Pendahuluan
- Latar Belakang
Penyelenggaraan pemerintahan
dalam suatu negara hukum modern tidak dapat dilepaskan dari adanya kewenangan
(wewenang) yang diberikan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Kewenangan ini merupakan instrumen krusial dan menjadi titik tolak dalam hukum
administrasi negara (HAN), karena tanpanya, pemerintah tidak dapat menjalankan
fungsinya untuk mencapai tujuan negara. Pemberian wewenang, baik melalui
atribusi, delegasi, maupun mandat, memungkinkan roda pemerintahan berjalan dan
pelayanan publik dapat diselenggarakan.
Namun demikian, pemberian
wewenang ini secara inheren mengandung risiko terjadinya penyimpangan dalam
penggunaannya, salah satu bentuknya yang paling signifikan adalah penyalahgunaan
wewenang (penyalahgunaan kewenangan atau abuse of
power/detournement de pouvoir). Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik
merupakan pelanggaran serius yang tidak hanya melanggar aspek hukum,
tetapi juga etika dan moral. Fenomena ini menjadi masalah krusial karena dapat
menghambat pencapaian tujuan negara, merugikan keuangan negara, merusak
kepercayaan publik, dan mencederai prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance) serta prinsip negara hukum.
Oleh karena itu, diperlukan
adanya pengaturan hukum yang jelas serta mekanisme kontrol yang efektif untuk
mencegah dan menindak praktik penyalahgunaan wewenang. Di Indonesia, pengaturan
mengenai penyalahgunaan wewenang secara normatif dalam hukum administrasi
mengalami perkembangan signifikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UUAP).
Sebelum UUAP, konsep
penyalahgunaan wewenang lebih banyak dipraktikkan sebagai hukum tidak tertulis
melalui Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). UUAP hadir dengan tujuan,
antara lain, untuk menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan
wewenang, menjamin akuntabilitas pejabat, memberikan perlindungan hukum bagi
warga masyarakat dan aparatur pemerintahan, serta diharapkan menjadi landasan
hukum untuk membedakan antara kesalahan administrasi murni dengan
penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi pidana, sehingga dapat mencegah
kriminalisasi kebijakan.
Tulisan ini adalah bertujuan
untuk memberikan penjelasan yang komprehensif, mendalam, dan sistematis
mengenai konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Administrasi Negara
Indonesia, dengan fokus pada kerangka hukum yang berlaku pasca UUAP, serta
menjawab seluruh rumusan masalah yang telah diajukan.
Tulisan ini disusun
berdasarkan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan
meliputi pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan
menganalisis ketentuan-ketentuan dalam UUAP dan peraturan perundang-undangan
terkait lainnya, pendekatan konsep (conceptual approach) untuk memahami
makna dan doktrin hukum administrasi mengenai penyalahgunaan wewenang, serta
analisis terhadap yurisprudensi dan pandangan para ahli hukum (doktrin) yang
relevan.
Definisi dan Konsep Penyalahgunaan Wewenang
- Pengertian Doktrinal dalam Hukum
Administrasi Negara
Dalam khazanah Hukum
Administrasi Negara (HAN), konsep penyalahgunaan wewenang dikenal dengan
istilah detournement de pouvoir (dalam tradisi hukum Prancis) atau abuse
of power/misuse of power (dalam tradisi hukum Anglo-Saxon). Secara
doktrinal, inti dari konsep ini adalah penggunaan suatu wewenang oleh pejabat
pemerintahan untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang tersebut.
Penyimpangan ini secara fundamental melanggar asas spesialitas (specialiteitsbeginsel),
yaitu prinsip bahwa setiap kewenangan yang diberikan kepada pejabat
pemerintahan selalu memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai. Ketika pejabat
menggunakan wewenangnya tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian
wewenang tersebut, maka ia telah melakukan penyalahgunaan wewenang.
Para ahli hukum, seperti
Philipus M. Hadjon dan mengutip pandangan Jean Rivero serta Waline, menguraikan
penyalahgunaan wewenang ini ke dalam beberapa wujud. Secara umum, wujud-wujud
tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
- Penggunaan wewenang untuk melakukan
tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum demi menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Dalam hal ini, pejabat
secara sadar mengalihkan tujuan wewenang demi interest pribadi atau
pihak lain.
- Penggunaan wewenang yang, meskipun
ditujukan untuk kepentingan umum, namun menyimpang dari tujuan spesifik (doel)
mengapa wewenang tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan
lainnya.
- Penggunaan prosedur yang tidak semestinya
untuk mencapai suatu tujuan tertentu; artinya, pejabat menggunakan
prosedur lain dari yang seharusnya dipergunakan agar tujuannya terlaksana.
Aspek krusial lain dalam
konsep doktrinal ini adalah unsur kesengajaan atau kesadaran. Terjadinya
penyalahgunaan wewenang bukanlah karena kealpaan (culpa), melainkan
harus dibuktikan secara faktual bahwa pejabat tersebut secara sadar (opzet)
telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang. Pengalihan
tujuan ini didasarkan pada kepentingan pribadi, baik untuk dirinya sendiri
maupun orang lain. Dengan demikian, konseptualisasi doktrinal penyalahgunaan
wewenang menekankan pada aspek substansial, yaitu penyimpangan tujuan
(melanggar asas spesialitas), dan aspek mental, yaitu adanya kesadaran
atau kesengajaan dari pejabat yang bersangkutan.
- Pengertian Menurut Undang-Undang No. 30
Tahun 2014
Berbeda dengan pendekatan
doktrinal yang fokus pada konsep tunggal detournement de pouvoir,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP)
tidak memberikan definisi eksplisit mengenai apa yang dimaksud dengan
"penyalahgunaan wewenang". UUAP hanya menetapkan larangan umum dalam
Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang".
Selanjutnya, Pasal 17 ayat (2)
UUAP menguraikan larangan penyalahgunaan wewenang tersebut ke dalam tiga
kategori atau bentuk larangan yang berbeda : a. Larangan melampaui Wewenang; b.
Larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau c. Larangan bertindak
sewenang-wenang.
Pendekatan kategorisasi yang
diadopsi oleh UUAP ini, alih-alih memberikan definisi tunggal, berpotensi
menimbulkan perbedaan interpretasi jika dibandingkan dengan konsep doktrinal
yang lebih berfokus pada penyimpangan tujuan sebagai inti dari penyalahgunaan
wewenang. Fokus hukum positif bergeser pada pemenuhan kriteria dalam salah satu
dari tiga kategori larangan tersebut, yang akan diuraikan lebih lanjut dalam bagian
berikutnya.
Pendekatan kategorisasi dalam
UUAP ini dapat dipahami sebagai upaya pembentuk undang-undang untuk memberikan
kepastian hukum yang lebih tinggi dalam penegakan hukum administrasi.
Dengan memberikan kriteria yang lebih konkret untuk setiap kategori
(sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUAP), diharapkan dapat lebih mudah
diidentifikasi apakah suatu tindakan pejabat termasuk penyalahgunaan wewenang
atau tidak, sehingga memberikan perlindungan bagi pejabat dari potensi
kriminalisasi yang tidak berdasar.
Namun, pendekatan ini bukannya
tanpa kritik. Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut, para ahli hukum
administrasi menilai bahwa kategorisasi dalam UUAP ini, khususnya mengenai 'melampaui
wewenang' dan 'bertindak sewenang-wenang', cenderung mencampuradukkan konsep
penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dengan konsep lain
seperti 'bertindak tanpa wewenang' (onbevoegd atau ultra vires)
dan 'tindakan sewenang-wenang' (willekeur atau abuse de droit)
dalam pengertian doktrinalnya. Hal ini menciptakan area abu-abu (grey area)
baru dalam pembedaan antara ketiga kategori tersebut dan konsep doktrinal yang
mendasarinya, yang berimplikasi pada bagaimana kasus-kasus penyalahgunaan
wewenang dianalisis dan diputus oleh pengadilan.
Dasar Hukum Pengaturan
Pengaturan mengenai
penyalahgunaan wewenang dalam sistem hukum Indonesia tersebar dalam beberapa
peraturan perundang-undangan, namun UUAP menjadi landasan utamanya dalam
konteks hukum administrasi negara.
- Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 sebagai
Landasan Utama
UUAP secara komprehensif
mengatur berbagai aspek terkait wewenang dan penyalahgunaannya dalam
penyelenggaraan pemerintahan. UU ini berfungsi sebagai hukum materiel bagi
sistem Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ketentuan-ketentuan kunci dalam UUAP
yang relevan dengan penyalahgunaan wewenang meliputi:
Pasal 1 angka 5:
Mendefinisikan Wewenang sebagai hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan
dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 8 ayat (3):
Menetapkan larangan umum bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan untuk
menyalahgunakan Kewenangan (dalam pasal ini digunakan istilah Kewenangan, bukan
Wewenang) dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
Pasal 10:
Mewajibkan penggunaan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Salah satu AUPB yang diakui
adalah asas tidak menyalahgunakan kewenangan.
Pasal 17:
Secara spesifik melarang penyalahgunaan Wewenang dan merinci tiga kategori
larangannya: melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak
sewenang-wenang.
Pasal 18:
Memberikan kriteria atau indikator konkret kapan suatu tindakan/keputusan dapat
dikategorikan sebagai melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, atau
bertindak sewenang-wenang.
Pasal 19:
Menentukan akibat hukum dari tindakan/keputusan yang melanggar Pasal 17.
Tindakan yang melampaui wewenang atau bertindak sewenang-wenang menjadi tidak
sah setelah diuji dan terdapat putusan pengadilan BHT. Tindakan yang
mencampuradukkan wewenang dapat dibatalkan setelah diuji dan terdapat
putusan pengadilan BHT.
Pasal 20 dan Pasal 21: Mengatur
mekanisme khusus bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk mengajukan
permohonan kepada PTUN guna menilai ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan
wewenang dalam keputusan/tindakannya, namun mekanisme ini hanya dapat ditempuh
setelah adanya hasil pengawasan dari Aparat Pengawasan Intern Pemerintah
(APIP).
Pasal 80 dan Pasal 81:
Mengatur tentang sanksi administratif (ringan, sedang, berat) bagi pejabat yang
melanggar ketentuan UUAP. Secara khusus, Pasal 80 ayat (3) menetapkan bahwa
pelanggaran terhadap Pasal 17 (larangan penyalahgunaan wewenang) dikenai sanksi
administratif berat, yang bentuknya dirinci dalam Pasal 81 ayat (3).
- Ketentuan Relevan Lainnya
Selain UUAP, beberapa
peraturan perundang-undangan lain juga memiliki relevansi dengan isu
penyalahgunaan wewenang:
Undang-Undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN): UU No. 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 mengatur
kewenangan umum PTUN untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara (TUN), termasuk menguji Keputusan TUN (KTUN) berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan AUPB. Sebelum UUAP, pengujian terhadap penyalahgunaan
wewenang dilakukan melalui AUPB, khususnya asas larangan penyalahgunaan
wewenang (detournement de pouvoir) dan asas larangan bertindak
sewenang-wenang (willekeur).
Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor): UU
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001,
khususnya Pasal 3, mengatur delik pidana "menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan"
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal ini seringkali
menjadi dasar hukum dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan
penyalahgunaan wewenang.
Undang-Undang tentang
Ombudsman Republik Indonesia: UU No. 37 Tahun 2008
memberikan kewenangan kepada Ombudsman RI untuk menerima dan menindaklanjuti
laporan masyarakat atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, yang salah satu bentuknya adalah penyalahgunaan wewenang.
Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) No. 4 Tahun 2015: Peraturan ini memberikan pedoman teknis
beracara bagi PTUN dalam melaksanakan kewenangan berdasarkan Pasal 21 UUAP,
yaitu menilai ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang atas
permohonan Badan/Pejabat Pemerintahan.
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP): Beberapa pasal dalam KUHP juga dapat relevan,
misalnya Pasal 209 mengenai penyuapan pejabat atau Pasal 52 mengenai
pelanggaran kewajiban khusus jabatan oleh pejabat saat melakukan tindak pidana.
Fragmentasi pengaturan
penyalahgunaan wewenang dalam berbagai instrumen hukum ini (UUAP, UU PTUN, UU
Tipikor, UU Ombudsman, PERMA 4/2015) menciptakan lanskap hukum yang kompleks.
Hal ini menimbulkan potensi tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak
hukum dan pengawas (PTUN, Pengadilan Tipikor, Ombudsman, APIP) serta
ketidakpastian mengenai jalur penyelesaian mana yang harus didahulukan atau
dianggap paling tepat.
Muncul perdebatan signifikan mengenai
apakah dugaan penyalahgunaan wewenang harus selalu diselesaikan terlebih dahulu
melalui jalur administrasi (APIP, PTUN, Ombudsman) sebagai upaya hukum
pertama (primum remedium) sebelum memasuki ranah pidana sebagai upaya
hukum terakhir (ultimum remedium), atau apakah Aparat Penegak Hukum
(APH) dapat langsung memprosesnya secara pidana jika terdapat indikasi korupsi
yang kuat. Ketidakjelasan harmonisasi antar peraturan ini berimplikasi serius
pada praktik penegakan hukum, termasuk risiko kriminalisasi pejabat yang tidak
semestinya dan potensi terjadinya "balapan" penanganan perkara antar
lembaga yang berbeda.
Unsur-Unsur Penyalahgunaan Wewenang
Untuk menentukan apakah suatu
tindakan pejabat pemerintahan dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan
wewenang, perlu diidentifikasi unsur-unsur atau kriteria yang harus terpenuhi,
baik berdasarkan doktrin maupun berdasarkan UUAP.
- Kriteria Umum dan Asas Spesialitas
Secara doktrinal, unsur
fundamental dari penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir)
adalah adanya penyimpangan dari tujuan (doel) ditetapkannya suatu
wewenang oleh peraturan dasar yang memberikannya. Hal ini terkait erat dengan
asas spesialitas, yang menyatakan bahwa setiap wewenang pemerintahan
diberikan untuk mencapai tujuan spesifik tertentu. Penggunaan wewenang di
luar tujuan tersebut, meskipun mungkin masih dalam lingkup formal wewenang,
dianggap sebagai penyalahgunaan.
Selain penyimpangan tujuan,
doktrin juga menekankan pentingnya pembuktian secara faktual bahwa pejabat
yang bersangkutan secara sadar (bewust) atau sengaja (opzettelijk)
mengalihkan penggunaan wewenangnya dari tujuan yang seharusnya. Artinya,
penyalahgunaan wewenang bukanlah tindakan yang terjadi karena kelalaian atau
ketidaktahuan semata.
Penyalahgunaan wewenang juga
sangat erat kaitannya dengan adanya ketidakabsahan atau cacat hukum (onrechtmatigheid)
pada suatu keputusan dan/atau tindakan pemerintahan. Cacat hukum ini dapat
bersumber dari tiga aspek utama: cacat wewenang (onbevoegdheid), cacat
prosedur (vormverzuim), atau cacat substansi (inhoudelijke gebreken).
Penyalahgunaan wewenang seringkali merupakan manifestasi dari cacat
substansi, khususnya ketika tujuan tindakan menyimpang dari yang
seharusnya.
- Kategori dalam UU No. 30 Tahun 2014
UUAP, melalui Pasal 18,
memberikan kriteria yang lebih operasional untuk mengidentifikasi tiga kategori
larangan penyalahgunaan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 17 ayat (2):
1. Melampaui Wewenang (Pasal
18 ayat (1) UUAP) Suatu Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dikategorikan melampaui wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang
dilakukannya memenuhi salah satu kriteria berikut:
- Melampaui masa jabatan
atau batas waktu berlakunya Wewenang. Contoh: Pejabat yang sudah pensiun
atau berakhir masa jabatannya masih mengeluarkan keputusan.
- Melampaui batas wilayah
berlakunya Wewenang. Contoh: Bupati mengeluarkan izin untuk lokasi di luar
wilayah kabupatennya.
- Bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Contoh: Menerbitkan izin yang
jelas-jelas dilarang oleh undang-undang.
Akibat hukum dari tindakan
yang melampaui wewenang adalah tidak sah apabila telah diuji dan ada
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (BHT). Penting dicatat bahwa
kategori 'melampaui wewenang' menurut UUAP ini lebih menekankan pada pelanggaran
batas-batas formal (waktu, tempat, aturan tertulis) daripada penyimpangan
tujuan yang menjadi inti detournement de pouvoir dalam doktrin. Para
ahli hukum administrasi cenderung mengategorikan tindakan-tindakan ini sebagai
bentuk 'bertindak tanpa wewenang' (onbevoegd atau ultra vires) ,
karena pejabat tersebut pada dasarnya tidak memiliki hak atau dasar hukum untuk
bertindak pada waktu, tempat, atau substansi tersebut.
2. Mencampuradukkan Wewenang
(Pasal 18 ayat (2) UUAP) Suatu Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan
yang dilakukannya memenuhi salah satu kriteria berikut:
- Dilakukan di luar cakupan bidang
atau materi Wewenang yang diberikan. Contoh: Pejabat Dinas Pendidikan
mengeluarkan keputusan terkait perizinan bangunan.
- Bertentangan dengan tujuan Wewenang
yang diberikan. Contoh: Menggunakan wewenang pemberian bantuan sosial
untuk tujuan kampanye politik pribadi.
Akibat hukum dari tindakan
yang mencampuradukkan wewenang adalah dapat dibatalkan apabila telah
diuji dan ada putusan pengadilan BHT. Kategori ini, khususnya unsur
"bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan" (Pasal 18 ayat
(2) huruf b), merupakan satu-satunya kategori dalam UUAP yang secara eksplisit
mengadopsi inti dari konsep doktrinal detournement de pouvoir, yaitu
penyimpangan tujuan. Namun, unsur "di luar cakupan bidang atau materi
Wewenang" (Pasal 18 ayat (2) huruf a) kembali menuai kritik karena
dianggap lebih mencerminkan tindakan 'tanpa wewenang' (onbevoegd) dari
segi substansi atau materi.
3. Bertindak Sewenang-wenang
(Pasal 18 ayat (3) UUAP) Suatu Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan
yang dilakukannya memenuhi salah satu kriteria berikut:
- Dilakukan tanpa dasar Kewenangan.
Contoh: Mengeluarkan perintah tanpa ada peraturan yang memberikan
kewenangan untuk itu.
- Bertentangan dengan Putusan Pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap. Contoh: Tetap
melaksanakan keputusan yang sudah dibatalkan oleh PTUN.
Akibat hukum dari tindakan
yang bertindak sewenang-wenang adalah tidak sah apabila telah diuji dan
ada putusan pengadilan BHT. Kategori 'bertindak sewenang-wenang' menurut UUAP
ini menunjukkan divergensi yang paling jelas dengan konsep doktrinal. Jika
doktrin mengartikan willekeur atau abuse de droit sebagai
tindakan yang tidak rasional, tidak patut, atau tidak proporsional dalam
penggunaan wewenang yang ada , UUAP justru mengaitkannya dengan ketiadaan dasar
wewenang formal atau pelanggaran terhadap putusan pengadilan. Tindakan 'tanpa
dasar kewenangan' secara doktrinal adalah bentuk onbevoegd , sementara
pelanggaran putusan pengadilan lebih merupakan isu kepatuhan hukum (contempt
of court) daripada willekeur dalam arti ketidakpatutan atau
ketidakrasionalan substansi tindakan itu sendiri.
Perbedaan dengan Konsep Terkait
Pemahaman yang akurat mengenai
penyalahgunaan wewenang memerlukan pembedaan yang jelas dengan konsep-konsep
hukum administrasi lain yang seringkali tumpang tindih atau disalahartikan,
terutama konsep 'melampaui wewenang' (ultra vires atau onbevoegd)
dan 'tindakan sewenang-wenang' (willekeur atau abuse de droit),
baik dalam pengertian doktrinal maupun menurut UUAP.
Berdasarkan uraian pada bagian
sebelumnya, dapat ditarik perbandingan sebagai berikut:
1. Penyalahgunaan
Wewenang (Detournement de Pouvoir - Doktrin):
Fokus
utamanya adalah pada penyimpangan tujuan penggunaan wewenang. Pejabat
memiliki wewenang secara formal, namun menggunakannya untuk tujuan lain di luar
yang ditetapkan oleh hukum (asas spesialitas). Contoh klasik adalah penggunaan
wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan, atau penggunaan prosedur yang
salah untuk mencapai tujuan. Dalam UUAP, konsep ini paling mendekati kategori Mencampuradukkan
Wewenang khususnya unsur bertentangan dengan tujuan Wewenang yang
diberikan (Pasal 18 ayat (2) huruf b).
2. Melampaui
Wewenang (Ultra Vires / Onbevoegd - Doktrin):
Fokus
utamanya adalah pada ketiadaan wewenang secara formal. Pejabat bertindak
di luar batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya, baik dari segi waktu,
tempat, maupun substansi/materi. Dalam UUAP, konsep ini tercermin dalam
kategori Melampaui Wewenang (Pasal 18 ayat (1) - melampaui batas
waktu/wilayah/peraturan) , sebagian dari kategori Mencampuradukkan Wewenang
(Pasal 18 ayat (2) huruf a - di luar cakupan bidang/materi) , dan sebagian dari
kategori Bertindak Sewenang-wenang (Pasal 18 ayat (3) huruf a - tanpa
dasar Kewenangan).
3. Tindakan
Sewenang-wenang (Willekeur / Abuse de Droit - Doktrin):
Fokus
utamanya adalah pada ketidakpatutan atau ketidakrasionalan penggunaan
wewenang yang ada. Pejabat memiliki wewenang formal, namun menggunakannya
secara tidak layak, tidak masuk akal, tidak adil, atau tidak proporsional
berdasarkan asas kepatutan atau AUPB lainnya. Dalam UUAP, konsep ini tidak
secara tepat tercermin dalam kategori Bertindak Sewenang-wenang
(Pasal 18 ayat (3)), karena UUAP mengaitkannya dengan ketiadaan dasar wewenang
atau pelanggaran putusan pengadilan, bukan pada aspek ketidakrasionalan
substansi tindakan.
Ketidakselarasan antara
terminologi yang digunakan dalam UUAP dengan konsep-konsep yang telah mapan
dalam doktrin hukum administrasi ini memiliki implikasi praktis yang
signifikan. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan dalam praktik hukum, baik
bagi para pihak yang bersengketa, advokat, maupun hakim dalam merumuskan dalil
gugatan, pembuktian, dan pertimbangan hukum.
Misalnya, suatu tindakan yang
secara substansial merupakan penyalahgunaan wewenang karena menyimpang dari
tujuan (doktrin detournement de pouvoir), mungkin secara formal lebih
mudah dibuktikan sebagai 'melampaui wewenang' menurut Pasal 18 ayat (1) UUAP
jika tindakan tersebut juga kebetulan bertentangan dengan suatu peraturan.
Fokus pembuktian di PTUN akan lebih diarahkan pada pemenuhan kriteria formal
dalam Pasal 18 UUAP.
Meskipun hal ini dapat
memberikan kepastian hukum formal, namun berpotensi menghasilkan putusan yang
secara doktrinal kurang mendalam atau kurang tepat dalam mengidentifikasi
esensi pelanggaran yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif
baik terhadap hukum positif (UUAP) maupun doktrin hukum administrasi menjadi
sangat penting bagi para praktisi hukum untuk dapat menavigasi kompleksitas ini
dan membangun argumentasi hukum yang kuat serta mencapai keadilan substansial.
Contoh-Contoh Tindakan Penyalahgunaan Wewenang
Untuk memberikan gambaran yang
lebih konkret mengenai manifestasi penyalahgunaan wewenang dalam praktik
administrasi pemerintahan di Indonesia, berikut disajikan beberapa contoh
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang, baik berdasarkan
kategori UUAP maupun yang bersinggungan dengan konsep doktrinal, sebagaimana
tercermin dari berbagai sumber dan kasus:
1. Bidang
Perizinan:
o Seorang
Bupati atau Gubernur menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang
seharusnya menjadi kewenangan Menteri, atau menerbitkan izin di luar wilayah
kewenangannya (Contoh Melampaui Wewenang - Pasal 18(1) UUAP).
o Pejabat
memberikan izin pertambangan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi
(suap) atau menguntungkan kroni-kroninya, meskipun secara prosedural mungkin
tampak benar (Contoh Mencampuradukkan Wewenang/Detournement de Pouvoir - Pasal
18(2)b UUAP). Kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur
Alam, terkait penerbitan IUP merupakan salah satu contoh nyata.
o Menerbitkan
izin yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau tata ruang wilayah (Contoh Melampaui Wewenang - Pasal 18(1)c UUAP).
2. Bidang
Kepegawaian:
o Melakukan
pengangkatan tenaga honorer Kategori 2 (K2) menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
(CPNS) yang tidak memenuhi syarat atau melalui proses yang diwarnai Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) (Contoh Mencampuradukkan Wewenang/Detournement de
Pouvoir).
o Seorang
Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Daerah mengeluarkan Surat Keputusan Pemberhentian
Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap PNS, padahal kewenangan strategis seperti
itu seharusnya dimiliki oleh pejabat definitif (Contoh Melampaui Wewenang -
Pasal 18(1)a UUAP). Putusan PTUN Bandung No. 123/G/2019/PTUN.BDG mengabulkan
gugatan PNS yang di-PTDH oleh Plt. Bupati Cirebon karena dianggap melampaui
kewenangan.
o Menjatuhkan
sanksi disiplin berat kepada PNS tanpa dasar bukti yang kuat atau melalui
prosedur pemeriksaan yang tidak sesuai ketentuan (Contoh Bertindak
Sewenang-wenang - Pasal 18(3)a UUAP atau pelanggaran AUPB). Contoh kasus
gugatan di PTUN Jakarta No. 307/G/2016/PTUN JKT terkait penjatuhan hukuman
disiplin berat.
o Mengangkat
Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang
dianggap bukan produk lembaga peradilan yang sah menurut UU Kekuasaan Kehakiman
(Potensi sengketa terkait dasar kewenangan - Pasal 18(3)a UUAP). Gugatan No.
604/G/2023/PTUN.JKT mempersoalkan hal ini.
3. Bidang
Pengadaan Barang/Jasa dan Pengelolaan Keuangan/Aset:
o Melakukan
rekayasa atau penyimpangan dalam pelaksanaan paket pekerjaan konstruksi
(misalnya pembangunan Puskesmas) untuk menguntungkan pihak tertentu (Contoh
Mencampuradukkan Wewenang/Detournement de Pouvoir, sering beririsan dengan
Tindak Pidana Korupsi).
o Menggunakan
anggaran negara/daerah (misalnya dana Bantuan Subsidi Upah/BSU, dana
operasional BBM Babinsa, dana Koperasi satuan) tidak sesuai peruntukannya atau
untuk kepentingan pribadi (Contoh Mencampuradukkan Wewenang/Detournement de
Pouvoir, sering beririsan dengan Penggelapan/Korupsi).
o Pejabat
menolak melakukan penghapusan aset daerah dari daftar inventaris meskipun sudah
ada putusan pengadilan BHT yang membatalkan sertifikat hak atas aset tersebut,
sehingga menghalangi pihak lain untuk mengajukan hak atas tanah (Contoh
Tindakan Faktual yang Bertentangan dengan Putusan Pengadilan - Pasal 18(3)b
UUAP). Gugatan No. 86/G/TF/2022/PTUN.SMG diajukan terkait kasus semacam ini.
4. Bidang
Kebijakan Publik dan Pelayanan:
o Menerbitkan
kebijakan atau keputusan yang secara substansial bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi (misalnya Surat Edaran Mendagri) demi mengakomodasi
kepentingan tertentu (Contoh Melampaui Wewenang - Pasal 18(1)c UUAP).
o Mengimplementasikan
kebijakan (misalnya kewajiban penggunaan aplikasi PeduliLindungi sebagai syarat
akses layanan publik atau mobilitas) yang dianggap melanggar hak dasar warga
negara tanpa dasar hukum yang jelas, proporsional, atau melalui prosedur yang
partisipatif (Potensi pelanggaran AUPB, bisa diuji melalui PTUN). Gugatan No.
140/G/TF/2020/PTUN.JKT diajukan terkait isu ini.
Contoh-contoh di atas
menunjukkan bahwa penyalahgunaan wewenang dapat termanifestasi dalam berbagai
bentuk tindakan administrasi, mulai dari penerbitan keputusan tertulis (izin,
SK pengangkatan, SK PTDH) hingga tindakan faktual (pengelolaan anggaran/aset,
penolakan melakukan tindakan). Kasus-kasus ini seringkali tidak berdiri
sendiri, melainkan bersinggungan erat dengan isu-isu lain seperti korupsi,
pelanggaran prosedur formal, tindakan yang melampaui batas kewenangan secara
eksplisit, maupun pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara dan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
Konsekuensi Hukum
Pejabat pemerintahan yang
terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang dapat dikenai berbagai konsekuensi
hukum, baik dalam ranah hukum administrasi, perdata, maupun pidana, tergantung
pada sifat pelanggaran dan unsur-unsur yang terpenuhi.
- Sanksi Administratif
Sanksi administratif merupakan
konsekuensi utama dan langsung dalam ranah hukum administrasi negara bagi
pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang. UUAP secara tegas mengatur
sistem sanksi administratif yang berjenjang (ringan, sedang, dan berat) bagi
pelanggaran terhadap ketentuannya.
Secara khusus, Pasal 80 ayat
(3) UUAP menetapkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 17 (larangan
penyalahgunaan wewenang) dan Pasal 42 (larangan konflik kepentingan) akan
dikenai sanksi administratif berat. Bentuk-bentuk sanksi administratif
berat ini kemudian dirinci dalam Pasal 81 ayat (3) UUAP, yang meliputi : a.
Pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;
b. Pemberhentian tetap tanpa...source itu, jika penyalahgunaan wewenang tersebut terbukti
menimbulkan kerugian pada keuangan negara, aset negara, dan/atau merusak
lingkungan hidup, Pasal 80 ayat (4) UUAP juga menegaskan pengenaan sanksi
administratif berat. Terkait kerugian keuangan negara, Pasal 20 ayat (6) UUAP
menyatakan bahwa pengembalian kerugian tersebut dibebankan kepada Pejabat
Pemerintahan apabila kesalahan administratif terjadi karena adanya unsur
penyalahgunaan wewenang.
Di luar UUAP, pejabat yang
berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga dapat dikenai sanksi disiplin
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, seperti
Peraturan Pemerintah tentang Disiplin PNS (misalnya PP No. 94 Tahun 2021).
- Potensi Sanksi Perdata dan Pidana
Meskipun fokus utama hukum
administrasi adalah pada pembatalan atau pernyataan tidak sahnya
keputusan/tindakan dan pengenaan sanksi administratif, penyalahgunaan wewenang
juga dapat menimbulkan konsekuensi hukum di ranah perdata dan pidana.
Perdata: Pihak
(warga masyarakat atau badan hukum perdata) yang merasa dirugikan secara
materiil akibat keputusan atau tindakan penyalahgunaan wewenang secara teoretis
dapat mengajukan gugatan ganti rugi melalui peradilan umum. Meskipun demikian,
mekanisme utama dalam sengketa administrasi adalah pembatalan/pernyataan tidak
sah. Dalam konteks pengawasan oleh Ombudsman, rekomendasi yang dikeluarkan
dapat mencakup saran untuk pembayaran ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada
pihak yang dirugikan.
Pidana (Korupsi):
Konsekuensi pidana menjadi relevan ketika penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh pejabat memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam UU Tipikor. Delik yang paling sering terkait adalah Pasal 3 UU
Tipikor, yang menyasar perbuatan "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan" dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Unsur krusial yang membedakan
antara pelanggaran administrasi murni (yang diselesaikan melalui sanksi
administratif) dengan tindak pidana korupsi adalah adanya niat
jahat (mens rea) atau sikap batin pelaku. Jika dapat dibuktikan
bahwa pejabat melakukan penyalahgunaan wewenang dengan sengaja (opzet),
dengan tujuan untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain
secara melawan hukum, atau disertai dengan unsur-unsur kejahatan seperti
ancaman, suap, tipu muslihat, kecurangan, atau konflik kepentingan, maka
perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Sanksi
pidana yang diancamkan dalam UU Tipikor sangat berat, dapat berupa pidana
penjara (paling singkat 1 tahun, paling lama 20 tahun atau bahkan seumur hidup)
dan/atau denda yang signifikan.
- Hubungan Antara Proses Administratif dan
Pidana
Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, terdapat potensi tumpang tindih dan kompleksitas dalam hubungan
antara penanganan penyalahgunaan wewenang di ranah administrasi dan pidana.
UUAP, khususnya melalui Pasal 21, dan peraturan pelaksananya, PERMA No. 4 Tahun
2015, mencoba memberikan demarkasi dengan mengatur mekanisme pengujian unsur
penyalahgunaan wewenang oleh PTUN.
Mekanisme ini mensyaratkan
adanya hasil pengawasan dari APIP terlebih dahulu. Jika hasil pengawasan APIP
hanya menemukan kesalahan administratif biasa, penyelesaian dilakukan secara
internal. Namun, jika ditemukan kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian
keuangan negara karena adanya dugaan penyalahgunaan wewenang, terdapat dua
kemungkinan: (1) Badan/Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan dapat mengajukan
permohonan penilaian ke PTUN , atau (2) APIP atau masyarakat dapat melaporkan
dugaan tersebut kepada APH untuk diproses secara pidana.
PERMA No. 4 Tahun 2015 Pasal 2
secara eksplisit menyatakan bahwa PTUN hanya berwenang memeriksa permohonan
penilaian unsur penyalahgunaan wewenang sebelum adanya proses pidana.
Ketentuan ini memiliki implikasi penting:
- Jika putusan PTUN yang telah BHT
menyatakan bahwa tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam
keputusan/tindakan pejabat, maka berdasarkan Pasal 21 ayat (6) UUAP jo.
Pasal 15 ayat (2) PERMA 4/2015, pejabat tersebut tidak dapat dituntut
pertanggungjawaban pidana. Putusan PTUN ini mengikat APH.
- Sebaliknya, jika putusan PTUN
menyatakan ada unsur penyalahgunaan wewenang, hal ini tidak secara
otomatis berarti pejabat tersebut bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Putusan PTUN tersebut dapat menjadi salah satu alat bukti dalam
persidangan pidana, namun jaksa penuntut umum tetap harus membuktikan
unsur-unsur lain dalam delik korupsi, terutama adanya niat jahat (mens
rea) dan kerugian negara, di Pengadilan Tipikor.
Meskipun UUAP dan PERMA 4/2015
bertujuan memisahkan ranah administrasi dan pidana serta mencegah kriminalisasi
yang tidak perlu, mekanisme yang diciptakan ini justru menimbulkan kompleksitas
baru. Batasan "sebelum adanya proses pidana" dalam PERMA 4/2015
menjadi ambigu dan problematik. Kapan tepatnya "proses pidana"
dianggap dimulai (sejak penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan?) menjadi
pertanyaan krusial. Jika APH telah memulai proses penyidikan, apakah akses
pejabat ke PTUN otomatis tertutup? Sebaliknya, jika pejabat telah mengajukan
permohonan ke PTUN, apakah APH harus menunda proses pidana hingga ada putusan
PTUN BHT?. Situasi ini berpotensi memperlambat penanganan kasus korupsi yang
seharusnya cepat dan efektif, atau sebaliknya, dapat menghambat hak pejabat
untuk mendapatkan penilaian dari perspektif hukum administrasi. Kompleksitas
demarkasi ini menunjukkan tantangan besar dalam implementasi harmonisasi antara
hukum administrasi dan hukum pidana dalam penanganan penyalahgunaan wewenang di
Indonesia.
Kesimpulan
Konsep penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dalam Hukum Administrasi Negara Indonesia secara doktrinal dipahami sebagai penggunaan wewenang oleh pejabat secara sadar untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan ditetapkannya wewenang tersebut (melanggar asas spesialitas), baik untuk kepentingan pribadi/golongan, menyimpang dari tujuan umum yang ditetapkan UU, maupun menyalahgunakan prosedur.
Undang-Undang
No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) menjadi dasar hukum
utama pengaturan penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi positif.
Namun, UUAP tidak memberikan definisi eksplisit, melainkan mengategorikan
larangan penyalahgunaan wewenang ke dalam tiga bentuk: (a) melampaui wewenang,
(b) mencampuradukkan wewenang, dan (c) bertindak sewenang-wenang (Pasal 17 ayat
(2)), dengan kriteria masing-masing diatur dalam Pasal 18.
Terdapat
divergensi konseptual antara kategorisasi dalam UUAP dengan doktrin HAN.
Kategori 'melampaui wewenang' dan 'bertindak sewenang-wenang' dalam UUAP lebih
fokus pada pelanggaran batas formal atau ketiadaan dasar hukum, yang secara
doktrinal lebih dekat dengan konsep 'tanpa wewenang' (onbevoegd/ultra vires).
Hanya unsur 'bertentangan dengan tujuan wewenang' dalam kategori
'mencampuradukkan wewenang' (Pasal 18 ayat (2) huruf b) yang secara substansial
selaras dengan inti konsep detournement de pouvoir.
Penyalahgunaan
wewenang dapat termanifestasi dalam berbagai tindakan administrasi (perizinan,
kepegawaian, pengelolaan keuangan/aset, kebijakan publik) dan seringkali
beririsan dengan isu korupsi, pelanggaran prosedur, atau pelanggaran hak asasi.
Konsekuensi
hukum utama bagi pejabat yang terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang
menurut UUAP adalah sanksi administratif berat berupa pemberhentian tetap
(Pasal 80 ayat (3) jo. Pasal 81 ayat (3)). Jika disertai niat jahat (mens
rea) dan merugikan keuangan negara, dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan
UU Tipikor (Pasal 3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar