Pengertian dan Makna Asas Legalitas
Salah satu asas paling
fundamental dan universal dalam hukum pidana modern adalah Asas Legalitas. Asas
ini sering dirumuskan dalam adagium Latin: Nullum delictum, nulla poena sine
praevia lege poenali, yang secara harfiah berarti "tidak ada delik
(tindak pidana), tidak ada pidana tanpa peraturan perundang-undangan pidana
yang mendahuluinya".
Asas ini memiliki akar sejarah
yang panjang, muncul sebagai reaksi terhadap praktik peradilan pidana yang
sewenang-wenang pada masa monarki absolut di Eropa, di mana raja atau penguasa
dapat menentukan suatu perbuatan sebagai kejahatan dan menjatuhkan hukuman
tanpa aturan yang jelas dan ada sebelumnya. Para pemikir Pencerahan seperti
Montesquieu dan Rousseau, serta ahli hukum seperti Anselm von Feuerbach (yang
sering dianggap sebagai pencetus adagium Latin tersebut), memperjuangkan asas
ini sebagai benteng perlindungan hak asasi manusia dan jaminan terhadap
kepastian hukum.
Tujuan utama dari asas
legalitas adalah:
- Menjamin Kepastian Hukum (Rechtszekerheid):
Masyarakat harus dapat mengetahui dengan jelas perbuatan apa saja yang
dilarang dan diancam pidana, sehingga mereka dapat mengatur perilakunya
agar tidak melanggar hukum. Demikian pula, aparat penegak hukum memiliki
batasan yang jelas mengenai kewenangannya.
- Melindungi Individu dari
Kesewenang-wenangan Penguasa: Asas ini mencegah
penguasa atau hakim menjatuhkan pidana secara retrospektif (berlaku surut)
atau berdasarkan aturan yang tidak jelas atau tidak tertulis.
- Memberikan Peringatan (Fungsi
Preventif/Instrumental): Dengan adanya aturan
pidana yang jelas dan diumumkan sebelumnya, masyarakat diperingatkan untuk
tidak melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Ancaman pidana
diharapkan dapat berfungsi sebagai pencegah (deterrent).
Dasar Hukum dalam KUHP
Indonesia
Asas legalitas secara tegas
diadopsi dalam sistem hukum pidana Indonesia, baik dalam KUHP lama maupun KUHP
baru:
- Pasal 1 ayat (1) KUHP Lama:
Menyatakan, "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada.".
- Pasal 1 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP
Baru): Merumuskan, "Tidak ada satu
perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali
atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
telah ada sebelum perbuatan dilakukan.". Penjelasan pasal ini lebih
lanjut menegaskan bahwa yang dimaksud "peraturan
perundang-undangan" di sini meliputi Undang-Undang dan Peraturan
Daerah.
Konsekuensi Utama Asas
Legalitas
Penerapan asas legalitas
membawa beberapa konsekuensi logis yang penting dalam praktik hukum pidana:
- Ketentuan Pidana Harus Tertulis (Lex
Scripta): Hukum pidana harus didasarkan pada sumber
hukum tertulis, yaitu peraturan perundang-undangan. Hukum kebiasaan atau
hukum tidak tertulis pada prinsipnya tidak dapat menjadi dasar langsung
untuk pemidanaan (meskipun KUHP baru memberikan pengakuan terbatas, lihat
sub-bagian berikutnya). Ini bertujuan untuk menjamin kejelasan dan
aksesibilitas aturan hukum.
- Larangan Berlaku Surut (Non-Retroaktif):
Peraturan perundang-undangan pidana tidak boleh diberlakukan untuk
perbuatan yang terjadi sebelum peraturan tersebut diundangkan dan berlaku.
Seseorang hanya dapat diadili dan dipidana berdasarkan hukum yang berlaku
pada saat ia melakukan perbuatan (tempus delicti). Terdapat satu
pengecualian penting terhadap asas non-retroaktif ini, yaitu jika terjadi
perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan, maka
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan bagi terdakwa (prinsip favor
reĆ), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP lama dan UU
1/2023.
- Rumusan Delik Harus Jelas dan Rinci (Lex
Certa / Lex Stricta): Ketentuan pidana harus
dirumuskan secara jelas, presisi, dan tidak ambigu (lex certa). Hal
ini diperlukan agar warga negara dapat memahami dengan pasti batas antara
perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang, serta untuk mencegah
penafsiran yang terlalu luas atau sewenang-wenang oleh aparat penegak
hukum.
- Larangan Analogi (Analogiverbot): Hakim
dilarang menggunakan penafsiran analogi dalam hukum pidana. Analogi
berarti menerapkan suatu ketentuan pidana pada suatu perbuatan yang tidak
secara eksplisit diatur dalam ketentuan tersebut, hanya karena perbuatan
itu dianggap mirip atau sejenis dengan perbuatan yang diatur. Larangan ini
bertujuan untuk mencegah perluasan cakupan pemidanaan di luar apa yang
secara tegas ditentukan oleh pembentuk undang-undang, demi menjaga
kepastian hukum. Penafsiran ekstensif (memperluas makna kata dalam rumusan
UU) masih dimungkinkan, tetapi harus dibedakan secara tegas dari analogi.
Asas Legalitas dan Hukum
yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) di KUHP Baru
Salah satu perubahan
signifikan dan menjadi bahan diskusi luas dalam KUHP baru (UU 1/2023) adalah
pengakuan terhadap "hukum yang hidup dalam masyarakat" atau hukum
adat sebagai dasar pemidanaan, yang tampaknya merupakan perluasan atau
modifikasi dari asas legalitas formal yang dianut KUHP lama.
- Pasal 2 ayat (1) UU 1/2023:
Menyatakan, "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam Undang-Undang ini.".
- Perluasan Makna Legalitas:
Ketentuan ini secara eksplisit mengakui hukum tidak tertulis (hukum adat
atau kebiasaan yang hidup di masyarakat tertentu) sebagai sumber hukum
pidana yang dapat menjadi dasar pemidanaan, meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam KUHP atau undang-undang lainnya. Ini menandai
pergeseran dari asas legalitas formal (hanya hukum tertulis) menjadi asas
legalitas formal dan materiil.
- Pembatasan dan Syarat:
Pengakuan ini tidak tanpa batas. Pasal 2 ayat (2) UU 1/2023 menetapkan
syarat bahwa hukum yang hidup tersebut harus "sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang
diakui masyarakat bangsa-bangsa". Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (3)
menyatakan bahwa ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum
yang hidup dalam masyarakat akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
- Potensi Tantangan:
Pengakuan hukum yang hidup ini, meskipun bertujuan baik untuk
mengakomodasi rasa keadilan lokal dan nilai-nilai adat, menimbulkan
potensi ketegangan dengan prinsip-prinsip dasar asas legalitas itu
sendiri. Secara inheren, hukum adat bersifat tidak tertulis, seringkali
tidak memiliki rumusan yang presisi (lex certa), dan beragam antar
daerah. Hal ini berpotensi menggerus kepastian hukum yang justru menjadi
tujuan utama asas legalitas. Bagaimana memastikan bahwa hukum adat yang
diterapkan benar-benar "hidup", diketahui oleh masyarakat
setempat, dan tidak bertentangan dengan prinsip hukum nasional serta HAM,
menjadi tantangan besar dalam implementasinya. Keberhasilan penerapan
Pasal 2 UU 1/2023 akan sangat bergantung pada kejelasan dan kehati-hatian
dalam penyusunan Peraturan Pemerintah yang mengaturnya, agar tujuan mengakomodasi
kearifan lokal tidak mengorbankan jaminan kepastian hukum dan perlindungan
individu dari potensi kesewenang-wenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar