Senin, 14 April 2025

Konsep Penyalahgunaan Wewenang dalam Hukum Administrasi Negara

Pendahuluan

  • Latar Belakang

Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara hukum modern tidak dapat dilepaskan dari adanya kewenangan (wewenang) yang diberikan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan. Kewenangan ini merupakan instrumen krusial dan menjadi titik tolak dalam hukum administrasi negara (HAN), karena tanpanya, pemerintah tidak dapat menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan negara. Pemberian wewenang, baik melalui atribusi, delegasi, maupun mandat, memungkinkan roda pemerintahan berjalan dan pelayanan publik dapat diselenggarakan.  

Namun demikian, pemberian wewenang ini secara inheren mengandung risiko terjadinya penyimpangan dalam penggunaannya, salah satu bentuknya yang paling signifikan adalah penyalahgunaan wewenang (penyalahgunaan kewenangan atau abuse of power/detournement de pouvoir). Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik merupakan pelanggaran serius yang tidak hanya melanggar aspek hukum, tetapi juga etika dan moral. Fenomena ini menjadi masalah krusial karena dapat menghambat pencapaian tujuan negara, merugikan keuangan negara, merusak kepercayaan publik, dan mencederai prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) serta prinsip negara hukum.  

Oleh karena itu, diperlukan adanya pengaturan hukum yang jelas serta mekanisme kontrol yang efektif untuk mencegah dan menindak praktik penyalahgunaan wewenang. Di Indonesia, pengaturan mengenai penyalahgunaan wewenang secara normatif dalam hukum administrasi mengalami perkembangan signifikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UUAP).

Sebelum UUAP, konsep penyalahgunaan wewenang lebih banyak dipraktikkan sebagai hukum tidak tertulis melalui Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). UUAP hadir dengan tujuan, antara lain, untuk menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas pejabat, memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat dan aparatur pemerintahan, serta diharapkan menjadi landasan hukum untuk membedakan antara kesalahan administrasi murni dengan penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi pidana, sehingga dapat mencegah kriminalisasi kebijakan.  

Tulisan ini adalah bertujuan untuk memberikan penjelasan yang komprehensif, mendalam, dan sistematis mengenai konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Administrasi Negara Indonesia, dengan fokus pada kerangka hukum yang berlaku pasca UUAP, serta menjawab seluruh rumusan masalah yang telah diajukan.

Tulisan ini disusun berdasarkan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan menganalisis ketentuan-ketentuan dalam UUAP dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya, pendekatan konsep (conceptual approach) untuk memahami makna dan doktrin hukum administrasi mengenai penyalahgunaan wewenang, serta analisis terhadap yurisprudensi dan pandangan para ahli hukum (doktrin) yang relevan.  

Definisi dan Konsep Penyalahgunaan Wewenang

  • Pengertian Doktrinal dalam Hukum Administrasi Negara

Dalam khazanah Hukum Administrasi Negara (HAN), konsep penyalahgunaan wewenang dikenal dengan istilah detournement de pouvoir (dalam tradisi hukum Prancis) atau abuse of power/misuse of power (dalam tradisi hukum Anglo-Saxon). Secara doktrinal, inti dari konsep ini adalah penggunaan suatu wewenang oleh pejabat pemerintahan untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang tersebut. Penyimpangan ini secara fundamental melanggar asas spesialitas (specialiteitsbeginsel), yaitu prinsip bahwa setiap kewenangan yang diberikan kepada pejabat pemerintahan selalu memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai. Ketika pejabat menggunakan wewenangnya tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang tersebut, maka ia telah melakukan penyalahgunaan wewenang.  

Para ahli hukum, seperti Philipus M. Hadjon dan mengutip pandangan Jean Rivero serta Waline, menguraikan penyalahgunaan wewenang ini ke dalam beberapa wujud. Secara umum, wujud-wujud tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:  

  1. Penggunaan wewenang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum demi menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Dalam hal ini, pejabat secara sadar mengalihkan tujuan wewenang demi interest pribadi atau pihak lain.  
  2. Penggunaan wewenang yang, meskipun ditujukan untuk kepentingan umum, namun menyimpang dari tujuan spesifik (doel) mengapa wewenang tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan lainnya.  
  3. Penggunaan prosedur yang tidak semestinya untuk mencapai suatu tujuan tertentu; artinya, pejabat menggunakan prosedur lain dari yang seharusnya dipergunakan agar tujuannya terlaksana.  

Aspek krusial lain dalam konsep doktrinal ini adalah unsur kesengajaan atau kesadaran. Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena kealpaan (culpa), melainkan harus dibuktikan secara faktual bahwa pejabat tersebut secara sadar (opzet) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang. Pengalihan tujuan ini didasarkan pada kepentingan pribadi, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, konseptualisasi doktrinal penyalahgunaan wewenang menekankan pada aspek substansial, yaitu penyimpangan tujuan (melanggar asas spesialitas), dan aspek mental, yaitu adanya kesadaran atau kesengajaan dari pejabat yang bersangkutan.  

  • Pengertian Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 2014

Berbeda dengan pendekatan doktrinal yang fokus pada konsep tunggal detournement de pouvoir, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) tidak memberikan definisi eksplisit mengenai apa yang dimaksud dengan "penyalahgunaan wewenang". UUAP hanya menetapkan larangan umum dalam Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang".  

Selanjutnya, Pasal 17 ayat (2) UUAP menguraikan larangan penyalahgunaan wewenang tersebut ke dalam tiga kategori atau bentuk larangan yang berbeda : a. Larangan melampaui Wewenang; b. Larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau c. Larangan bertindak sewenang-wenang.  

Pendekatan kategorisasi yang diadopsi oleh UUAP ini, alih-alih memberikan definisi tunggal, berpotensi menimbulkan perbedaan interpretasi jika dibandingkan dengan konsep doktrinal yang lebih berfokus pada penyimpangan tujuan sebagai inti dari penyalahgunaan wewenang. Fokus hukum positif bergeser pada pemenuhan kriteria dalam salah satu dari tiga kategori larangan tersebut, yang akan diuraikan lebih lanjut dalam bagian berikutnya.

Pendekatan kategorisasi dalam UUAP ini dapat dipahami sebagai upaya pembentuk undang-undang untuk memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dalam penegakan hukum administrasi. Dengan memberikan kriteria yang lebih konkret untuk setiap kategori (sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUAP), diharapkan dapat lebih mudah diidentifikasi apakah suatu tindakan pejabat termasuk penyalahgunaan wewenang atau tidak, sehingga memberikan perlindungan bagi pejabat dari potensi kriminalisasi yang tidak berdasar.

Namun, pendekatan ini bukannya tanpa kritik. Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut, para ahli hukum administrasi menilai bahwa kategorisasi dalam UUAP ini, khususnya mengenai 'melampaui wewenang' dan 'bertindak sewenang-wenang', cenderung mencampuradukkan konsep penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dengan konsep lain seperti 'bertindak tanpa wewenang' (onbevoegd atau ultra vires) dan 'tindakan sewenang-wenang' (willekeur atau abuse de droit) dalam pengertian doktrinalnya. Hal ini menciptakan area abu-abu (grey area) baru dalam pembedaan antara ketiga kategori tersebut dan konsep doktrinal yang mendasarinya, yang berimplikasi pada bagaimana kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dianalisis dan diputus oleh pengadilan.  

Dasar Hukum Pengaturan

Pengaturan mengenai penyalahgunaan wewenang dalam sistem hukum Indonesia tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, namun UUAP menjadi landasan utamanya dalam konteks hukum administrasi negara.

  • Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 sebagai Landasan Utama

UUAP secara komprehensif mengatur berbagai aspek terkait wewenang dan penyalahgunaannya dalam penyelenggaraan pemerintahan. UU ini berfungsi sebagai hukum materiel bagi sistem Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ketentuan-ketentuan kunci dalam UUAP yang relevan dengan penyalahgunaan wewenang meliputi:  

Pasal 1 angka 5: Mendefinisikan Wewenang sebagai hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.  

Pasal 8 ayat (3): Menetapkan larangan umum bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan untuk menyalahgunakan Kewenangan (dalam pasal ini digunakan istilah Kewenangan, bukan Wewenang) dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.  

Pasal 10: Mewajibkan penggunaan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Salah satu AUPB yang diakui adalah asas tidak menyalahgunakan kewenangan.  

Pasal 17: Secara spesifik melarang penyalahgunaan Wewenang dan merinci tiga kategori larangannya: melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang.  

Pasal 18: Memberikan kriteria atau indikator konkret kapan suatu tindakan/keputusan dapat dikategorikan sebagai melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, atau bertindak sewenang-wenang.  

Pasal 19: Menentukan akibat hukum dari tindakan/keputusan yang melanggar Pasal 17. Tindakan yang melampaui wewenang atau bertindak sewenang-wenang menjadi tidak sah setelah diuji dan terdapat putusan pengadilan BHT. Tindakan yang mencampuradukkan wewenang dapat dibatalkan setelah diuji dan terdapat putusan pengadilan BHT.  

Pasal 20 dan Pasal 21: Mengatur mekanisme khusus bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk mengajukan permohonan kepada PTUN guna menilai ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan/tindakannya, namun mekanisme ini hanya dapat ditempuh setelah adanya hasil pengawasan dari Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).  

Pasal 80 dan Pasal 81: Mengatur tentang sanksi administratif (ringan, sedang, berat) bagi pejabat yang melanggar ketentuan UUAP. Secara khusus, Pasal 80 ayat (3) menetapkan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 17 (larangan penyalahgunaan wewenang) dikenai sanksi administratif berat, yang bentuknya dirinci dalam Pasal 81 ayat (3).  

  • Ketentuan Relevan Lainnya

Selain UUAP, beberapa peraturan perundang-undangan lain juga memiliki relevansi dengan isu penyalahgunaan wewenang:

Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN): UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 mengatur kewenangan umum PTUN untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara (TUN), termasuk menguji Keputusan TUN (KTUN) berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB. Sebelum UUAP, pengujian terhadap penyalahgunaan wewenang dilakukan melalui AUPB, khususnya asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan asas larangan bertindak sewenang-wenang (willekeur).  

Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor): UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, khususnya Pasal 3, mengatur delik pidana "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan" dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal ini seringkali menjadi dasar hukum dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan penyalahgunaan wewenang.  

Undang-Undang tentang Ombudsman Republik Indonesia: UU No. 37 Tahun 2008 memberikan kewenangan kepada Ombudsman RI untuk menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yang salah satu bentuknya adalah penyalahgunaan wewenang.  

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 4 Tahun 2015: Peraturan ini memberikan pedoman teknis beracara bagi PTUN dalam melaksanakan kewenangan berdasarkan Pasal 21 UUAP, yaitu menilai ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang atas permohonan Badan/Pejabat Pemerintahan.  

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Beberapa pasal dalam KUHP juga dapat relevan, misalnya Pasal 209 mengenai penyuapan pejabat atau Pasal 52 mengenai pelanggaran kewajiban khusus jabatan oleh pejabat saat melakukan tindak pidana.  

Fragmentasi pengaturan penyalahgunaan wewenang dalam berbagai instrumen hukum ini (UUAP, UU PTUN, UU Tipikor, UU Ombudsman, PERMA 4/2015) menciptakan lanskap hukum yang kompleks. Hal ini menimbulkan potensi tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum dan pengawas (PTUN, Pengadilan Tipikor, Ombudsman, APIP) serta ketidakpastian mengenai jalur penyelesaian mana yang harus didahulukan atau dianggap paling tepat.

Muncul perdebatan signifikan mengenai apakah dugaan penyalahgunaan wewenang harus selalu diselesaikan terlebih dahulu melalui jalur administrasi (APIP, PTUN, Ombudsman) sebagai upaya hukum pertama (primum remedium) sebelum memasuki ranah pidana sebagai upaya hukum terakhir (ultimum remedium), atau apakah Aparat Penegak Hukum (APH) dapat langsung memprosesnya secara pidana jika terdapat indikasi korupsi yang kuat. Ketidakjelasan harmonisasi antar peraturan ini berimplikasi serius pada praktik penegakan hukum, termasuk risiko kriminalisasi pejabat yang tidak semestinya dan potensi terjadinya "balapan" penanganan perkara antar lembaga yang berbeda.  

Unsur-Unsur Penyalahgunaan Wewenang

Untuk menentukan apakah suatu tindakan pejabat pemerintahan dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang, perlu diidentifikasi unsur-unsur atau kriteria yang harus terpenuhi, baik berdasarkan doktrin maupun berdasarkan UUAP.

  • Kriteria Umum dan Asas Spesialitas

Secara doktrinal, unsur fundamental dari penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) adalah adanya penyimpangan dari tujuan (doel) ditetapkannya suatu wewenang oleh peraturan dasar yang memberikannya. Hal ini terkait erat dengan asas spesialitas, yang menyatakan bahwa setiap wewenang pemerintahan diberikan untuk mencapai tujuan spesifik tertentu. Penggunaan wewenang di luar tujuan tersebut, meskipun mungkin masih dalam lingkup formal wewenang, dianggap sebagai penyalahgunaan.  

Selain penyimpangan tujuan, doktrin juga menekankan pentingnya pembuktian secara faktual bahwa pejabat yang bersangkutan secara sadar (bewust) atau sengaja (opzettelijk) mengalihkan penggunaan wewenangnya dari tujuan yang seharusnya. Artinya, penyalahgunaan wewenang bukanlah tindakan yang terjadi karena kelalaian atau ketidaktahuan semata.  

Penyalahgunaan wewenang juga sangat erat kaitannya dengan adanya ketidakabsahan atau cacat hukum (onrechtmatigheid) pada suatu keputusan dan/atau tindakan pemerintahan. Cacat hukum ini dapat bersumber dari tiga aspek utama: cacat wewenang (onbevoegdheid), cacat prosedur (vormverzuim), atau cacat substansi (inhoudelijke gebreken). Penyalahgunaan wewenang seringkali merupakan manifestasi dari cacat substansi, khususnya ketika tujuan tindakan menyimpang dari yang seharusnya.  

  • Kategori dalam UU No. 30 Tahun 2014

UUAP, melalui Pasal 18, memberikan kriteria yang lebih operasional untuk mengidentifikasi tiga kategori larangan penyalahgunaan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 17 ayat (2):

1. Melampaui Wewenang (Pasal 18 ayat (1) UUAP) Suatu Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukannya memenuhi salah satu kriteria berikut:

  • Melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang. Contoh: Pejabat yang sudah pensiun atau berakhir masa jabatannya masih mengeluarkan keputusan.  
  • Melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang. Contoh: Bupati mengeluarkan izin untuk lokasi di luar wilayah kabupatennya.  
  • Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Contoh: Menerbitkan izin yang jelas-jelas dilarang oleh undang-undang.  

Akibat hukum dari tindakan yang melampaui wewenang adalah tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (BHT). Penting dicatat bahwa kategori 'melampaui wewenang' menurut UUAP ini lebih menekankan pada pelanggaran batas-batas formal (waktu, tempat, aturan tertulis) daripada penyimpangan tujuan yang menjadi inti detournement de pouvoir dalam doktrin. Para ahli hukum administrasi cenderung mengategorikan tindakan-tindakan ini sebagai bentuk 'bertindak tanpa wewenang' (onbevoegd atau ultra vires) , karena pejabat tersebut pada dasarnya tidak memiliki hak atau dasar hukum untuk bertindak pada waktu, tempat, atau substansi tersebut.  

2. Mencampuradukkan Wewenang (Pasal 18 ayat (2) UUAP) Suatu Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukannya memenuhi salah satu kriteria berikut:

  • Dilakukan di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan. Contoh: Pejabat Dinas Pendidikan mengeluarkan keputusan terkait perizinan bangunan.  
  • Bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan. Contoh: Menggunakan wewenang pemberian bantuan sosial untuk tujuan kampanye politik pribadi.  

Akibat hukum dari tindakan yang mencampuradukkan wewenang adalah dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan BHT. Kategori ini, khususnya unsur "bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan" (Pasal 18 ayat (2) huruf b), merupakan satu-satunya kategori dalam UUAP yang secara eksplisit mengadopsi inti dari konsep doktrinal detournement de pouvoir, yaitu penyimpangan tujuan. Namun, unsur "di luar cakupan bidang atau materi Wewenang" (Pasal 18 ayat (2) huruf a) kembali menuai kritik karena dianggap lebih mencerminkan tindakan 'tanpa wewenang' (onbevoegd) dari segi substansi atau materi.  

3. Bertindak Sewenang-wenang (Pasal 18 ayat (3) UUAP) Suatu Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukannya memenuhi salah satu kriteria berikut:

  • Dilakukan tanpa dasar Kewenangan. Contoh: Mengeluarkan perintah tanpa ada peraturan yang memberikan kewenangan untuk itu.  
  • Bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Contoh: Tetap melaksanakan keputusan yang sudah dibatalkan oleh PTUN.  

Akibat hukum dari tindakan yang bertindak sewenang-wenang adalah tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan BHT. Kategori 'bertindak sewenang-wenang' menurut UUAP ini menunjukkan divergensi yang paling jelas dengan konsep doktrinal. Jika doktrin mengartikan willekeur atau abuse de droit sebagai tindakan yang tidak rasional, tidak patut, atau tidak proporsional dalam penggunaan wewenang yang ada , UUAP justru mengaitkannya dengan ketiadaan dasar wewenang formal atau pelanggaran terhadap putusan pengadilan. Tindakan 'tanpa dasar kewenangan' secara doktrinal adalah bentuk onbevoegd , sementara pelanggaran putusan pengadilan lebih merupakan isu kepatuhan hukum (contempt of court) daripada willekeur dalam arti ketidakpatutan atau ketidakrasionalan substansi tindakan itu sendiri.  

Perbedaan dengan Konsep Terkait

Pemahaman yang akurat mengenai penyalahgunaan wewenang memerlukan pembedaan yang jelas dengan konsep-konsep hukum administrasi lain yang seringkali tumpang tindih atau disalahartikan, terutama konsep 'melampaui wewenang' (ultra vires atau onbevoegd) dan 'tindakan sewenang-wenang' (willekeur atau abuse de droit), baik dalam pengertian doktrinal maupun menurut UUAP.

Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dapat ditarik perbandingan sebagai berikut:

1.     Penyalahgunaan Wewenang (Detournement de Pouvoir - Doktrin):

Fokus utamanya adalah pada penyimpangan tujuan penggunaan wewenang. Pejabat memiliki wewenang secara formal, namun menggunakannya untuk tujuan lain di luar yang ditetapkan oleh hukum (asas spesialitas). Contoh klasik adalah penggunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan, atau penggunaan prosedur yang salah untuk mencapai tujuan. Dalam UUAP, konsep ini paling mendekati kategori Mencampuradukkan Wewenang khususnya unsur bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan (Pasal 18 ayat (2) huruf b).  

2.     Melampaui Wewenang (Ultra Vires / Onbevoegd - Doktrin):

Fokus utamanya adalah pada ketiadaan wewenang secara formal. Pejabat bertindak di luar batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya, baik dari segi waktu, tempat, maupun substansi/materi. Dalam UUAP, konsep ini tercermin dalam kategori Melampaui Wewenang (Pasal 18 ayat (1) - melampaui batas waktu/wilayah/peraturan) , sebagian dari kategori Mencampuradukkan Wewenang (Pasal 18 ayat (2) huruf a - di luar cakupan bidang/materi) , dan sebagian dari kategori Bertindak Sewenang-wenang (Pasal 18 ayat (3) huruf a - tanpa dasar Kewenangan).  

3.     Tindakan Sewenang-wenang (Willekeur / Abuse de Droit - Doktrin):

Fokus utamanya adalah pada ketidakpatutan atau ketidakrasionalan penggunaan wewenang yang ada. Pejabat memiliki wewenang formal, namun menggunakannya secara tidak layak, tidak masuk akal, tidak adil, atau tidak proporsional berdasarkan asas kepatutan atau AUPB lainnya. Dalam UUAP, konsep ini tidak secara tepat tercermin dalam kategori Bertindak Sewenang-wenang (Pasal 18 ayat (3)), karena UUAP mengaitkannya dengan ketiadaan dasar wewenang atau pelanggaran putusan pengadilan, bukan pada aspek ketidakrasionalan substansi tindakan.  

Ketidakselarasan antara terminologi yang digunakan dalam UUAP dengan konsep-konsep yang telah mapan dalam doktrin hukum administrasi ini memiliki implikasi praktis yang signifikan. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan dalam praktik hukum, baik bagi para pihak yang bersengketa, advokat, maupun hakim dalam merumuskan dalil gugatan, pembuktian, dan pertimbangan hukum.

Misalnya, suatu tindakan yang secara substansial merupakan penyalahgunaan wewenang karena menyimpang dari tujuan (doktrin detournement de pouvoir), mungkin secara formal lebih mudah dibuktikan sebagai 'melampaui wewenang' menurut Pasal 18 ayat (1) UUAP jika tindakan tersebut juga kebetulan bertentangan dengan suatu peraturan. Fokus pembuktian di PTUN akan lebih diarahkan pada pemenuhan kriteria formal dalam Pasal 18 UUAP.

Meskipun hal ini dapat memberikan kepastian hukum formal, namun berpotensi menghasilkan putusan yang secara doktrinal kurang mendalam atau kurang tepat dalam mengidentifikasi esensi pelanggaran yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif baik terhadap hukum positif (UUAP) maupun doktrin hukum administrasi menjadi sangat penting bagi para praktisi hukum untuk dapat menavigasi kompleksitas ini dan membangun argumentasi hukum yang kuat serta mencapai keadilan substansial.

Contoh-Contoh Tindakan Penyalahgunaan Wewenang

Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai manifestasi penyalahgunaan wewenang dalam praktik administrasi pemerintahan di Indonesia, berikut disajikan beberapa contoh tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang, baik berdasarkan kategori UUAP maupun yang bersinggungan dengan konsep doktrinal, sebagaimana tercermin dari berbagai sumber dan kasus:

1.     Bidang Perizinan:

o   Seorang Bupati atau Gubernur menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang seharusnya menjadi kewenangan Menteri, atau menerbitkan izin di luar wilayah kewenangannya (Contoh Melampaui Wewenang - Pasal 18(1) UUAP).  

o   Pejabat memberikan izin pertambangan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi (suap) atau menguntungkan kroni-kroninya, meskipun secara prosedural mungkin tampak benar (Contoh Mencampuradukkan Wewenang/Detournement de Pouvoir - Pasal 18(2)b UUAP). Kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, terkait penerbitan IUP merupakan salah satu contoh nyata.  

o   Menerbitkan izin yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau tata ruang wilayah (Contoh Melampaui Wewenang - Pasal 18(1)c UUAP).  

2.     Bidang Kepegawaian:

o   Melakukan pengangkatan tenaga honorer Kategori 2 (K2) menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang tidak memenuhi syarat atau melalui proses yang diwarnai Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) (Contoh Mencampuradukkan Wewenang/Detournement de Pouvoir).  

o   Seorang Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Daerah mengeluarkan Surat Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap PNS, padahal kewenangan strategis seperti itu seharusnya dimiliki oleh pejabat definitif (Contoh Melampaui Wewenang - Pasal 18(1)a UUAP). Putusan PTUN Bandung No. 123/G/2019/PTUN.BDG mengabulkan gugatan PNS yang di-PTDH oleh Plt. Bupati Cirebon karena dianggap melampaui kewenangan.  

o   Menjatuhkan sanksi disiplin berat kepada PNS tanpa dasar bukti yang kuat atau melalui prosedur pemeriksaan yang tidak sesuai ketentuan (Contoh Bertindak Sewenang-wenang - Pasal 18(3)a UUAP atau pelanggaran AUPB). Contoh kasus gugatan di PTUN Jakarta No. 307/G/2016/PTUN JKT terkait penjatuhan hukuman disiplin berat.  

o   Mengangkat Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang dianggap bukan produk lembaga peradilan yang sah menurut UU Kekuasaan Kehakiman (Potensi sengketa terkait dasar kewenangan - Pasal 18(3)a UUAP). Gugatan No. 604/G/2023/PTUN.JKT mempersoalkan hal ini.  

3.     Bidang Pengadaan Barang/Jasa dan Pengelolaan Keuangan/Aset:

o   Melakukan rekayasa atau penyimpangan dalam pelaksanaan paket pekerjaan konstruksi (misalnya pembangunan Puskesmas) untuk menguntungkan pihak tertentu (Contoh Mencampuradukkan Wewenang/Detournement de Pouvoir, sering beririsan dengan Tindak Pidana Korupsi).  

o   Menggunakan anggaran negara/daerah (misalnya dana Bantuan Subsidi Upah/BSU, dana operasional BBM Babinsa, dana Koperasi satuan) tidak sesuai peruntukannya atau untuk kepentingan pribadi (Contoh Mencampuradukkan Wewenang/Detournement de Pouvoir, sering beririsan dengan Penggelapan/Korupsi).  

o   Pejabat menolak melakukan penghapusan aset daerah dari daftar inventaris meskipun sudah ada putusan pengadilan BHT yang membatalkan sertifikat hak atas aset tersebut, sehingga menghalangi pihak lain untuk mengajukan hak atas tanah (Contoh Tindakan Faktual yang Bertentangan dengan Putusan Pengadilan - Pasal 18(3)b UUAP). Gugatan No. 86/G/TF/2022/PTUN.SMG diajukan terkait kasus semacam ini.  

4.     Bidang Kebijakan Publik dan Pelayanan:

o   Menerbitkan kebijakan atau keputusan yang secara substansial bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (misalnya Surat Edaran Mendagri) demi mengakomodasi kepentingan tertentu (Contoh Melampaui Wewenang - Pasal 18(1)c UUAP).  

o   Mengimplementasikan kebijakan (misalnya kewajiban penggunaan aplikasi PeduliLindungi sebagai syarat akses layanan publik atau mobilitas) yang dianggap melanggar hak dasar warga negara tanpa dasar hukum yang jelas, proporsional, atau melalui prosedur yang partisipatif (Potensi pelanggaran AUPB, bisa diuji melalui PTUN). Gugatan No. 140/G/TF/2020/PTUN.JKT diajukan terkait isu ini.  

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa penyalahgunaan wewenang dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk tindakan administrasi, mulai dari penerbitan keputusan tertulis (izin, SK pengangkatan, SK PTDH) hingga tindakan faktual (pengelolaan anggaran/aset, penolakan melakukan tindakan). Kasus-kasus ini seringkali tidak berdiri sendiri, melainkan bersinggungan erat dengan isu-isu lain seperti korupsi, pelanggaran prosedur formal, tindakan yang melampaui batas kewenangan secara eksplisit, maupun pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Konsekuensi Hukum

Pejabat pemerintahan yang terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang dapat dikenai berbagai konsekuensi hukum, baik dalam ranah hukum administrasi, perdata, maupun pidana, tergantung pada sifat pelanggaran dan unsur-unsur yang terpenuhi.

  • Sanksi Administratif

Sanksi administratif merupakan konsekuensi utama dan langsung dalam ranah hukum administrasi negara bagi pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang. UUAP secara tegas mengatur sistem sanksi administratif yang berjenjang (ringan, sedang, dan berat) bagi pelanggaran terhadap ketentuannya.  

Secara khusus, Pasal 80 ayat (3) UUAP menetapkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 17 (larangan penyalahgunaan wewenang) dan Pasal 42 (larangan konflik kepentingan) akan dikenai sanksi administratif berat. Bentuk-bentuk sanksi administratif berat ini kemudian dirinci dalam Pasal 81 ayat (3) UUAP, yang meliputi : a. Pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya; b. Pemberhentian tetap tanpa...source itu, jika penyalahgunaan wewenang tersebut terbukti menimbulkan kerugian pada keuangan negara, aset negara, dan/atau merusak lingkungan hidup, Pasal 80 ayat (4) UUAP juga menegaskan pengenaan sanksi administratif berat. Terkait kerugian keuangan negara, Pasal 20 ayat (6) UUAP menyatakan bahwa pengembalian kerugian tersebut dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan apabila kesalahan administratif terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang.  

Di luar UUAP, pejabat yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga dapat dikenai sanksi disiplin berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, seperti Peraturan Pemerintah tentang Disiplin PNS (misalnya PP No. 94 Tahun 2021).  

  • Potensi Sanksi Perdata dan Pidana

Meskipun fokus utama hukum administrasi adalah pada pembatalan atau pernyataan tidak sahnya keputusan/tindakan dan pengenaan sanksi administratif, penyalahgunaan wewenang juga dapat menimbulkan konsekuensi hukum di ranah perdata dan pidana.

Perdata: Pihak (warga masyarakat atau badan hukum perdata) yang merasa dirugikan secara materiil akibat keputusan atau tindakan penyalahgunaan wewenang secara teoretis dapat mengajukan gugatan ganti rugi melalui peradilan umum. Meskipun demikian, mekanisme utama dalam sengketa administrasi adalah pembatalan/pernyataan tidak sah. Dalam konteks pengawasan oleh Ombudsman, rekomendasi yang dikeluarkan dapat mencakup saran untuk pembayaran ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan.  

Pidana (Korupsi): Konsekuensi pidana menjadi relevan ketika penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Delik yang paling sering terkait adalah Pasal 3 UU Tipikor, yang menyasar perbuatan "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan" dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.  

Unsur krusial yang membedakan antara pelanggaran administrasi murni (yang diselesaikan melalui sanksi administratif) dengan tindak pidana korupsi adalah adanya niat jahat (mens rea) atau sikap batin pelaku. Jika dapat dibuktikan bahwa pejabat melakukan penyalahgunaan wewenang dengan sengaja (opzet), dengan tujuan untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain secara melawan hukum, atau disertai dengan unsur-unsur kejahatan seperti ancaman, suap, tipu muslihat, kecurangan, atau konflik kepentingan, maka perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Sanksi pidana yang diancamkan dalam UU Tipikor sangat berat, dapat berupa pidana penjara (paling singkat 1 tahun, paling lama 20 tahun atau bahkan seumur hidup) dan/atau denda yang signifikan.  

  • Hubungan Antara Proses Administratif dan Pidana

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, terdapat potensi tumpang tindih dan kompleksitas dalam hubungan antara penanganan penyalahgunaan wewenang di ranah administrasi dan pidana. UUAP, khususnya melalui Pasal 21, dan peraturan pelaksananya, PERMA No. 4 Tahun 2015, mencoba memberikan demarkasi dengan mengatur mekanisme pengujian unsur penyalahgunaan wewenang oleh PTUN.

Mekanisme ini mensyaratkan adanya hasil pengawasan dari APIP terlebih dahulu. Jika hasil pengawasan APIP hanya menemukan kesalahan administratif biasa, penyelesaian dilakukan secara internal. Namun, jika ditemukan kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara karena adanya dugaan penyalahgunaan wewenang, terdapat dua kemungkinan: (1) Badan/Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan penilaian ke PTUN , atau (2) APIP atau masyarakat dapat melaporkan dugaan tersebut kepada APH untuk diproses secara pidana.  

PERMA No. 4 Tahun 2015 Pasal 2 secara eksplisit menyatakan bahwa PTUN hanya berwenang memeriksa permohonan penilaian unsur penyalahgunaan wewenang sebelum adanya proses pidana. Ketentuan ini memiliki implikasi penting:  

  • Jika putusan PTUN yang telah BHT menyatakan bahwa tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan/tindakan pejabat, maka berdasarkan Pasal 21 ayat (6) UUAP jo. Pasal 15 ayat (2) PERMA 4/2015, pejabat tersebut tidak dapat dituntut pertanggungjawaban pidana. Putusan PTUN ini mengikat APH.  
  • Sebaliknya, jika putusan PTUN menyatakan ada unsur penyalahgunaan wewenang, hal ini tidak secara otomatis berarti pejabat tersebut bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Putusan PTUN tersebut dapat menjadi salah satu alat bukti dalam persidangan pidana, namun jaksa penuntut umum tetap harus membuktikan unsur-unsur lain dalam delik korupsi, terutama adanya niat jahat (mens rea) dan kerugian negara, di Pengadilan Tipikor.  

Meskipun UUAP dan PERMA 4/2015 bertujuan memisahkan ranah administrasi dan pidana serta mencegah kriminalisasi yang tidak perlu, mekanisme yang diciptakan ini justru menimbulkan kompleksitas baru. Batasan "sebelum adanya proses pidana" dalam PERMA 4/2015 menjadi ambigu dan problematik. Kapan tepatnya "proses pidana" dianggap dimulai (sejak penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan?) menjadi pertanyaan krusial. Jika APH telah memulai proses penyidikan, apakah akses pejabat ke PTUN otomatis tertutup? Sebaliknya, jika pejabat telah mengajukan permohonan ke PTUN, apakah APH harus menunda proses pidana hingga ada putusan PTUN BHT?. Situasi ini berpotensi memperlambat penanganan kasus korupsi yang seharusnya cepat dan efektif, atau sebaliknya, dapat menghambat hak pejabat untuk mendapatkan penilaian dari perspektif hukum administrasi. Kompleksitas demarkasi ini menunjukkan tantangan besar dalam implementasi harmonisasi antara hukum administrasi dan hukum pidana dalam penanganan penyalahgunaan wewenang di Indonesia.  

Kesimpulan

Konsep penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dalam Hukum Administrasi Negara Indonesia secara doktrinal dipahami sebagai penggunaan wewenang oleh pejabat secara sadar untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan ditetapkannya wewenang tersebut (melanggar asas spesialitas), baik untuk kepentingan pribadi/golongan, menyimpang dari tujuan umum yang ditetapkan UU, maupun menyalahgunakan prosedur.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) menjadi dasar hukum utama pengaturan penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi positif. Namun, UUAP tidak memberikan definisi eksplisit, melainkan mengategorikan larangan penyalahgunaan wewenang ke dalam tiga bentuk: (a) melampaui wewenang, (b) mencampuradukkan wewenang, dan (c) bertindak sewenang-wenang (Pasal 17 ayat (2)), dengan kriteria masing-masing diatur dalam Pasal 18.

Terdapat divergensi konseptual antara kategorisasi dalam UUAP dengan doktrin HAN. Kategori 'melampaui wewenang' dan 'bertindak sewenang-wenang' dalam UUAP lebih fokus pada pelanggaran batas formal atau ketiadaan dasar hukum, yang secara doktrinal lebih dekat dengan konsep 'tanpa wewenang' (onbevoegd/ultra vires). Hanya unsur 'bertentangan dengan tujuan wewenang' dalam kategori 'mencampuradukkan wewenang' (Pasal 18 ayat (2) huruf b) yang secara substansial selaras dengan inti konsep detournement de pouvoir.

Penyalahgunaan wewenang dapat termanifestasi dalam berbagai tindakan administrasi (perizinan, kepegawaian, pengelolaan keuangan/aset, kebijakan publik) dan seringkali beririsan dengan isu korupsi, pelanggaran prosedur, atau pelanggaran hak asasi.

Konsekuensi hukum utama bagi pejabat yang terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang menurut UUAP adalah sanksi administratif berat berupa pemberhentian tetap (Pasal 80 ayat (3) jo. Pasal 81 ayat (3)). Jika disertai niat jahat (mens rea) dan merugikan keuangan negara, dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan UU Tipikor (Pasal 3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...