Kamis, 24 April 2025

Pengertian Perbuatan Pidana

Konsep "perbuatan pidana" atau yang sering juga disebut "tindak pidana" merupakan jantung dari sistem hukum pidana di Indonesia. Konsep ini menjadi titik tolak fundamental untuk menentukan apakah suatu tindakan manusia dapat dikenai sanksi pidana dan bagaimana pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelakunya. Pemahaman yang akurat dan mendalam mengenai konsep ini bersifat krusial, tidak hanya bagi para praktisi hukum, tetapi juga bagi penegakan hukum yang berkeadilan, serta untuk menjamin terpeliharanya ketertiban umum dan perlindungan masyarakat secara keseluruhan. Sumber utama untuk mengupas konsep ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), baik kodifikasi lama warisan kolonial maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru yang akan datang, serta doktrin-doktrin hukum pidana yang telah berkembang melalui pemikiran para ahli hukum.  

Terminologi dalam Hukum Pidana Indonesia

Istilah asli yang digunakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan pemerintah kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS), adalah "strafbaar feit". Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan berbagai variasi oleh para ahli hukum dan pembuat undang-undang. Beberapa istilah yang lazim digunakan antara lain "tindak pidana", "perbuatan pidana", "peristiwa pidana", dan "delik".  

Masing-masing istilah memiliki nuansa makna tersendiri. Sebagai contoh, Moeljatno, seorang ahli hukum pidana terkemuka, lebih memilih menggunakan istilah "perbuatan pidana". Alasan utamanya adalah karena istilah "perbuatan" secara inheren menunjuk pada suatu kelakuan atau tindakan yang dilakukan oleh manusia, yang kemudian dilarang dan diancam dengan sanksi pidana oleh aturan hukum. Di sisi lain, E. Utrecht cenderung menggunakan istilah "peristiwa pidana" karena dianggap lebih luas cakupannya, meliputi tidak hanya perbuatan aktif (melakukan sesuatu) tetapi juga perbuatan pasif (melalaikan sesuatu) serta akibat yang ditimbulkannya. Terlepas dari keragaman terminologi ini, istilah "tindak pidana" tampaknya menjadi yang paling umum digunakan dalam peraturan perundang-undangan dan literatur hukum pidana modern di Indonesia.  

Penting untuk dicatat bahwa meskipun istilah strafbaar feit merupakan konsep sentral dalam KUHP lama, kodifikasi tersebut tidak memberikan definisi eksplisit mengenai apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Akibatnya, pemahaman dan definisi mengenai konsep ini sebagian besar berkembang melalui penafsiran dan elaborasi dalam doktrin atau ajaran para ahli hukum pidana.  

Definisi Menurut Doktrin Hukum Pidana

Ketiadaan definisi legal formal dalam KUHP lama mendorong para sarjana hukum pidana untuk merumuskan pengertian strafbaar feit atau tindak pidana. Beberapa definisi yang berpengaruh antara lain:

  • Moeljatno: Mendefinisikan perbuatan pidana sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut". Definisi ini menekankan pada dua elemen kunci: adanya larangan normatif dalam aturan hukum dan adanya ancaman sanksi pidana sebagai konsekuensi pelanggaran larangan tersebut.  
  • Simons: Memberikan definisi yang lebih komprehensif, yaitu "strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab". Definisi Simons ini dianggap lebih lengkap karena tidak hanya mencakup perbuatan yang diancam pidana, tetapi juga secara eksplisit memasukkan unsur sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid), unsur kesalahan (schuld), dan unsur kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) pelaku.  
  • Pompe: Mengartikan strafbaar feit sebagai "suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum". Definisi ini menyoroti aspek gangguan terhadap tata tertib hukum dan tujuan pemidanaan, yaitu pemeliharaan ketertiban dan perlindungan kepentingan umum.  
  • Van Hamel: Merumuskan strafbaar feit sebagai "kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet (undang-undang), yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan". Definisi ini menekankan pentingnya rumusan dalam undang-undang (asas legalitas formal) dan menambahkan elemen "kepatutan untuk dipidana" (strafwaardigheid), yang menyiratkan bahwa tidak semua perbuatan yang memenuhi rumusan delik otomatis patut dijatuhi pidana.  
  • Vos: Memberikan definisi yang sangat singkat, yaitu "suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan". Fokus utama definisi ini adalah pada ancaman pidana yang dilekatkan pada suatu kelakuan oleh hukum tertulis.  
  • Wirjono Prodjodikoro: Mendefinisikan tindak pidana sebagai "suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana". Definisi ini berorientasi pada konsekuensi hukum yang dapat menimpa pelaku.  
  • Barda Nawawi Arief: Memberikan definisi yang lebih modern dan inklusif, yaitu "perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana". Definisi ini secara eksplisit mencakup baik perbuatan aktif (melakukan) maupun pasif (tidak melakukan).  

Definisi dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023)

Berbeda dengan KUHP lama, KUHP baru yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (selanjutnya disebut UU 1/2023) memberikan definisi legal formal mengenai tindak pidana. Pasal 12 UU 1/2023 menyatakan:

  1. Ayat (1): "Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan."  
  2. Ayat (2): "Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat."  
  3. Ayat (3): "Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar."  

Definisi dalam Pasal 12 ayat (1) ini merupakan definisi legal formal pertama yang secara eksplisit tercantum dalam kodifikasi hukum pidana Indonesia, yang menekankan pada aspek larangan dan ancaman sanksi oleh peraturan perundang-undangan (termasuk undang-undang dan peraturan daerah, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasannya). Ayat (2) kemudian menambahkan syarat esensial bahwa perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, baik secara formal (bertentangan dengan peraturan perundang-undangan) maupun materiil (bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat). Ayat (3) menegaskan bahwa sifat melawan hukum ini dianggap melekat pada setiap tindak pidana, kecuali jika terdapat alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) yang menghapuskan sifat melawan hukum tersebut. Penting dicatat bahwa UU 1/2023 ini baru akan berlaku efektif 3 tahun setelah diundangkan (diundangkan 2 Januari 2023), yaitu pada tahun 2026.  

Pandangan Monistis vs. Dualistis

Dalam doktrin hukum pidana, terdapat perdebatan mengenai cakupan pengertian strafbaar feit atau tindak pidana, yang dikenal sebagai pandangan monistis dan dualistis.  

  • Pandangan Monistis: Menganggap bahwa pengertian tindak pidana (criminal act) sudah mencakup di dalamnya pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responsibility). Artinya, untuk menyebut suatu perbuatan sebagai tindak pidana, tidak hanya unsur-unsur perbuatannya yang harus terpenuhi, tetapi juga unsur kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab pelakunya. Definisi yang dikemukakan oleh Simons, misalnya, cenderung mengarah pada pandangan ini karena memasukkan unsur kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.  
  • Pandangan Dualistis: Memisahkan secara tegas antara konsep perbuatan pidana (criminal act) dengan konsep pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Menurut pandangan ini, untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, cukup dengan terpenuhinya unsur-unsur yang berkaitan dengan perbuatan itu sendiri, yaitu perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik dalam undang-undang (tatbestandmässigkeit) dan bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid), tanpa adanya alasan pembenar. Masalah apakah pelaku dapat dipidana atau tidak (pertanggungjawaban pidana) dinilai secara terpisah dengan melihat ada tidaknya kesalahan (schuld) pada diri pelaku dan apakah pelaku mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar), serta ada tidaknya alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond).  

Pandangan dualistis ini tampaknya lebih dominan dalam teori dan praktik hukum pidana modern di Indonesia, dan juga tercermin dalam struktur KUHP baru (UU 1/2023). Terlihat adanya evolusi dari definisi-definisi doktrinal yang beragam dalam KUHP lama (yang seringkali memasukkan unsur kesalahan atau pertanggungjawaban, mencerminkan pandangan monistis atau semi-monistis) menuju definisi legal formal dalam Pasal 12 UU 1/2023. Definisi baru ini lebih fokus pada perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi oleh undang-undang, dengan sifat melawan hukum sebagai syarat tambahan. Unsur kesalahan (schuld) tidak dimasukkan secara eksplisit dalam definisi Tindak Pidana itu sendiri, melainkan diatur secara terpisah sebagai syarat untuk pertanggungjawaban pidana dalam Pasal 35 UU 1/2023 yang menyatakan, "Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan". Pemisahan konseptual ini berimplikasi penting dalam praktik peradilan, khususnya dalam struktur pembuktian. Penuntut umum harus terlebih dahulu membuktikan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur delik (termasuk sifat melawan hukum), baru kemudian membuktikan adanya kesalahan pada diri terdakwa untuk dapat menuntut pemidanaan.  

Kesimpulan

Konsep perbuatan pidana atau tindak pidana merupakan pilar utama dalam bangunan hukum pidana Indonesia. Sebagaimana telah diuraikan, konsep ini melibatkan suatu jalinan kompleks antara perbuatan manusia yang nyata dan dapat diamati (unsur objektif), keadaan batin atau sikap mental pelaku (unsur subjektif), serta penilaian normatif berdasarkan hukum positif maupun rasa keadilan masyarakat (sifat melawan hukum). Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan, tidak cukup hanya membuktikan bahwa perbuatan tersebut cocok dengan rumusan delik dalam undang-undang, tetapi juga harus terbukti adanya sifat melawan hukum dan, untuk pertanggungjawaban pelaku, adanya kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) pada diri pelaku yang mampu bertanggung jawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...