Konsep "perbuatan pidana" atau yang sering juga disebut "tindak pidana" merupakan jantung dari sistem hukum pidana di Indonesia. Konsep ini menjadi titik tolak fundamental untuk menentukan apakah suatu tindakan manusia dapat dikenai sanksi pidana dan bagaimana pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelakunya. Pemahaman yang akurat dan mendalam mengenai konsep ini bersifat krusial, tidak hanya bagi para praktisi hukum, tetapi juga bagi penegakan hukum yang berkeadilan, serta untuk menjamin terpeliharanya ketertiban umum dan perlindungan masyarakat secara keseluruhan. Sumber utama untuk mengupas konsep ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), baik kodifikasi lama warisan kolonial maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru yang akan datang, serta doktrin-doktrin hukum pidana yang telah berkembang melalui pemikiran para ahli hukum.
Terminologi dalam Hukum Pidana Indonesia
Istilah asli yang digunakan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan pemerintah kolonial
Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS), adalah "strafbaar
feit". Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
dengan berbagai variasi oleh para ahli hukum dan pembuat undang-undang.
Beberapa istilah yang lazim digunakan antara lain "tindak pidana",
"perbuatan pidana", "peristiwa pidana", dan
"delik".
Masing-masing istilah memiliki
nuansa makna tersendiri. Sebagai contoh, Moeljatno, seorang ahli hukum pidana
terkemuka, lebih memilih menggunakan istilah "perbuatan pidana".
Alasan utamanya adalah karena istilah "perbuatan" secara inheren
menunjuk pada suatu kelakuan atau tindakan yang dilakukan oleh manusia, yang
kemudian dilarang dan diancam dengan sanksi pidana oleh aturan hukum. Di sisi
lain, E. Utrecht cenderung menggunakan istilah "peristiwa pidana"
karena dianggap lebih luas cakupannya, meliputi tidak hanya perbuatan aktif
(melakukan sesuatu) tetapi juga perbuatan pasif (melalaikan sesuatu) serta
akibat yang ditimbulkannya. Terlepas dari keragaman terminologi ini, istilah
"tindak pidana" tampaknya menjadi yang paling umum digunakan dalam peraturan
perundang-undangan dan literatur hukum pidana modern di Indonesia.
Penting untuk dicatat bahwa
meskipun istilah strafbaar feit merupakan konsep sentral dalam KUHP
lama, kodifikasi tersebut tidak memberikan definisi eksplisit mengenai apa yang
dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Akibatnya, pemahaman dan
definisi mengenai konsep ini sebagian besar berkembang melalui penafsiran dan
elaborasi dalam doktrin atau ajaran para ahli hukum pidana.
Definisi Menurut Doktrin
Hukum Pidana
Ketiadaan definisi legal
formal dalam KUHP lama mendorong para sarjana hukum pidana untuk merumuskan
pengertian strafbaar feit atau tindak pidana. Beberapa definisi yang
berpengaruh antara lain:
- Moeljatno: Mendefinisikan
perbuatan pidana sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut". Definisi ini
menekankan pada dua elemen kunci: adanya larangan normatif dalam aturan
hukum dan adanya ancaman sanksi pidana sebagai konsekuensi pelanggaran
larangan tersebut.
- Simons: Memberikan
definisi yang lebih komprehensif, yaitu "strafbaar feit adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab". Definisi Simons
ini dianggap lebih lengkap karena tidak hanya mencakup perbuatan yang
diancam pidana, tetapi juga secara eksplisit memasukkan unsur sifat
melawan hukum (wederrechtelijkheid), unsur kesalahan (schuld),
dan unsur kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)
pelaku.
- Pompe: Mengartikan strafbaar
feit sebagai "suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah
perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan
umum". Definisi ini menyoroti aspek gangguan terhadap tata tertib
hukum dan tujuan pemidanaan, yaitu pemeliharaan ketertiban dan
perlindungan kepentingan umum.
- Van Hamel:
Merumuskan strafbaar feit sebagai "kelakuan orang (menselijke
gedraging) yang dirumuskan dalam wet (undang-undang), yang
bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan
dilakukan dengan kesalahan". Definisi ini menekankan pentingnya
rumusan dalam undang-undang (asas legalitas formal) dan menambahkan elemen
"kepatutan untuk dipidana" (strafwaardigheid), yang
menyiratkan bahwa tidak semua perbuatan yang memenuhi rumusan delik
otomatis patut dijatuhi pidana.
- Vos: Memberikan
definisi yang sangat singkat, yaitu "suatu kelakuan manusia yang
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan". Fokus utama
definisi ini adalah pada ancaman pidana yang dilekatkan pada suatu
kelakuan oleh hukum tertulis.
- Wirjono Prodjodikoro:
Mendefinisikan tindak pidana sebagai "suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan hukuman pidana". Definisi ini berorientasi pada
konsekuensi hukum yang dapat menimpa pelaku.
- Barda Nawawi Arief:
Memberikan definisi yang lebih modern dan inklusif, yaitu "perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana". Definisi ini secara eksplisit mencakup baik perbuatan
aktif (melakukan) maupun pasif (tidak melakukan).
Definisi dalam KUHP Baru
(UU No. 1 Tahun 2023)
Berbeda dengan KUHP lama, KUHP
baru yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (selanjutnya
disebut UU 1/2023) memberikan definisi legal formal mengenai tindak pidana.
Pasal 12 UU 1/2023 menyatakan:
- Ayat (1): "Tindak Pidana merupakan
perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi
pidana dan/atau tindakan."
- Ayat (2): "Untuk dinyatakan sebagai
Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau
tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum
atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat."
- Ayat (3): "Setiap Tindak Pidana
selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar."
Definisi dalam Pasal 12 ayat
(1) ini merupakan definisi legal formal pertama yang secara eksplisit tercantum
dalam kodifikasi hukum pidana Indonesia, yang menekankan pada aspek larangan
dan ancaman sanksi oleh peraturan perundang-undangan (termasuk undang-undang
dan peraturan daerah, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasannya). Ayat (2)
kemudian menambahkan syarat esensial bahwa perbuatan tersebut harus bersifat
melawan hukum, baik secara formal (bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan) maupun materiil (bertentangan dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat). Ayat (3) menegaskan bahwa sifat melawan hukum ini dianggap melekat
pada setiap tindak pidana, kecuali jika terdapat alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond)
yang menghapuskan sifat melawan hukum tersebut. Penting dicatat bahwa UU 1/2023
ini baru akan berlaku efektif 3 tahun setelah diundangkan (diundangkan 2
Januari 2023), yaitu pada tahun 2026.
Pandangan Monistis vs.
Dualistis
Dalam doktrin hukum pidana,
terdapat perdebatan mengenai cakupan pengertian strafbaar feit atau
tindak pidana, yang dikenal sebagai pandangan monistis dan dualistis.
- Pandangan Monistis:
Menganggap bahwa pengertian tindak pidana (criminal act) sudah
mencakup di dalamnya pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal
responsibility). Artinya, untuk menyebut suatu perbuatan sebagai
tindak pidana, tidak hanya unsur-unsur perbuatannya yang harus terpenuhi,
tetapi juga unsur kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab pelakunya.
Definisi yang dikemukakan oleh Simons, misalnya, cenderung mengarah pada
pandangan ini karena memasukkan unsur kesalahan dan kemampuan bertanggung
jawab.
- Pandangan Dualistis:
Memisahkan secara tegas antara konsep perbuatan pidana (criminal act)
dengan konsep pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility).
Menurut pandangan ini, untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana, cukup dengan terpenuhinya unsur-unsur yang berkaitan dengan
perbuatan itu sendiri, yaitu perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik
dalam undang-undang (tatbestandmässigkeit) dan bersifat melawan
hukum (wederrechtelijkheid), tanpa adanya alasan pembenar. Masalah
apakah pelaku dapat dipidana atau tidak (pertanggungjawaban pidana)
dinilai secara terpisah dengan melihat ada tidaknya kesalahan (schuld)
pada diri pelaku dan apakah pelaku mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar),
serta ada tidaknya alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond).
Pandangan dualistis ini
tampaknya lebih dominan dalam teori dan praktik hukum pidana modern di
Indonesia, dan juga tercermin dalam struktur KUHP baru (UU 1/2023). Terlihat
adanya evolusi dari definisi-definisi doktrinal yang beragam dalam KUHP lama
(yang seringkali memasukkan unsur kesalahan atau pertanggungjawaban,
mencerminkan pandangan monistis atau semi-monistis) menuju definisi legal
formal dalam Pasal 12 UU 1/2023. Definisi baru ini lebih fokus pada perbuatan
yang dilarang dan diancam sanksi oleh undang-undang, dengan sifat melawan hukum
sebagai syarat tambahan. Unsur kesalahan (schuld) tidak dimasukkan
secara eksplisit dalam definisi Tindak Pidana itu sendiri, melainkan
diatur secara terpisah sebagai syarat untuk pertanggungjawaban pidana dalam
Pasal 35 UU 1/2023 yang menyatakan, "Setiap Orang hanya dapat dimintai
pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena
kealpaan". Pemisahan konseptual ini berimplikasi penting dalam praktik
peradilan, khususnya dalam struktur pembuktian. Penuntut umum harus terlebih
dahulu membuktikan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur delik
(termasuk sifat melawan hukum), baru kemudian membuktikan adanya kesalahan pada
diri terdakwa untuk dapat menuntut pemidanaan.
Kesimpulan
Konsep perbuatan pidana atau
tindak pidana merupakan pilar utama dalam bangunan hukum pidana Indonesia.
Sebagaimana telah diuraikan, konsep ini melibatkan suatu jalinan kompleks
antara perbuatan manusia yang nyata dan dapat diamati (unsur objektif), keadaan
batin atau sikap mental pelaku (unsur subjektif), serta penilaian normatif
berdasarkan hukum positif maupun rasa keadilan masyarakat (sifat melawan
hukum). Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan, tidak cukup hanya membuktikan
bahwa perbuatan tersebut cocok dengan rumusan delik dalam undang-undang, tetapi
juga harus terbukti adanya sifat melawan hukum dan, untuk pertanggungjawaban
pelaku, adanya kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) pada diri pelaku yang
mampu bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar