I. Pendahuluan
Tulisan ini bertujuan
menyajikan analisis komprehensif mengenai asas kebenaran materiil
(prinsip kebenaran substantif) dalam kerangka sistem hukum Indonesia. Analisis
ini mencakup pendefinisian asas tersebut, perbedaannya dengan asas kebenaran
formil (prinsip kebenaran prosedural), pemetaan penerapannya dalam berbagai
bidang hukum di Indonesia (pidana, tata usaha negara, dan perdata), serta
perbandingan dengan pendekatan pencarian kebenaran dalam sistem hukum lain
secara global. Lebih jauh, tulisan ini akan mengkaji signifikansi dan tantangan
penerapan asas ini serta menilai tingkat universalitasnya.
Konsep "kebenaran"
merupakan landasan fundamental bagi setiap sistem peradilan di dunia. Namun,
interpretasi mengenai apa yang dimaksud dengan "kebenaran" dan metode
yang digunakan untuk mencapainya menunjukkan variasi yang signifikan antar
tradisi hukum. Idealnya, kebenaran yang dicari adalah kebenaran substantif
(material truth), yaitu kebenaran yang sesuai dengan fakta sesungguhnya, bukan
sekadar kebenaran legal formal (formal legal truth) yang merupakan hasil dari
proses adjudikasi.
Di Indonesia, sebuah negara
dengan warisan hukum sipil (civil law) yang kuat akibat pengaruh hukum
kolonial Belanda , namun juga menyerap elemen-elemen unik dari hukum adat dan
hukum Islam serta pengaruh lain, pembedaan antara kebenaran materiil dan
kebenaran formil menjadi aspek krusial dalam hukum acaranya. Laporan ini akan
membedah dikotomi ini beserta implikasinya.
Tulisan ini akan dimulai
dengan mendefinisikan kedua asas kebenaran (materiil dan formil) dalam konteks
hukum Indonesia. Selanjutnya, akan dianalisis penerapannya dalam hukum acara
pidana, hukum acara peradilan tata usaha negara, dan hukum acara perdata.
Bagian berikutnya akan melakukan analisis perbandingan dengan pendekatan
pencarian kebenaran dalam sistem common law (adversarial) dan sistem civil
law lainnya (inquisitorial). Terakhir, laporan ini akan menyajikan
kesimpulan mengenai sifat dan universalitas asas kebenaran materiil
sebagaimana dipahami dan diterapkan di Indonesia.
II. Dikotomi Kebenaran dalam Hukum Indonesia: Kebenaran Materiil vs. Kebenaran Formil
Pencarian kebenaran dalam
proses peradilan di Indonesia mengenal dua konsep utama yang seringkali
ditempatkan dalam posisi berlawanan, yaitu asas kebenaran materiil dan asas
kebenaran formil. Memahami perbedaan fundamental antara keduanya adalah
kunci untuk mengerti logika dan tujuan di balik berbagai prosedur hukum acara
yang berlaku.
A. Asas Kebenaran Materiil
(Material Truth)
Asas kebenaran materiil
adalah suatu prinsip yang menghendaki agar dalam pemeriksaan suatu perkara,
pengadilan berusaha menemukan kebenaran yang substantif atau hakiki,
yaitu kebenaran yang sepenuhnya sesuai dengan realitas atau peristiwa yang
sesungguhnya terjadi. Asas ini mencari "kebenaran yang sesungguhnya sesuai
kenyataan" atau "kebenaran yang selengkap-lengkapnya" dari suatu
perkara. Ini adalah kebenaran yang tidak hanya terbatas pada apa yang diajukan
oleh para pihak, melainkan kebenaran objektif mengenai peristiwa hukum
yang disengketakan.
Elemen inti dari asas kebenaran
materiil adalah:
· Fokus pada Substansi:
Prinsip ini memprioritaskan pengungkapan fakta dan peristiwa yang sebenarnya
terjadi, melampaui sekadar pemenuhan formalitas prosedural. Tujuannya adalah
agar putusan pengadilan didasarkan pada realitas kasus yang sebenarnya.
· Keyakinan Hakim: Elemen
ini sangat krusial, terutama dalam hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hakim tidak hanya
menilai alat bukti secara formal, tetapi juga harus memperoleh keyakinan
pribadi mengenai kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang sah. Keyakinan
ini harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah. Meskipun lebih
menonjol dalam hukum pidana, keyakinan hakim juga dicari dalam perkara perdata
di mana asas kebenaran materiil diterapkan.
· Peran Aktif Hakim: Secara
implisit, asas ini menuntut atau setidaknya memungkinkan peran hakim yang lebih
aktif dalam proses pencarian kebenaran. Hakim tidak hanya bersifat pasif
menunggu bukti yang diajukan para pihak, tetapi dapat menggali lebih dalam
untuk menemukan fakta sesungguhnya.
Asas ini secara eksplisit
menjadi landasan utama dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Penerapannya dalam Hukum Acara
Perdata lebih bersifat nuansa dan terus berkembang.
Tujuan utama
penerapan asas kebenaran materiil adalah untuk memastikan bahwa putusan
pengadilan didasarkan pada keadaan yang sebenarnya terjadi, sehingga tercapai
keadilan substantif, terpeliharanya tertib hukum, dan terjaminnya kepentingan
umum.
B. Asas Kebenaran Formil
(Formal Truth)
Asas kebenaran formil
adalah kebenaran yang ditetapkan oleh hakim berdasarkan pada prosedur formal
dan alat bukti yang diajukan oleh para pihak selama persidangan, sebagaimana
diatur oleh hukum acara. Fokusnya adalah pada apakah persyaratan prosedural dan
standar pembuktian formal telah terpenuhi. Kebenaran ini digali dari
fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak.
Elemen inti dari asas
kebenaran formil adalah sebagai berikut:
·
Fokus pada Prosedur:
Menekankan pada kepatuhan terhadap aturan-aturan prosedural dan validitas
formal dari alat bukti yang disajikan.
·
Bukti Berbasis Pihak:
Kebenaran ini utamanya dibangun berdasarkan bukti dan argumen yang diajukan
oleh para pihak yang berperkara. Peran hakim dalam konteks ini cenderung lebih
pasif, bertindak sebagai wasit.
·
Bobot Bukti Formal:
Bukti-bukti formal, seperti akta otentik, memiliki kekuatan pembuktian yang
signifikan. Akta otentik sering dianggap memiliki "kekuatan pembuktian
sempurna dan mengikat" (volledig en bindend bewijskracht), yang
berarti hakim pada umumnya terikat oleh isi akta tersebut kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya. Keyakinan pribadi hakim biasanya tidak disyaratkan,
bahkan terkadang dianggap tidak relevan atau dilarang.
Asas ini secara tradisional
diasosiasikan erat dengan Hukum Acara Perdata, yang diatur dalam Het
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Rechtsreglement voor de
Buitengewesten (RBg), serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata). Aturan pembuktian dalam HIR/RBg (misalnya, Pasal 162-177 HIR )
mencerminkan penekanan pada pembuktian formal ini.
Tujuan utama dari
asas kebenaran formil adalah untuk memberikan kepastian hukum dan
menyelesaikan sengketa berdasarkan bukti-bukti yang secara formal diajukan dan
divalidasi sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
C. Perbedaan Kritis
Perbedaan antara kedua asas
ini terletak pada beberapa aspek fundamental:
·
Objektif:
Kebenaran materiil mencari kebenaran faktual atau substantif;
kebenaran formil mencari kebenaran prosedural berdasarkan bukti yang
diajukan.
·
Peran Hakim:
Kebenaran materiil seringkali mengimplikasikan peran hakim yang aktif
(menggali, bertanya, mencari keyakinan); kebenaran formil mengimplikasikan
peran hakim yang pasif (bertindak sebagai wasit, terikat pada bukti
formal).
·
Keyakinan Hakim: Disyaratkan
dalam kebenaran materiil (terutama Pidana); Tidak disyaratkan/dilarang dalam
kebenaran formil.
·
Alat Bukti:
Kebenaran materiil memungkinkan pertimbangan yang lebih luas, berpotensi
melampaui apa yang diajukan pihak, demi kelengkapan; kebenaran formil sangat
bergantung pada apa yang diajukan pihak dan validitas/kekuatan formal jenis
bukti tertentu (misalnya, akta otentik).
·
Cakupan: Kebenaran materiil
bertujuan mengungkap "kebenaran perkara" secara menyeluruh; kebenaran
formil seringkali terbatas pada lingkup yang didefinisikan oleh dalil dan bukti
para pihak.
Penting untuk dicatat bahwa
dikotomi yang sering disajikan dalam teori, terutama mengenai peran hakim dan
keharusan keyakinan, mungkin mengalami pergeseran atau setidaknya menunjukkan
fleksibilitas dalam praktik peradilan. Secara khusus, dalam perkara perdata,
terdapat indikasi bahwa hakim tidak selalu terpaku pada kebenaran formil semata.
Hal ini menunjukkan adanya potensi evolusi atau ketegangan dalam sistem hukum
Indonesia itu sendiri, di mana kebutuhan akan keadilan substantif terkadang
mendorong melampaui batas-batas formalisme tradisional. Logika di balik ini
adalah bahwa sementara hukum acara pidana dan tata usaha negara secara
eksplisit menuntut pencarian kebenaran materiil karena menyangkut kepentingan
publik yang lebih besar (ketertiban umum, perlindungan warga dari negara),
hukum acara perdata yang berfokus pada sengketa privat secara tradisional lebih
mengutamakan kepastian prosedural. Namun, ketika bukti formal dalam kasus
perdata tampak bertentangan atau tidak memadai untuk mencapai hasil yang adil,
muncul dorongan—baik dari praktik maupun pandangan Mahkamah Agung—untuk memungkinkan
hakim menggali lebih dalam demi kebenaran materiil.
Selanjutnya, pengenalan elemen
"keyakinan hakim" sebagai syarat dalam pencarian kebenaran materiil
(khususnya di ranah pidana dan TUN) menambahkan dimensi subjektif ke dalam
upaya yang idealnya objektif. Meskipun dimaksudkan untuk memastikan bahwa hakim
benar-benar yakin akan kebenaran fakta berdasarkan bukti, bukan sekadar
memenuhi syarat formal minimal, elemen ini membawa risiko inheren.
Kebenaran materiil bertujuan
pada realitas objektif, namun pencapaiannya bergantung pada keyakinan
subjektif hakim. Walaupun keyakinan ini harus didasarkan pada bukti
objektif (minimal dua alat bukti sah, tetap ada potensi celah antara keyakinan
subjektif dan realitas objektif. Hal ini menempatkan beban berat pada
integritas, metodologi, dan objektivitas hakim dalam membentuk keyakinannya.
Dengan demikian, mekanisme ini memiliki kekuatan (memastikan hakim percaya pada
bukti) sekaligus potensi kelemahan (risiko bias pribadi mempengaruhi
'keyakinan').
III. Lanskap Penerapan Kebenaran Materiil di Indonesia
Meskipun konsep kebenaran
materiil sering dibahas secara umum, penerapannya dalam sistem hukum
Indonesia tidaklah seragam. Kekuatan dan mekanisme penerapannya bervariasi
secara signifikan di antara bidang hukum acara pidana, peradilan tata usaha
negara, dan perdata.
A. Hukum Acara Pidana: Benteng
Pertahanan Kebenaran Materiil
Hukum Acara Pidana Indonesia
secara tegas menjadikan pencarian kebenaran materiil sebagai tujuan
utamanya. Fokusnya adalah untuk menentukan secara pasti apakah suatu tindak
pidana benar-benar telah terjadi dan apakah terdakwa adalah orang yang
sesungguhnya bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Kebenaran yang dicari
adalah kebenaran hakiki, bukan sekadar kebenaran berdasarkan pengakuan atau
dalil formal.
Proses ini diatur oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981.
Pasal 183 KUHAP menjadi jantung dari sistem pembuktian pidana, yang
mensyaratkan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana kecuali ia memperoleh keyakinan
berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah bahwa tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah pelakunya. Alat bukti yang sah (alat bukti sah) diatur
secara limitatif dalam Pasal 184 KUHAP, meliputi keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Untuk tindak pidana khusus di
luar KUHAP, alat bukti elektronik juga dapat diakui.
Hakim diharapkan berperan
aktif dalam menggali kebenaran ini. Hakim tidak boleh hanya bergantung pada
argumen jaksa penuntut umum atau pembela. Pengakuan terdakwa saja,
misalnya, tidak cukup untuk menjatuhkan hukuman jika tidak didukung oleh alat
bukti lain yang menguatkan. Hal ini untuk mencegah kemungkinan pengakuan palsu.
Pencarian kebenaran materiil
dalam hukum pidana bukanlah tanpa batas. Ia dibatasi oleh beberapa prinsip
penting:
· Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Sistem hukum acara pidana modern Indonesia menganut sistem accusatoir,
di mana terdakwa dipandang sebagai subjek hukum dengan hak-hak yang harus
dilindungi, berbeda dengan sistem inquisitoir di masa lalu yang
memandang tersangka sebagai objek dan rentan terhadap penyiksaan untuk
mendapatkan pengakuan. Pencarian kebenaran tidak boleh menghalalkan segala
cara yang melanggar HAM.
· Prinsip Due Process of Law:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 memberikan penekanan pada
pentingnya due process of law (proses hukum yang layak). Putusan ini
mengindikasikan bahwa alat bukti yang diperoleh secara tidak sah (unlawful
legal evidence) harus dikesampingkan oleh hakim dan tidak memiliki
nilai pembuktian. Hal ini mendorong hukum acara pidana Indonesia ke arah model
yang lebih menekankan pada aspek prosedural yang adil, mirip dengan Due
Process Model dalam sistem common law, sebagai penyeimbang dari
fokus pada pengendalian kejahatan (Crime Control Model).
· Sistem Pembuktian Negatif Menurut
Undang-Undang (Negatief-Wettelijk Bewijsleer):
Sistem ini, yang dianut KUHAP (tercermin dalam Pasal 183), mengharuskan hakim
mendasarkan putusannya pada alat bukti yang sah menurut undang-undang (minimal
dua) dan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat bukti tersebut. Ini
merupakan jalan tengah antara sistem pembuktian positif (hanya berdasarkan
undang-undang) dan sistem pembuktian bebas (hanya berdasarkan keyakinan hakim).
B. Hukum Acara PTUN: Mencari
Kebenaran Materiil dalam Sengketa Hukum Publik
Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN), yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah, secara eksplisit menganut asas pencarian kebenaran
materiil. Tujuannya adalah untuk menentukan kebenaran yang sesungguhnya
mengenai sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau
tindakan faktual pejabat/badan TUN, ditinjau dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AAUPB). Pencarian kebenaran ini penting karena menyangkut hubungan antara
pemerintah dan warga negara dalam ranah hukum publik.
Hakim dalam PTUN memegang
peranan yang sangat aktif (dominus litis). Keaktifan ini
didasarkan pada dua alasan utama: (1) untuk mengimbangi ketidakseimbangan
posisi antara penggugat (warga negara/badan hukum perdata) yang umumnya lebih
lemah dibandingkan tergugat (pejabat/badan TUN) yang memiliki kekuasaan publik;
dan (2) karena hakim dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil. Hakim
berwenang menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, dan melakukan
penilaian terhadap pembuktian. Jika penggugat kesulitan memperoleh
data, hakim dapat memerintahkan pejabat terkait untuk memberikan penjelasan.
Sebagai konsekuensi logis dari
asas hakim aktif, berlaku asas pembuktian bebas (vrije bewijstheorie
atau la conviction raisonnée). Pasal 107 UU PTUN memberikan kebebasan
kepada hakim dalam menilai kekuatan pembuktian alat bukti berdasarkan
keyakinannya, dengan syarat minimal dua alat bukti yang sah. Hakim tidak
terikat secara kaku pada aturan pembuktian formal seperti dalam hukum acara
perdata; misalnya, pengakuan para pihak tidak secara otomatis mengikat hakim.
Hakim bahkan dapat melakukan pengujian terhadap aspek lain di luar pokok
sengketa yang diajukan para pihak.
Pendekatan ini bertujuan untuk
memberikan perlindungan hukum yang efektif bagi masyarakat terhadap tindakan
administrasi negara. Sifat putusan PTUN yang erga omnes (berlaku
untuk semua orang, tidak hanya para pihak) juga memperkuat argumen perlunya
pengadilan memastikan kebenaran materiil mengenai legalitas tindakan pemerintah
sebelum membatalkannya. Asas presumptio iustae causa (praduga
rechtmatig) yang menyatakan KTUN dianggap sah sampai dibatalkan pengadilan juga
berjalan seiring dengan kebutuhan pembuktian materiil untuk mematahkan praduga
tersebut.
C. Hukum Acara Perdata: Peran
yang Berkembang Melampaui Kebenaran Formil
Hukum Acara Perdata di
Indonesia, yang sumber utamanya adalah HIR/RBg dan KUH Perdata, secara
tradisional lebih menekankan pada pencarian kebenaran formil. Hakim
umumnya dianggap terikat pada alat bukti yang diajukan oleh para pihak, dan
bukti tertulis otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sangat kuat (sempurna
dan mengikat). Peran hakim seringkali digambarkan sebagai pasif, layaknya wasit
yang memutuskan berdasarkan kekuatan formal argumen dan bukti yang disajikan
oleh penggugat dan tergugat. Kebenaran dianggap cukup ditemukan dari apa yang
disepakati atau dibuktikan secara formal oleh para pihak.
Meskipun demikian, pandangan
ini tidak sepenuhnya kaku dalam praktik. Terdapat indikasi kuat adanya pergeseran
atau setidaknya fleksibilitas dalam penerapan asas kebenaran di ranah perdata:
· Praktik Peradilan:
Sejumlah studi kasus dan analisis menunjukkan bahwa hakim perdata dalam
praktiknya terkadang berusaha mencari kebenaran materiil, terutama
ketika bukti-bukti formal yang diajukan saling bertentangan, tidak cukup
meyakinkan, atau dicurigai tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Hakim dapat
menggali lebih dalam melalui pemeriksaan saksi atau analisis bukti lainnya
untuk memperoleh keyakinan mengenai fakta yang sesungguhnya terjadi.
· Sikap Mahkamah Agung: Mahkamah
Agung RI melalui beberapa putusannya telah memberikan sinyal bahwa hakim
perdata tidak dilarang untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil.
Putusan MA No. 3136 K/Pdt/1983 dan Putusan MA No. 1071 K/Pdt/1984 sering
dikutip sebagai contoh di mana MA mengakui kemungkinan ini. MA menyatakan
bahwa jika kebenaran materiil tidak ditemukan, barulah hakim berpegang pada
kebenaran formil. Namun, jika bukti formil sama kuat atau menimbulkan
keraguan, hakim harus menemukan kebenaran materiilnya. Wacana hukum
terkini juga mendukung peran hakim perdata yang lebih aktif untuk menemukan
kebenaran materiil di samping kebenaran formil demi mencapai keadilan.
Evolusi ini kemungkinan
didorong oleh beberapa faktor: keinginan untuk mencapai hasil yang lebih
adil dan substantif dalam sengketa yang kompleks (misalnya, sengketa bisnis
atau investasi yang melibatkan fakta rumit); upaya mencegah ketidakadilan yang
bisa timbul jika putusan hanya didasarkan pada kemenangan formal atas dasar
bukti yang mungkin menyesatkan atau tidak lengkap ; serta dorongan untuk menyelaraskan
praktik peradilan perdata dengan ekspektasi masyarakat yang lebih luas
mengenai keadilan.
Adanya kecenderungan ini
menciptakan suatu ketegangan antara hukum acara perdata yang terkodifikasi
(HIR/RBg yang menekankan formalisme) dengan kebutuhan praktis atau keinginan
yudisial untuk mencapai keadilan substantif. Sejauh mana kebenaran materiil
dapat dan seharusnya dikejar dalam perkara perdata masih menjadi subjek diskusi
dan pengembangan dalam hukum Indonesia.
Penerapan asas kebenaran
materiil yang bervariasi kekuatannya di berbagai bidang hukum ini mencerminkan
perbedaan filosofi dasar dan tujuan masing-masing ranah hukum. Dalam pidana dan
TUN, di mana kekuasaan negara dan kepentingan publik menjadi sentral, pencarian
kebenaran faktual yang sesungguhnya dianggap esensial. Sebaliknya, dalam
perdata, yang fokus pada penyelesaian sengketa antar individu, kepastian
prosedural dan otonomi para pihak secara tradisional lebih diutamakan. Namun
demikian, perkembangan yang terjadi, seperti penguatan due process dalam
pidana dan potensi perluasan pencarian kebenaran materiil dalam perdata,
menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia tidak statis. Ada indikasi kuat bahwa
sistem ini sedang bergerak menuju suatu sintesis, mencoba menyeimbangkan antara
pencarian kebenaran substantif dengan peningkatan perlindungan hak dan keadilan
prosedural. Dinamika ini bisa jadi merupakan respons terhadap perkembangan
internal masyarakat dan hukum Indonesia, sekaligus adaptasi terhadap tren hukum
global yang semakin menekankan kedua aspek tersebut.
IV. Perspektif Global tentang Kebenaran dalam Adjudikasi: Lensa Perbandingan
Untuk memahami posisi dan
keunikan asas kebenaran materiil di Indonesia, penting untuk melihatnya
dalam konteks pendekatan pencarian kebenaran yang lebih luas di sistem hukum
lain, terutama melalui perbandingan antara paradigma adversarial dan
inquisitorial.
A. Pencarian Kebenaran:
Paradigma Adversarial vs. Inquisitorial
Secara global, sistem hukum
sering diklasifikasikan ke dalam dua paradigma besar berdasarkan pendekatan
mereka terhadap pencarian kebenaran dalam proses peradilan: adversarial
(umumnya di negara-negara common law) dan inquisitorial (umumnya di
negara-negara civil law).
Dalam sistem paradigma
adversarial, kebenaran diharapkan muncul sebagai hasil dari
"pertarungan" atau kompetisi antara dua pihak yang berlawanan
(penuntut vs. pembela, penggugat vs. tergugat) di hadapan hakim atau juri yang
netral. Fokus utama adalah pada keadilan prosedural (procedural fairness),
di mana para pihak memiliki kontrol utama atas pengumpulan dan penyajian bukti,
sementara hakim berperan sebagai wasit yang memastikan aturan main diikuti.
Proses ini pada dasarnya adalah sebuah kontes.
Sebaliknya, sistem inquisitorial
menekankan pencarian kebenaran secara aktif melalui investigasi yang
dipimpin atau diawasi secara ketat oleh hakim atau pejabat yudisial lainnya
(seperti hakim investigasi atau jaksa dalam beberapa sistem). Fokusnya adalah
pada penemuan kebenaran substantif mengenai peristiwa yang terjadi. Hakim
memainkan peran sentral dalam mengumpulkan bukti, memeriksa saksi, dan
mengarahkan jalannya pemeriksaan. Prosesnya lebih menyerupai sebuah
penyelidikan (inquiry).
Penting dicatat bahwa
pembagian ini merupakan idealisasi. Dalam praktiknya, banyak sistem hukum
modern menunjukkan adanya konvergensi, di mana sistem adversarial
mengadopsi beberapa elemen inquisitorial (misalnya, peran hakim yang lebih
aktif dalam manajemen kasus) dan sebaliknya.
B. Sistem Common Law: Keadilan
Prosedural dan Kemunculan Kebenaran
Dalam tradisi common law,
kebenaran seringkali dipandang sebagai produk sampingan dari proses
adversarial yang adil, bukan sebagai tujuan utama yang dikejar secara langsung
oleh pengadilan. Beberapa pandangan bahkan menyatakan bahwa tujuan utama sistem
ini adalah penyelesaian sengketa atau pencapaian keadilan antar pihak, dengan
kebenaran menjadi aspek insidental atau sekadar pendekatan terbaik yang mungkin
dicapai dalam keterbatasan proses. Prosesnya bukan untuk menemukan kebenaran an
sich, melainkan untuk menetapkan dasar fakta guna menyelesaikan sengketa.
Peran hakim umumnya pasif dalam
hal pencarian fakta. Hakim bertindak sebagai wasit netral yang memastikan
kepatuhan terhadap aturan prosedur dan bukti. Hakim membuat putusan berdasarkan
bukti yang disajikan oleh para pihak dan tunduk pada aturan pembuktian yang
kompleks, yang terkadang dapat mengecualikan bukti yang relevan demi tujuan
lain seperti keadilan, pencegahan prasangka, atau perlindungan hak tertentu.
Konsep "material"
dalam common law seringkali berkaitan dengan relevansi
atau signifikansi suatu fakta atau pernyataan dalam konteks hukum kasus
tersebut. Misalnya, fakta material yang harus didalilkan dalam gugatan,
pernyataan material yang salah dalam kasus penipuan (fraud) , atau
kewajiban pengacara terkait fakta material. Materialitas menentukan apakah
suatu informasi cukup penting untuk mempengaruhi proses hukum atau
keputusannya.
Diskursus akademik dalam common
law juga mengenal perbedaan antara "kebenaran substantif"
(realitas faktual) dan "kebenaran legal formal" (apa yang ditetapkan
sebagai fakta oleh pengadilan). Diakui bahwa kebenaran legal formal dapat
berbeda dari kebenaran substantif karena berbagai faktor, termasuk keterbatasan
aturan bukti, strategi pihak, ketidaksetaraan sumber daya antar pihak, bias
hakim/juri, atau karena sistem mengutamakan nilai-nilai lain (seperti keadilan
prosedural) di atas pencarian kebenaran absolut.
C. Sistem Civil Law: Peran
Hakim dalam Mengungkap Kebenaran
Secara umum, proses peradilan
dalam tradisi civil law lebih berorientasi pada penemuan kebenaran
substantif ("materiële waarheid" dalam bahasa Belanda, atau
padanannya) sebagai tujuan utama. Proses ini dilihat sebagai upaya untuk
merekonstruksi peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Hakim memainkan peran yang
jauh lebih aktif. Dalam banyak sistem, hakim (atau hakim
investigasi/jaksa) memimpin atau mengawasi proses investigasi, secara aktif
bertanya kepada saksi, mengarahkan pengumpulan bukti, dan menentukan relevansi
bukti. Sistem civil law umumnya tidak terlalu terikat pada aturan
pengecualian bukti yang ketat seperti common law; fokus lebih pada
relevansi dan bobot bukti untuk mengungkap kebenaran. Hakim bertanggung jawab
untuk membangun dasar faktual putusan.
Meskipun tujuannya adalah
kebenaran substantif, standar pembuktian dan peran formal keyakinan hakim dapat
bervariasi antar negara civil law. Penekanan spesifik dalam hukum
Indonesia pada keyakinan hakim yang harus dicapai berdasarkan jumlah
alat bukti minimum tertentu mungkin tidak ditemukan dalam formulasi yang sama
persis di semua sistem civil law lainnya. Prinsip umum adalah hakim
harus yakin berdasarkan bukti yang ada, tetapi formalisasinya bisa berbeda.
Proses peradilan seringkali
ditandai dengan tahapan yang jelas, termasuk fase investigasi pendahuluan yang
ekstensif sebelum persidangan utama. Persidangan itu sendiri mungkin tidak
berlangsung secara terus-menerus seperti dalam model common law,
melainkan terdiri dari serangkaian sidang.
D. Indonesia: Akar Civil Law
dan Karakteristik Unik
Sistem hukum Indonesia secara
fundamental berakar pada tradisi hukum sipil Eropa Kontinental,
khususnya hukum Belanda. Warisan ini menjelaskan kecenderungan konseptual ke
arah pencarian kebenaran materiil, terutama dalam domain hukum publik
seperti pidana dan tata usaha negara, di mana peran negara dan perlindungan
kepentingan umum sangat ditekankan.
Indonesia semakin diakui
sebagai negara dengan sistem hukum campuran (mixed legal system).
Selain civil law, sistem hukum Indonesia juga menyerap dan mengakomodasi
elemen-elemen dari hukum adat, hukum Islam, dan bahkan mungkin terpengaruh oleh
praktik common law (misalnya, penggunaan yurisprudensi sebagai acuan
meskipun tidak mengikat secara formal seperti preseden). Pancasila berfungsi
sebagai dasar filosofis negara yang melandasi keseluruhan sistem hukum. Sifat
campuran ini dapat berkontribusi pada evolusi dan penerapan prinsip seperti kebenaran
materiil secara unik, termasuk nuansa yang terlihat dalam hukum acara
perdata.
Persyaratan eksplisit mengenai
keyakinan hakim yang harus dicapai, yang dikaitkan dengan pembuktian
minimal melalui alat bukti yang sah secara hukum (Pasal 183 KUHAP dan Pasal 107
UU PTUN ), tampak sebagai ciri khas yang menonjol dalam penerapan pencarian
kebenaran materiil di Indonesia. Hal ini membedakannya dari deskripsi umum
sistem adversarial maupun inquisitorial lainnya, di mana meskipun penilaian
hakim terhadap bukti tentu ada, formalisasi keharusan mencapai 'keyakinan
subjektif' sebagai syarat putusan (di ranah Pidana/TUN) memberikan karakter
tersendiri pada asas ini di Indonesia.
Perbandingan ini menempatkan
Indonesia dalam lanskap global. Terlihat jelas bahwa pendekatan Indonesia dalam
ranah pidana dan TUN sangat selaras dengan idealisme sistem inquisitorial
yang berorientasi pada penemuan kebenaran substantif dengan peran hakim yang
aktif. Namun, fitur unik seperti formalisasi syarat 'keyakinan hakim'
menunjukkan adanya kekhasan.
Penting untuk dipahami bahwa
label "adversarial" dan "inquisitorial" adalah tipe ideal.
Sistem hukum di dunia nyata, termasuk Indonesia, seringkali menunjukkan
karakteristik hibrida. Oleh karena itu, sekadar melabeli Indonesia sebagai
"civil law/inquisitorial" dapat menyederhanakan kompleksitas proses
pencarian kebenarannya, terutama jika mempertimbangkan evolusi dalam hukum
acara perdata dan penekanan spesifik pada keyakinan hakim.
Logikanya, sementara akar civil
law Indonesia dan praktik di ranah pidana/TUN menempatkannya dekat dengan model
inquisitorial, adanya elemen campuran, penggunaan yurisprudensi, perkembangan
di ranah perdata, dan syarat 'keyakinan hakim' menandakan bahwa sistem
Indonesia memiliki dinamika internalnya sendiri yang tidak sepenuhnya terwakili
oleh label tunggal.
Selain itu, perdebatan
mengenai sistem mana yang lebih baik dalam menemukan kebenaran sangatlah
kompleks dan tidak memiliki jawaban tunggal. Sistem adversarial berisiko
kebenarannya dikaburkan oleh strategi pihak, ketidaksetaraan sumber daya, atau
fokus pada kemenangan semata.
Di sisi lain, sistem
inquisitorial sangat bergantung pada kompetensi, sumber daya, dan netralitas
hakim atau pejabat yang memimpin investigasi. Pilihan Indonesia untuk
mengutamakan kebenaran materiil mencerminkan preferensi terhadap akurasi
substantif (nilai inquisitorial). Namun, pilihan ini juga membawa tantangan,
yaitu memastikan kapasitas dan integritas yudisial, mengelola potensi
subjektivitas dalam keyakinan hakim, serta menyeimbangkan upaya pencarian
kebenaran ini dengan perlindungan hak-hak prosedural individu. Efektivitas
pendekatan Indonesia bergantung pada bagaimana tantangan-tantangan inheren ini
dikelola dalam praktik.
V. Menilai Universalitas Asas Kebenaran Materiil
Setelah memahami definisi,
penerapan di Indonesia, dan perbandingannya dengan sistem lain, pertanyaan
selanjutnya adalah apakah asas kebenaran materiil sebagaimana dipahami
di Indonesia dapat dianggap sebagai prinsip hukum universal.
A. Apakah Model Indonesia
Unik? Menganalisis Fitur Spesifik
Tujuan mendasar untuk mencari
kebenaran yang mencerminkan peristiwa aktual (kebenaran materiil)
sejajar dengan konsep "kebenaran substantif" (substantive truth)
yang dibahas dalam filsafat hukum internasional dan tujuan umum sistem
inquisitorial. Dalam pengertian luas ini, aspirasi untuk mencapai
kebenaran faktual bukanlah hal yang unik bagi Indonesia. Banyak sistem
hukum, setidaknya secara teoretis, mengklaim tujuan ini.
Namun, mekanisme spesifik yang
diterapkan di Indonesia, khususnya persyaratan formal bahwa hakim harus
mencapai keyakinan pribadi (keyakinan hakim), yang secara
eksplisit terikat pada standar pembuktian minimum berdasarkan alat bukti yang
sah menurut undang-undang (terutama dalam hukum acara pidana dan TUN ), tampak
sebagai fitur yang lebih ditekankan dan diformalkan dibandingkan dengan
deskripsi umum tentang pencarian kebenaran di tempat lain. Meskipun hakim di
semua sistem mengevaluasi bukti, keharusan hukum untuk mencapai keyakinan
subjektif ini sebagai prasyarat putusan (dalam Pidana/TUN) memberikan karakter
partikular pada asas ini di Indonesia.
Meskipun peran hakim yang
aktif adalah ciri khas sistem inquisitorial secara umum, kewenangan dan tugas
spesifik yang diuraikan dalam UU PTUN (misalnya, Pasal 107) memberikan
formalisasi yang jelas mengenai peran aktif ini dalam konteks pencarian kebenaran
materiil di ranah hukum administrasi negara Indonesia.
B. Konvergensi dan Divergensi
dengan Norma Internasional
Penekanan pada kebenaran
substantif menempatkan Indonesia sejalan dengan tradisi civil law/inquisitorial.
Selain itu, meningkatnya perhatian pada elemen-elemen due process dalam
hukum acara pidana menunjukkan adanya konvergensi dengan tren global yang
menekankan perlindungan hak asasi manusia dalam prosedur kriminal.
Di sisi lain, penekanan
tradisional pada kebenaran formil dalam hukum acara perdata Indonesia
merupakan titik divergensi dari pendekatan inquisitorial tipikal, di mana hakim
cenderung lebih aktif mencari kebenaran materiil bahkan dalam sengketa perdata
(meskipun, seperti dibahas, hal ini sedang berkembang di Indonesia). Formulasi
spesifik dari syarat keyakinan hakim juga menjadi titik divergensi
potensial dari cara penilaian pembuktian dirumuskan dalam sistem hukum lain.
Tentu saja, sistem adversarial secara fundamental berbeda karena mengandalkan
kontes antar pihak, bukan penyelidikan yudisial, untuk mengungkap kebenaran.
C. Kesimpulan tentang
Universalitas: Prinsip dengan Gema Universal tetapi Manifestasi Spesifik Sistem
Asas kebenaran materiil,
terutama jika didefinisikan dengan menyertakan syarat keyakinan hakim
berdasarkan ambang batas pembuktian spesifik sebagaimana diterapkan dalam hukum
Pidana dan TUN Indonesia, tidak dapat dianggap sebagai prinsip hukum
universal yang diterapkan secara identik di seluruh dunia. Sistem
adversarial beroperasi dengan premis yang sangat berbeda. Bahkan di antara
negara-negara civil law, formulasi dan penekanannya bisa bervariasi.
Namun demikian, aspirasi
yang mendasarinya – yaitu untuk mencapai putusan pengadilan yang didasarkan
pada fakta-fakta aktual suatu kasus (kebenaran substantif) – merupakan
tujuan atau ideal yang dianut secara luas, bahkan bisa dibilang mendekati
universal, dalam sistem peradilan. Meskipun metode dan prioritasnya
berbeda, baik sistem adversarial maupun inquisitorial, dengan caranya
masing-masing, mengklaim bertujuan untuk mencari atau mengungkapkan kebenaran.
Oleh karena itu, asas
kebenaran materiil paling tepat dipahami sebagai prinsip inti dalam domain
hukum tertentu di Indonesia, yang mencerminkan warisan civil law-nya
serta perkembangan hukumnya yang unik. Ia bukanlah doktrin yang diadopsi secara
universal dalam formulasi spesifik Indonesia, melainkan mewakili satu
pendekatan partikular dalam spektrum metodologi pencarian kebenaran dalam hukum
secara global.
Diskusi mengenai universalitas
ini menyoroti perbedaan penting antara tujuan hukum (seperti mencapai
keadilan substantif atau menemukan kebenaran), yang mungkin memiliki resonansi
luas, dan mekanisme atau prinsip hukum (seperti asas kebenaran
materiil dengan fitur-fitur spesifiknya di Indonesia), yang seringkali
bergantung pada sistem hukum masing-masing. Mencampuradukkan keduanya dapat
mengarah pada klaim universalitas yang tidak akurat. Logikanya, sementara minat
global terhadap 'kebenaran' dalam peradilan tampak nyata , sistem hukum sangat
bervariasi dalam cara mengejarnya.
Kebenaran Materiil Indonesia,
dengan fitur khasnya , selaras dengan ideal inquisitorial tetapi diformalkan
secara unik. Jadi, tujuan (kebenaran substantif) bersifat aspiratif
universal, tetapi prinsip/mekanisme spesifik Indonesia tidak diterapkan
secara universal. Analisis hukum komparatif harus membedakan antara aspirasi
bersama dan metodologi yang beragam.
Lebih jauh, tingkat
keberhasilan pencapaian asas kebenaran materiil di Indonesia tidak hanya
bergantung pada prinsip hukum itu sendiri, tetapi juga pada faktor-faktor
praktis. Kapasitas institusional, termasuk pelatihan, sumber daya, dan
integritas hakim, serta efektivitas mekanisme pengawasan dan keseimbangan dalam
sistem (seperti peninjauan banding dan perlindungan due process), sangat
menentukan realisasi prinsip ini.
Prinsip ini menetapkan standar
yang tinggi, namun pencapaiannya bergantung pada kemampuan sistem peradilan
untuk menjalankannya secara efektif dan adil. Dengan kata lain, keberadaan
prinsip dalam undang-undang tidak secara otomatis menjamin implementasi yang
sukses di lapangan. Evaluasi terhadap prinsip ini harus melampaui teks
hukum dan melihat realitas operasional sistem peradilan.
VI. Penutup
Tulisan ini telah menguraikan
secara mendalam konsep asas kebenaran materiil dalam sistem hukum
Indonesia. Didefinisikan sebagai upaya pencarian kebenaran substantif yang
sesuai dengan realitas faktual, asas ini seringkali melibatkan peran aktif
hakim dan pencapaian keyakinan hakim, terutama dalam hukum acara pidana dan
peradilan tata usaha negara.
Asas ini kontras dengan asas
kebenaran formil, yang lebih menekankan pada pemenuhan prosedur dan bukti
formal yang diajukan para pihak, dan secara tradisional dominan dalam hukum
acara perdata. Namun, analisis tulisan ini menunjukkan adanya dinamika, di mana
penerapan kebenaran materiil dalam hukum acara perdata menunjukkan tanda-tanda
perkembangan, didorong oleh praktik peradilan dan pandangan Mahkamah Agung yang
tidak melarang hakim mencarinya demi keadilan substantif. Akar asas kebenaran
materiil di Indonesia terletak pada warisan sistem hukum civil law,
namun manifestasinya, terutama melalui penekanan pada keyakinan hakim
yang terikat pada standar pembuktian minimum, menunjukkan adanya karakteristik
unik.
Dalam perbandingan global, asas
kebenaran materiil menempatkan Indonesia lebih dekat dengan tradisi
inquisitorial civil law yang mengutamakan penemuan kebenaran
substantif melalui peran aktif hakim. Hal ini berbeda secara fundamental dengan
pendekatan adversarial common law yang mengandalkan kontes antar pihak
untuk mengungkap kebenaran. Meskipun aspirasi untuk mencapai kebenaran
substantif bersifat luas, mekanisme spesifik Indonesia, khususnya formalisasi
syarat keyakinan hakim, membedakannya baik dari sistem adversarial
maupun dari formulasi umum dalam sistem inquisitorial lainnya.
Penerapan asas kebenaran
materiil memiliki signifikansi penting dalam upaya mewujudkan keadilan
substantif di Indonesia, memastikan bahwa putusan tidak hanya benar secara
prosedural tetapi juga secara faktual. Namun, asas ini juga membawa tantangan
inheren. Pertama, ia menuntut tingkat kompetensi, integritas, dan sumber
daya yang tinggi dari aparat penegak hukum, khususnya hakim. Kedua, elemen
subjektif dalam keyakinan hakim memerlukan mekanisme kontrol dan
metodologi yang kuat untuk mencegah bias dan memastikan objektivitas.
Ketiga, terdapat ketegangan yang berkelanjutan dalam menyeimbangkan upaya
intensif pencarian kebenaran dengan perlindungan hak-hak asasi manusia dan
prinsip due process of law. Keberhasilan realisasi asas kebenaran
materiil dalam praktik sangat bergantung pada kemampuan sistem peradilan
mengatasi tantangan-tantangan ini, yang pada gilirannya krusial bagi
kepercayaan publik dan legitimasi institusi peradilan.
Asas kebenaran materiil
merupakan komponen vital, meskipun kompleks dan terus berkembang, dalam lanskap
hukum Indonesia. Ia mencerminkan komitmen terhadap pencapaian keadilan
substantif yang berakar dalam konteks sejarah dan sistem hukum spesifik
negara ini. Penerapan dan interpretasinya kemungkinan akan terus mengalami
penyesuaian seiring Indonesia menavigasi interaksi antara tradisi civil law-nya,
elemen-elemen sistem hukum campuran yang dimilikinya, serta pengaruh
norma-norma hukum global. Memahami asas ini secara mendalam tidak hanya penting
bagi praktisi dan akademisi hukum di Indonesia, tetapi juga memberikan wawasan
berharga bagi studi perbandingan sistem hukum secara internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar