I. Pendahuluan
Kepailitan merupakan suatu
mekanisme hukum yang fundamental dalam sistem hukum perdata dan niaga di
Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan solusi atas permasalahan
utang-piutang ketika seorang debitor (pihak yang berutang) mengalami keadaan
insolvensi, yaitu ketidakmampuan untuk membayar utang-utangnya yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih.
Kerangka hukum utama yang
mengatur kepailitan dan mekanisme terkait lainnya, yaitu Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU KPKPU).
Undang-undang ini, yang memiliki akar historis dari peraturan era kolonial
Belanda (Wetboek Van Koophandel) , dirancang untuk memastikan bahwa
penyelesaian utang piutang berjalan secara adil, tertib, dan efisien, terutama
melalui pembagian harta kekayaan debitor pailit kepada para kreditornya (pihak
yang berpiutang) secara proporsional dan teratur. Tujuan utamanya adalah
melindungi kepentingan kolektif para kreditor dari tindakan individual atau
perebutan harta debitor yang tidak terkoordinasi.
Dalam proses kepailitan yang
dimulai dengan adanya putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga, terdapat
satu figur sentral yang memegang peranan kunci dalam pengelolaan dan
penyelesaian harta debitor, yaitu Kurator. Kurator ditunjuk oleh Pengadilan Niaga
bersamaan dengan penetapan status pailit debitor dan bertindak di bawah
pengawasan seorang Hakim Pengawas.
Mengingat kompleksitas dan
dampak signifikannya proses kepailitan terhadap semua pihak yang terlibat,
pemahaman mendalam mengenai peran, tugas, tanggung jawab, dan kewenangan
Kurator menjadi esensial. Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan analisis
komprehensif mengenai aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan Kurator dalam
sistem kepailitan Indonesia, mencakup definisi hukumnya, proses penunjukannya
oleh Pengadilan Niaga, rincian tugas dan tanggung jawab utamanya, kewenangan
yang dimilikinya, kualifikasi yang disyaratkan, peran pengawasan oleh Hakim
Pengawas, serta perbandingan singkat dengan figur Pengurus dalam proses PKPU,
semuanya berdasarkan ketentuan UU KPKPU dan peraturan pelaksana serta
yurisprudensi yang relevan.
II. Definisi Hukum dan
Kedudukan Kurator
Definisi formal dan yuridis
mengenai Kurator secara eksplisit diatur dalam Pasal 1 ayat (5) UU KPKPU.
Ketentuan ini menyatakan: "Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau
orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan
harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan
Undang-Undang ini.". Definisi ini merupakan landasan fundamental yang
menetapkan identitas, sumber penunjukan, tugas pokok, dan kerangka pengawasan
bagi Kurator dalam menjalankan fungsinya.
Dari definisi tersebut, dapat
diuraikan beberapa elemen penting:
- Subjek Hukum:
Kurator dapat berwujud sebagai Balai Harta Peninggalan (BHP) atau orang
perseorangan. BHP adalah sebuah lembaga negara (instansi pemerintah)
yang secara historis memiliki tugas dalam pengurusan harta peninggalan tak
terurus, perwalian, pengampunan, dan termasuk kepailitan. Pengadilan Niaga
dapat menunjuk BHP sebagai Kurator, terutama dalam situasi di mana pemohon
pailit tidak mengajukan calon Kurator perseorangan atau calon yang
diajukan tidak memenuhi syarat. Di sisi lain, Kurator juga bisa merupakan
seorang profesional perorangan, yang dalam praktiknya seringkali adalah
advokat atau akuntan publik yang telah memenuhi serangkaian kualifikasi
khusus dan terdaftar secara resmi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Kemenkumham).
- Sumber Penunjukan:
Kurator diangkat oleh Pengadilan Niaga. Penunjukan ini bersifat
formal dan menjadi bagian integral dari putusan pernyataan pailit yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga. Ini menegaskan bahwa kewenangan Kurator
berasal dari mandat yudisial.
- Tugas Pokok:
Tugas utama Kurator adalah mengurus dan membereskan harta Debitor
Pailit (boedel pailit). Pengurusan (beheer) mencakup
tindakan-tindakan pengelolaan, pengamanan, pemeliharaan nilai aset, dan
administrasi harta pailit. Sementara pemberesan (vereffening)
merujuk pada proses likuidasi atau penjualan aset pailit untuk kemudian
hasilnya dibagikan kepada para kreditor.
- Pengawasan:
Dalam melaksanakan tugasnya, Kurator berada di bawah pengawasan Hakim
Pengawas. Hakim Pengawas adalah hakim dari Pengadilan Niaga yang
ditunjuk secara khusus dalam putusan pailit untuk mengawasi jalannya
proses kepailitan dan kinerja Kurator.
Kedudukan Kurator dalam proses
kepailitan adalah independen. Meskipun calon Kurator dapat diusulkan oleh pihak
pemohon pailit (baik debitor maupun kreditor), Kurator yang ditunjuk tidak
bertindak untuk kepentingan pihak yang mengusulkannya semata. Sebaliknya,
Kurator wajib bertindak secara profesional dan imparsial demi kepentingan
terbaik boedel pailit secara keseluruhan, yang mencakup kepentingan
semua kreditor secara adil dan proporsional, serta memperhatikan hak-hak
debitor sesuai ketentuan hukum.
Prinsip independensi ini
sangat krusial untuk menjaga integritas proses kepailitan dan kepercayaan para
pihak. Adanya kemungkinan penunjukan baik BHP (sebagai representasi negara)
maupun individu profesional (advokat/akuntan) menunjukkan adanya upaya sistem
hukum untuk menyeimbangkan antara pengawasan institusional negara dan
pemanfaatan keahlian khusus dari sektor swasta. Penekanan kuat pada
independensi, terlepas dari mekanisme pengusulannya, menggarisbawahi sifat
kuasi-yudisial dari peran Kurator, yang menuntut objektivitas dan
ketidakberpihakan dalam mengelola aset sitaan umum demi keadilan bagi semua
pemangku kepentingan.
III. Proses Penunjukan Kurator
oleh Pengadilan Niaga
Penunjukan Kurator merupakan
salah satu elemen krusial dalam putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Niaga. Proses ini diatur dalam UU KPKPU serta diperjelas melalui
peraturan Mahkamah Agung, seperti Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA)
Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun
2016.
Secara formal, Pengadilan
Niaga mengangkat Kurator bersamaan dengan penunjukan Hakim Pengawas dalam amar
putusan pailit. Prosesnya dimulai dari tahap permohonan pailit. Pihak yang
mengajukan permohonan pailit – baik itu debitor sendiri, satu atau lebih
kreditor, maupun instansi berwenang seperti Kejaksaan, Bank Indonesia, Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), atau Menteri Keuangan untuk BUMN tertentu – dapat
mengusulkan nama calon Kurator dalam surat permohonannya. Calon yang diusulkan
bisa berupa Balai Harta Peninggalan (BHP) atau seorang profesional perorangan.
Apabila dalam permohonan
pailit tidak dicantumkan usulan nama Kurator, atau jika calon yang diusulkan
oleh pemohon dinilai tidak memenuhi persyaratan oleh Pengadilan, maka
Pengadilan Niaga lazimnya akan menunjuk BHP sebagai Kurator.
Pengadilan Niaga memiliki
kewajiban untuk memastikan bahwa Kurator yang diangkat memenuhi serangkaian
persyaratan ketat, terutama jika yang diusulkan adalah orang perseorangan.
Persyaratan ini bertujuan menjamin kompetensi, integritas, dan independensi Kurator.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) UU KPKPU serta panduan dalam SK KMA
109/KMA/SK/IV/2020 dan SEMA No. 2 Tahun 2016, kriteria utama yang
harus dipenuhi oleh calon Kurator perseorangan meliputi :
- Independen:
Tidak memiliki hubungan afiliasi atau ketergantungan yang dapat
mempengaruhi objektivitasnya.
- Tidak Mempunyai Benturan Kepentingan
(Conflict of Interest): Tidak memiliki
kepentingan pribadi atau profesional yang bertentangan dengan kepentingan
debitor, kreditor, atau boedel pailit.
- Batas Jumlah Perkara:
Tidak sedang menangani lebih dari 3 (tiga) perkara kepailitan dan/atau
PKPU secara bersamaan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Pengecualian
berlaku untuk BHP.
- Domisili:
Harus berdomisili di wilayah Negara Republik Indonesia.
- Keahlian dan Registrasi:
Memiliki keahlian khusus yang relevan (dibuktikan dengan sertifikat
pelatihan) dan terdaftar secara resmi sebagai Kurator dan Pengurus di
Kementerian Hukum dan HAM RI.
- Pernyataan Tertulis:
Calon Kurator wajib melampirkan surat pernyataan bermeterai yang
menegaskan pemenuhan syarat independensi, tidak ada benturan kepentingan,
batasan jumlah perkara, tidak sedang menjalani sanksi profesi berat, dan
kesediaan mengundurkan diri jika pernyataan terbukti tidak benar.
- Persetujuan Kreditor: Mengacu
pada SEMA No. 2 Tahun 2016, usulan penunjukan Kurator perseorangan oleh
pemohon sebaiknya disertai dengan surat persetujuan dari Kreditor, kecuali
jika yang ditunjuk adalah BHP atas inisiatif Pengadilan.
Proses verifikasi persyaratan
ini dilakukan oleh Majelis Hakim. Pertimbangan utama hakim dalam mengangkat
Kurator dalam putusan pailit akan didasarkan pada pemenuhan syarat-syarat
formal tersebut, termasuk adanya surat persetujuan kreditor dan surat pernyataan
dari calon Kurator.
Dalam situasi di mana terdapat
lebih dari satu nama Kurator yang diusulkan oleh para pihak, Pengadilan Niaga
memiliki diskresi untuk membentuk Tim Kurator. Pembentukan tim ini harus
mempertimbangkan komposisi yang seimbang berdasarkan kepentingan para pihak
yang terlibat. Apabila Tim Kurator yang ditunjuk, maka tanggung jawab mereka
dalam melaksanakan tugas bersifat tanggung renteng (joint and several
liability), artinya setiap anggota tim bertanggung jawab penuh atas keseluruhan
tugas dan kewajiban.
UU KPKPU juga mengatur
kemungkinan penggantian atau pengunduran diri Kurator di tengah jalannya
proses kepailitan. Proses ini melibatkan laporan dari Hakim Pengawas kepada
Majelis Hakim Pemutus, penyelenggaraan rapat kreditor untuk mendengar pendapat
mereka, dan akhirnya penerbitan penetapan hakim mengenai penggantian tersebut. Alasan
penggantian dapat mencakup ketidakmampuan Kurator menjalankan tugas, terbukti
melakukan penyalahgunaan wewenang, atau alasan sah lainnya yang menghambat
kelancaran proses kepailitan. Kurator yang mengundurkan diri atau diganti wajib
menyerahkan seluruh dokumen dan catatan terkait pengurusan dan pemberesan
kepada Kurator baru.
Rangkaian prosedur penunjukan
yang detail ini, dengan penekanan kuat pada aspek independensi, ketiadaan
benturan kepentingan, batasan beban kerja (caseload limit), serta adanya
mekanisme masukan dari kreditor, menunjukkan upaya sistem peradilan untuk memastikan
bahwa Kurator yang bertugas tidak hanya memiliki kualifikasi teknis, tetapi
juga memiliki integritas, ketidakberpihakan, dan kapasitas yang memadai untuk
mengelola perkara kepailitan secara efektif dan efisien. Pembatasan jumlah
perkara secara spesifik (maksimal 3 kasus) merupakan respons praktis terhadap
potensi masalah di mana Kurator menangani terlalu banyak kasus secara
bersamaan, yang dapat mengorbankan kualitas dan kecepatan penyelesaian boedel
pailit, sehingga merugikan para kreditor.
IV. Tugas Pokok dan Tanggung
Jawab Kurator
Setelah ditunjuk melalui
putusan pailit, Kurator mengemban serangkaian tugas dan tanggung jawab yang
luas dan kompleks. Tugas-tugas ini secara garis besar bertujuan untuk mengelola
dan menyelesaikan seluruh harta kekayaan debitor pailit demi kepentingan para
kreditor secara kolektif.
A. Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit
Tugas paling fundamental
Kurator dirumuskan dalam Pasal 69 ayat (1) UU KPKPU: "Tugas
Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit".
Sejak putusan pailit diucapkan, debitor kehilangan hak untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit (boedel pailit).
Kewenangan ini beralih sepenuhnya kepada Kurator. Tugas ini dapat dibagi
menjadi beberapa tahapan utama:
- Pengamanan Aset (Pengamanan):
Tindakan pertama dan mendesak bagi Kurator adalah mengamankan seluruh aset
yang termasuk dalam boedel pailit. Pasal 98 UU KPKPU
mewajibkan Kurator untuk segera melaksanakan semua upaya pengamanan harta
pailit, termasuk menyimpan semua surat, dokumen penting, uang tunai,
perhiasan, efek (surat berharga), dan surat berharga lainnya, serta
memberikan tanda terima atas penyimpanan tersebut. Jika diperlukan untuk
mencegah penghilangan atau kerusakan aset, Kurator, melalui juru sita,
dapat melakukan penyegelan terhadap harta pailit.
- Inventarisasi Aset (Inventarisasi):
Kurator wajib segera membuat daftar pencatatan (inventarisasi) seluruh
harta kekayaan debitor pailit. Daftar ini harus selesai dibuat paling
lambat 2 hari setelah Kurator menerima surat tugas pengangkatan dan
salinannya harus disampaikan ke panitera Pengadilan Niaga. Inventarisasi
ini penting sebagai dasar pengelolaan dan pertanggungjawaban.
- Pengelolaan Aset (Pengurusan):
Selama proses kepailitan berjalan, Kurator bertanggung jawab untuk
mengelola aset pailit. Ini mencakup upaya untuk mempertahankan atau bahkan
meningkatkan nilai aset tersebut. Dalam kondisi tertentu dan dengan
persetujuan pihak terkait (panitia kreditor atau Hakim Pengawas), Kurator
bahkan dapat melanjutkan operasional usaha debitor pailit (going
concern) jika dinilai akan lebih menguntungkan boedel pailit
dibandingkan likuidasi segera. Hal ini diatur dalam Pasal 104 UU KPKPU
dan akan dibahas lebih lanjut.
- Pemberesan Aset (Pemberesan):
Tahap ini merupakan realisasi atau pencairan aset pailit menjadi uang
tunai. Pemberesan biasanya dimulai setelah boedel pailit dinyatakan
berada dalam keadaan insolvensi (ketidakmampuan membayar utang), yang
terjadi jika tidak ada rencana perdamaian yang diajukan atau jika rencana
perdamaian ditolak. Kurator bertugas melaksanakan penjualan aset ini.
B. Verifikasi Tagihan Kreditur
Proses verifikasi tagihan
adalah tahap krusial untuk menentukan siapa saja kreditor yang sah dan berapa
jumlah piutang masing-masing yang diakui. Kurator memainkan peran sentral dalam
proses ini:
- Penerimaan dan Pemeriksaan Tagihan:
Setelah pengumuman kepailitan, para kreditor diwajibkan untuk mengajukan
tagihan piutang mereka kepada Kurator dalam batas waktu yang ditetapkan
oleh Hakim Pengawas. Kurator kemudian bertugas memeriksa dan mencocokkan
tagihan-tagihan tersebut dengan catatan pembukuan debitor dan informasi
lain yang relevan.
- Rapat Verifikasi (Rapat Pencocokan
Piutang): Kurator menyiapkan daftar piutang
sementara yang berisi piutang yang diakui, piutang yang dibantah, dan
piutang yang diakui secara bersyarat. Daftar ini kemudian dibahas dalam
rapat verifikasi yang dipimpin oleh Hakim Pengawas. Dalam rapat ini,
debitor pailit wajib hadir untuk memberikan keterangan. Kurator membacakan
daftar piutang dan memberikan penjelasan atas pengakuan atau bantahan
terhadap tagihan tertentu. Jika terjadi perselisihan mengenai suatu
tagihan yang tidak dapat didamaikan oleh Hakim Pengawas, penyelesaiannya
dapat dilanjutkan melalui mekanisme hukum acara perdata biasa di
pengadilan.
- Daftar Piutang Tetap: Hasil
akhir dari proses verifikasi adalah ditetapkannya daftar piutang tetap
yang memuat nama-nama kreditor yang berhak menerima pembayaran beserta
jumlah piutang masing-masing yang telah diverifikasi. Daftar ini menjadi
dasar bagi Kurator untuk melakukan pembagian hasil likuidasi aset.
C. Likuidasi Aset Debitor
Pailit
Setelah proses verifikasi
selesai dan boedel pailit dalam keadaan insolvensi, Kurator melanjutkan
ke tahap likuidasi aset:
- Metode Penjualan:
Cara utama likuidasi aset adalah melalui penjualan di muka umum
(lelang), sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU KPKPU.
Penjualan lelang dianggap sebagai cara yang paling transparan dan dapat
menghasilkan harga terbaik. Namun, dalam kondisi tertentu, Kurator dapat
melakukan penjualan di bawah tangan (negosiasi langsung), tetapi ini memerlukan
persetujuan terlebih dahulu dari Hakim Pengawas. Kurator memiliki
kewenangan untuk menentukan cara pemberesan yang paling optimal, apakah
menjual aset secara terpisah-pisah atau menjual unit usaha secara
keseluruhan (going concern).
- Tujuan Likuidasi:
Tujuan utama likuidasi adalah mengubah aset pailit menjadi uang tunai
dengan nilai setinggi mungkin untuk memaksimalkan dana yang tersedia bagi
pembayaran utang kepada para kreditor.
- Penanganan Aset Jaminan (Kreditur
Separatis): Terdapat prosedur khusus untuk aset yang
menjadi jaminan utang kepada kreditur separatis (pemegang hak tanggungan,
fidusia, gadai, hipotek). Kreditur separatis memiliki hak untuk
mengeksekusi sendiri jaminannya dalam jangka waktu tertentu (biasanya 2 bulan
setelah dimulainya keadaan insolvensi, sesuai Pasal 59 ayat (1) UU
KPKPU). Namun, hak eksekusi ini dapat ditangguhkan (stay)
selama maksimal 90 hari sejak putusan pailit diucapkan (Pasal 56 UU
KPKPU). Jika kreditur separatis tidak melaksanakan hak eksekusinya dalam
jangka waktu yang ditentukan (setelah berakhirnya masa stay
dan/atau periode 2 bulan insolvensi), maka Kurator berwenang menuntut
penyerahan agunan tersebut untuk dijual oleh Kurator demi kepentingan boedel
pailit (Pasal 59 ayat (2) UU KPKPU). Hasil penjualan agunan
tersebut tetap menjadi hak prioritas kreditur separatis yang bersangkutan.
D. Pembagian Hasil Likuidasi
kepada Kreditur
Setelah aset berhasil
dilikuidasi dan dana terkumpul, Kurator bertugas melakukan pembagian
(distribusi) hasil penjualan tersebut kepada para kreditor. Pembagian ini tidak
dilakukan secara sembarangan, melainkan harus mengikuti urutan prioritas yang
tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Prinsip dasar pembagian bagi
kreditor konkuren (tidak terjamin) adalah paritas creditorum atau pari
passu, artinya mereka menerima pembayaran secara proporsional sesuai
besarnya piutang masing-masing. Namun, prinsip ini dikecualikan oleh adanya
hak-hak istimewa (privilege) dan hak jaminan kebendaan yang memberikan
prioritas kepada kreditor tertentu.
Urutan prioritas pembayaran
secara umum adalah sebagai berikut:
- Biaya Kepailitan:
Meliputi semua biaya yang dikeluarkan untuk proses kepailitan itu sendiri,
termasuk imbalan jasa (fee) Kurator, biaya pengumuman, biaya administrasi
pengadilan, dan biaya lain yang diperlukan untuk pengurusan dan pemberesan
harta pailit. Biaya ini didahulukan dari pembayaran kepada semua kreditor.
- Kreditur Preferen (dengan Hak Istimewa):
Kreditor yang oleh undang-undang diberikan hak didahulukan. Urutan di
dalam kelompok preferen ini juga penting:
- Upah Pokok Pekerja/Buruh yang Terutang:
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013, pembayaran
upah pokok pekerja/buruh yang terutang didahulukan pembayarannya atas
semua jenis kreditor, termasuk kreditor separatis (atas hasil
penjualan aset umum, bukan agunan spesifik mereka) dan tagihan pajak
negara. Ini merupakan perlindungan hukum yang sangat kuat bagi hak-hak
pekerja.
- Utang Pajak Negara:
Negara memiliki hak mendahulu (preferensi) untuk utang pajak atas
seluruh barang milik penanggung pajak, berdasarkan Pasal 21
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Tagihan pajak dibayar setelah upah pokok buruh tetapi sebelum kreditor
separatis (dari aset umum) dan konkuren.
- Hak-hak Pekerja/Buruh Lainnya:
Hak-hak lain seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja (UPMK),
dan uang penggantian hak (UPH) sesuai Pasal 156 UU Ketenagakerjaan
juga memiliki preferensi, namun kedudukannya berada di bawah upah pokok
dan pajak, serta di bawah kreditor separatis terkait hasil penjualan
agunan.
- Kreditur Separatis (Pemegang Jaminan
Kebendaan): Kreditor yang piutangnya dijamin dengan
hak kebendaan seperti Hak Tanggungan (atas tanah), Fidusia (atas benda
bergerak), Gadai (atas benda bergerak), atau Hipotek (atas kapal). Mereka
memiliki hak prioritas untuk mendapatkan pelunasan hanya dari hasil
penjualan aset yang menjadi agunan spesifik mereka. Jika hasil
penjualan agunan tidak mencukupi untuk melunasi seluruh piutang mereka,
sisa piutang yang belum terbayar akan turun statusnya menjadi piutang
konkuren.
- Kreditur Konkuren (Tidak Terjamin):
Ini adalah kelompok kreditor yang tidak memiliki hak jaminan kebendaan
maupun hak istimewa berdasarkan undang-undang. Mereka adalah kreditor
"biasa" yang hanya memiliki tagihan berdasarkan perjanjian
(misalnya supplier, mitra bisnis tanpa jaminan). Mereka berada di urutan
terakhir dan berhak menerima pembagian dari sisa harta pailit (setelah
semua biaya dan kreditor prioritas dilunasi) secara proporsional (pro
rata) sesuai dengan perbandingan jumlah piutang masing-masing (Pasal
1131 dan 1132 KUHPerdata). Dalam banyak kasus kepailitan di mana aset
tidak mencukupi, kreditor konkuren seringkali hanya menerima sebagian
kecil dari tagihan mereka atau bahkan tidak sama sekali.
E. Pelaporan kepada Hakim
Pengawas
Transparansi dan akuntabilitas
dalam tindakan Kurator dijaga melalui kewajiban pelaporan. Pasal 74 ayat (1)
UU KPKPU secara tegas mewajibkan Kurator untuk menyampaikan laporan secara
berkala kepada Hakim Pengawas, umumnya setiap 3 (tiga) bulan sekali. Laporan
ini harus memuat informasi mengenai kondisi harta pailit, tindakan-tindakan
pengurusan dan pemberesan yang telah dilakukan, serta perkembangan pelaksanaan
tugas Kurator secara keseluruhan. Pelaporan rutin ini menjadi mekanisme kontrol
esensial bagi Hakim Pengawas untuk memonitor kinerja Kurator, memastikan proses
berjalan sesuai rencana dan hukum, serta mendeteksi potensi masalah atau
penyimpangan sejak dini.
F. Tanggung Jawab Hukum (Legal
Liability)
Menjalankan tugas sebagai
Kurator mengandung risiko tanggung jawab hukum yang signifikan. Pasal 72 UU
KPKPU menyatakan bahwa "Kurator bertanggung jawab terhadap
kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau
pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit". Ini
berarti jika Kurator terbukti melakukan kesalahan (misalnya menjual aset di
bawah harga pasar tanpa justifikasi) atau lalai (misalnya gagal mengamankan
aset sehingga hilang atau rusak) yang mengakibatkan kerugian pada boedel
pailit, Kurator dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Tanggung
jawab ini dapat bersifat perdata, dan dalam kasus tertentu, Kurator bisa jadi
harus mengganti kerugian tersebut dari aset pribadinya. Ancaman tanggung jawab
pribadi ini menekankan pentingnya Kurator untuk bertindak secara profesional,
hati-hati (prudent), dan selalu berpedoman pada ketentuan hukum serta
etika profesi.
Kombinasi antara lingkup tugas
yang sangat luas (meliputi seluruh siklus hidup kepailitan dari pengamanan aset
hingga distribusi) dengan potensi tanggung jawab hukum pribadi yang berat
menciptakan suatu lingkungan kerja yang menuntut standar profesionalisme tinggi
bagi Kurator. Hal ini tidak hanya memerlukan keahlian teknis di bidang hukum
dan keuangan, tetapi juga integritas, kemampuan administratif yang kuat, serta
kehati-hatian dalam setiap pengambilan keputusan. Kompleksitas dan risiko
inilah yang mendasari mengapa proses kualifikasi dan penunjukan Kurator
dirancang sedemikian ketat. Kewajiban pelaporan rutin kepada Hakim Pengawas
berfungsi sebagai katup pengaman penting, memungkinkan adanya pengawasan
berkelanjutan dan intervensi dini jika diperlukan, sehingga dapat memitigasi
risiko kerugian akibat potensi kesalahan atau kelalaian Kurator sebelum
dampaknya meluas.
V. Kewenangan Kurator dalam
Menjalankan Tugas
Untuk dapat melaksanakan
tugas-tugasnya secara efektif, UU KPKPU memberikan serangkaian kewenangan yang
signifikan kepada Kurator. Kewenangan ini dirancang untuk memastikan kelancaran
proses pengurusan dan pemberesan harta pailit tanpa hambatan yang tidak perlu
dari pihak debitor atau pihak lain.
Pertama, kewenangan Kurator
mulai berlaku sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan oleh
Pengadilan Niaga. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 16 ayat (1) UU KPKPU,
yang juga menyatakan bahwa kewenangan ini tetap berlaku meskipun terhadap
putusan pailit tersebut diajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali.
Ketentuan ini sangat penting untuk mencegah kevakuman hukum dan potensi
penghilangan atau penyalahgunaan aset oleh debitor selama proses upaya hukum
berlangsung. Kurator dapat segera bertindak mengamankan dan mengurus boedel
pailit.
Kedua, salah satu kewenangan
yang paling menonjol adalah kemampuan Kurator untuk bertindak tanpa harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari atau menyampaikan pemberitahuan
kepada debitor pailit atau organ-organnya (seperti Direksi atau Dewan
Komisaris bagi debitor berbentuk Perseroan Terbatas). Kewenangan ini diatur
dalam Pasal 69 ayat (2) huruf a UU KPKPU.
Artinya, untuk
tindakan-tindakan rutin dalam rangka pengurusan dan pemberesan, Kurator
memiliki otonomi penuh, bahkan jika tindakan tersebut di luar kepailitan
memerlukan persetujuan RUPS atau Direksi. Kewenangan luas ini, meskipun
esensial untuk efisiensi administrasi kepailitan, pernah menjadi subjek
perdebatan hukum dan diuji materiil di Mahkamah Konstitusi (seperti dalam kasus
TPI yang dirujuk dalam beberapa sumber ), dengan argumen bahwa hal itu dapat
mengabaikan hak-hak debitor. Namun, Mahkamah Konstitusi cenderung
mempertahankan ketentuan ini dengan pertimbangan bahwa kepailitan pada
hakikatnya adalah sita umum yang mengalihkan kewenangan pengelolaan dari
debitor ke Kurator demi kepentingan kolektif kreditor.
Ketiga, Kurator memiliki kewenangan
untuk melakukan tindakan hukum atas nama boedel pailit. Pasal 26
ayat (1) UU KPKPU menyatakan bahwa tuntutan hukum mengenai hak atau
kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap
Kurator. Ini berarti Kurator dapat bertindak sebagai penggugat untuk menagih
piutang debitor pailit dari pihak ketiga, atau sebagai tergugat jika ada pihak
lain yang mengajukan klaim terhadap harta pailit. Kewenangan ini juga mencakup
hak untuk mengajukan upaya hukum spesifik seperti Actio Pauliana
(diatur dalam Pasal 41-48 UU KPKPU) untuk membatalkan perbuatan hukum debitor
yang dilakukan sebelum pailit yang terbukti merugikan kepentingan para kreditor
(misalnya, pengalihan aset dengan harga tidak wajar atau hibah untuk
menghindari pembayaran utang).
Keempat, Kurator diberi
kewenangan untuk melakukan pinjaman dari pihak ketiga, namun dengan
batasan yang jelas. Pasal 69 ayat (2) huruf b UU KPKPU menyatakan bahwa
pinjaman ini hanya boleh dilakukan dalam rangka meningkatkan nilai harta
pailit. Lebih lanjut, Pasal 69 ayat (3) umumnya mensyaratkan adanya persetujuan
dari Hakim Pengawas untuk melakukan pinjaman semacam itu. Kewenangan ini
memberikan fleksibilitas kepada Kurator untuk mendapatkan dana segar jika
diperlukan, misalnya untuk biaya operasional melanjutkan usaha atau merenovasi
aset agar nilai jualnya meningkat, namun tetap dalam koridor pengawasan
yudisial.
Kelima, Kurator memiliki
kewenangan kondisional untuk melanjutkan usaha debitor pailit (going
concern) sebagaimana diatur dalam Pasal 104 UU KPKPU. Kewenangan
ini tidak otomatis, melainkan memerlukan:
- Persetujuan dari panitia kreditor
sementara (jika panitia tersebut dibentuk).
- Atau, jika tidak ada panitia kreditor, izin
dari Hakim Pengawas. Keputusan untuk melanjutkan usaha didasarkan pada
pertimbangan apakah langkah tersebut akan lebih menguntungkan boedel
pailit dibandingkan dengan likuidasi segera, misalnya jika perusahaan
masih memiliki prospek bisnis yang baik atau jika penjualan sebagai unit
usaha yang berjalan (going concern) dapat menghasilkan nilai yang
lebih tinggi.
Secara keseluruhan, kewenangan
luas yang diberikan kepada Kurator, terutama hak untuk bertindak tanpa
persetujuan debitor dan menguasai penuh aset pailit, menempatkan Kurator
sebagai pengendali de facto entitas debitor setelah dinyatakan pailit. Kekuasaan
ini dirancang untuk memprioritaskan efisiensi dalam administrasi dan
maksimalisasi pengembalian kepada kreditor. Namun, kekuasaan ini tidaklah
absolut. Ia diimbangi oleh mekanisme kontrol yang penting, yaitu perlunya
persetujuan Hakim Pengawas untuk tindakan-tindakan signifikan tertentu (seperti
pinjaman, melanjutkan usaha tanpa panitia kreditor, penjualan di bawah tangan)
dan adanya ancaman tanggung jawab hukum pribadi atas kesalahan atau kelalaian
(Pasal 72). Struktur hukum ini menciptakan keseimbangan antara pemberian
wewenang yang kuat demi efisiensi penyelesaian boedel pailit dan penyediaan
mekanisme pengawasan serta akuntabilitas untuk mencegah potensi penyalahgunaan
wewenang oleh Kurator.
VI. Peran Hakim Pengawas dalam
Proses Kepailitan
Hakim Pengawas adalah figur
yudisial yang memegang peranan vital dalam mengawasi dan mengarahkan jalannya
proses kepailitan setelah putusan pailit diucapkan. Pasal 1 ayat (8) UU
KPKPU mendefinisikan Hakim Pengawas sebagai "hakim yang ditunjuk
oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban
pembayaran utang". Penunjukannya dilakukan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Niaga yang memutus perkara pailit tersebut.
Fungsi utama Hakim Pengawas,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 65 UU KPKPU, adalah mengawasi
pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator.
Pengawasan ini bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh proses kepailitan
berjalan sesuai dengan ketentuan hukum, adil bagi semua pihak, transparan, dan
efisien.
Peran pengawasan Hakim
Pengawas tidak bersifat pasif, melainkan aktif melalui pelaksanaan berbagai
tugas dan wewenang spesifik yang diatur dalam UU KPKPU dan peraturan terkait
lainnya, antara lain:
- Memberikan Persetujuan atau Izin:
Hakim Pengawas bertindak sebagai pemberi izin atau persetujuan atas
tindakan-tindakan penting yang akan dilakukan Kurator, seperti:
- Memperoleh pinjaman dari pihak ketiga
(Pasal 69 ayat (3)).
- Melanjutkan usaha debitor jika tidak ada
panitia kreditor (Pasal 104 ayat (2)).
- Melakukan penjualan aset pailit secara di
bawah tangan (Pasal 185).
- Menolak warisan yang diterima debitor
jika merugikan harta pailit (Pasal 34).
- Menetapkan jangka waktu pelaksanaan
perjanjian timbal balik (Pasal 36 ayat (2)).
- Mendengar Keterangan Saksi dan Ahli:
Berwenang untuk memanggil dan mendengar keterangan saksi-saksi atau
memerintahkan dilakukannya pemeriksaan oleh ahli untuk memperoleh
kejelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepailitan (Pasal 67 ayat
(1)).
- Menetapkan Batas Waktu:
Menetapkan tanggal-tanggal krusial dalam proses kepailitan, seperti batas
akhir pengajuan tagihan oleh kreditor, batas akhir verifikasi pajak, serta
hari, tanggal, waktu, dan tempat penyelenggaraan rapat pencocokan piutang
(Pasal 113 ayat (1)).
- Memimpin Rapat Kreditor:
Bertindak sebagai ketua dalam rapat-rapat kreditor, termasuk rapat
verifikasi piutang (Pasal 85 ayat (1), Pasal 124 ayat (1)).
- Menyelesaikan Perselisihan Piutang:
Berusaha mendamaikan perselisihan yang timbul antara Kurator dan kreditor
mengenai pengakuan atau penolakan piutang selama rapat verifikasi (Pasal
127). Jika perdamaian tidak tercapai, Hakim Pengawas dapat memerintahkan
penyelesaian melalui pengadilan.
- Menerima dan Menelaah Laporan Kurator:
Menerima laporan berkala (setiap 3 bulan) dari Kurator mengenai kondisi
harta pailit dan pelaksanaan tugasnya (Pasal 74 ayat (1)), serta menelaah
laporan pertanggungjawaban akhir Kurator.
- Memberikan Pendapat kepada Pengadilan:
Wajib didengar pendapatnya oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga sebelum
pengadilan mengambil putusan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
pengurusan atau pemberesan harta pailit (Pasal 66).
- Mengawasi Efisiensi Proses:
Berdasarkan SEMA No. 2 Tahun 2016, Hakim Pengawas memiliki wewenang
untuk mendorong efisiensi proses pemberesan, termasuk memerintahkan
Kurator menyusun jadwal kerja, memanggil dan meminta penjelasan Kurator
jika terjadi keterlambatan, memberikan teguran tertulis, hingga
mengusulkan penggantian Kurator kepada Majelis Hakim jika proses
berlarut-larut tanpa alasan yang jelas.
Meskipun memiliki peran
pengawasan yang sangat penting, terdapat catatan mengenai akuntabilitas Hakim
Pengawas itu sendiri. UU KPKPU tidak secara eksplisit mengatur sanksi spesifik
bagi Hakim Pengawas jika lalai atau melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas
pengawasannya. Namun, sebagai seorang hakim, Hakim Pengawas tetap tunduk pada
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim serta mekanisme pengawasan dan disiplin
internal Mahkamah Agung.
Peran Hakim Pengawas secara
esensial berfungsi sebagai mekanisme check and balance yudisial terhadap
kewenangan eksekutif yang luas dari Kurator dalam mengelola boedel pailit.
Sementara Kurator bertanggung jawab atas pelaksanaan operasional sehari-hari,
Hakim Pengawas memegang kendali pada titik-titik kritis proses (pemberian izin,
penetapan jadwal, kepemimpinan rapat, penyelesaian sengketa). Struktur ini
dirancang untuk menggabungkan efisiensi administratif yang dijalankan oleh
Kurator dengan kontrol yudisial dan jaminan keadilan proses yang dipegang oleh
Hakim Pengawas, memastikan bahwa proses kepailitan berjalan sesuai norma hukum
yang berlaku. Adopsi kewenangan tambahan untuk mengawasi efisiensi waktu
melalui SEMA No. 2 Tahun 2016 mengindikasikan adanya respons terhadap tantangan
praktis mengenai lamanya waktu penyelesaian perkara kepailitan, memperkuat
peran Hakim Pengawas tidak hanya sebagai pengawas legalitas tetapi juga sebagai
manajer proses peradilan.
VII. Kualifikasi untuk Menjadi
Kurator
Mengingat kompleksitas tugas,
luasnya kewenangan, dan besarnya tanggung jawab yang diemban, profesi Kurator
di Indonesia hanya dapat dijalankan oleh individu atau institusi (BHP) yang
memenuhi kualifikasi ketat. Persyaratan untuk menjadi Kurator orang perseorangan
diatur dalam UU KPKPU dan secara lebih rinci dalam peraturan pelaksananya,
terutama Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor
37 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Serta Penyampaian
Laporan Kurator dan Pengurus. Peraturan ini menggantikan peraturan sebelumnya
(seperti Permenkumham No. 18 Tahun 2013 ).
Landasan hukum utama terdapat
dalam Pasal 70 UU KPKPU, yang mensyaratkan Kurator orang perseorangan
untuk: (a) berdomisili di Indonesia, (b) memiliki keahlian khusus yang
dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit, dan (c)
terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
hukum dan peraturan perundang-undangan (Kemenkumham).
Permenkumham 37/2018
menjabarkan persyaratan ini lebih lanjut menjadi kriteria-kriteria spesifik
yang harus dipenuhi, antara lain :
- Kewarganegaraan dan Domisili:
Warga Negara Indonesia (WNI) dan berdomisili di wilayah Indonesia.
- Latar Belakang Profesi:
Umumnya harus merupakan seorang Advokat atau Akuntan Publik
yang aktif dan terdaftar pada organisasi profesinya masing-masing.
Permohonan pendaftaran harus melampirkan bukti keanggotaan aktif dan surat
keterangan telah bekerja pada kantor advokat atau kantor akuntan publik
selama jangka waktu tertentu (misalnya, minimal 3 tahun seperti disebutkan
dalam salah satu sumber ).
- Pendidikan:
Memiliki ijazah Sarjana Hukum (S.H.) bagi advokat, atau Sarjana Ekonomi
jurusan Akuntansi bagi akuntan publik, yang dilegalisir.
- Pelatihan Khusus dan Ujian Sertifikasi:
Wajib mengikuti pendidikan atau pelatihan khusus Kurator dan Pengurus yang
diselenggarakan oleh organisasi profesi yang bekerja sama dengan
Kemenkumham, dan lulus ujian sertifikasi yang penilaiannya
dilakukan oleh Komite Bersama (terdiri dari perwakilan Mahkamah Agung,
Kemenkumham, dan organisasi profesi). Kelulusan dibuktikan dengan
Sertifikat Tanda Lulus Ujian Kurator dan Pengurus.
- Pendaftaran di Kemenkumham:
Harus mengajukan permohonan pendaftaran dan terdaftar secara resmi pada
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kemenkumham.
Pendaftaran ini memiliki masa berlaku (umumnya 5 tahun) dan dapat
diperpanjang.
- Persyaratan Integritas dan Kelakuan Baik:
Harus memenuhi serangkaian syarat integritas, dibuktikan dengan surat
pernyataan dan dokumen pendukung, meliputi:
- Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Setia pada Pancasila dan UUD 1945.
- Tidak pernah dinyatakan pailit oleh
pengadilan niaga.
- Tidak pernah dipidana karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih
(dibuktikan dengan Surat Keterangan Catatan Kepolisian - SKCK).
- Tidak pernah menjadi anggota direksi atau
komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan
pailit.
- Tidak merangkap jabatan tertentu yang
dilarang (kecuali jabatan profesi lain yang diizinkan seperti advokat,
akuntan publik, mediator, konsultan HKI, konsultan hukum pasar modal,
arbiter).
- Bersedia menjalankan tugas dengan penuh
tanggung jawab dan bersedia dihapus dari daftar jika melanggar kode etik
atau peraturan.
- Kesehatan:
Sehat jasmani dan rohani, dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari
rumah sakit pemerintah.
Prosedur pendaftaran dilakukan
secara elektronik melalui sistem Ditjen AHU Kemenkumham. Pemohon mengisi
formulir aplikasi dan mengunggah seluruh dokumen persyaratan yang relevan (KTP,
NPWP, ijazah, sertifikat lulus ujian, surat rekomendasi organisasi profesi,
berbagai surat pernyataan, SKCK, surat keterangan sehat, pas foto, bukti
keanggotaan profesi, dll.). Ditjen AHU akan melakukan verifikasi administrasi.
Jika dokumen lengkap dan memenuhi syarat, Ditjen AHU akan menerbitkan Surat
Bukti Pendaftaran Kurator dan Pengurus yang dapat dicetak oleh pemohon.
Proses kualifikasi yang
berlapis ini – menggabungkan latar belakang profesional yang relevan (hukum
atau akuntansi), pendidikan spesialis tambahan melalui pelatihan dan ujian,
pendaftaran formal di kementerian, serta pemeriksaan integritas yang ketat – menciptakan
standar yang tinggi untuk memasuki profesi Kurator. Hal ini mencerminkan
pengakuan atas kompleksitas teknis, dampak finansial yang besar, dan tuntutan
etika yang tinggi dari peran Kurator dalam sistem peradilan niaga.
Pembatasan utama pada profesi
advokat dan akuntan publik juga menyiratkan pemanfaatan kerangka kerja kode
etik dan mekanisme pengawasan disiplin yang sudah ada pada kedua profesi
tersebut, sebagai lapisan tambahan untuk menjaga kualitas dan akuntabilitas
para Kurator. Sistem kualifikasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa individu
yang dipercaya mengelola harta pailit memiliki kombinasi pengetahuan
hukum/keuangan, keterampilan praktis, dan standar etika yang diperlukan untuk
menjalankan tugas tersebut secara kompeten dan bertanggung jawab.
IX. Kesimpulan
Kurator memegang peranan yang
sangat krusial dan sentral dalam sistem hukum kepailitan di Indonesia
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU. Sebagai pihak yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga, Kurator memiliki mandat
utama untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta kekayaan (boedel pailit)
milik debitor yang telah dinyatakan pailit.
Fungsi ini mencakup
serangkaian tugas yang kompleks dan berurutan, mulai dari pengamanan dan
inventarisasi aset, pengelolaan aset (termasuk kemungkinan melanjutkan usaha
debitor), verifikasi klaim-klaim yang diajukan oleh para kreditor, pelaksanaan
likuidasi aset melalui penjualan (umumnya lelang), hingga pendistribusian hasil
likuidasi kepada para kreditor sesuai dengan urutan prioritas yang telah
ditetapkan secara tegas oleh undang-undang. Selain itu, Kurator juga memiliki
kewajiban administratif penting, terutama melaporkan perkembangan tugasnya
secara berkala kepada Hakim Pengawas.
Untuk memastikan pelaksanaan
tugas yang kompleks dan penuh tanggung jawab ini berjalan dengan baik, sistem
hukum menetapkan standar kualifikasi yang tinggi bagi individu yang ingin
menjadi Kurator, umumnya mensyaratkan latar belakang profesi sebagai advokat
atau akuntan publik, ditambah dengan keharusan mengikuti pelatihan khusus dan
lulus ujian sertifikasi, serta terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM.
Penekanan pada independensi
Kurator dan ketiadaan benturan kepentingan merupakan pilar penting untuk
menjaga integritas proses kepailitan. Kewenangan yang luas diberikan kepada
Kurator, termasuk kemampuan untuk bertindak tanpa persetujuan debitor, diperlukan
untuk efisiensi administrasi boedel pailit. Namun, kewenangan ini diseimbangkan
dengan mekanisme pengawasan yang melekat dari Hakim Pengawas, yang memegang
kontrol atas titik-titik kritis proses, serta adanya ancaman tanggung jawab
hukum pribadi bagi Kurator jika terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian
yang merugikan harta pailit.
Secara keseluruhan, Kurator,
yang beroperasi dalam kerangka hukum UU KPKPU dengan segala tugas, kewenangan,
dan tanggung jawabnya, serta berada di bawah supervisi Hakim Pengawas,
merupakan instrumen hukum yang tak tergantikan dalam upaya mewujudkan penyelesaian
perkara kepailitan yang tertib, adil, transparan, dan efisien. Keberadaan dan
peran Kurator bertujuan untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan yang
seringkali bertentangan antara debitor, berbagai tingkatan kreditor (preferen,
separatis, konkuren), dan kepentingan publik yang lebih luas dalam penyelesaian
masalah insolvensi secara efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar