian regulator.
- Pengembangan Gadai Syariah:
Praktik gadai berdasarkan prinsip syariah (Rahn) terus berkembang sebagai
alternatif bagi masyarakat yang menginginkan layanan keuangan sesuai
syariah. Kerangka regulasi OJK yang mengakomodasi dan mengatur gadai
syariah formal mendukung perkembangan ini.
Upaya pemberantasan gadai
ilegal merupakan fokus utama regulator saat ini, didukung oleh kerangka hukum
yang lebih kuat melalui UU P2SK. Strategi yang diterapkan tampaknya
menggabungkan penegakan hukum yang tegas (sanksi pidana) dengan insentif untuk
formalisasi melalui masa transisi. Keberhasilan strategi ini akan sangat
bergantung pada kapasitas OJK dalam melakukan pengawasan dan penindakan, serta
kemauan dan kemampuan pelaku usaha informal untuk memenuhi standar regulasi
formal yang semakin tinggi, terutama terkait permodalan yang diatur dalam POJK
39/2024. Beberapa tahun ke depan akan menjadi periode krusial dalam membentuk
ulang lanskap industri pergadaian di Indonesia.
Seiring dengan itu,
perlindungan konsumen di sektor gadai formal terus diperkuat. Regulasi OJK
telah bergerak melampaui sekadar hak kontraktual dasar dalam KUHPerdata, menuju
penjaminan keadilan prosedural, transparansi informasi, keamanan data dan jaminan,
serta penyediaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif. Konsumen yang
memanfaatkan layanan dari perusahaan pergadaian berizin OJK kini memiliki
lapisan perlindungan hukum dan regulasi yang jauh lebih solid dibandingkan
mereka yang bertransaksi di ranah informal atau ilegal. Peningkatan kesadaran
konsumen akan hak-hak ini dan saluran pengaduan yang tersedia menjadi faktor
penting untuk mewujudkan perlindungan yang efektif.
10. Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
Analisis terhadap kerangka
hukum gadai di Indonesia mengungkapkan adanya sistem pengaturan ganda yang
kompleks namun terus berkembang. Beberapa kesimpulan utama dapat ditarik:
- Dualisme Kerangka Hukum:
Hukum gadai di Indonesia bersandar pada dua pilar: Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) sebagai fondasi hukum umum yang mendefinisikan
hakikat gadai sebagai hak kebendaan posesori, aksesori, preferen, dan tak
terbagi atas barang bergerak; serta peraturan spesifik dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), dengan POJK Nomor 39 Tahun 2024 sebagai regulasi terkini,
yang mengatur secara detail operasional perusahaan pergadaian formal.
- Karakteristik Fundamental Gadai: Esensi
gadai menurut KUHPerdata terletak pada penyerahan penguasaan fisik barang
bergerak sebagai jaminan utang, memberikan hak preferensi dan hak eksekusi
(melalui lelang atau pengadilan, bukan kepemilikan otomatis) kepada
kreditur jika terjadi wanprestasi.
- Regulasi Formal yang Ketat:
OJK memberlakukan persyaratan yang komprehensif dan semakin ketat bagi
perusahaan pergadaian formal, meliputi perizinan, permodalan minimum
(modal disetor dan ekuitas), tata kelola perusahaan yang baik, manajemen
risiko, standar operasional (termasuk penaksir bersertifikat dan asuransi
jaminan), pelaporan, dan perlindungan konsumen.
- Hak dan Kewajiban yang Jelas:
Baik KUHPerdata maupun regulasi OJK menetapkan hak dan kewajiban yang
jelas bagi pemberi gadai (debitur) dan penerima gadai (kreditur). Regulasi
OJK secara signifikan menambah kewajiban bagi penerima gadai formal demi
meningkatkan transparansi dan perlindungan nasabah.
- Objek Gadai yang Luas:
Secara hukum, objek gadai mencakup seluruh jenis barang bergerak, baik
yang berwujud (emas, kendaraan, elektronik) maupun tidak berwujud
(piutang, saham), meskipun praktik dan prosedur penggadaiannya dapat
bervariasi.
- Kesenjangan antara Formal dan Informal:
Terdapat perbedaan signifikan dalam hal kepastian hukum, transparansi,
biaya, keamanan jaminan, dan perlindungan konsumen antara transaksi gadai
melalui lembaga formal yang berizin OJK dengan praktik gadai informal atau
ilegal. Risiko bertransaksi di luar jalur formal sangat tinggi.
- Isu Utama: Gadai Ilegal dan Penguatan
Penegakan: Maraknya praktik gadai ilegal menjadi isu
hukum utama. Namun, UU P2SK telah memberikan landasan hukum yang lebih
kuat bagi OJK dan aparat penegak hukum untuk menindak pelaku ilegal,
termasuk melalui sanksi pidana, meskipun diiringi dengan adanya masa transisi
untuk mendorong formalisasi.
Rekomendasi
Berdasarkan analisis yang
telah dilakukan, beberapa rekomendasi dapat diajukan:
- Bagi Konsumen:
- Sangat dianjurkan untuk hanya
menggunakan jasa perusahaan pergadaian yang telah terdaftar dan memiliki
izin resmi dari OJK. Status perizinan dapat diverifikasi melalui
kanal informasi resmi OJK.
- Pahami dengan saksama seluruh syarat dan
ketentuan yang tercantum dalam Surat Bukti Gadai (SBG) sebelum
menandatangani.
- Waspadai tawaran pinjaman yang terlalu
mudah dengan bunga tidak wajar atau penaksiran jaminan yang mencurigakan
dari pihak tidak dikenal.
- Ketahui hak-hak sebagai konsumen,
termasuk hak atas informasi yang jelas, penilaian yang wajar, keamanan
barang jaminan, pengembalian sisa hasil lelang, dan mekanisme
penyelesaian pengaduan.
- Bagi Perusahaan Pergadaian Formal:
- Pastikan kepatuhan penuh terhadap seluruh
ketentuan dalam POJK 39/2024 dan peraturan pelaksanaannya, termasuk
pemenuhan modal, tata kelola, manajemen risiko, dan standar operasional.
- Investasi pada peningkatan kualitas
sumber daya manusia, terutama penaksir bersertifikat, dan sistem
teknologi informasi untuk mendukung operasional dan pelaporan.
- Jaga transparansi penuh dalam
berkomunikasi dengan nasabah mengenai biaya, bunga, prosedur, dan risiko.
- Implementasikan mekanisme penanganan
pengaduan nasabah secara efektif dan responsif.
- Bagi OJK dan Pembuat Kebijakan:
- Lanjutkan upaya penegakan hukum yang
tegas terhadap pelaku gadai ilegal dengan memanfaatkan kewenangan yang
diberikan oleh UU P2SK, berkoordinasi erat dengan aparat penegak hukum
dan Satgas PASTI.
- Pantau secara cermat dampak implementasi
POJK 39/2024, khususnya terkait persyaratan permodalan, terhadap struktur
industri dan potensi konsolidasi atau dampaknya pada sektor informal.
- Tingkatkan sosialisasi dan edukasi publik
secara masif mengenai risiko bertransaksi dengan gadai ilegal serta
manfaat dan cara mengidentifikasi perusahaan pergadaian formal yang
berizin OJK.
- Evaluasi efektivitas masa transisi untuk
formalisasi dan pertimbangkan langkah-langkah untuk memfasilitasi pelaku
usaha yang beritikad baik agar dapat memenuhi standar regulasi, tanpa
mengorbankan kualitas pengawasan dan perlindungan konsumen.
- Antisipasi perkembangan teknologi dan
mulai kaji kebutuhan pengaturan khusus untuk platform atau model bisnis
gadai berbasis digital yang mungkin berkembang di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar