Kamis, 17 April 2025

Asas Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan dalam Sistem Hukum Indonesia

Pemahaman mendalam mengenai penerapan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam hukum acara peradilan pajak memerlukan penelusuran terhadap landasan teoritis dan definisi konseptual dari masing-masing asas dalam konteks sistem hukum Indonesia secara umum. Ketiga asas ini, seringkali dirujuk sebagai nilai-nilai dasar hukum, memiliki makna, dimensi, dan interaksi yang kompleks.

A. Definisi dan Dimensi Asas Keadilan (Keadilan)

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling fundamental dan paling banyak dibicarakan dalam filsafat hukum. Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum terkemuka, mengidentifikasi keadilan sebagai salah satu dari tiga ide dasar hukum, di samping kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam arti sempit, Radbruch mendefinisikan keadilan sebagai kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan (equality before the law). Meskipun demikian, ia juga menekankan bahwa keadilan merupakan hal yang utama di antara ketiga ide dasar tersebut, walau tidak berarti dua unsur lainnya dapat diabaikan.  

Konsep keadilan sendiri bersifat multi-dimensi. Aristoteles, misalnya, membedakan beberapa jenis keadilan, termasuk keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif berkaitan dengan pembagian hak, jabatan, atau beban (seperti pajak) secara proporsional berdasarkan jasa atau kapasitas masing-masing individu. Sementara itu, keadilan korektif berfokus pada pemulihan atau pembetulan atas suatu kesalahan atau kerugian yang ditimbulkan satu pihak kepada pihak lain, misalnya melalui pemberian ganti rugi. Dalam konteks hukum secara umum, keadilan sering diartikan sebagai pemberian hak yang setara sesuai kapasitas atau pemberlakuan proporsional, atau memberikan apa yang menjadi hak setiap orang berdasarkan prinsip keseimbangan. Keadilan juga menyangkut hubungan antarmanusia terkait hak dan kewajiban.  

Dalam hukum acara, asas keadilan termanifestasi dalam berbagai jaminan hak prosedural. Ini mencakup hak untuk didengar pandangannya (audi et alteram partem), perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif di hadapan hukum (equality before the law) , serta hak atas putusan yang didasarkan pada hukum yang berlaku dan fakta-fakta yang relevan yang terungkap di persidangan. Penegakan hukum yang adil menjadi esensial bagi negara hukum.  

B. Definisi dan Dimensi Asas Kepastian Hukum (Kepastian Hukum)

Kepastian hukum, menurut Radbruch, dimaknai sebagai kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati. Asas ini menghendaki adanya kejelasan, ketetapan, dan konsistensi dalam pemberlakuan hukum, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan subjektif. Tujuannya adalah menciptakan ketertiban dan prediktabilitas dalam masyarakat. Tanpa kepastian hukum, masyarakat tidak akan tahu apa yang harus diperbuat, mana yang benar atau salah, sehingga dapat menimbulkan keresahan dan ketidakpastian (uncertainty).  

Berbagai ahli hukum memberikan definisi yang saling melengkapi. Kepastian hukum diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat menjadi pedoman perilaku, jaminan bahwa hukum dijalankan dan hak dapat diperoleh , perlindungan bagi pencari keadilan dari tindakan sewenang-wenang, dan kemampuan hukum untuk menentukan suatu hal dalam keadaan konkret. Kepastian hukum juga berarti adanya ketetapan hukum yang menjamin hak dan kewajiban warga negara.  

Kepastian hukum memiliki kaitan erat dengan aliran positivisme hukum, yang menekankan pada hukum tertulis (ius constitutum atau lex) sebagai sumber hukum utama. Positivisme hukum menghendaki adanya "keteraturan" (regularity) dan "kepastian" (certainty) untuk mendukung bekerjanya sistem hukum. Hukum harus tercatat, diumumkan, dan diterapkan secara konsisten. Untuk mewujudkan kepastian hukum, diperlukan dukungan dari tiga unsur: substansi hukum (peraturan perundang-undangan) yang jelas dan operasional, aparatur penegak hukum yang kompeten dan berintegritas, serta budaya hukum masyarakat yang patuh pada hukum.  

C. Definisi dan Dimensi Asas Kemanfaatan (Kemanfaatan)

Asas kemanfaatan, atau Zweckmäßigkeit/doelmatigheid/utility, melihat hukum dari tujuannya. Menurut Radbruch, kemanfaatan menggambarkan isi hukum yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh hukum tersebut. Aliran utilitarianisme, yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum, yang diukur dari tercapainya kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang (the greatest happiness for the greatest number). Hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan manusia dan memiliki sasaran yang ingin dicapai.  

Bentham menguraikan bahwa perundang-undangan harus bertujuan untuk memberikan nafkah hidup (subsistence), kelimpahan (abundance), keamanan (security), dan kesetaraan (equity). Jika tujuan ini tercapai, masyarakat akan merasakan manfaat hukum dan mematuhinya. Dalam penegakan hukum, perbandingan antara manfaat yang diperoleh dengan pengorbanan yang dikeluarkan harus proporsional.  

Dalam konteks hukum acara, asas kemanfaatan seringkali diterjemahkan menjadi prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Hal ini bertujuan untuk efisiensi proses peradilan. Namun, kemanfaatan juga memiliki dimensi substantif. Dalam konteks perpajakan, kemanfaatan dapat dilihat dari efektivitas penyelesaian sengketa dalam rangka mengamankan penerimaan negara , menjaga integritas sistem perpajakan , dan mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak di masa depan. Konsep restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana pajak, misalnya, menekankan pada pemulihan kerugian keuangan negara dan pencegahan pelanggaran di kemudian hari sebagai wujud kemanfaatan. Dengan demikian, kemanfaatan dalam peradilan pajak tidak hanya menyangkut efisiensi prosedural semata, tetapi juga mencakup pencapaian hasil substantif yang bermanfaat bagi negara dan masyarakat secara keseluruhan.  

D. Interaksi dan Keseimbangan Antar Asas

Ketiga asas fundamental hukum—keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan—idealnya harus berjalan sinergis dan proporsional seimbang. Hukum yang baik adalah yang mampu mengintegrasikan ketiganya demi kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam praktik, seringkali terjadi ketegangan (spannungsverhältnis) atau benturan antara asas-asas tersebut. 

Misalnya, penekanan yang berlebihan pada kepastian hukum, seperti ketaatan yang kaku pada peraturan tertulis, dapat mengorbankan rasa keadilan substantif. Sebaliknya, pengejaran keadilan yang terlalu fleksibel dapat menggerus kepastian hukum. Demikian pula, upaya mencapai kemanfaatan, seperti penyelesaian perkara secara cepat, dapat berisiko mengabaikan pemeriksaan yang mendalam yang diperlukan untuk mencapai keadilan. Jika kemanfaatan masyarakat luas diprioritaskan, terkadang rasa keadilan individu tertentu terpaksa dikorbankan.  

Menghadapi potensi konflik ini, muncul pandangan mengenai prioritas. Beberapa sumber mengindikasikan bahwa dalam praktik peradilan di Indonesia, terutama dalam konteks pengambilan putusan oleh hakim, terdapat kecenderungan untuk memprioritaskan asas keadilan jika terjadi benturan yang tidak dapat didamaikan dengan asas kepastian hukum atau kemanfaatan. Meskipun Radbruch awalnya menempatkan kepastian hukum di atas keadilan dalam kondisi tertentu, pandangan yang berkembang kemudian, termasuk di Indonesia, seringkali menempatkan keadilan sebagai nilai tertinggi yang harus diutamakan. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan, baik implisit maupun eksplisit, terhadap suatu tatanan nilai dalam penerapan hukum di Indonesia, yang menempatkan pencapaian keadilan substantif di atas pemenuhan formalitas kepastian hukum atau pragmatisme kemanfaatan semata. Namun demikian, upaya untuk mencapai keseimbangan yang harmonis antara ketiga asas tetap menjadi ideal yang terus diupayakan dalam penegakan hukum.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...