Sabtu, 12 April 2025

Asas Kebenaran Materiil dalam Sistem Hukum Indonesia dan Perbandingannya Secara Global

I. Pendahuluan

Tulisan ini bertujuan menyajikan analisis komprehensif mengenai asas kebenaran materiil (prinsip kebenaran substantif) dalam kerangka sistem hukum Indonesia. Analisis ini mencakup pendefinisian asas tersebut, perbedaannya dengan asas kebenaran formil (prinsip kebenaran prosedural), pemetaan penerapannya dalam berbagai bidang hukum di Indonesia (pidana, tata usaha negara, dan perdata), serta perbandingan dengan pendekatan pencarian kebenaran dalam sistem hukum lain secara global. Lebih jauh, tulisan ini akan mengkaji signifikansi dan tantangan penerapan asas ini serta menilai tingkat universalitasnya.

Konsep "kebenaran" merupakan landasan fundamental bagi setiap sistem peradilan di dunia. Namun, interpretasi mengenai apa yang dimaksud dengan "kebenaran" dan metode yang digunakan untuk mencapainya menunjukkan variasi yang signifikan antar tradisi hukum. Idealnya, kebenaran yang dicari adalah kebenaran substantif (material truth), yaitu kebenaran yang sesuai dengan fakta sesungguhnya, bukan sekadar kebenaran legal formal (formal legal truth) yang merupakan hasil dari proses adjudikasi.

Di Indonesia, sebuah negara dengan warisan hukum sipil (civil law) yang kuat akibat pengaruh hukum kolonial Belanda , namun juga menyerap elemen-elemen unik dari hukum adat dan hukum Islam serta pengaruh lain, pembedaan antara kebenaran materiil dan kebenaran formil menjadi aspek krusial dalam hukum acaranya. Laporan ini akan membedah dikotomi ini beserta implikasinya.  

Tulisan ini akan dimulai dengan mendefinisikan kedua asas kebenaran (materiil dan formil) dalam konteks hukum Indonesia. Selanjutnya, akan dianalisis penerapannya dalam hukum acara pidana, hukum acara peradilan tata usaha negara, dan hukum acara perdata. Bagian berikutnya akan melakukan analisis perbandingan dengan pendekatan pencarian kebenaran dalam sistem common law (adversarial) dan sistem civil law lainnya (inquisitorial). Terakhir, laporan ini akan menyajikan kesimpulan mengenai sifat dan universalitas asas kebenaran materiil sebagaimana dipahami dan diterapkan di Indonesia.

II. Dikotomi Kebenaran dalam Hukum Indonesia: Kebenaran Materiil vs. Kebenaran Formil

Pencarian kebenaran dalam proses peradilan di Indonesia mengenal dua konsep utama yang seringkali ditempatkan dalam posisi berlawanan, yaitu asas kebenaran materiil dan asas kebenaran formil. Memahami perbedaan fundamental antara keduanya adalah kunci untuk mengerti logika dan tujuan di balik berbagai prosedur hukum acara yang berlaku.

A. Asas Kebenaran Materiil (Material Truth)

Asas kebenaran materiil adalah suatu prinsip yang menghendaki agar dalam pemeriksaan suatu perkara, pengadilan berusaha menemukan kebenaran yang substantif atau hakiki, yaitu kebenaran yang sepenuhnya sesuai dengan realitas atau peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Asas ini mencari "kebenaran yang sesungguhnya sesuai kenyataan" atau "kebenaran yang selengkap-lengkapnya" dari suatu perkara. Ini adalah kebenaran yang tidak hanya terbatas pada apa yang diajukan oleh para pihak, melainkan kebenaran objektif mengenai peristiwa hukum yang disengketakan.  

Elemen inti dari asas kebenaran materiil adalah:

·   Fokus pada Substansi: Prinsip ini memprioritaskan pengungkapan fakta dan peristiwa yang sebenarnya terjadi, melampaui sekadar pemenuhan formalitas prosedural. Tujuannya adalah agar putusan pengadilan didasarkan pada realitas kasus yang sebenarnya.  

·  Keyakinan Hakim: Elemen ini sangat krusial, terutama dalam hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hakim tidak hanya menilai alat bukti secara formal, tetapi juga harus memperoleh keyakinan pribadi mengenai kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang sah. Keyakinan ini harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah. Meskipun lebih menonjol dalam hukum pidana, keyakinan hakim juga dicari dalam perkara perdata di mana asas kebenaran materiil diterapkan.  

·  Peran Aktif Hakim: Secara implisit, asas ini menuntut atau setidaknya memungkinkan peran hakim yang lebih aktif dalam proses pencarian kebenaran. Hakim tidak hanya bersifat pasif menunggu bukti yang diajukan para pihak, tetapi dapat menggali lebih dalam untuk menemukan fakta sesungguhnya.  

Asas ini secara eksplisit menjadi landasan utama dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Penerapannya dalam Hukum Acara Perdata lebih bersifat nuansa dan terus berkembang.  

Tujuan utama penerapan asas kebenaran materiil adalah untuk memastikan bahwa putusan pengadilan didasarkan pada keadaan yang sebenarnya terjadi, sehingga tercapai keadilan substantif, terpeliharanya tertib hukum, dan terjaminnya kepentingan umum.  

B. Asas Kebenaran Formil (Formal Truth)

Asas kebenaran formil adalah kebenaran yang ditetapkan oleh hakim berdasarkan pada prosedur formal dan alat bukti yang diajukan oleh para pihak selama persidangan, sebagaimana diatur oleh hukum acara. Fokusnya adalah pada apakah persyaratan prosedural dan standar pembuktian formal telah terpenuhi. Kebenaran ini digali dari fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak.  

Elemen inti dari asas kebenaran formil adalah sebagai berikut:

·       Fokus pada Prosedur: Menekankan pada kepatuhan terhadap aturan-aturan prosedural dan validitas formal dari alat bukti yang disajikan.  

·       Bukti Berbasis Pihak: Kebenaran ini utamanya dibangun berdasarkan bukti dan argumen yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Peran hakim dalam konteks ini cenderung lebih pasif, bertindak sebagai wasit.  

·       Bobot Bukti Formal: Bukti-bukti formal, seperti akta otentik, memiliki kekuatan pembuktian yang signifikan. Akta otentik sering dianggap memiliki "kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat" (volledig en bindend bewijskracht), yang berarti hakim pada umumnya terikat oleh isi akta tersebut kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Keyakinan pribadi hakim biasanya tidak disyaratkan, bahkan terkadang dianggap tidak relevan atau dilarang.  

Asas ini secara tradisional diasosiasikan erat dengan Hukum Acara Perdata, yang diatur dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg), serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Aturan pembuktian dalam HIR/RBg (misalnya, Pasal 162-177 HIR ) mencerminkan penekanan pada pembuktian formal ini.  

Tujuan utama dari asas kebenaran formil adalah untuk memberikan kepastian hukum dan menyelesaikan sengketa berdasarkan bukti-bukti yang secara formal diajukan dan divalidasi sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.  

C. Perbedaan Kritis

Perbedaan antara kedua asas ini terletak pada beberapa aspek fundamental:

·       Objektif: Kebenaran materiil mencari kebenaran faktual atau substantif; kebenaran formil mencari kebenaran prosedural berdasarkan bukti yang diajukan.  

·       Peran Hakim: Kebenaran materiil seringkali mengimplikasikan peran hakim yang aktif (menggali, bertanya, mencari keyakinan); kebenaran formil mengimplikasikan peran hakim yang pasif (bertindak sebagai wasit, terikat pada bukti formal).  

·       Keyakinan Hakim: Disyaratkan dalam kebenaran materiil (terutama Pidana); Tidak disyaratkan/dilarang dalam kebenaran formil.  

·       Alat Bukti: Kebenaran materiil memungkinkan pertimbangan yang lebih luas, berpotensi melampaui apa yang diajukan pihak, demi kelengkapan; kebenaran formil sangat bergantung pada apa yang diajukan pihak dan validitas/kekuatan formal jenis bukti tertentu (misalnya, akta otentik).  

·       Cakupan: Kebenaran materiil bertujuan mengungkap "kebenaran perkara" secara menyeluruh; kebenaran formil seringkali terbatas pada lingkup yang didefinisikan oleh dalil dan bukti para pihak.  

Penting untuk dicatat bahwa dikotomi yang sering disajikan dalam teori, terutama mengenai peran hakim dan keharusan keyakinan, mungkin mengalami pergeseran atau setidaknya menunjukkan fleksibilitas dalam praktik peradilan. Secara khusus, dalam perkara perdata, terdapat indikasi bahwa hakim tidak selalu terpaku pada kebenaran formil semata. Hal ini menunjukkan adanya potensi evolusi atau ketegangan dalam sistem hukum Indonesia itu sendiri, di mana kebutuhan akan keadilan substantif terkadang mendorong melampaui batas-batas formalisme tradisional. Logika di balik ini adalah bahwa sementara hukum acara pidana dan tata usaha negara secara eksplisit menuntut pencarian kebenaran materiil karena menyangkut kepentingan publik yang lebih besar (ketertiban umum, perlindungan warga dari negara), hukum acara perdata yang berfokus pada sengketa privat secara tradisional lebih mengutamakan kepastian prosedural. Namun, ketika bukti formal dalam kasus perdata tampak bertentangan atau tidak memadai untuk mencapai hasil yang adil, muncul dorongan—baik dari praktik maupun pandangan Mahkamah Agung—untuk memungkinkan hakim menggali lebih dalam demi kebenaran materiil.

Selanjutnya, pengenalan elemen "keyakinan hakim" sebagai syarat dalam pencarian kebenaran materiil (khususnya di ranah pidana dan TUN) menambahkan dimensi subjektif ke dalam upaya yang idealnya objektif. Meskipun dimaksudkan untuk memastikan bahwa hakim benar-benar yakin akan kebenaran fakta berdasarkan bukti, bukan sekadar memenuhi syarat formal minimal, elemen ini membawa risiko inheren.

Kebenaran materiil bertujuan pada realitas objektif, namun pencapaiannya bergantung pada keyakinan subjektif hakim. Walaupun keyakinan ini harus didasarkan pada bukti objektif (minimal dua alat bukti sah, tetap ada potensi celah antara keyakinan subjektif dan realitas objektif. Hal ini menempatkan beban berat pada integritas, metodologi, dan objektivitas hakim dalam membentuk keyakinannya. Dengan demikian, mekanisme ini memiliki kekuatan (memastikan hakim percaya pada bukti) sekaligus potensi kelemahan (risiko bias pribadi mempengaruhi 'keyakinan').

III. Lanskap Penerapan Kebenaran Materiil di Indonesia

Meskipun konsep kebenaran materiil sering dibahas secara umum, penerapannya dalam sistem hukum Indonesia tidaklah seragam. Kekuatan dan mekanisme penerapannya bervariasi secara signifikan di antara bidang hukum acara pidana, peradilan tata usaha negara, dan perdata.

A. Hukum Acara Pidana: Benteng Pertahanan Kebenaran Materiil

Hukum Acara Pidana Indonesia secara tegas menjadikan pencarian kebenaran materiil sebagai tujuan utamanya. Fokusnya adalah untuk menentukan secara pasti apakah suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan apakah terdakwa adalah orang yang sesungguhnya bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Kebenaran yang dicari adalah kebenaran hakiki, bukan sekadar kebenaran berdasarkan pengakuan atau dalil formal.  

Proses ini diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Pasal 183 KUHAP menjadi jantung dari sistem pembuktian pidana, yang mensyaratkan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana kecuali ia memperoleh keyakinan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah pelakunya. Alat bukti yang sah (alat bukti sah) diatur secara limitatif dalam Pasal 184 KUHAP, meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Untuk tindak pidana khusus di luar KUHAP, alat bukti elektronik juga dapat diakui.  

Hakim diharapkan berperan aktif dalam menggali kebenaran ini. Hakim tidak boleh hanya bergantung pada argumen jaksa penuntut umum atau pembela. Pengakuan terdakwa saja, misalnya, tidak cukup untuk menjatuhkan hukuman jika tidak didukung oleh alat bukti lain yang menguatkan. Hal ini untuk mencegah kemungkinan pengakuan palsu.  

Pencarian kebenaran materiil dalam hukum pidana bukanlah tanpa batas. Ia dibatasi oleh beberapa prinsip penting:

·  Perlindungan Hak Asasi Manusia: Sistem hukum acara pidana modern Indonesia menganut sistem accusatoir, di mana terdakwa dipandang sebagai subjek hukum dengan hak-hak yang harus dilindungi, berbeda dengan sistem inquisitoir di masa lalu yang memandang tersangka sebagai objek dan rentan terhadap penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan. Pencarian kebenaran tidak boleh menghalalkan segala cara yang melanggar HAM.  

·   Prinsip Due Process of Law: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 memberikan penekanan pada pentingnya due process of law (proses hukum yang layak). Putusan ini mengindikasikan bahwa alat bukti yang diperoleh secara tidak sah (unlawful legal evidence) harus dikesampingkan oleh hakim dan tidak memiliki nilai pembuktian. Hal ini mendorong hukum acara pidana Indonesia ke arah model yang lebih menekankan pada aspek prosedural yang adil, mirip dengan Due Process Model dalam sistem common law, sebagai penyeimbang dari fokus pada pengendalian kejahatan (Crime Control Model).  

·  Sistem Pembuktian Negatif Menurut Undang-Undang (Negatief-Wettelijk Bewijsleer): Sistem ini, yang dianut KUHAP (tercermin dalam Pasal 183), mengharuskan hakim mendasarkan putusannya pada alat bukti yang sah menurut undang-undang (minimal dua) dan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat bukti tersebut. Ini merupakan jalan tengah antara sistem pembuktian positif (hanya berdasarkan undang-undang) dan sistem pembuktian bebas (hanya berdasarkan keyakinan hakim).  

B. Hukum Acara PTUN: Mencari Kebenaran Materiil dalam Sengketa Hukum Publik

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah, secara eksplisit menganut asas pencarian kebenaran materiil. Tujuannya adalah untuk menentukan kebenaran yang sesungguhnya mengenai sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau tindakan faktual pejabat/badan TUN, ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Pencarian kebenaran ini penting karena menyangkut hubungan antara pemerintah dan warga negara dalam ranah hukum publik.  

Hakim dalam PTUN memegang peranan yang sangat aktif (dominus litis). Keaktifan ini didasarkan pada dua alasan utama: (1) untuk mengimbangi ketidakseimbangan posisi antara penggugat (warga negara/badan hukum perdata) yang umumnya lebih lemah dibandingkan tergugat (pejabat/badan TUN) yang memiliki kekuasaan publik; dan (2) karena hakim dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil. Hakim berwenang menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, dan melakukan penilaian terhadap pembuktian. Jika penggugat kesulitan memperoleh data, hakim dapat memerintahkan pejabat terkait untuk memberikan penjelasan.

Sebagai konsekuensi logis dari asas hakim aktif, berlaku asas pembuktian bebas (vrije bewijstheorie atau la conviction raisonnée). Pasal 107 UU PTUN memberikan kebebasan kepada hakim dalam menilai kekuatan pembuktian alat bukti berdasarkan keyakinannya, dengan syarat minimal dua alat bukti yang sah. Hakim tidak terikat secara kaku pada aturan pembuktian formal seperti dalam hukum acara perdata; misalnya, pengakuan para pihak tidak secara otomatis mengikat hakim. Hakim bahkan dapat melakukan pengujian terhadap aspek lain di luar pokok sengketa yang diajukan para pihak.  

Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang efektif bagi masyarakat terhadap tindakan administrasi negara. Sifat putusan PTUN yang erga omnes (berlaku untuk semua orang, tidak hanya para pihak) juga memperkuat argumen perlunya pengadilan memastikan kebenaran materiil mengenai legalitas tindakan pemerintah sebelum membatalkannya. Asas presumptio iustae causa (praduga rechtmatig) yang menyatakan KTUN dianggap sah sampai dibatalkan pengadilan juga berjalan seiring dengan kebutuhan pembuktian materiil untuk mematahkan praduga tersebut.  

C. Hukum Acara Perdata: Peran yang Berkembang Melampaui Kebenaran Formil

Hukum Acara Perdata di Indonesia, yang sumber utamanya adalah HIR/RBg dan KUH Perdata, secara tradisional lebih menekankan pada pencarian kebenaran formil. Hakim umumnya dianggap terikat pada alat bukti yang diajukan oleh para pihak, dan bukti tertulis otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sangat kuat (sempurna dan mengikat). Peran hakim seringkali digambarkan sebagai pasif, layaknya wasit yang memutuskan berdasarkan kekuatan formal argumen dan bukti yang disajikan oleh penggugat dan tergugat. Kebenaran dianggap cukup ditemukan dari apa yang disepakati atau dibuktikan secara formal oleh para pihak.  

Meskipun demikian, pandangan ini tidak sepenuhnya kaku dalam praktik. Terdapat indikasi kuat adanya pergeseran atau setidaknya fleksibilitas dalam penerapan asas kebenaran di ranah perdata:

·   Praktik Peradilan: Sejumlah studi kasus dan analisis menunjukkan bahwa hakim perdata dalam praktiknya terkadang berusaha mencari kebenaran materiil, terutama ketika bukti-bukti formal yang diajukan saling bertentangan, tidak cukup meyakinkan, atau dicurigai tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Hakim dapat menggali lebih dalam melalui pemeriksaan saksi atau analisis bukti lainnya untuk memperoleh keyakinan mengenai fakta yang sesungguhnya terjadi.  

·     Sikap Mahkamah Agung: Mahkamah Agung RI melalui beberapa putusannya telah memberikan sinyal bahwa hakim perdata tidak dilarang untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil. Putusan MA No. 3136 K/Pdt/1983 dan Putusan MA No. 1071 K/Pdt/1984 sering dikutip sebagai contoh di mana MA mengakui kemungkinan ini. MA menyatakan bahwa jika kebenaran materiil tidak ditemukan, barulah hakim berpegang pada kebenaran formil. Namun, jika bukti formil sama kuat atau menimbulkan keraguan, hakim harus menemukan kebenaran materiilnya. Wacana hukum terkini juga mendukung peran hakim perdata yang lebih aktif untuk menemukan kebenaran materiil di samping kebenaran formil demi mencapai keadilan.  

Evolusi ini kemungkinan didorong oleh beberapa faktor: keinginan untuk mencapai hasil yang lebih adil dan substantif dalam sengketa yang kompleks (misalnya, sengketa bisnis atau investasi yang melibatkan fakta rumit); upaya mencegah ketidakadilan yang bisa timbul jika putusan hanya didasarkan pada kemenangan formal atas dasar bukti yang mungkin menyesatkan atau tidak lengkap ; serta dorongan untuk menyelaraskan praktik peradilan perdata dengan ekspektasi masyarakat yang lebih luas mengenai keadilan.  

Adanya kecenderungan ini menciptakan suatu ketegangan antara hukum acara perdata yang terkodifikasi (HIR/RBg yang menekankan formalisme) dengan kebutuhan praktis atau keinginan yudisial untuk mencapai keadilan substantif. Sejauh mana kebenaran materiil dapat dan seharusnya dikejar dalam perkara perdata masih menjadi subjek diskusi dan pengembangan dalam hukum Indonesia.  

Penerapan asas kebenaran materiil yang bervariasi kekuatannya di berbagai bidang hukum ini mencerminkan perbedaan filosofi dasar dan tujuan masing-masing ranah hukum. Dalam pidana dan TUN, di mana kekuasaan negara dan kepentingan publik menjadi sentral, pencarian kebenaran faktual yang sesungguhnya dianggap esensial. Sebaliknya, dalam perdata, yang fokus pada penyelesaian sengketa antar individu, kepastian prosedural dan otonomi para pihak secara tradisional lebih diutamakan. Namun demikian, perkembangan yang terjadi, seperti penguatan due process dalam pidana dan potensi perluasan pencarian kebenaran materiil dalam perdata, menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia tidak statis. Ada indikasi kuat bahwa sistem ini sedang bergerak menuju suatu sintesis, mencoba menyeimbangkan antara pencarian kebenaran substantif dengan peningkatan perlindungan hak dan keadilan prosedural. Dinamika ini bisa jadi merupakan respons terhadap perkembangan internal masyarakat dan hukum Indonesia, sekaligus adaptasi terhadap tren hukum global yang semakin menekankan kedua aspek tersebut.  

IV. Perspektif Global tentang Kebenaran dalam Adjudikasi: Lensa Perbandingan

Untuk memahami posisi dan keunikan asas kebenaran materiil di Indonesia, penting untuk melihatnya dalam konteks pendekatan pencarian kebenaran yang lebih luas di sistem hukum lain, terutama melalui perbandingan antara paradigma adversarial dan inquisitorial.

A. Pencarian Kebenaran: Paradigma Adversarial vs. Inquisitorial

Secara global, sistem hukum sering diklasifikasikan ke dalam dua paradigma besar berdasarkan pendekatan mereka terhadap pencarian kebenaran dalam proses peradilan: adversarial (umumnya di negara-negara common law) dan inquisitorial (umumnya di negara-negara civil law).  

Dalam sistem paradigma adversarial, kebenaran diharapkan muncul sebagai hasil dari "pertarungan" atau kompetisi antara dua pihak yang berlawanan (penuntut vs. pembela, penggugat vs. tergugat) di hadapan hakim atau juri yang netral. Fokus utama adalah pada keadilan prosedural (procedural fairness), di mana para pihak memiliki kontrol utama atas pengumpulan dan penyajian bukti, sementara hakim berperan sebagai wasit yang memastikan aturan main diikuti. Proses ini pada dasarnya adalah sebuah kontes.  

Sebaliknya, sistem inquisitorial menekankan pencarian kebenaran secara aktif melalui investigasi yang dipimpin atau diawasi secara ketat oleh hakim atau pejabat yudisial lainnya (seperti hakim investigasi atau jaksa dalam beberapa sistem). Fokusnya adalah pada penemuan kebenaran substantif mengenai peristiwa yang terjadi. Hakim memainkan peran sentral dalam mengumpulkan bukti, memeriksa saksi, dan mengarahkan jalannya pemeriksaan. Prosesnya lebih menyerupai sebuah penyelidikan (inquiry).  

Penting dicatat bahwa pembagian ini merupakan idealisasi. Dalam praktiknya, banyak sistem hukum modern menunjukkan adanya konvergensi, di mana sistem adversarial mengadopsi beberapa elemen inquisitorial (misalnya, peran hakim yang lebih aktif dalam manajemen kasus) dan sebaliknya.  

B. Sistem Common Law: Keadilan Prosedural dan Kemunculan Kebenaran

Dalam tradisi common law, kebenaran seringkali dipandang sebagai produk sampingan dari proses adversarial yang adil, bukan sebagai tujuan utama yang dikejar secara langsung oleh pengadilan. Beberapa pandangan bahkan menyatakan bahwa tujuan utama sistem ini adalah penyelesaian sengketa atau pencapaian keadilan antar pihak, dengan kebenaran menjadi aspek insidental atau sekadar pendekatan terbaik yang mungkin dicapai dalam keterbatasan proses. Prosesnya bukan untuk menemukan kebenaran an sich, melainkan untuk menetapkan dasar fakta guna menyelesaikan sengketa.  

Peran hakim umumnya pasif dalam hal pencarian fakta. Hakim bertindak sebagai wasit netral yang memastikan kepatuhan terhadap aturan prosedur dan bukti. Hakim membuat putusan berdasarkan bukti yang disajikan oleh para pihak dan tunduk pada aturan pembuktian yang kompleks, yang terkadang dapat mengecualikan bukti yang relevan demi tujuan lain seperti keadilan, pencegahan prasangka, atau perlindungan hak tertentu.  

Konsep "material" dalam common law seringkali berkaitan dengan relevansi atau signifikansi suatu fakta atau pernyataan dalam konteks hukum kasus tersebut. Misalnya, fakta material yang harus didalilkan dalam gugatan, pernyataan material yang salah dalam kasus penipuan (fraud) , atau kewajiban pengacara terkait fakta material. Materialitas menentukan apakah suatu informasi cukup penting untuk mempengaruhi proses hukum atau keputusannya.  

Diskursus akademik dalam common law juga mengenal perbedaan antara "kebenaran substantif" (realitas faktual) dan "kebenaran legal formal" (apa yang ditetapkan sebagai fakta oleh pengadilan). Diakui bahwa kebenaran legal formal dapat berbeda dari kebenaran substantif karena berbagai faktor, termasuk keterbatasan aturan bukti, strategi pihak, ketidaksetaraan sumber daya antar pihak, bias hakim/juri, atau karena sistem mengutamakan nilai-nilai lain (seperti keadilan prosedural) di atas pencarian kebenaran absolut.  

C. Sistem Civil Law: Peran Hakim dalam Mengungkap Kebenaran

Secara umum, proses peradilan dalam tradisi civil law lebih berorientasi pada penemuan kebenaran substantif ("materiële waarheid" dalam bahasa Belanda, atau padanannya) sebagai tujuan utama. Proses ini dilihat sebagai upaya untuk merekonstruksi peristiwa yang sebenarnya terjadi.  

Hakim memainkan peran yang jauh lebih aktif. Dalam banyak sistem, hakim (atau hakim investigasi/jaksa) memimpin atau mengawasi proses investigasi, secara aktif bertanya kepada saksi, mengarahkan pengumpulan bukti, dan menentukan relevansi bukti. Sistem civil law umumnya tidak terlalu terikat pada aturan pengecualian bukti yang ketat seperti common law; fokus lebih pada relevansi dan bobot bukti untuk mengungkap kebenaran. Hakim bertanggung jawab untuk membangun dasar faktual putusan.  

Meskipun tujuannya adalah kebenaran substantif, standar pembuktian dan peran formal keyakinan hakim dapat bervariasi antar negara civil law. Penekanan spesifik dalam hukum Indonesia pada keyakinan hakim yang harus dicapai berdasarkan jumlah alat bukti minimum tertentu mungkin tidak ditemukan dalam formulasi yang sama persis di semua sistem civil law lainnya. Prinsip umum adalah hakim harus yakin berdasarkan bukti yang ada, tetapi formalisasinya bisa berbeda.

Proses peradilan seringkali ditandai dengan tahapan yang jelas, termasuk fase investigasi pendahuluan yang ekstensif sebelum persidangan utama. Persidangan itu sendiri mungkin tidak berlangsung secara terus-menerus seperti dalam model common law, melainkan terdiri dari serangkaian sidang.  

D. Indonesia: Akar Civil Law dan Karakteristik Unik

Sistem hukum Indonesia secara fundamental berakar pada tradisi hukum sipil Eropa Kontinental, khususnya hukum Belanda. Warisan ini menjelaskan kecenderungan konseptual ke arah pencarian kebenaran materiil, terutama dalam domain hukum publik seperti pidana dan tata usaha negara, di mana peran negara dan perlindungan kepentingan umum sangat ditekankan.  

Indonesia semakin diakui sebagai negara dengan sistem hukum campuran (mixed legal system). Selain civil law, sistem hukum Indonesia juga menyerap dan mengakomodasi elemen-elemen dari hukum adat, hukum Islam, dan bahkan mungkin terpengaruh oleh praktik common law (misalnya, penggunaan yurisprudensi sebagai acuan meskipun tidak mengikat secara formal seperti preseden). Pancasila berfungsi sebagai dasar filosofis negara yang melandasi keseluruhan sistem hukum. Sifat campuran ini dapat berkontribusi pada evolusi dan penerapan prinsip seperti kebenaran materiil secara unik, termasuk nuansa yang terlihat dalam hukum acara perdata.  

Persyaratan eksplisit mengenai keyakinan hakim yang harus dicapai, yang dikaitkan dengan pembuktian minimal melalui alat bukti yang sah secara hukum (Pasal 183 KUHAP dan Pasal 107 UU PTUN ), tampak sebagai ciri khas yang menonjol dalam penerapan pencarian kebenaran materiil di Indonesia. Hal ini membedakannya dari deskripsi umum sistem adversarial maupun inquisitorial lainnya, di mana meskipun penilaian hakim terhadap bukti tentu ada, formalisasi keharusan mencapai 'keyakinan subjektif' sebagai syarat putusan (di ranah Pidana/TUN) memberikan karakter tersendiri pada asas ini di Indonesia.

Perbandingan ini menempatkan Indonesia dalam lanskap global. Terlihat jelas bahwa pendekatan Indonesia dalam ranah pidana dan TUN sangat selaras dengan idealisme sistem inquisitorial yang berorientasi pada penemuan kebenaran substantif dengan peran hakim yang aktif. Namun, fitur unik seperti formalisasi syarat 'keyakinan hakim' menunjukkan adanya kekhasan.

Penting untuk dipahami bahwa label "adversarial" dan "inquisitorial" adalah tipe ideal. Sistem hukum di dunia nyata, termasuk Indonesia, seringkali menunjukkan karakteristik hibrida. Oleh karena itu, sekadar melabeli Indonesia sebagai "civil law/inquisitorial" dapat menyederhanakan kompleksitas proses pencarian kebenarannya, terutama jika mempertimbangkan evolusi dalam hukum acara perdata dan penekanan spesifik pada keyakinan hakim.

Logikanya, sementara akar civil law Indonesia dan praktik di ranah pidana/TUN menempatkannya dekat dengan model inquisitorial, adanya elemen campuran, penggunaan yurisprudensi, perkembangan di ranah perdata, dan syarat 'keyakinan hakim' menandakan bahwa sistem Indonesia memiliki dinamika internalnya sendiri yang tidak sepenuhnya terwakili oleh label tunggal.

Selain itu, perdebatan mengenai sistem mana yang lebih baik dalam menemukan kebenaran sangatlah kompleks dan tidak memiliki jawaban tunggal. Sistem adversarial berisiko kebenarannya dikaburkan oleh strategi pihak, ketidaksetaraan sumber daya, atau fokus pada kemenangan semata.

Di sisi lain, sistem inquisitorial sangat bergantung pada kompetensi, sumber daya, dan netralitas hakim atau pejabat yang memimpin investigasi. Pilihan Indonesia untuk mengutamakan kebenaran materiil mencerminkan preferensi terhadap akurasi substantif (nilai inquisitorial). Namun, pilihan ini juga membawa tantangan, yaitu memastikan kapasitas dan integritas yudisial, mengelola potensi subjektivitas dalam keyakinan hakim, serta menyeimbangkan upaya pencarian kebenaran ini dengan perlindungan hak-hak prosedural individu. Efektivitas pendekatan Indonesia bergantung pada bagaimana tantangan-tantangan inheren ini dikelola dalam praktik.

V. Menilai Universalitas Asas Kebenaran Materiil

Setelah memahami definisi, penerapan di Indonesia, dan perbandingannya dengan sistem lain, pertanyaan selanjutnya adalah apakah asas kebenaran materiil sebagaimana dipahami di Indonesia dapat dianggap sebagai prinsip hukum universal.

A. Apakah Model Indonesia Unik? Menganalisis Fitur Spesifik

Tujuan mendasar untuk mencari kebenaran yang mencerminkan peristiwa aktual (kebenaran materiil) sejajar dengan konsep "kebenaran substantif" (substantive truth) yang dibahas dalam filsafat hukum internasional dan tujuan umum sistem inquisitorial. Dalam pengertian luas ini, aspirasi untuk mencapai kebenaran faktual bukanlah hal yang unik bagi Indonesia. Banyak sistem hukum, setidaknya secara teoretis, mengklaim tujuan ini.  

Namun, mekanisme spesifik yang diterapkan di Indonesia, khususnya persyaratan formal bahwa hakim harus mencapai keyakinan pribadi (keyakinan hakim), yang secara eksplisit terikat pada standar pembuktian minimum berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang (terutama dalam hukum acara pidana dan TUN ), tampak sebagai fitur yang lebih ditekankan dan diformalkan dibandingkan dengan deskripsi umum tentang pencarian kebenaran di tempat lain. Meskipun hakim di semua sistem mengevaluasi bukti, keharusan hukum untuk mencapai keyakinan subjektif ini sebagai prasyarat putusan (dalam Pidana/TUN) memberikan karakter partikular pada asas ini di Indonesia.  

Meskipun peran hakim yang aktif adalah ciri khas sistem inquisitorial secara umum, kewenangan dan tugas spesifik yang diuraikan dalam UU PTUN (misalnya, Pasal 107) memberikan formalisasi yang jelas mengenai peran aktif ini dalam konteks pencarian kebenaran materiil di ranah hukum administrasi negara Indonesia.  

B. Konvergensi dan Divergensi dengan Norma Internasional

Penekanan pada kebenaran substantif menempatkan Indonesia sejalan dengan tradisi civil law/inquisitorial. Selain itu, meningkatnya perhatian pada elemen-elemen due process dalam hukum acara pidana menunjukkan adanya konvergensi dengan tren global yang menekankan perlindungan hak asasi manusia dalam prosedur kriminal.  

Di sisi lain, penekanan tradisional pada kebenaran formil dalam hukum acara perdata Indonesia merupakan titik divergensi dari pendekatan inquisitorial tipikal, di mana hakim cenderung lebih aktif mencari kebenaran materiil bahkan dalam sengketa perdata (meskipun, seperti dibahas, hal ini sedang berkembang di Indonesia). Formulasi spesifik dari syarat keyakinan hakim juga menjadi titik divergensi potensial dari cara penilaian pembuktian dirumuskan dalam sistem hukum lain. Tentu saja, sistem adversarial secara fundamental berbeda karena mengandalkan kontes antar pihak, bukan penyelidikan yudisial, untuk mengungkap kebenaran.  

C. Kesimpulan tentang Universalitas: Prinsip dengan Gema Universal tetapi Manifestasi Spesifik Sistem

Asas kebenaran materiil, terutama jika didefinisikan dengan menyertakan syarat keyakinan hakim berdasarkan ambang batas pembuktian spesifik sebagaimana diterapkan dalam hukum Pidana dan TUN Indonesia, tidak dapat dianggap sebagai prinsip hukum universal yang diterapkan secara identik di seluruh dunia. Sistem adversarial beroperasi dengan premis yang sangat berbeda. Bahkan di antara negara-negara civil law, formulasi dan penekanannya bisa bervariasi.  

Namun demikian, aspirasi yang mendasarinya – yaitu untuk mencapai putusan pengadilan yang didasarkan pada fakta-fakta aktual suatu kasus (kebenaran substantif) – merupakan tujuan atau ideal yang dianut secara luas, bahkan bisa dibilang mendekati universal, dalam sistem peradilan. Meskipun metode dan prioritasnya berbeda, baik sistem adversarial maupun inquisitorial, dengan caranya masing-masing, mengklaim bertujuan untuk mencari atau mengungkapkan kebenaran.  

Oleh karena itu, asas kebenaran materiil paling tepat dipahami sebagai prinsip inti dalam domain hukum tertentu di Indonesia, yang mencerminkan warisan civil law-nya serta perkembangan hukumnya yang unik. Ia bukanlah doktrin yang diadopsi secara universal dalam formulasi spesifik Indonesia, melainkan mewakili satu pendekatan partikular dalam spektrum metodologi pencarian kebenaran dalam hukum secara global.

Diskusi mengenai universalitas ini menyoroti perbedaan penting antara tujuan hukum (seperti mencapai keadilan substantif atau menemukan kebenaran), yang mungkin memiliki resonansi luas, dan mekanisme atau prinsip hukum (seperti asas kebenaran materiil dengan fitur-fitur spesifiknya di Indonesia), yang seringkali bergantung pada sistem hukum masing-masing. Mencampuradukkan keduanya dapat mengarah pada klaim universalitas yang tidak akurat. Logikanya, sementara minat global terhadap 'kebenaran' dalam peradilan tampak nyata , sistem hukum sangat bervariasi dalam cara mengejarnya.

Kebenaran Materiil Indonesia, dengan fitur khasnya , selaras dengan ideal inquisitorial tetapi diformalkan secara unik. Jadi, tujuan (kebenaran substantif) bersifat aspiratif universal, tetapi prinsip/mekanisme spesifik Indonesia tidak diterapkan secara universal. Analisis hukum komparatif harus membedakan antara aspirasi bersama dan metodologi yang beragam.  

Lebih jauh, tingkat keberhasilan pencapaian asas kebenaran materiil di Indonesia tidak hanya bergantung pada prinsip hukum itu sendiri, tetapi juga pada faktor-faktor praktis. Kapasitas institusional, termasuk pelatihan, sumber daya, dan integritas hakim, serta efektivitas mekanisme pengawasan dan keseimbangan dalam sistem (seperti peninjauan banding dan perlindungan due process), sangat menentukan realisasi prinsip ini.

Prinsip ini menetapkan standar yang tinggi, namun pencapaiannya bergantung pada kemampuan sistem peradilan untuk menjalankannya secara efektif dan adil. Dengan kata lain, keberadaan prinsip dalam undang-undang tidak secara otomatis menjamin implementasi yang sukses di lapangan. Evaluasi terhadap prinsip ini harus melampaui teks hukum dan melihat realitas operasional sistem peradilan.

VI. Penutup

Tulisan ini telah menguraikan secara mendalam konsep asas kebenaran materiil dalam sistem hukum Indonesia. Didefinisikan sebagai upaya pencarian kebenaran substantif yang sesuai dengan realitas faktual, asas ini seringkali melibatkan peran aktif hakim dan pencapaian keyakinan hakim, terutama dalam hukum acara pidana dan peradilan tata usaha negara.

Asas ini kontras dengan asas kebenaran formil, yang lebih menekankan pada pemenuhan prosedur dan bukti formal yang diajukan para pihak, dan secara tradisional dominan dalam hukum acara perdata. Namun, analisis tulisan ini menunjukkan adanya dinamika, di mana penerapan kebenaran materiil dalam hukum acara perdata menunjukkan tanda-tanda perkembangan, didorong oleh praktik peradilan dan pandangan Mahkamah Agung yang tidak melarang hakim mencarinya demi keadilan substantif. Akar asas kebenaran materiil di Indonesia terletak pada warisan sistem hukum civil law, namun manifestasinya, terutama melalui penekanan pada keyakinan hakim yang terikat pada standar pembuktian minimum, menunjukkan adanya karakteristik unik.

Dalam perbandingan global, asas kebenaran materiil menempatkan Indonesia lebih dekat dengan tradisi inquisitorial civil law yang mengutamakan penemuan kebenaran substantif melalui peran aktif hakim. Hal ini berbeda secara fundamental dengan pendekatan adversarial common law yang mengandalkan kontes antar pihak untuk mengungkap kebenaran. Meskipun aspirasi untuk mencapai kebenaran substantif bersifat luas, mekanisme spesifik Indonesia, khususnya formalisasi syarat keyakinan hakim, membedakannya baik dari sistem adversarial maupun dari formulasi umum dalam sistem inquisitorial lainnya.

Penerapan asas kebenaran materiil memiliki signifikansi penting dalam upaya mewujudkan keadilan substantif di Indonesia, memastikan bahwa putusan tidak hanya benar secara prosedural tetapi juga secara faktual. Namun, asas ini juga membawa tantangan inheren. Pertama, ia menuntut tingkat kompetensi, integritas, dan sumber daya yang tinggi dari aparat penegak hukum, khususnya hakim. Kedua, elemen subjektif dalam keyakinan hakim memerlukan mekanisme kontrol dan metodologi yang kuat untuk mencegah bias dan memastikan objektivitas. Ketiga, terdapat ketegangan yang berkelanjutan dalam menyeimbangkan upaya intensif pencarian kebenaran dengan perlindungan hak-hak asasi manusia dan prinsip due process of law. Keberhasilan realisasi asas kebenaran materiil dalam praktik sangat bergantung pada kemampuan sistem peradilan mengatasi tantangan-tantangan ini, yang pada gilirannya krusial bagi kepercayaan publik dan legitimasi institusi peradilan.

Asas kebenaran materiil merupakan komponen vital, meskipun kompleks dan terus berkembang, dalam lanskap hukum Indonesia. Ia mencerminkan komitmen terhadap pencapaian keadilan substantif yang berakar dalam konteks sejarah dan sistem hukum spesifik negara ini. Penerapan dan interpretasinya kemungkinan akan terus mengalami penyesuaian seiring Indonesia menavigasi interaksi antara tradisi civil law-nya, elemen-elemen sistem hukum campuran yang dimilikinya, serta pengaruh norma-norma hukum global. Memahami asas ini secara mendalam tidak hanya penting bagi praktisi dan akademisi hukum di Indonesia, tetapi juga memberikan wawasan berharga bagi studi perbandingan sistem hukum secara internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...