Kamis, 24 April 2025

Asas Legalitas sebagai Fondasi Hukum Pidana

Pengertian dan Makna Asas Legalitas

Salah satu asas paling fundamental dan universal dalam hukum pidana modern adalah Asas Legalitas. Asas ini sering dirumuskan dalam adagium Latin: Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, yang secara harfiah berarti "tidak ada delik (tindak pidana), tidak ada pidana tanpa peraturan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya".  

Asas ini memiliki akar sejarah yang panjang, muncul sebagai reaksi terhadap praktik peradilan pidana yang sewenang-wenang pada masa monarki absolut di Eropa, di mana raja atau penguasa dapat menentukan suatu perbuatan sebagai kejahatan dan menjatuhkan hukuman tanpa aturan yang jelas dan ada sebelumnya. Para pemikir Pencerahan seperti Montesquieu dan Rousseau, serta ahli hukum seperti Anselm von Feuerbach (yang sering dianggap sebagai pencetus adagium Latin tersebut), memperjuangkan asas ini sebagai benteng perlindungan hak asasi manusia dan jaminan terhadap kepastian hukum.  

Tujuan utama dari asas legalitas adalah:

  1. Menjamin Kepastian Hukum (Rechtszekerheid): Masyarakat harus dapat mengetahui dengan jelas perbuatan apa saja yang dilarang dan diancam pidana, sehingga mereka dapat mengatur perilakunya agar tidak melanggar hukum. Demikian pula, aparat penegak hukum memiliki batasan yang jelas mengenai kewenangannya.  
  2. Melindungi Individu dari Kesewenang-wenangan Penguasa: Asas ini mencegah penguasa atau hakim menjatuhkan pidana secara retrospektif (berlaku surut) atau berdasarkan aturan yang tidak jelas atau tidak tertulis.  
  3. Memberikan Peringatan (Fungsi Preventif/Instrumental): Dengan adanya aturan pidana yang jelas dan diumumkan sebelumnya, masyarakat diperingatkan untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Ancaman pidana diharapkan dapat berfungsi sebagai pencegah (deterrent).  

Dasar Hukum dalam KUHP Indonesia

Asas legalitas secara tegas diadopsi dalam sistem hukum pidana Indonesia, baik dalam KUHP lama maupun KUHP baru:

  • Pasal 1 ayat (1) KUHP Lama: Menyatakan, "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.".  
  • Pasal 1 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP Baru): Merumuskan, "Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.". Penjelasan pasal ini lebih lanjut menegaskan bahwa yang dimaksud "peraturan perundang-undangan" di sini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Daerah.  

Konsekuensi Utama Asas Legalitas

Penerapan asas legalitas membawa beberapa konsekuensi logis yang penting dalam praktik hukum pidana:

  • Ketentuan Pidana Harus Tertulis (Lex Scripta): Hukum pidana harus didasarkan pada sumber hukum tertulis, yaitu peraturan perundang-undangan. Hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis pada prinsipnya tidak dapat menjadi dasar langsung untuk pemidanaan (meskipun KUHP baru memberikan pengakuan terbatas, lihat sub-bagian berikutnya). Ini bertujuan untuk menjamin kejelasan dan aksesibilitas aturan hukum.  
  • Larangan Berlaku Surut (Non-Retroaktif): Peraturan perundang-undangan pidana tidak boleh diberlakukan untuk perbuatan yang terjadi sebelum peraturan tersebut diundangkan dan berlaku. Seseorang hanya dapat diadili dan dipidana berdasarkan hukum yang berlaku pada saat ia melakukan perbuatan (tempus delicti). Terdapat satu pengecualian penting terhadap asas non-retroaktif ini, yaitu jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan, maka diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan bagi terdakwa (prinsip favor reĆ­), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP lama dan UU 1/2023.  
  • Rumusan Delik Harus Jelas dan Rinci (Lex Certa / Lex Stricta): Ketentuan pidana harus dirumuskan secara jelas, presisi, dan tidak ambigu (lex certa). Hal ini diperlukan agar warga negara dapat memahami dengan pasti batas antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang, serta untuk mencegah penafsiran yang terlalu luas atau sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.  
  • Larangan Analogi (Analogiverbot): Hakim dilarang menggunakan penafsiran analogi dalam hukum pidana. Analogi berarti menerapkan suatu ketentuan pidana pada suatu perbuatan yang tidak secara eksplisit diatur dalam ketentuan tersebut, hanya karena perbuatan itu dianggap mirip atau sejenis dengan perbuatan yang diatur. Larangan ini bertujuan untuk mencegah perluasan cakupan pemidanaan di luar apa yang secara tegas ditentukan oleh pembentuk undang-undang, demi menjaga kepastian hukum. Penafsiran ekstensif (memperluas makna kata dalam rumusan UU) masih dimungkinkan, tetapi harus dibedakan secara tegas dari analogi.  

Asas Legalitas dan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) di KUHP Baru

Salah satu perubahan signifikan dan menjadi bahan diskusi luas dalam KUHP baru (UU 1/2023) adalah pengakuan terhadap "hukum yang hidup dalam masyarakat" atau hukum adat sebagai dasar pemidanaan, yang tampaknya merupakan perluasan atau modifikasi dari asas legalitas formal yang dianut KUHP lama.

  • Pasal 2 ayat (1) UU 1/2023: Menyatakan, "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.".  
  • Perluasan Makna Legalitas: Ketentuan ini secara eksplisit mengakui hukum tidak tertulis (hukum adat atau kebiasaan yang hidup di masyarakat tertentu) sebagai sumber hukum pidana yang dapat menjadi dasar pemidanaan, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam KUHP atau undang-undang lainnya. Ini menandai pergeseran dari asas legalitas formal (hanya hukum tertulis) menjadi asas legalitas formal dan materiil.  
  • Pembatasan dan Syarat: Pengakuan ini tidak tanpa batas. Pasal 2 ayat (2) UU 1/2023 menetapkan syarat bahwa hukum yang hidup tersebut harus "sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa". Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
  • Potensi Tantangan: Pengakuan hukum yang hidup ini, meskipun bertujuan baik untuk mengakomodasi rasa keadilan lokal dan nilai-nilai adat, menimbulkan potensi ketegangan dengan prinsip-prinsip dasar asas legalitas itu sendiri. Secara inheren, hukum adat bersifat tidak tertulis, seringkali tidak memiliki rumusan yang presisi (lex certa), dan beragam antar daerah. Hal ini berpotensi menggerus kepastian hukum yang justru menjadi tujuan utama asas legalitas. Bagaimana memastikan bahwa hukum adat yang diterapkan benar-benar "hidup", diketahui oleh masyarakat setempat, dan tidak bertentangan dengan prinsip hukum nasional serta HAM, menjadi tantangan besar dalam implementasinya. Keberhasilan penerapan Pasal 2 UU 1/2023 akan sangat bergantung pada kejelasan dan kehati-hatian dalam penyusunan Peraturan Pemerintah yang mengaturnya, agar tujuan mengakomodasi kearifan lokal tidak mengorbankan jaminan kepastian hukum dan perlindungan individu dari potensi kesewenang-wenangan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...