Jumat, 18 April 2025

Konsep Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam Hukum Perdata Indonesia

I. Pendahuluan

Perbuatan Melawan Hukum (PMH), yang dikenal dalam sistem hukum Anglo-Saxon sebagai tort, merupakan salah satu pilar fundamental dalam kerangka tanggung jawab hukum perdata di Indonesia. Konsep ini berakar dari hukum Belanda, yakni onrechtmatige daad , dan berfungsi sebagai dasar hukum untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita seseorang akibat perbuatan salah pihak lain, yang terjadi di luar lingkup hubungan kontraktual atau wanprestasi. Secara esensial, PMH menyediakan mekanisme hukum bagi korban untuk memulihkan kerugian yang timbul dari tindakan yang melanggar norma hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang dilakukan oleh pihak lain.  

Ketentuan sentral yang mengatur PMH dalam hukum perdata Indonesia adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal ini menjadi landasan utama bagi siapa saja yang merasa dirugikan oleh perbuatan orang lain untuk mengajukan gugatan dan menuntut pertanggungjawaban. Namun, pemahaman mengenai PMH tidak dapat dilepaskan dari dinamika interpretasi hukum. Konsep ini bukanlah sesuatu yang statis; penafsirannya telah berkembang secara signifikan sejak awal pengenalannya, mencerminkan perubahan nilai-nilai sosial dan filosofi hukum mengenai tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan kepada orang lain. Evolusi dari interpretasi sempit yang hanya berfokus pada pelanggaran undang-undang tertulis menuju interpretasi luas yang mencakup pelanggaran norma kepatutan dan kesusilaan menunjukkan fleksibilitas PMH sebagai instrumen hukum untuk merespons berbagai bentuk perbuatan tercela yang merugikan.  

Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan analisis komprehensif mengenai konsep Perbuatan Melawan Hukum dalam sistem hukum perdata Indonesia. Analisis akan didasarkan pada ketentuan KUHPerdata, perkembangan yurisprudensi, serta pandangan doktrin hukum yang relevan. Pembahasan akan mencakup definisi PMH, landasan hukumnya, penjabaran unsur-unsur esensial yang harus terpenuhi, perkembangan interpretasi konsep "melawan hukum", ilustrasi penerapan melalui contoh kasus, perbandingan mendasar dengan konsep wanprestasi, serta akibat hukum yang timbul bagi pelaku PMH. Struktur laporan ini dirancang untuk memberikan pemahaman yang sistematis dan mendalam mengenai PMH sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban perdata.

II. Definisi dan Landasan Hukum PMH

A. Definisi Menurut Pasal 1365 KUHPerdata

Pasal 1365 KUHPerdata merupakan locus classicus dari pengaturan PMH di Indonesia. Pasal ini secara tegas menyatakan:

"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut."  

Rumusan ini meletakkan dasar tanggung jawab perdata atas PMH yang berpijak pada adanya kesalahan (fault-based liability). Artinya, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata atas kerugian yang diderita orang lain jika perbuatannya yang melawan hukum tersebut disebabkan oleh kesalahannya, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian.

B. Pasal-Pasal Terkait Lainnya dalam KUHPerdata

Meskipun Pasal 1365 menjadi ketentuan umum, KUHPerdata juga mengatur beberapa ketentuan spesifik terkait PMH dalam pasal-pasal berikutnya (Pasal 1365 hingga 1380 KUHPerdata). Pasal-pasal ini memberikan rincian lebih lanjut mengenai jenis-jenis PMH tertentu atau situasi pertanggungjawaban khusus:  

  • Pasal 1366 KUHPerdata: Pasal ini secara eksplisit mengatur tanggung jawab yang timbul akibat kelalaian atau kurang hati-hati (negligence or lack of prudence). Meskipun demikian, pasca perluasan makna "melawan hukum" dalam yurisprudensi setelah tahun 1919, aspek kelalaian ini seringkali dianggap telah tercakup dalam interpretasi luas Pasal 1365 itu sendiri, yang tidak hanya mencakup pelanggaran hukum tertulis tetapi juga pelanggaran terhadap norma kehati-hatian dalam masyarakat.  
  • Pasal 1367 KUHPerdata: Mengatur tentang tanggung jawab vikarius (vicarious liability), yaitu tanggung jawab seseorang atas perbuatan orang lain yang berada di bawah tanggungannya (misalnya, orang tua terhadap anak di bawah umur, majikan terhadap pekerja) atau atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Pasal ini menegaskan bahwa tanggung jawab hukum tidak selalu terbatas pada pelaku langsung perbuatan.  
  • Pasal 1368 KUHPerdata: Menetapkan tanggung jawab pemilik binatang atas kerugian yang disebabkan oleh binatang tersebut.  
  • Pasal 1369 KUHPerdata: Mengatur tanggung jawab pemilik gedung atas kerugian yang timbul akibat gedung tersebut ambruk karena kelalaian dalam pemeliharaan atau cacat konstruksi.  
  • Pasal 1370 KUHPerdata: Memberikan dasar hukum bagi ahli waris (suami/istri, anak, orang tua yang mendapat nafkah) untuk menuntut ganti rugi dalam hal korban meninggal dunia akibat PMH.  
  • Pasal 1371 KUHPerdata: Mengatur tentang ganti rugi akibat luka atau cacat badan yang disebabkan oleh PMH, mencakup biaya perawatan dan kerugian lain akibat cedera tersebut.  
  • Pasal 1372 KUHPerdata: Mengatur tentang ganti rugi akibat penghinaan atau pencemaran nama baik.  

Struktur pengaturan ini menunjukkan pendekatan legislatif yang berlapis. Pasal 1365 menetapkan prinsip umum yang luas dan fleksibel untuk mencakup berbagai bentuk perbuatan salah yang tidak terduga. Sementara itu, pasal-pasal berikutnya (1366-1372) memberikan kejelasan dan kepastian hukum yang lebih tinggi untuk situasi-situasi PMH yang umum terjadi atau melibatkan bentuk pertanggungjawaban khusus (seperti kelalaian atau tanggung jawab vikarius) serta jenis kerugian spesifik (seperti cedera fisik atau pencemaran nama baik). Keterkaitan antara pasal-pasal ini, terutama antara 1365 dan 1366, seringkali disederhanakan dalam praktik hukum melalui penerapan interpretasi luas Pasal 1365 yang telah mencakup kelalaian.

III. Unsur-Unsur Esensial PMH Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata

Agar suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, dan menimbulkan kewajiban ganti rugi, maka secara kumulatif harus terpenuhi empat unsur esensial berikut :  

A. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad)

Unsur pertama ini mensyaratkan adanya suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum.

  1. Adanya Suatu Perbuatan: Perbuatan ini dapat berupa tindakan aktif melakukan sesuatu (commission atau perbuatan aktif) maupun sikap pasif tidak melakukan sesuatu padahal ada kewajiban hukum untuk melakukannya (omission atau perbuatan pasif).  
  2. Sifat "Melawan Hukum": Penafsiran mengenai apa yang dimaksud dengan "melawan hukum" telah mengalami evolusi signifikan:
    • Interpretasi Sempit (Historis): Pada awalnya, istilah ini diartikan secara sempit sebagai perbuatan yang secara eksplisit melanggar ketentuan undang-undang atau hukum tertulis (onwetmatigedaad). Seseorang hanya dapat digugat jika perbuatannya bertentangan langsung dengan bunyi undang-undang.  
    • Interpretasi Luas (Modern): Sejak adanya putusan Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) tanggal 31 Januari 1919 dalam kasus Cohen vs Lindenbaum, yang kemudian diadopsi dalam yurisprudensi Indonesia, pengertian "melawan hukum" (onrechtmatig) diperluas secara signifikan. Interpretasi luas ini mencakup perbuatan yang:
      • (a) Bertentangan dengan Kewajiban Hukum Pelaku: Melanggar suatu kewajiban spesifik yang dibebankan oleh hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) kepada si pelaku.  
      • (b) Melanggar Hak Subjektif Orang Lain: Merupakan tindakan yang melanggar hak-hak individu yang diakui dan dilindungi oleh hukum, seperti hak milik atas benda, hak atas integritas fisik, hak atas privasi, hak atas kehormatan atau nama baik. Contoh nyata adalah penguasaan tanah milik orang lain tanpa hak atau melakukan pencemaran nama baik.  
      • (c) Bertentangan dengan Kesusilaan (Goede Zeden): Melanggar norma-norma moral atau etika yang hidup dan diakui secara umum dalam masyarakat. Contohnya adalah pembatalan janji untuk menikahi setelah terjadi hubungan intim yang merusak kehormatan pihak lain, yang dianggap melanggar norma kesusilaan yang berlaku.  
      • (d) Bertentangan dengan Kepatutan, Ketelitian, dan Kehati-hatian (Zorgvuldigheid) dalam Pergaulan Masyarakat: Melanggar standar perilaku yang tidak tertulis mengenai kehati-hatian dan kepatutan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam interaksi sosial demi menghormati kepentingan orang lain atau benda milik orang lain. Kriteria ini bersifat luas dan fleksibel, memungkinkan hakim menilai suatu perbuatan berdasarkan standar kelayakan umum. Contohnya termasuk kelalaian yang menyebabkan kecelakaan atau kelalaian pemerintah dalam menangani bahaya lingkungan seperti kebakaran hutan.  

B. Kesalahan (Schuld)

Unsur kedua adalah adanya kesalahan pada pihak pelaku yang menyebabkan kerugian tersebut. Kesalahan ini menjadi dasar pertanggungjawaban subjektif pelaku. Tanpa adanya kesalahan, pada prinsipnya tidak ada tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Kesalahan dapat berwujud:  

  1. Kesengajaan (Opzet): Pelaku secara sadar mengetahui dan menghendaki perbuatannya serta akibat merugikan yang mungkin timbul. Ada niat untuk melakukan perbuatan melawan hukum tersebut.  
  2. Kelalaian (Culpa atau Nalatigheid): Pelaku tidak berhati-hati, kurang teliti, atau abai dalam bertindak, sehingga secara tidak sengaja menimbulkan kerugian bagi orang lain. Ini mencakup kegagalan untuk menduga akibat buruk yang seharusnya dapat diduga oleh orang yang normal atau kegagalan mengambil tindakan pencegahan yang layak.  

Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks hukum perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, akibat hukum dari kesengajaan dan kelalaian pada umumnya adalah sama, yaitu mewajibkan pelaku untuk mengganti seluruh kerugian yang timbul. Hal ini berbeda dengan hukum pidana, di mana tingkat kesalahan (sengaja atau lalai) seringkali mempengaruhi beratnya sanksi. Meskipun demikian, doktrin hukum perdata juga mengenal konsep tanggung jawab mutlak (strict liability atau risicoaansprakelijkheid) dalam lingkup yang sangat terbatas, di mana tanggung jawab dapat timbul tanpa perlu membuktikan adanya kesalahan, misalnya dalam konteks Pasal 1367 KUHPerdata terkait tanggung jawab atas barang atau dalam peraturan perundang-undangan khusus seperti hukum lingkungan. Namun, prinsip utama Pasal 1365 tetaplah tanggung jawab berdasarkan kesalahan.  

C. Kerugian (Schade)

Unsur ketiga adalah adanya kerugian yang nyata diderita oleh korban sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut. Kerugian ini dapat diklasifikasikan menjadi:  

  1. Kerugian Materiil: Kerugian yang bersifat finansial atau dapat dinilai dengan uang secara objektif. Ini mencakup kerugian nyata yang diderita (damnum emergens), seperti biaya perbaikan, biaya pengobatan, nilai barang yang rusak atau hilang, serta kehilangan keuntungan yang diharapkan (lucrum cessans), yaitu keuntungan yang sewajarnya dapat diperoleh seandainya PMH tidak terjadi.  
  2. Kerugian Immateriil: Kerugian yang bersifat non-finansial atau tidak berwujud, yang menyangkut perasaan atau kondisi psikis korban. Contohnya meliputi rasa sakit fisik, penderitaan batin, ketakutan, kekecewaan, kehilangan kenyamanan hidup, rusaknya nama baik atau reputasi.  

Penilaian kerugian immateriil seringkali menjadi tantangan dalam praktik peradilan karena sifatnya yang subjektif dan sulit diukur secara pasti. Penentuannya diserahkan pada kebijaksanaan hakim (judicial discretion) yang akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk tingkat keparahan perbuatan, dampak pada korban, serta keadaan para pihak. Perkembangan yurisprudensi menunjukkan adanya upaya perluasan pengakuan dan pemberian ganti rugi immateriil, meskipun standarnya belum sepenuhnya baku.  

D. Hubungan Kausalitas (Causal Verband)

Unsur terakhir adalah adanya hubungan sebab-akibat yang langsung dan memadai antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku dengan kerugian yang diderita oleh korban. Kerugian tersebut haruslah merupakan konsekuensi logis dan wajar dari perbuatan melawan hukum. Tanpa adanya hubungan kausal ini, pelaku tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.  

Dalam menentukan adanya hubungan kausalitas, praktik hukum seringkali mempertimbangkan beberapa teori, meskipun tidak selalu dirumuskan secara eksplisit dalam putusan. Teori yang umum dikenal antara lain teori conditio sine qua non (perbuatan pelaku merupakan syarat mutlak terjadinya kerugian; jika perbuatan itu tidak ada, kerugian tidak akan timbul) dan teori adekuasi (adequacy theory) atau sebab-akibat yang layak (kerugian merupakan akibat yang secara wajar dapat diperkirakan atau diduga akan timbul dari perbuatan semacam itu). Pembuktian hubungan kausal ini menjadi krusial, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan banyak faktor atau rentetan peristiwa yang kompleks.  

Keempat unsur ini bersifat kumulatif, artinya penggugat harus berhasil membuktikan keberadaan seluruh unsur tersebut agar gugatannya berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat dikabulkan. Kegagalan membuktikan salah satu unsur saja akan mengakibatkan gugatan ditolak. Hal ini menempatkan beban pembuktian yang cukup signifikan pada pihak penggugat. Di antara keempat unsur tersebut, unsur "perbuatan melawan hukum" dengan interpretasinya yang luas menjadi elemen yang paling dinamis. Perluasan makna hingga mencakup pelanggaran terhadap norma kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan memberikan fleksibilitas bagi hukum untuk menjangkau perbuatan-perbuatan merugikan yang belum diatur secara spesifik oleh undang-undang. Namun, sifat standar yang tidak tertulis ini juga membawa tantangan berupa potensi ketidakpastian hukum, karena penerapannya sangat bergantung pada interpretasi hakim terhadap norma sosial yang berlaku dalam konteks kasus yang dihadapi.  

IV. Perkembangan Interpretasi "Melawan Hukum" di Indonesia

Konsep "melawan hukum" sebagaimana termaktub dalam Pasal 1365 KUHPerdata tidaklah statis, melainkan telah mengalami perkembangan interpretasi yang signifikan, terutama dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Belanda dan praktik peradilan di Indonesia.

A. Adopsi Perluasan Makna dari Yurisprudensi Belanda

Secara historis, penafsiran awal terhadap onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum) cenderung sempit, yakni terbatas pada perbuatan yang secara eksplisit melanggar ketentuan hukum tertulis atau undang-undang (onwetmatig). Titik balik penting terjadi dengan lahirnya putusan Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) pada tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen. Putusan monumental ini secara fundamental memperluas makna "melawan hukum" (onrechtmatig). Sejak putusan tersebut, suatu perbuatan dianggap melawan hukum tidak hanya jika melanggar undang-undang, tetapi juga jika:  

  1. Melanggar hak subjektif orang lain;
  2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
  3. Bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden); atau
  4. Bertentangan dengan kepatutan atau kehati-hatian yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau benda orang lain (zorgvuldigheid).

Interpretasi luas yang berasal dari yurisprudensi Belanda ini kemudian diadopsi dan diterapkan secara konsisten dalam sistem hukum perdata Indonesia, baik dalam doktrin maupun praktik peradilan. Hal ini menjadikan ruang lingkup PMH di Indonesia menjadi lebih luas, mampu menjangkau berbagai bentuk perbuatan merugikan yang mungkin tidak secara spesifik dilarang oleh undang-undang.  

B. Peran Yurisprudensi Mahkamah Agung RI

Pengadilan-pengadilan di Indonesia, termasuk Mahkamah Agung (MA), secara umum telah mengikuti dan meneguhkan penerapan interpretasi luas dari konsep "melawan hukum". Berbagai putusan MA telah mengkonfirmasi bahwa kriteria melawan hukum tidak terbatas pada pelanggaran hukum tertulis. Sebagai contoh, Putusan MA No. 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986 (terkait kasus ingkar janji menikahi) menyatakan bahwa perbuatan yang melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dapat dikategorikan sebagai PMH berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Putusan MA lainnya, seperti No. 2831 K/Pdt/1996, menegaskan kembali keharusan bagi penggugat untuk membuktikan terpenuhinya seluruh unsur PMH sesuai Pasal 1365 KUHPerdata.  

Dalam praktiknya, hakim di Indonesia memainkan peran penting dalam penemuan hukum (rechtsvinding), terutama ketika menerapkan standar-standar tidak tertulis seperti "kepatutan" dan "kesusilaan". Hakim dituntut untuk menggali dan menerapkan nilai-nilai serta norma yang hidup dalam masyarakat pada kasus konkret yang dihadapinya. Penerapan standar yang bersifat terbuka dan subjektif ini, meskipun memberikan fleksibilitas, juga menuntut kehati-hatian dan kearifan hakim. Akibatnya, terdapat potensi variasi dalam putusan pengadilan untuk kasus-kasus serupa, terutama pada tingkat pertama atau banding, hingga terbentuknya yurisprudensi yang lebih mapan dari Mahkamah Agung yang memberikan panduan interpretasi yang lebih konsisten.  

C. Pandangan Doktrin Hukum Indonesia

Para ahli hukum perdata di Indonesia (doktrin) juga secara luas menerima dan mengelaborasi interpretasi luas PMH. Karya-karya akademisi hukum seperti Rosa Agustina, Wirjono Prodjodikoro, Mariam Darus Badrulzaman, dan Abdulkadir Muhammad turut memperkaya pemahaman mengenai unsur-unsur PMH dan penerapannya dalam konteks Indonesia. Doktrin hukum berperan penting dalam menganalisis perkembangan yurisprudensi, memberikan kerangka teoretis, dan membantu membentuk pemahaman yang lebih sistematis mengenai konsep PMH.  

Salah satu implikasi menarik dari penerapan interpretasi luas PMH, khususnya terkait pelanggaran kewajiban hukum atau standar kepatutan/kehati-hatian (termasuk dalam bentuk kelalaian atau omission), adalah penggunaannya sebagai dasar hukum dalam gugatan yang diajukan oleh warga negara (citizen lawsuit) terhadap badan atau pejabat pemerintah.

Gugatan semacam ini biasanya diajukan untuk menuntut pertanggungjawaban atas dugaan kegagalan pemerintah dalam menjalankan tugas pelayanan publik atau melindungi hak-hak warga negara, misalnya dalam kasus kerusakan lingkungan akibat kelalaian penanganan kebakaran hutan atau terkait pemenuhan hak asasi manusia dan pelayanan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa PMH tidak hanya relevan dalam sengketa antar individu atau badan hukum privat, tetapi juga dapat berfungsi sebagai instrumen hukum bagi masyarakat untuk mengawasi dan menuntut akuntabilitas penyelenggara negara.  

V. Contoh Penerapan Konsep PMH

Konsep Perbuatan Melawan Hukum memiliki cakupan penerapan yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Berikut adalah beberapa contoh konkret penerapan PMH berdasarkan kasus-kasus nyata atau hipotetis yang relevan dengan konteks hukum Indonesia:

A. Sengketa Lingkungan

Salah satu contoh signifikan adalah kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berulang kali terjadi di Indonesia. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya No. 118/Pdt.G/LH/2016/PN.Plk, sejumlah warga negara mengajukan gugatan citizen lawsuit terhadap beberapa pejabat pemerintah. Para pejabat tersebut dianggap telah melakukan PMH karena dinilai lalai (omission) dalam menjalankan kewajiban hukumnya untuk mencegah dan menanggulangi karhutla secara efektif, yang mengakibatkan kerugian luas berupa kabut asap, kerusakan lingkungan, dan gangguan kesehatan masyarakat. Pengadilan tingkat pertama dan banding mengabulkan sebagian gugatan, menyatakan para tergugat telah melakukan PMH karena kelalaian dan kurang optimalnya upaya penanganan. Kasus ini menunjukkan bagaimana PMH, khususnya aspek kelalaian dan pelanggaran kewajiban hukum, dapat digunakan untuk menuntut pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan berskala besar.  

B. Pelanggaran Hak Subjektif

  • Sengketa Kepemilikan Tanah: Kasus di mana seseorang menguasai, menempati, atau bahkan membangun di atas tanah yang secara sah merupakan milik orang lain tanpa alas hak yang sah merupakan bentuk PMH karena melanggar hak subjektif (hak milik) pemilik tanah. Putusan pengadilan dalam kasus semacam ini, seperti Putusan PN Slawi No. 23/Pdt.G/2021/PN Slw atau Putusan PN Surabaya No. 195/Pdt.G/2012/PN Sby , seringkali menyatakan perbuatan penguasaan tanpa hak tersebut sebagai PMH dan memerintahkan pengosongan serta penyerahan objek sengketa kepada pemilik yang sah.  
  • Pencemaran Nama Baik/Penghinaan: Tindakan menyebarkan informasi tidak benar atau pernyataan yang bersifat menghina sehingga merusak reputasi atau kehormatan seseorang dapat digugat sebagai PMH berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata.  

C. Pelanggaran Kesusilaan atau Kepatutan

Kasus ingkar janji untuk menikahi setelah adanya tindakan-tindakan yang menunjukkan keseriusan hubungan (misalnya pertunangan atau hubungan intim) dapat dianggap sebagai PMH jika menimbulkan kerugian, terutama kerugian immateriil berupa rusaknya nama baik atau penderitaan batin. Yurisprudensi Mahkamah Agung (misalnya Putusan No. 3191 K/Pdt/1984) mengindikasikan bahwa perbuatan semacam itu dapat melanggar norma kesusilaan atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga memenuhi unsur melawan hukum dalam arti luas.  

D. Kelalaian dalam Hubungan Profesional atau Bisnis

  • Malapraktik Profesional: Seorang dokter, pengacara, notaris, atau penilai yang karena kelalaiannya dalam menjalankan profesi menyebabkan kerugian bagi klien atau pasiennya dapat digugat atas dasar PMH.  
  • Sengketa Konsumen: Perusahaan yang menjual produk cacat yang membahayakan konsumen, atau memberikan informasi yang menyesatkan di luar konteks pelanggaran kontrak, dapat dianggap melakukan PMH.  
  • Kesalahan dalam Proses Kredit atau Lelang: Lembaga keuangan atau balai lelang yang melakukan kesalahan prosedur atau bertindak tidak profesional sehingga merugikan nasabah atau peserta lelang juga berpotensi digugat atas dasar PMH.  

E. Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad)

Tindakan atau kelalaian badan atau pejabat pemerintah dalam menjalankan wewenangnya yang melanggar hukum, asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), atau hak-hak warga negara, dan menimbulkan kerugian, dapat dikategorikan sebagai PMH oleh penguasa. Contohnya bisa berupa penerbitan izin yang salah, penegakan hukum yang diskriminatif, atau kegagalan menyediakan layanan publik yang layak sehingga merugikan masyarakat. Perlu dicatat bahwa pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, sebagian sengketa terkait tindakan pemerintah mungkin beralih kewenangannya ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).  

Ragam contoh di atas menegaskan bahwa PMH merupakan konsep hukum yang sangat fleksibel dan memiliki daya jangkau luas. Ia tidak terbatas pada jenis perbuatan tertentu, melainkan dapat diterapkan pada berbagai situasi di mana terjadi kerugian akibat perbuatan salah (sengaja atau lalai) yang melanggar norma hukum (tertulis maupun tidak tertulis) di luar ranah kontraktual. Fleksibilitas inilah yang menjadikan PMH sebagai instrumen penting untuk menegakkan keadilan dan memberikan perlindungan hukum bagi korban dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi.

VI. Perbandingan: Perbuatan Melawan Hukum (PMH) vs. Wanprestasi

Dalam hukum perdata, terdapat dua dasar utama untuk menuntut pertanggungjawaban atas kerugian yang timbul, yaitu Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan Wanprestasi (cidera janji/pelanggaran kontrak). Meskipun keduanya dapat berujung pada kewajiban membayar ganti rugi, terdapat perbedaan fundamental antara kedua konsep ini yang penting untuk dipahami, baik secara teoretis maupun praktis dalam penanganan sengketa perdata.

A. Sumber Kewajiban

  • PMH: Kewajiban dalam PMH bersumber dari hukum itu sendiri, baik berupa undang-undang maupun norma hukum tidak tertulis (seperti kepatutan atau kesusilaan). Tanggung jawab timbul karena adanya pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku umum, terlepas dari ada atau tidaknya hubungan kontraktual sebelumnya antara pelaku dan korban.  
  • Wanprestasi: Kewajiban dalam wanprestasi bersumber dari perjanjian atau kontrak yang dibuat secara sukarela oleh para pihak. Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak gagal memenuhi prestasi (kewajiban) yang telah disepakatinya dalam kontrak tersebut. Tanpa adanya perjanjian yang sah, tidak mungkin terjadi wanprestasi.  

B. Unsur-Unsur yang Harus Dibuktikan

  • PMH: Penggugat harus membuktikan terpenuhinya empat unsur kumulatif: (1) adanya perbuatan melawan hukum (dalam arti luas), (2) adanya kesalahan pada pelaku (sengaja atau lalai), (3) adanya kerugian yang diderita korban, dan (4) adanya hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan kerugian.  
  • Wanprestasi: Penggugat (kreditur) harus membuktikan: (1) adanya perjanjian yang sah antara para pihak, (2) adanya pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh pihak lain (debitur) – bisa berupa tidak berprestasi sama sekali, berprestasi tetapi tidak sesuai, terlambat berprestasi, atau melakukan sesuatu yang dilarang dalam perjanjian, dan (3) debitur telah dinyatakan lalai (biasanya melalui surat peringatan atau somasi), namun tetap tidak melaksanakan kewajibannya.  

C. Kebutuhan Somasi

  • PMH: Pada umumnya, tidak diperlukan somasi (peringatan/teguran) sebelum mengajukan gugatan PMH. Kewajiban ganti rugi timbul seketika pada saat perbuatan melawan hukum yang merugikan itu terjadi dan unsur-unsurnya terpenuhi.  
  • Wanprestasi: Pada umumnya, diperlukan somasi untuk menyatakan debitur secara resmi dalam keadaan lalai (in mora) sebelum kreditur dapat menuntut hak-haknya akibat wanprestasi, kecuali jika ada pengecualian yang ditentukan dalam perjanjian atau undang-undang (misalnya, batas waktu pelaksanaan yang fatal telah terlewati).  

D. Jenis Tuntutan dan Ganti Rugi

  • PMH: Tuntutan utama adalah ganti rugi untuk memulihkan kerugian yang diderita korban, yang dapat mencakup kerugian materiil maupun immateriil. Dalam beberapa kasus, dimungkinkan pula menuntut pemulihan keadaan seperti semula (restitutio in integrum). Ruang lingkup ganti rugi dalam PMH cenderung lebih luas dan tidak seketat pembatasan dalam wanprestasi.  
  • Wanprestasi: Kreditur dapat menuntut: (1) pemenuhan perjanjian, (2) ganti rugi berupa biaya, kerugian, dan bunga (sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 dan 1246 KUHPerdata), (3) pembatalan perjanjian, atau (4) kombinasi dari tuntutan tersebut. Ganti rugi biasanya terbatas pada kerugian yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat kontrak dibuat. Tuntutan restitutio in integrum pada umumnya tidak dapat diajukan dalam gugatan wanprestasi. Meskipun demikian, terdapat perkembangan yurisprudensi yang mengindikasikan kemungkinan klaim ganti rugi immateriil dalam kasus wanprestasi tertentu.  

E. Pembuktian Kesalahan

  • PMH: Beban pembuktian adanya kesalahan (baik sengaja maupun lalai) pada pihak tergugat berada pada penggugat.  
  • Wanprestasi: Penggugat cukup membuktikan adanya perjanjian dan fakta bahwa tergugat tidak memenuhi prestasi. Jika tergugat ingin membela diri dengan alasan tidak bersalah atau adanya keadaan memaksa (force majeure), maka beban pembuktian beralih kepada tergugat.  

Meskipun PMH dan Wanprestasi merupakan dua dasar gugatan yang berbeda, dalam praktik terkadang suatu peristiwa dapat menimbulkan potensi gugatan berdasarkan keduanya. Misalnya, jika seorang kontraktor melakukan pekerjaan secara lalai sehingga membahayakan keselamatan, hal ini bisa dianggap sebagai wanprestasi (pelaksanaan tidak sesuai kontrak) sekaligus PMH (melanggar standar kehati-hatian). Pilihan dasar gugatan (PMH atau Wanprestasi) menjadi keputusan strategis bagi penggugat karena akan mempengaruhi aspek pembuktian, jenis tuntutan yang dapat diajukan, dan potensi ganti rugi yang bisa diperoleh.  

VII. Akibat Hukum PMH: Kewajiban Ganti Rugi

Konsekuensi hukum utama dari terbuktinya suatu Perbuatan Melawan Hukum adalah timbulnya kewajiban bagi pelaku untuk memberikan ganti rugi kepada korban atas semua kerugian yang diderita sebagai akibat dari perbuatannya tersebut.  

A. Prinsip Ganti Rugi

Prinsip dasar ganti rugi dalam PMH bersifat kompensatoir, yaitu bertujuan untuk memberikan kompensasi atau penggantian kepada korban agar sedapat mungkin kembali pada keadaan sebelum terjadinya PMH. Ganti rugi ini dimaksudkan untuk menutupi kerugian yang telah timbul akibat perbuatan salah pelaku.

B. Cakupan Ganti Rugi

Kewajiban ganti rugi mencakup:

  1. Kerugian Materiil: Meliputi semua kerugian finansial yang dapat dihitung secara nyata, termasuk biaya-biaya yang telah dikeluarkan korban (damnum emergens) dan kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh (lucrum cessans). Penggugat biasanya diwajibkan untuk merinci dan membuktikan besaran kerugian materiil yang diklaim.  
  2. Kerugian Immateriil: Meliputi kompensasi atas kerugian non-finansial seperti rasa sakit, penderitaan, ketakutan, kehilangan kenyamanan hidup, atau rusaknya nama baik. Pengaturan spesifik mengenai ganti rugi immateriil terdapat dalam Pasal 1370 (kematian), 1371 (luka/cacat badan), dan 1372 (penghinaan) KUHPerdata, namun yurisprudensi telah menunjukkan kemungkinan pemberian ganti rugi immateriil di luar kasus-kasus tersebut, misalnya terkait kekecewaan atas pelayanan jasa.  

Selain ganti rugi kompensatoir, beberapa sumber menyebutkan adanya kemungkinan ganti rugi nominal (jumlah simbolis untuk mengakui terjadinya pelanggaran hak meskipun kerugian nyata kecil atau tidak ada) dan ganti rugi penghukuman (punitive damages) yang bertujuan menghukum pelaku dan mencegah perbuatan serupa di masa depan, terutama untuk perbuatan yang sangat tercela. Namun, konsep ganti rugi penghukuman ini belum secara eksplisit dan konsisten diakui dalam sistem hukum perdata Indonesia yang lebih berfokus pada kompensasi.  

C. Peran Hakim dalam Menentukan Ganti Rugi

Hakim memiliki peran krusial dalam menentukan bentuk dan besaran ganti rugi yang harus dibayarkan. Kewenangan diskresi hakim ini sangat signifikan, terutama dalam menilai kerugian immateriil yang tidak memiliki tolok ukur pasti. Dalam mengambil keputusan, hakim akan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti:  

  • Sifat dan tingkat keparahan perbuatan melawan hukum.
  • Besarnya kerugian yang nyata diderita korban (baik materiil maupun immateriil).
  • Hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.
  • Tingkat kesalahan pelaku (meskipun dalam perdata akibatnya sama, hakim mungkin mempertimbangkannya dalam menilai kepatutan jumlah ganti rugi).
  • Kedudukan sosial dan ekonomi kedua belah pihak.  
  • Prinsip keadilan dan kepatutan yang berlaku di masyarakat.

Penggugat diharapkan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi yang terperinci dan didukung bukti yang memadai.  

D. Uang Paksa (Dwangsom)

Selain ganti rugi, pengadilan juga dapat menjatuhkan uang paksa (dwangsom) kepada pihak yang kalah. Uang paksa ini bukanlah bagian dari ganti rugi itu sendiri, melainkan berfungsi sebagai sanksi finansial tambahan yang harus dibayar untuk setiap hari keterlambatan dalam melaksanakan isi putusan (misalnya, membayar ganti rugi, menyerahkan barang, atau menghentikan perbuatan tertentu). Tujuannya adalah untuk memberikan tekanan agar pihak yang dihukum segera mematuhi putusan pengadilan.  

Meskipun prinsipnya adalah pemulihan penuh (full compensation), tantangan utama dalam praktik adalah mewujudkan kompensasi yang benar-benar setimpal, terutama untuk kerugian immateriil. Sifat subjektif dari kerugian ini, ditambah dengan ketiadaan pedoman perhitungan yang baku dalam undang-undang, menjadikan penilaiannya sangat bergantung pada kebijaksanaan hakim. Hal ini dapat menimbulkan variabilitas dalam putusan dan terkadang kesulitan bagi korban untuk merasa bahwa kerugian non-finansial mereka telah sepenuhnya dikompensasi.  

VIII. Kesimpulan

A. Rangkuman Konsep Inti PMH

Perbuatan Melawan Hukum (PMH), sebagaimana diatur utamanya dalam Pasal 1365 KUHPerdata, merupakan fondasi penting bagi sistem pertanggungjawaban perdata di Indonesia di luar lingkup perjanjian. Konsep ini memungkinkan individu atau badan hukum untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita akibat perbuatan salah pihak lain.

Keberhasilan gugatan PMH bergantung pada pembuktian empat unsur esensial secara kumulatif: (1) adanya perbuatan yang melawan hukum, yang ditafsirkan secara luas tidak hanya mencakup pelanggaran undang-undang tetapi juga pelanggaran hak subjektif, kewajiban hukum, kesusilaan, serta norma kepatutan dan kehati-hatian dalam masyarakat; (2) adanya kesalahan pada pelaku, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian; (3) timbulnya kerugian bagi korban, baik materiil maupun immateriil; dan (4) adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum tersebut dengan kerugian yang timbul.

B. Pentingnya Perbedaan dengan Wanprestasi

Membedakan PMH dengan Wanprestasi adalah krusial dalam praktik hukum perdata. Perbedaan mendasar terletak pada sumber kewajiban (hukum vs. perjanjian), unsur-unsur yang harus dibuktikan, kebutuhan akan somasi, beban pembuktian kesalahan, serta jenis dan cakupan tuntutan ganti rugi yang dapat diajukan. Pemahaman yang tepat mengenai perbedaan ini sangat penting bagi praktisi hukum dalam merumuskan strategi gugatan atau pembelaan yang efektif.

C. Signifikansi Interpretasi Luas "Melawan Hukum"

Perkembangan paling signifikan dalam konsep PMH adalah adopsi interpretasi luas terhadap unsur "melawan hukum", yang beranjak dari sekadar pelanggaran hukum tertulis menjadi mencakup pelanggaran terhadap norma-norma hukum tidak tertulis. Perluasan makna ini memberikan fleksibilitas yang sangat dibutuhkan bagi sistem hukum untuk merespons berbagai bentuk perbuatan merugikan yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, serta untuk menegakkan standar perilaku yang layak dalam interaksi sosial. Hal ini memungkinkan PMH berfungsi sebagai instrumen hukum yang dinamis untuk melindungi hak dan kepentingan individu maupun publik.

D. Tantangan dan Arah ke Depan

Meskipun interpretasi luas memberikan fleksibilitas, ia juga membawa tantangan, terutama terkait penerapan standar-standar subjektif seperti "kepatutan" dan "kesusilaan" yang memerlukan penafsiran kontekstual oleh hakim. Hal ini dapat menimbulkan potensi inkonsistensi dalam putusan hingga terbentuknya yurisprudensi yang lebih mapan. Selain itu, penilaian dan kuantifikasi kerugian immateriil tetap menjadi area yang kompleks dan memerlukan pengembangan lebih lanjut dalam praktik peradilan untuk memastikan tercapainya rasa keadilan bagi korban. Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai hak dan kewajiban dalam konteks PMH melalui edukasi hukum juga penting untuk efektivitas perlindungan hukum.  

Secara keseluruhan, Perbuatan Melawan Hukum di Indonesia bukanlah sekadar warisan hukum kolonial yang statis. Ia telah menjadi instrumen hukum yang hidup, terus-menerus dibentuk dan diinterpretasikan oleh pengadilan dan doktrin hukum Indonesia untuk menjawab kebutuhan penegakan keadilan dan pertanggungjawaban dalam masyarakat yang dinamis. Efektivitas PMH sebagai sarana perlindungan hukum sangat bergantung pada kearifan judicial dalam menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsipnya secara adil dan konsisten dalam menghadapi keragaman kasus yang muncul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...