Pemahaman mendalam mengenai penerapan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam hukum acara peradilan pajak memerlukan penelusuran terhadap landasan teoritis dan definisi konseptual dari masing-masing asas dalam konteks sistem hukum Indonesia secara umum. Ketiga asas ini, seringkali dirujuk sebagai nilai-nilai dasar hukum, memiliki makna, dimensi, dan interaksi yang kompleks.
A. Definisi dan Dimensi Asas
Keadilan (Keadilan)
Keadilan merupakan salah satu
tujuan hukum yang paling fundamental dan paling banyak dibicarakan dalam
filsafat hukum. Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum terkemuka,
mengidentifikasi keadilan sebagai salah satu dari tiga ide dasar hukum, di
samping kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam arti sempit, Radbruch
mendefinisikan keadilan sebagai kesamaan hak untuk semua orang di depan
pengadilan (equality before the law). Meskipun demikian, ia juga
menekankan bahwa keadilan merupakan hal yang utama di antara ketiga ide dasar
tersebut, walau tidak berarti dua unsur lainnya dapat diabaikan.
Konsep keadilan sendiri
bersifat multi-dimensi. Aristoteles, misalnya, membedakan beberapa jenis
keadilan, termasuk keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan
distributif berkaitan dengan pembagian hak, jabatan, atau beban (seperti pajak)
secara proporsional berdasarkan jasa atau kapasitas masing-masing individu.
Sementara itu, keadilan korektif berfokus pada pemulihan atau pembetulan atas
suatu kesalahan atau kerugian yang ditimbulkan satu pihak kepada pihak lain,
misalnya melalui pemberian ganti rugi. Dalam konteks hukum secara umum,
keadilan sering diartikan sebagai pemberian hak yang setara sesuai kapasitas
atau pemberlakuan proporsional, atau memberikan apa yang menjadi hak setiap
orang berdasarkan prinsip keseimbangan. Keadilan juga menyangkut hubungan
antarmanusia terkait hak dan kewajiban.
Dalam hukum acara, asas
keadilan termanifestasi dalam berbagai jaminan hak prosedural. Ini mencakup hak
untuk didengar pandangannya (audi et alteram partem), perlakuan yang
sama dan tidak diskriminatif di hadapan hukum (equality before the law)
, serta hak atas putusan yang didasarkan pada hukum yang berlaku dan
fakta-fakta yang relevan yang terungkap di persidangan. Penegakan hukum yang
adil menjadi esensial bagi negara hukum.
B. Definisi dan Dimensi Asas
Kepastian Hukum (Kepastian Hukum)
Kepastian hukum, menurut
Radbruch, dimaknai sebagai kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai
peraturan yang harus ditaati. Asas ini menghendaki adanya kejelasan, ketetapan,
dan konsistensi dalam pemberlakuan hukum, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh
keadaan subjektif. Tujuannya adalah menciptakan ketertiban dan prediktabilitas
dalam masyarakat. Tanpa kepastian hukum, masyarakat tidak akan tahu apa yang
harus diperbuat, mana yang benar atau salah, sehingga dapat menimbulkan
keresahan dan ketidakpastian (uncertainty).
Berbagai ahli hukum memberikan
definisi yang saling melengkapi. Kepastian hukum diartikan sebagai kejelasan
norma sehingga dapat menjadi pedoman perilaku, jaminan bahwa hukum dijalankan
dan hak dapat diperoleh , perlindungan bagi pencari keadilan dari tindakan
sewenang-wenang, dan kemampuan hukum untuk menentukan suatu hal dalam keadaan
konkret. Kepastian hukum juga berarti adanya ketetapan hukum yang menjamin hak
dan kewajiban warga negara.
Kepastian hukum memiliki
kaitan erat dengan aliran positivisme hukum, yang menekankan pada hukum
tertulis (ius constitutum atau lex) sebagai sumber hukum utama.
Positivisme hukum menghendaki adanya "keteraturan" (regularity)
dan "kepastian" (certainty) untuk mendukung bekerjanya sistem
hukum. Hukum harus tercatat, diumumkan, dan diterapkan secara konsisten. Untuk
mewujudkan kepastian hukum, diperlukan dukungan dari tiga unsur: substansi
hukum (peraturan perundang-undangan) yang jelas dan operasional, aparatur
penegak hukum yang kompeten dan berintegritas, serta budaya hukum masyarakat
yang patuh pada hukum.
C. Definisi dan Dimensi Asas
Kemanfaatan (Kemanfaatan)
Asas kemanfaatan, atau Zweckmäßigkeit/doelmatigheid/utility,
melihat hukum dari tujuannya. Menurut Radbruch, kemanfaatan menggambarkan isi
hukum yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh hukum tersebut. Aliran
utilitarianisme, yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, menempatkan kemanfaatan
sebagai tujuan utama hukum, yang diukur dari tercapainya kebahagiaan
sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang (the greatest happiness for the
greatest number). Hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan manusia dan
memiliki sasaran yang ingin dicapai.
Bentham menguraikan bahwa
perundang-undangan harus bertujuan untuk memberikan nafkah hidup (subsistence),
kelimpahan (abundance), keamanan (security), dan kesetaraan (equity).
Jika tujuan ini tercapai, masyarakat akan merasakan manfaat hukum dan
mematuhinya. Dalam penegakan hukum, perbandingan antara manfaat yang diperoleh
dengan pengorbanan yang dikeluarkan harus proporsional.
Dalam konteks hukum acara,
asas kemanfaatan seringkali diterjemahkan menjadi prinsip peradilan yang
sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Hal ini bertujuan untuk efisiensi proses
peradilan. Namun, kemanfaatan juga memiliki dimensi substantif. Dalam konteks
perpajakan, kemanfaatan dapat dilihat dari efektivitas penyelesaian sengketa
dalam rangka mengamankan penerimaan negara , menjaga integritas sistem
perpajakan , dan mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak di masa depan. Konsep
restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana pajak, misalnya,
menekankan pada pemulihan kerugian keuangan negara dan pencegahan pelanggaran
di kemudian hari sebagai wujud kemanfaatan. Dengan demikian, kemanfaatan dalam
peradilan pajak tidak hanya menyangkut efisiensi prosedural semata, tetapi juga
mencakup pencapaian hasil substantif yang bermanfaat bagi negara dan masyarakat
secara keseluruhan.
D. Interaksi dan Keseimbangan
Antar Asas
Ketiga asas fundamental hukum—keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan—idealnya harus berjalan sinergis dan proporsional seimbang. Hukum yang baik adalah yang mampu mengintegrasikan ketiganya demi kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam praktik, seringkali terjadi ketegangan (spannungsverhältnis) atau benturan antara asas-asas tersebut.
Misalnya, penekanan yang
berlebihan pada kepastian hukum, seperti ketaatan yang kaku pada peraturan
tertulis, dapat mengorbankan rasa keadilan substantif. Sebaliknya, pengejaran
keadilan yang terlalu fleksibel dapat menggerus kepastian hukum. Demikian pula,
upaya mencapai kemanfaatan, seperti penyelesaian perkara secara cepat, dapat
berisiko mengabaikan pemeriksaan yang mendalam yang diperlukan untuk mencapai
keadilan. Jika kemanfaatan masyarakat luas diprioritaskan, terkadang rasa
keadilan individu tertentu terpaksa dikorbankan.
Menghadapi potensi konflik
ini, muncul pandangan mengenai prioritas. Beberapa sumber mengindikasikan bahwa
dalam praktik peradilan di Indonesia, terutama dalam konteks pengambilan
putusan oleh hakim, terdapat kecenderungan untuk memprioritaskan asas keadilan
jika terjadi benturan yang tidak dapat didamaikan dengan asas kepastian hukum
atau kemanfaatan. Meskipun Radbruch awalnya menempatkan kepastian hukum di atas
keadilan dalam kondisi tertentu, pandangan yang berkembang kemudian, termasuk
di Indonesia, seringkali menempatkan keadilan sebagai nilai tertinggi yang
harus diutamakan. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan, baik implisit maupun
eksplisit, terhadap suatu tatanan nilai dalam penerapan hukum di Indonesia,
yang menempatkan pencapaian keadilan substantif di atas pemenuhan formalitas
kepastian hukum atau pragmatisme kemanfaatan semata. Namun demikian, upaya
untuk mencapai keseimbangan yang harmonis antara ketiga asas tetap menjadi
ideal yang terus diupayakan dalam penegakan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar