I. Pendahuluan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH),
yang dikenal dalam sistem hukum Anglo-Saxon sebagai tort, merupakan
salah satu pilar fundamental dalam kerangka tanggung jawab hukum perdata di
Indonesia. Konsep ini berakar dari hukum Belanda, yakni onrechtmatige
daad , dan berfungsi sebagai dasar hukum untuk menuntut ganti rugi
atas kerugian yang diderita seseorang akibat perbuatan salah pihak lain, yang
terjadi di luar lingkup hubungan kontraktual atau wanprestasi. Secara
esensial, PMH menyediakan mekanisme hukum bagi korban untuk memulihkan kerugian
yang timbul dari tindakan yang melanggar norma hukum, baik tertulis maupun
tidak tertulis, yang dilakukan oleh pihak lain.
Ketentuan sentral yang
mengatur PMH dalam hukum perdata Indonesia adalah Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal ini menjadi landasan utama
bagi siapa saja yang merasa dirugikan oleh perbuatan orang lain untuk
mengajukan gugatan dan menuntut pertanggungjawaban. Namun, pemahaman mengenai
PMH tidak dapat dilepaskan dari dinamika interpretasi hukum. Konsep ini
bukanlah sesuatu yang statis; penafsirannya telah berkembang secara signifikan
sejak awal pengenalannya, mencerminkan perubahan nilai-nilai sosial dan
filosofi hukum mengenai tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan kepada
orang lain. Evolusi dari interpretasi sempit yang hanya berfokus pada
pelanggaran undang-undang tertulis menuju interpretasi luas yang mencakup
pelanggaran norma kepatutan dan kesusilaan menunjukkan fleksibilitas PMH
sebagai instrumen hukum untuk merespons berbagai bentuk perbuatan tercela yang
merugikan.
Tulisan ini bertujuan untuk
menyajikan analisis komprehensif mengenai konsep Perbuatan Melawan Hukum dalam
sistem hukum perdata Indonesia. Analisis akan didasarkan pada ketentuan
KUHPerdata, perkembangan yurisprudensi, serta pandangan doktrin hukum yang
relevan. Pembahasan akan mencakup definisi PMH, landasan hukumnya, penjabaran
unsur-unsur esensial yang harus terpenuhi, perkembangan interpretasi konsep
"melawan hukum", ilustrasi penerapan melalui contoh kasus,
perbandingan mendasar dengan konsep wanprestasi, serta akibat hukum yang timbul
bagi pelaku PMH. Struktur laporan ini dirancang untuk memberikan pemahaman yang
sistematis dan mendalam mengenai PMH sebagai salah satu bentuk
pertanggungjawaban perdata.
II. Definisi dan Landasan
Hukum PMH
A. Definisi Menurut Pasal 1365
KUHPerdata
Pasal 1365 KUHPerdata
merupakan locus classicus dari pengaturan PMH di Indonesia. Pasal ini
secara tegas menyatakan:
"Tiap perbuatan yang
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian
tersebut."
Rumusan ini meletakkan dasar
tanggung jawab perdata atas PMH yang berpijak pada adanya kesalahan (fault-based
liability). Artinya, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban
secara perdata atas kerugian yang diderita orang lain jika perbuatannya yang
melawan hukum tersebut disebabkan oleh kesalahannya, baik berupa kesengajaan
maupun kelalaian.
B. Pasal-Pasal Terkait Lainnya
dalam KUHPerdata
Meskipun Pasal 1365 menjadi
ketentuan umum, KUHPerdata juga mengatur beberapa ketentuan spesifik terkait
PMH dalam pasal-pasal berikutnya (Pasal 1365 hingga 1380 KUHPerdata).
Pasal-pasal ini memberikan rincian lebih lanjut mengenai jenis-jenis PMH tertentu
atau situasi pertanggungjawaban khusus:
- Pasal 1366 KUHPerdata:
Pasal ini secara eksplisit mengatur tanggung jawab yang timbul akibat kelalaian
atau kurang hati-hati (negligence or lack of prudence).
Meskipun demikian, pasca perluasan makna "melawan hukum"
dalam yurisprudensi setelah tahun 1919, aspek kelalaian ini
seringkali dianggap telah tercakup dalam interpretasi luas Pasal 1365 itu
sendiri, yang tidak hanya mencakup pelanggaran hukum tertulis tetapi juga
pelanggaran terhadap norma kehati-hatian dalam masyarakat.
- Pasal 1367 KUHPerdata:
Mengatur tentang tanggung jawab vikarius (vicarious liability),
yaitu tanggung jawab seseorang atas perbuatan orang lain yang berada di
bawah tanggungannya (misalnya, orang tua terhadap anak di bawah umur,
majikan terhadap pekerja) atau atas kerugian yang disebabkan oleh
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Pasal ini menegaskan
bahwa tanggung jawab hukum tidak selalu terbatas pada pelaku langsung
perbuatan.
- Pasal 1368 KUHPerdata:
Menetapkan tanggung jawab pemilik binatang atas kerugian yang
disebabkan oleh binatang tersebut.
- Pasal 1369 KUHPerdata:
Mengatur tanggung jawab pemilik gedung atas kerugian yang timbul
akibat gedung tersebut ambruk karena kelalaian dalam pemeliharaan atau
cacat konstruksi.
- Pasal 1370 KUHPerdata:
Memberikan dasar hukum bagi ahli waris (suami/istri, anak, orang
tua yang mendapat nafkah) untuk menuntut ganti rugi dalam hal korban
meninggal dunia akibat PMH.
- Pasal 1371 KUHPerdata:
Mengatur tentang ganti rugi akibat luka atau cacat badan yang
disebabkan oleh PMH, mencakup biaya perawatan dan kerugian lain akibat
cedera tersebut.
- Pasal 1372 KUHPerdata:
Mengatur tentang ganti rugi akibat penghinaan atau pencemaran nama baik.
Struktur pengaturan ini
menunjukkan pendekatan legislatif yang berlapis. Pasal 1365 menetapkan prinsip
umum yang luas dan fleksibel untuk mencakup berbagai bentuk perbuatan salah
yang tidak terduga. Sementara itu, pasal-pasal berikutnya (1366-1372) memberikan
kejelasan dan kepastian hukum yang lebih tinggi untuk situasi-situasi PMH yang
umum terjadi atau melibatkan bentuk pertanggungjawaban khusus (seperti
kelalaian atau tanggung jawab vikarius) serta jenis kerugian spesifik (seperti
cedera fisik atau pencemaran nama baik). Keterkaitan antara pasal-pasal ini,
terutama antara 1365 dan 1366, seringkali disederhanakan dalam praktik hukum
melalui penerapan interpretasi luas Pasal 1365 yang telah mencakup kelalaian.
III. Unsur-Unsur Esensial PMH
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata
Agar suatu perbuatan dapat
dikualifikasikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Pasal 1365
KUHPerdata, dan menimbulkan kewajiban ganti rugi, maka secara kumulatif harus
terpenuhi empat unsur esensial berikut :
A. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige
Daad)
Unsur pertama ini mensyaratkan
adanya suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum.
- Adanya Suatu Perbuatan:
Perbuatan ini dapat berupa tindakan aktif melakukan sesuatu (commission
atau perbuatan aktif) maupun sikap pasif tidak melakukan sesuatu
padahal ada kewajiban hukum untuk melakukannya (omission atau perbuatan
pasif).
- Sifat "Melawan Hukum":
Penafsiran mengenai apa yang dimaksud dengan "melawan hukum"
telah mengalami evolusi signifikan:
- Interpretasi Sempit (Historis):
Pada awalnya, istilah ini diartikan secara sempit sebagai perbuatan yang
secara eksplisit melanggar ketentuan undang-undang atau hukum tertulis (onwetmatigedaad).
Seseorang hanya dapat digugat jika perbuatannya bertentangan langsung
dengan bunyi undang-undang.
- Interpretasi Luas (Modern):
Sejak adanya putusan Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) tanggal 31
Januari 1919 dalam kasus Cohen vs Lindenbaum, yang kemudian
diadopsi dalam yurisprudensi Indonesia, pengertian "melawan
hukum" (onrechtmatig) diperluas secara signifikan.
Interpretasi luas ini mencakup perbuatan yang:
- (a) Bertentangan dengan Kewajiban
Hukum Pelaku: Melanggar suatu kewajiban spesifik yang
dibebankan oleh hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) kepada si
pelaku.
- (b) Melanggar Hak Subjektif Orang
Lain: Merupakan tindakan yang melanggar
hak-hak individu yang diakui dan dilindungi oleh hukum, seperti hak
milik atas benda, hak atas integritas fisik, hak atas privasi, hak atas
kehormatan atau nama baik. Contoh nyata adalah penguasaan tanah milik
orang lain tanpa hak atau melakukan pencemaran nama baik.
- (c) Bertentangan dengan Kesusilaan
(Goede Zeden): Melanggar norma-norma
moral atau etika yang hidup dan diakui secara umum dalam masyarakat.
Contohnya adalah pembatalan janji untuk menikahi setelah terjadi
hubungan intim yang merusak kehormatan pihak lain, yang dianggap
melanggar norma kesusilaan yang berlaku.
- (d) Bertentangan dengan Kepatutan,
Ketelitian, dan Kehati-hatian (Zorgvuldigheid) dalam Pergaulan
Masyarakat: Melanggar standar perilaku yang tidak
tertulis mengenai kehati-hatian dan kepatutan yang seharusnya dijunjung
tinggi dalam interaksi sosial demi menghormati kepentingan orang lain
atau benda milik orang lain. Kriteria ini bersifat luas dan fleksibel,
memungkinkan hakim menilai suatu perbuatan berdasarkan standar kelayakan
umum. Contohnya termasuk kelalaian yang menyebabkan kecelakaan atau
kelalaian pemerintah dalam menangani bahaya lingkungan seperti kebakaran
hutan.
B. Kesalahan (Schuld)
Unsur kedua adalah adanya
kesalahan pada pihak pelaku yang menyebabkan kerugian tersebut. Kesalahan ini
menjadi dasar pertanggungjawaban subjektif pelaku. Tanpa adanya kesalahan, pada
prinsipnya tidak ada tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
Kesalahan dapat berwujud:
- Kesengajaan (Opzet):
Pelaku secara sadar mengetahui dan menghendaki perbuatannya serta akibat
merugikan yang mungkin timbul. Ada niat untuk melakukan perbuatan melawan
hukum tersebut.
- Kelalaian (Culpa atau Nalatigheid):
Pelaku tidak berhati-hati, kurang teliti, atau abai dalam bertindak,
sehingga secara tidak sengaja menimbulkan kerugian bagi orang lain. Ini
mencakup kegagalan untuk menduga akibat buruk yang seharusnya dapat diduga
oleh orang yang normal atau kegagalan mengambil tindakan pencegahan yang
layak.
Penting untuk dicatat bahwa
dalam konteks hukum perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, akibat hukum
dari kesengajaan dan kelalaian pada umumnya adalah sama, yaitu mewajibkan
pelaku untuk mengganti seluruh kerugian yang timbul. Hal ini berbeda dengan
hukum pidana, di mana tingkat kesalahan (sengaja atau lalai) seringkali
mempengaruhi beratnya sanksi. Meskipun demikian, doktrin hukum perdata juga
mengenal konsep tanggung jawab mutlak (strict liability atau risicoaansprakelijkheid)
dalam lingkup yang sangat terbatas, di mana tanggung jawab dapat timbul tanpa
perlu membuktikan adanya kesalahan, misalnya dalam konteks Pasal 1367
KUHPerdata terkait tanggung jawab atas barang atau dalam peraturan
perundang-undangan khusus seperti hukum lingkungan. Namun, prinsip utama Pasal
1365 tetaplah tanggung jawab berdasarkan kesalahan.
C. Kerugian (Schade)
Unsur ketiga adalah adanya
kerugian yang nyata diderita oleh korban sebagai akibat dari perbuatan melawan
hukum tersebut. Kerugian ini dapat diklasifikasikan menjadi:
- Kerugian Materiil:
Kerugian yang bersifat finansial atau dapat dinilai dengan uang secara
objektif. Ini mencakup kerugian nyata yang diderita (damnum emergens),
seperti biaya perbaikan, biaya pengobatan, nilai barang yang rusak atau
hilang, serta kehilangan keuntungan yang diharapkan (lucrum cessans),
yaitu keuntungan yang sewajarnya dapat diperoleh seandainya PMH tidak
terjadi.
- Kerugian Immateriil:
Kerugian yang bersifat non-finansial atau tidak berwujud, yang menyangkut
perasaan atau kondisi psikis korban. Contohnya meliputi rasa sakit fisik,
penderitaan batin, ketakutan, kekecewaan, kehilangan kenyamanan hidup,
rusaknya nama baik atau reputasi.
Penilaian kerugian immateriil
seringkali menjadi tantangan dalam praktik peradilan karena sifatnya yang
subjektif dan sulit diukur secara pasti. Penentuannya diserahkan pada
kebijaksanaan hakim (judicial discretion) yang akan mempertimbangkan
berbagai faktor, termasuk tingkat keparahan perbuatan, dampak pada korban,
serta keadaan para pihak. Perkembangan yurisprudensi menunjukkan adanya upaya
perluasan pengakuan dan pemberian ganti rugi immateriil, meskipun standarnya
belum sepenuhnya baku.
D. Hubungan Kausalitas (Causal
Verband)
Unsur terakhir adalah adanya
hubungan sebab-akibat yang langsung dan memadai antara perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh pelaku dengan kerugian yang diderita oleh korban. Kerugian
tersebut haruslah merupakan konsekuensi logis dan wajar dari perbuatan melawan
hukum. Tanpa adanya hubungan kausal ini, pelaku tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban.
Dalam menentukan adanya
hubungan kausalitas, praktik hukum seringkali mempertimbangkan beberapa teori,
meskipun tidak selalu dirumuskan secara eksplisit dalam putusan. Teori yang
umum dikenal antara lain teori conditio sine qua non (perbuatan
pelaku merupakan syarat mutlak terjadinya kerugian; jika perbuatan itu tidak
ada, kerugian tidak akan timbul) dan teori adekuasi (adequacy theory)
atau sebab-akibat yang layak (kerugian merupakan akibat yang secara wajar dapat
diperkirakan atau diduga akan timbul dari perbuatan semacam itu). Pembuktian
hubungan kausal ini menjadi krusial, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan
banyak faktor atau rentetan peristiwa yang kompleks.
Keempat unsur ini bersifat
kumulatif, artinya penggugat harus berhasil membuktikan keberadaan seluruh
unsur tersebut agar gugatannya berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat
dikabulkan. Kegagalan membuktikan salah satu unsur saja akan mengakibatkan
gugatan ditolak. Hal ini menempatkan beban pembuktian yang cukup signifikan
pada pihak penggugat. Di antara keempat unsur tersebut, unsur "perbuatan
melawan hukum" dengan interpretasinya yang luas menjadi elemen yang paling
dinamis. Perluasan makna hingga mencakup pelanggaran terhadap norma kepatutan,
kehati-hatian, dan kesusilaan memberikan fleksibilitas bagi hukum untuk
menjangkau perbuatan-perbuatan merugikan yang belum diatur secara spesifik oleh
undang-undang. Namun, sifat standar yang tidak tertulis ini juga membawa
tantangan berupa potensi ketidakpastian hukum, karena penerapannya sangat
bergantung pada interpretasi hakim terhadap norma sosial yang berlaku dalam
konteks kasus yang dihadapi.
IV. Perkembangan Interpretasi
"Melawan Hukum" di Indonesia
Konsep "melawan
hukum" sebagaimana termaktub dalam Pasal 1365 KUHPerdata tidaklah statis,
melainkan telah mengalami perkembangan interpretasi yang signifikan, terutama
dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Belanda dan praktik peradilan di Indonesia.
A. Adopsi Perluasan Makna dari
Yurisprudensi Belanda
Secara historis, penafsiran
awal terhadap onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum) cenderung
sempit, yakni terbatas pada perbuatan yang secara eksplisit melanggar ketentuan
hukum tertulis atau undang-undang (onwetmatig). Titik balik penting
terjadi dengan lahirnya putusan Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) pada
tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen. Putusan
monumental ini secara fundamental memperluas makna "melawan hukum"
(onrechtmatig). Sejak putusan tersebut, suatu perbuatan dianggap melawan
hukum tidak hanya jika melanggar undang-undang, tetapi juga jika:
- Melanggar hak subjektif orang lain;
- Bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku;
- Bertentangan dengan kesusilaan (goede
zeden); atau
- Bertentangan dengan kepatutan atau
kehati-hatian yang seharusnya diindahkan dalam
pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau benda orang lain (zorgvuldigheid).
Interpretasi luas yang berasal
dari yurisprudensi Belanda ini kemudian diadopsi dan diterapkan secara
konsisten dalam sistem hukum perdata Indonesia, baik dalam doktrin maupun
praktik peradilan. Hal ini menjadikan ruang lingkup PMH di Indonesia menjadi lebih
luas, mampu menjangkau berbagai bentuk perbuatan merugikan yang mungkin tidak
secara spesifik dilarang oleh undang-undang.
B. Peran Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI
Pengadilan-pengadilan di
Indonesia, termasuk Mahkamah Agung (MA), secara umum telah mengikuti dan
meneguhkan penerapan interpretasi luas dari konsep "melawan hukum".
Berbagai putusan MA telah mengkonfirmasi bahwa kriteria melawan hukum tidak
terbatas pada pelanggaran hukum tertulis. Sebagai contoh, Putusan MA No.
3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986 (terkait kasus ingkar janji menikahi)
menyatakan bahwa perbuatan yang melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam
masyarakat dapat dikategorikan sebagai PMH berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
Putusan MA lainnya, seperti No. 2831 K/Pdt/1996, menegaskan kembali keharusan
bagi penggugat untuk membuktikan terpenuhinya seluruh unsur PMH sesuai Pasal
1365 KUHPerdata.
Dalam praktiknya, hakim di
Indonesia memainkan peran penting dalam penemuan hukum (rechtsvinding),
terutama ketika menerapkan standar-standar tidak tertulis seperti
"kepatutan" dan "kesusilaan". Hakim dituntut untuk
menggali dan menerapkan nilai-nilai serta norma yang hidup dalam masyarakat
pada kasus konkret yang dihadapinya. Penerapan standar yang bersifat terbuka
dan subjektif ini, meskipun memberikan fleksibilitas, juga menuntut kehati-hatian
dan kearifan hakim. Akibatnya, terdapat potensi variasi dalam putusan
pengadilan untuk kasus-kasus serupa, terutama pada tingkat pertama atau
banding, hingga terbentuknya yurisprudensi yang lebih mapan dari Mahkamah Agung
yang memberikan panduan interpretasi yang lebih konsisten.
C. Pandangan Doktrin Hukum
Indonesia
Para ahli hukum perdata di
Indonesia (doktrin) juga secara luas menerima dan mengelaborasi interpretasi
luas PMH. Karya-karya akademisi hukum seperti Rosa Agustina, Wirjono
Prodjodikoro, Mariam Darus Badrulzaman, dan Abdulkadir Muhammad turut
memperkaya pemahaman mengenai unsur-unsur PMH dan penerapannya dalam konteks
Indonesia. Doktrin hukum berperan penting dalam menganalisis perkembangan
yurisprudensi, memberikan kerangka teoretis, dan membantu membentuk pemahaman
yang lebih sistematis mengenai konsep PMH.
Salah satu implikasi menarik
dari penerapan interpretasi luas PMH, khususnya terkait pelanggaran kewajiban
hukum atau standar kepatutan/kehati-hatian (termasuk dalam bentuk kelalaian
atau omission), adalah penggunaannya sebagai dasar hukum dalam gugatan
yang diajukan oleh warga negara (citizen lawsuit) terhadap badan atau
pejabat pemerintah.
Gugatan semacam ini biasanya
diajukan untuk menuntut pertanggungjawaban atas dugaan kegagalan pemerintah
dalam menjalankan tugas pelayanan publik atau melindungi hak-hak warga negara,
misalnya dalam kasus kerusakan lingkungan akibat kelalaian penanganan kebakaran
hutan atau terkait pemenuhan hak asasi manusia dan pelayanan masyarakat. Hal
ini menunjukkan bahwa PMH tidak hanya relevan dalam sengketa antar individu
atau badan hukum privat, tetapi juga dapat berfungsi sebagai instrumen hukum
bagi masyarakat untuk mengawasi dan menuntut akuntabilitas penyelenggara
negara.
V. Contoh Penerapan Konsep PMH
Konsep Perbuatan Melawan Hukum
memiliki cakupan penerapan yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan.
Berikut adalah beberapa contoh konkret penerapan PMH berdasarkan kasus-kasus
nyata atau hipotetis yang relevan dengan konteks hukum Indonesia:
A. Sengketa Lingkungan
Salah satu contoh signifikan
adalah kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berulang kali terjadi di
Indonesia. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya No.
118/Pdt.G/LH/2016/PN.Plk, sejumlah warga negara mengajukan gugatan citizen
lawsuit terhadap beberapa pejabat pemerintah. Para pejabat tersebut
dianggap telah melakukan PMH karena dinilai lalai (omission) dalam
menjalankan kewajiban hukumnya untuk mencegah dan menanggulangi karhutla secara
efektif, yang mengakibatkan kerugian luas berupa kabut asap, kerusakan
lingkungan, dan gangguan kesehatan masyarakat. Pengadilan tingkat pertama dan
banding mengabulkan sebagian gugatan, menyatakan para tergugat telah melakukan
PMH karena kelalaian dan kurang optimalnya upaya penanganan. Kasus ini
menunjukkan bagaimana PMH, khususnya aspek kelalaian dan pelanggaran kewajiban
hukum, dapat digunakan untuk menuntut pertanggungjawaban atas kerusakan
lingkungan berskala besar.
B. Pelanggaran Hak Subjektif
- Sengketa Kepemilikan Tanah:
Kasus di mana seseorang menguasai, menempati, atau bahkan membangun di
atas tanah yang secara sah merupakan milik orang lain tanpa alas hak
yang sah merupakan bentuk PMH karena melanggar hak subjektif (hak milik)
pemilik tanah. Putusan pengadilan dalam kasus semacam ini, seperti Putusan
PN Slawi No. 23/Pdt.G/2021/PN Slw atau Putusan PN Surabaya No.
195/Pdt.G/2012/PN Sby , seringkali menyatakan perbuatan penguasaan tanpa
hak tersebut sebagai PMH dan memerintahkan pengosongan serta penyerahan
objek sengketa kepada pemilik yang sah.
- Pencemaran Nama Baik/Penghinaan:
Tindakan menyebarkan informasi tidak benar atau pernyataan yang bersifat
menghina sehingga merusak reputasi atau kehormatan seseorang dapat digugat
sebagai PMH berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata.
C. Pelanggaran Kesusilaan atau
Kepatutan
Kasus ingkar janji untuk
menikahi setelah adanya tindakan-tindakan yang menunjukkan keseriusan
hubungan (misalnya pertunangan atau hubungan intim) dapat dianggap sebagai PMH
jika menimbulkan kerugian, terutama kerugian immateriil berupa rusaknya nama
baik atau penderitaan batin. Yurisprudensi Mahkamah Agung (misalnya Putusan No.
3191 K/Pdt/1984) mengindikasikan bahwa perbuatan semacam itu dapat melanggar
norma kesusilaan atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga
memenuhi unsur melawan hukum dalam arti luas.
D. Kelalaian dalam Hubungan
Profesional atau Bisnis
- Malapraktik Profesional:
Seorang dokter, pengacara, notaris, atau penilai yang karena kelalaiannya
dalam menjalankan profesi menyebabkan kerugian bagi klien atau pasiennya
dapat digugat atas dasar PMH.
- Sengketa Konsumen:
Perusahaan yang menjual produk cacat yang membahayakan konsumen, atau
memberikan informasi yang menyesatkan di luar konteks pelanggaran kontrak,
dapat dianggap melakukan PMH.
- Kesalahan dalam Proses Kredit atau Lelang:
Lembaga keuangan atau balai lelang yang melakukan kesalahan prosedur atau
bertindak tidak profesional sehingga merugikan nasabah atau peserta lelang
juga berpotensi digugat atas dasar PMH.
E. Perbuatan Melawan Hukum
oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad)
Tindakan atau kelalaian badan
atau pejabat pemerintah dalam menjalankan wewenangnya yang melanggar hukum,
asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), atau hak-hak warga negara, dan
menimbulkan kerugian, dapat dikategorikan sebagai PMH oleh penguasa. Contohnya
bisa berupa penerbitan izin yang salah, penegakan hukum yang diskriminatif,
atau kegagalan menyediakan layanan publik yang layak sehingga merugikan
masyarakat. Perlu dicatat bahwa pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,
sebagian sengketa terkait tindakan pemerintah mungkin beralih kewenangannya ke
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Ragam contoh di atas
menegaskan bahwa PMH merupakan konsep hukum yang sangat fleksibel dan
memiliki daya jangkau luas. Ia tidak terbatas pada jenis perbuatan
tertentu, melainkan dapat diterapkan pada berbagai situasi di mana terjadi
kerugian akibat perbuatan salah (sengaja atau lalai) yang melanggar norma hukum
(tertulis maupun tidak tertulis) di luar ranah kontraktual. Fleksibilitas
inilah yang menjadikan PMH sebagai instrumen penting untuk menegakkan keadilan
dan memberikan perlindungan hukum bagi korban dalam berbagai aspek kehidupan
sosial dan ekonomi.
VI. Perbandingan: Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) vs. Wanprestasi
Dalam hukum perdata, terdapat
dua dasar utama untuk menuntut pertanggungjawaban atas kerugian yang timbul,
yaitu Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan Wanprestasi (cidera janji/pelanggaran
kontrak). Meskipun keduanya dapat berujung pada kewajiban membayar ganti rugi,
terdapat perbedaan fundamental antara kedua konsep ini yang penting untuk
dipahami, baik secara teoretis maupun praktis dalam penanganan sengketa
perdata.
A. Sumber Kewajiban
- PMH: Kewajiban dalam
PMH bersumber dari hukum itu sendiri, baik berupa undang-undang
maupun norma hukum tidak tertulis (seperti kepatutan atau kesusilaan).
Tanggung jawab timbul karena adanya pelanggaran terhadap norma hukum yang
berlaku umum, terlepas dari ada atau tidaknya hubungan kontraktual sebelumnya
antara pelaku dan korban.
- Wanprestasi:
Kewajiban dalam wanprestasi bersumber dari perjanjian atau kontrak
yang dibuat secara sukarela oleh para pihak. Wanprestasi terjadi ketika
salah satu pihak gagal memenuhi prestasi (kewajiban) yang telah
disepakatinya dalam kontrak tersebut. Tanpa adanya perjanjian yang sah,
tidak mungkin terjadi wanprestasi.
B. Unsur-Unsur yang Harus
Dibuktikan
- PMH: Penggugat harus membuktikan
terpenuhinya empat unsur kumulatif: (1) adanya perbuatan melawan hukum
(dalam arti luas), (2) adanya kesalahan pada pelaku (sengaja atau lalai),
(3) adanya kerugian yang diderita korban, dan (4) adanya hubungan
kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan kerugian.
- Wanprestasi: Penggugat
(kreditur) harus membuktikan: (1) adanya perjanjian yang sah antara para
pihak, (2) adanya pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh pihak lain
(debitur) – bisa berupa tidak berprestasi sama sekali, berprestasi tetapi
tidak sesuai, terlambat berprestasi, atau melakukan sesuatu yang dilarang
dalam perjanjian, dan (3) debitur telah dinyatakan lalai (biasanya melalui
surat peringatan atau somasi), namun tetap tidak melaksanakan
kewajibannya.
C. Kebutuhan Somasi
- PMH: Pada umumnya, tidak
diperlukan somasi (peringatan/teguran) sebelum mengajukan
gugatan PMH. Kewajiban ganti rugi timbul seketika pada saat perbuatan
melawan hukum yang merugikan itu terjadi dan unsur-unsurnya terpenuhi.
- Wanprestasi:
Pada umumnya, diperlukan somasi untuk menyatakan debitur
secara resmi dalam keadaan lalai (in mora) sebelum kreditur dapat
menuntut hak-haknya akibat wanprestasi, kecuali jika ada pengecualian yang
ditentukan dalam perjanjian atau undang-undang (misalnya, batas waktu
pelaksanaan yang fatal telah terlewati).
D. Jenis Tuntutan dan Ganti
Rugi
- PMH: Tuntutan utama
adalah ganti rugi untuk memulihkan kerugian yang diderita korban,
yang dapat mencakup kerugian materiil maupun immateriil. Dalam beberapa
kasus, dimungkinkan pula menuntut pemulihan keadaan seperti semula (restitutio
in integrum). Ruang lingkup ganti rugi dalam PMH cenderung lebih luas
dan tidak seketat pembatasan dalam wanprestasi.
- Wanprestasi:
Kreditur dapat menuntut: (1) pemenuhan perjanjian, (2) ganti rugi berupa biaya,
kerugian, dan bunga (sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 dan 1246
KUHPerdata), (3) pembatalan perjanjian, atau (4) kombinasi dari tuntutan
tersebut. Ganti rugi biasanya terbatas pada kerugian yang dapat diduga
atau diperkirakan pada saat kontrak dibuat. Tuntutan restitutio in
integrum pada umumnya tidak dapat diajukan dalam gugatan wanprestasi.
Meskipun demikian, terdapat perkembangan yurisprudensi yang
mengindikasikan kemungkinan klaim ganti rugi immateriil dalam kasus
wanprestasi tertentu.
E. Pembuktian Kesalahan
- PMH: Beban pembuktian
adanya kesalahan (baik sengaja maupun lalai) pada pihak tergugat
berada pada penggugat.
- Wanprestasi:
Penggugat cukup membuktikan adanya perjanjian dan fakta bahwa tergugat
tidak memenuhi prestasi. Jika tergugat ingin membela diri dengan alasan
tidak bersalah atau adanya keadaan memaksa (force majeure), maka beban
pembuktian beralih kepada tergugat.
Meskipun PMH dan Wanprestasi
merupakan dua dasar gugatan yang berbeda, dalam praktik terkadang suatu
peristiwa dapat menimbulkan potensi gugatan berdasarkan keduanya. Misalnya,
jika seorang kontraktor melakukan pekerjaan secara lalai sehingga membahayakan
keselamatan, hal ini bisa dianggap sebagai wanprestasi (pelaksanaan tidak
sesuai kontrak) sekaligus PMH (melanggar standar kehati-hatian). Pilihan dasar
gugatan (PMH atau Wanprestasi) menjadi keputusan strategis bagi penggugat
karena akan mempengaruhi aspek pembuktian, jenis tuntutan yang dapat diajukan,
dan potensi ganti rugi yang bisa diperoleh.
VII. Akibat Hukum PMH:
Kewajiban Ganti Rugi
Konsekuensi hukum utama dari
terbuktinya suatu Perbuatan Melawan Hukum adalah timbulnya kewajiban bagi
pelaku untuk memberikan ganti rugi kepada korban atas semua kerugian yang
diderita sebagai akibat dari perbuatannya tersebut.
A. Prinsip Ganti Rugi
Prinsip dasar ganti rugi dalam
PMH bersifat kompensatoir, yaitu bertujuan untuk memberikan kompensasi
atau penggantian kepada korban agar sedapat mungkin kembali pada keadaan
sebelum terjadinya PMH. Ganti rugi ini dimaksudkan untuk menutupi kerugian yang
telah timbul akibat perbuatan salah pelaku.
B. Cakupan Ganti Rugi
Kewajiban ganti rugi mencakup:
- Kerugian Materiil:
Meliputi semua kerugian finansial yang dapat dihitung secara nyata,
termasuk biaya-biaya yang telah dikeluarkan korban (damnum emergens)
dan kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh (lucrum cessans).
Penggugat biasanya diwajibkan untuk merinci dan membuktikan besaran
kerugian materiil yang diklaim.
- Kerugian Immateriil:
Meliputi kompensasi atas kerugian non-finansial seperti rasa sakit,
penderitaan, ketakutan, kehilangan kenyamanan hidup, atau rusaknya nama
baik. Pengaturan spesifik mengenai ganti rugi immateriil terdapat dalam
Pasal 1370 (kematian), 1371 (luka/cacat badan), dan 1372 (penghinaan)
KUHPerdata, namun yurisprudensi telah menunjukkan kemungkinan pemberian
ganti rugi immateriil di luar kasus-kasus tersebut, misalnya terkait
kekecewaan atas pelayanan jasa.
Selain ganti rugi
kompensatoir, beberapa sumber menyebutkan adanya kemungkinan ganti rugi
nominal (jumlah simbolis untuk mengakui terjadinya pelanggaran hak meskipun
kerugian nyata kecil atau tidak ada) dan ganti rugi penghukuman (punitive
damages) yang bertujuan menghukum pelaku dan mencegah perbuatan serupa di
masa depan, terutama untuk perbuatan yang sangat tercela. Namun, konsep ganti
rugi penghukuman ini belum secara eksplisit dan konsisten diakui dalam sistem
hukum perdata Indonesia yang lebih berfokus pada kompensasi.
C. Peran Hakim dalam
Menentukan Ganti Rugi
Hakim memiliki peran krusial
dalam menentukan bentuk dan besaran ganti rugi yang harus dibayarkan.
Kewenangan diskresi hakim ini sangat signifikan, terutama dalam menilai
kerugian immateriil yang tidak memiliki tolok ukur pasti. Dalam mengambil
keputusan, hakim akan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti:
- Sifat dan tingkat keparahan perbuatan
melawan hukum.
- Besarnya kerugian yang nyata diderita
korban (baik materiil maupun immateriil).
- Hubungan kausalitas antara perbuatan dan
kerugian.
- Tingkat kesalahan pelaku (meskipun dalam
perdata akibatnya sama, hakim mungkin mempertimbangkannya dalam menilai
kepatutan jumlah ganti rugi).
- Kedudukan sosial dan ekonomi kedua belah
pihak.
- Prinsip keadilan dan kepatutan yang
berlaku di masyarakat.
Penggugat diharapkan dapat
mengajukan tuntutan ganti rugi yang terperinci dan didukung bukti yang memadai.
D. Uang Paksa (Dwangsom)
Selain ganti rugi, pengadilan
juga dapat menjatuhkan uang paksa (dwangsom) kepada pihak yang
kalah. Uang paksa ini bukanlah bagian dari ganti rugi itu sendiri, melainkan
berfungsi sebagai sanksi finansial tambahan yang harus dibayar untuk setiap
hari keterlambatan dalam melaksanakan isi putusan (misalnya, membayar ganti
rugi, menyerahkan barang, atau menghentikan perbuatan tertentu). Tujuannya
adalah untuk memberikan tekanan agar pihak yang dihukum segera mematuhi putusan
pengadilan.
Meskipun prinsipnya adalah
pemulihan penuh (full compensation), tantangan utama dalam praktik
adalah mewujudkan kompensasi yang benar-benar setimpal, terutama untuk kerugian
immateriil. Sifat subjektif dari kerugian ini, ditambah dengan ketiadaan
pedoman perhitungan yang baku dalam undang-undang, menjadikan penilaiannya
sangat bergantung pada kebijaksanaan hakim. Hal ini dapat menimbulkan
variabilitas dalam putusan dan terkadang kesulitan bagi korban untuk merasa
bahwa kerugian non-finansial mereka telah sepenuhnya dikompensasi.
VIII. Kesimpulan
A. Rangkuman Konsep Inti PMH
Perbuatan Melawan Hukum (PMH),
sebagaimana diatur utamanya dalam Pasal 1365 KUHPerdata, merupakan fondasi
penting bagi sistem pertanggungjawaban perdata di Indonesia di luar lingkup
perjanjian. Konsep ini memungkinkan individu atau badan hukum untuk menuntut
ganti rugi atas kerugian yang diderita akibat perbuatan salah pihak lain.
Keberhasilan gugatan PMH
bergantung pada pembuktian empat unsur esensial secara kumulatif: (1) adanya
perbuatan yang melawan hukum, yang ditafsirkan secara luas tidak hanya mencakup
pelanggaran undang-undang tetapi juga pelanggaran hak subjektif, kewajiban
hukum, kesusilaan, serta norma kepatutan dan kehati-hatian dalam masyarakat;
(2) adanya kesalahan pada pelaku, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian; (3)
timbulnya kerugian bagi korban, baik materiil maupun immateriil; dan (4) adanya
hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum tersebut
dengan kerugian yang timbul.
B. Pentingnya Perbedaan dengan
Wanprestasi
Membedakan PMH dengan
Wanprestasi adalah krusial dalam praktik hukum perdata. Perbedaan mendasar
terletak pada sumber kewajiban (hukum vs. perjanjian), unsur-unsur yang harus
dibuktikan, kebutuhan akan somasi, beban pembuktian kesalahan, serta jenis dan cakupan
tuntutan ganti rugi yang dapat diajukan. Pemahaman yang tepat mengenai
perbedaan ini sangat penting bagi praktisi hukum dalam merumuskan strategi
gugatan atau pembelaan yang efektif.
C. Signifikansi Interpretasi
Luas "Melawan Hukum"
Perkembangan paling signifikan
dalam konsep PMH adalah adopsi interpretasi luas terhadap unsur "melawan
hukum", yang beranjak dari sekadar pelanggaran hukum tertulis menjadi
mencakup pelanggaran terhadap norma-norma hukum tidak tertulis. Perluasan makna
ini memberikan fleksibilitas yang sangat dibutuhkan bagi sistem hukum untuk
merespons berbagai bentuk perbuatan merugikan yang muncul seiring dengan
perkembangan masyarakat dan teknologi, serta untuk menegakkan standar perilaku
yang layak dalam interaksi sosial. Hal ini memungkinkan PMH berfungsi sebagai
instrumen hukum yang dinamis untuk melindungi hak dan kepentingan individu
maupun publik.
D. Tantangan dan Arah ke Depan
Meskipun interpretasi luas
memberikan fleksibilitas, ia juga membawa tantangan, terutama terkait penerapan
standar-standar subjektif seperti "kepatutan" dan
"kesusilaan" yang memerlukan penafsiran kontekstual oleh hakim. Hal
ini dapat menimbulkan potensi inkonsistensi dalam putusan hingga terbentuknya
yurisprudensi yang lebih mapan. Selain itu, penilaian dan kuantifikasi kerugian
immateriil tetap menjadi area yang kompleks dan memerlukan pengembangan lebih
lanjut dalam praktik peradilan untuk memastikan tercapainya rasa keadilan bagi
korban. Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai hak dan kewajiban dalam
konteks PMH melalui edukasi hukum juga penting untuk efektivitas perlindungan
hukum.
Secara keseluruhan, Perbuatan
Melawan Hukum di Indonesia bukanlah sekadar warisan hukum kolonial yang statis.
Ia telah menjadi instrumen hukum yang hidup, terus-menerus dibentuk dan
diinterpretasikan oleh pengadilan dan doktrin hukum Indonesia untuk menjawab
kebutuhan penegakan keadilan dan pertanggungjawaban dalam masyarakat yang
dinamis. Efektivitas PMH sebagai sarana perlindungan hukum sangat bergantung
pada kearifan judicial dalam menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsipnya
secara adil dan konsisten dalam menghadapi keragaman kasus yang muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar