Pendahuluan
Sistem hukum di Indonesia,
yang sebagian besar dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Kontinental,
menempatkan hukum perjanjian sebagai bagian sentral dalam mengatur hubungan
hukum antarindividu dan badan hukum. Dalam tatanan hukum perdata Indonesia,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menjadi sumber utama yang
mengatur mengenai perjanjian, khususnya Buku III yang secara spesifik membahas
tentang Perikatan (Verbintenissenrecht).
Sistem hukum perjanjian di
Indonesia menganut prinsip keterbukaan (open system), yang memberikan kebebasan
kepada setiap orang untuk mengadakan perjanjian, baik yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang maupun yang belum. Prinsip ini tercantum dalam Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Tulisan ini akan menguraikan konsep
hukum perjanjian berdasarkan KUHPerdata, meliputi definisi, unsur-unsur
penting, asas-asas yang berlaku, jenis-jenis perjanjian, mekanisme berakhir dan
pembatalannya, dan akibat hukum jika terjadi pelanggaran.
Definisi Hukum Perjanjian
Menurut KUHPerdata
Pasal 1313 KUHPerdata
memberikan definisi fundamental mengenai perjanjian, yang menyatakan bahwa
"Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Definisi ini menekankan
beberapa elemen kunci. Pertama, perjanjian merupakan suatu
"perbuatan," yang mengindikasikan adanya tindakan sukarela dari
pihak-pihak yang terlibat. Kedua, perbuatan ini melibatkan "satu orang
atau lebih" di setiap sisi, menunjukkan bahwa perjanjian dapat melibatkan
banyak pihak. Ketiga, esensi dari perjanjian adalah adanya tindakan
"mengikatkan dirinya," yang berarti timbulnya suatu kewajiban atau
prestasi yang harus dipenuhi oleh satu pihak kepada pihak lain yang berhak atas
pemenuhan prestasi tersebut. Dengan kata lain, perjanjian menciptakan hubungan
hukum yang mengikat antara para pihak.
Dalam konteks hukum perjanjian
di Indonesia, istilah "perjanjian" (overeenkomst) seringkali
digunakan secara bergantian dengan "persetujuan" (toestemming).
Meskipun terdapat perbedaan linguistik, dalam praktik hukum, kedua istilah ini
umumnya merujuk pada kesepakatan yang sama antara para pihak untuk saling
mengikatkan diri. Lebih lanjut, Pasal 1233 KUHPerdata menjelaskan bahwa
perjanjian melahirkan suatu "perikatan" (verbintenis), yang merupakan
hubungan hukum antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain wajib memenuhi
tuntutan tersebut. Dengan demikian, perjanjian adalah sumber utama dari
perikatan, yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya.
Unsur-Unsur Penting Agar
Perjanjian Dianggap Sah
Agar suatu perjanjian dianggap
sah dan mengikat secara hukum berdasarkan KUHPerdata, Pasal 1320 menetapkan
empat syarat kumulatif yang harus dipenuhi. Jika salah satu syarat ini tidak
terpenuhi, perjanjian tersebut dapat menjadi batal demi hukum atau dapat
dibatalkan. Keempat syarat tersebut adalah:
1. Kesepakatan
Para Pihak (Toestemming)
Syarat
pertama adalah adanya kesepakatan atau persesuaian kehendak antara para pihak
yang membuat perjanjian. Kesepakatan ini harus diberikan secara bebas dan
sukarela, tanpa adanya paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan
(bedrog) seperti yang diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Kehendak para pihak
harus bertemu dan saling menyetujui mengenai pokok-pokok atau hal-hal esensial
dari perjanjian. Kesepakatan dapat dinyatakan secara tegas (tertulis atau
lisan) maupun secara diam-diam, tergantung pada sifat perjanjiannya. Adanya
paksaan, kekhilafan, atau penipuan dapat menjadi alasan bagi salah satu pihak
untuk mengajukan pembatalan perjanjian karena dianggap tidak adanya kesepakatan
yang sah.
2. Kecakapan
Untuk Membuat Perikatan (Bekwaamheid)
Syarat
kedua adalah bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus cakap secara hukum
untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa pada
dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap. Mereka yang dianggap tidak cakap menurut
hukum antara lain adalah anak-anak di bawah umur (belum dewasa) dan orang-orang
yang berada di bawah pengampuan (curatele) karena gangguan jiwa atau alasan
lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Tujuan dari syarat kecakapan ini
adalah untuk melindungi individu yang dianggap belum mampu memahami dan
bertanggung jawab atas tindakan hukum yang mereka lakukan.
3. Suatu
Pokok Persoalan Tertentu (Onderwerp)
Syarat
ketiga adalah bahwa perjanjian harus memiliki objek yang jelas dan tertentu.
Pasal 1332 KUHPerdata menyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan yang dapat menjadi objek perjanjian. Selanjutnya, Pasal 1333
KUHPerdata menjelaskan bahwa objek perjanjian setidaknya harus ditentukan
jenisnya. Meskipun jumlahnya tidak perlu pasti pada saat perjanjian dibuat,
asalkan jumlah tersebut dapat ditentukan atau dihitung di kemudian hari, syarat
ini dianggap terpenuhi. Kejelasan objek perjanjian penting untuk memastikan
bahwa hak dan kewajiban para pihak dapat diidentifikasi dan dilaksanakan.
4. Suatu
Sebab Yang Halal (Oorzaak):
Syarat
keempat adalah bahwa sebab atau kausa dari perjanjian harus halal atau tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Pasal 1337
KUHPerdata melarang perjanjian yang memiliki sebab yang bertentangan dengan
hukum, kesusilaan baik, atau ketertiban umum. Sebab yang halal merujuk pada isi
dan tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.
Sebagai contoh, perjanjian untuk melakukan tindakan kriminal atau penipuan akan
dianggap tidak sah karena memiliki sebab yang tidak halal. Lebih lanjut, Pasal
31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan, mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam
perjanjian yang melibatkan pihak-pihak warga negara Indonesia. Ketidakpatuhan
terhadap ketentuan ini dapat menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk
menuntut pembatalan perjanjian karena dianggap tidak memenuhi unsur sebab yang
halal.
Apabila syarat subjektif
(kesepakatan dan kecakapan) tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan
(vernietigbaar). Artinya, perjanjian tersebut tetap berlaku sampai adanya
putusan pengadilan yang membatalkannya atas permohonan pihak yang berkepentingan.
Pihak yang dirugikan memiliki tenggang waktu untuk mengajukan pembatalan.
Sebaliknya, jika syarat objektif (pokok persoalan tertentu dan sebab yang
halal) tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig). Dalam hal
ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki kekuatan hukum
sejak awal, sehingga tidak perlu adanya tindakan pembatalan dari pengadilan.
Asas-Asas Hukum Perjanjian
yang Berlaku di Indonesia
Hukum perjanjian di Indonesia
didasarkan pada beberapa asas fundamental yang menjadi landasan dalam
pembentukan, pelaksanaan, dan penyelesaian sengketa perjanjian. Asas-asas ini
mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianut dalam sistem hukum perdata
Indonesia. Beberapa asas utama tersebut adalah:
1. Asas
Kebebasan Berkontrak (Vrijheid van Contracteren)
Asas
ini merupakan salah satu pilar utama dalam hukum perjanjian, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa "Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya". Asas ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
menentukan isi, bentuk, dan persyaratan perjanjian yang mereka adakan,
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan. Kebebasan ini mencakup kebebasan untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian, memilih pihak dengan siapa mereka ingin berkontrak, dan menentukan
sendiri substansi dari perjanjian tersebut. Asas ini mencerminkan otonomi para
pihak dalam mengatur hubungan hukum mereka.
2. Asas
Konsensualisme (Consensualisme)
Asas
ini menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya lahir atau terjadi pada saat
tercapainya kesepakatan antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang
diperjanjikan. Asas ini tercermin dalam definisi perjanjian pada Pasal 1313
KUHPerdata, yang menekankan adanya perbuatan mengikatkan diri. Pada umumnya,
tidak diperlukan formalitas tertentu untuk sahnya suatu perjanjian, kecuali
jika undang-undang menentukan lain. Kesepakatan dapat terjadi secara lisan
maupun tertulis. Asas ini mengedepankan prinsip bahwa pertemuan kehendak antara
para pihak merupakan dasar dari terbentuknya suatu ikatan hukum.
3. Asas
Pacta Sunt Servanda (Janji Harus Ditepati)
Asas
ini memiliki arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para
pihak sebagai undang-undang. Asas ini juga tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata. Para pihak wajib mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian yang
telah mereka sepakati dengan itikad baik. Perjanjian tidak dapat ditarik
kembali atau dibatalkan secara sepihak, kecuali dengan kesepakatan kedua belah
pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Asas ini
memberikan kepastian hukum dan menekankan pentingnya memenuhi janji yang telah
dibuat.
4. Asas
Itikad Baik (Goede Trouw)
Asas
ini menyatakan bahwa dalam melaksanakan suatu perjanjian, para pihak harus
bertindak dengan itikad baik, yaitu dengan kejujuran dan niat yang bersih.
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata secara tegas menyatakan bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini tidak hanya berlaku pada tahap
pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada tahap pembentukan dan penafsiran
perjanjian. Itikad baik menuntut adanya kejujuran, keterbukaan, dan kepatutan
dalam berinteraksi antar pihak dalam konteks perjanjian.
Selain asas-asas utama di
atas, terdapat pula asas-asas lain yang relevan dalam hukum perjanjian di
Indonesia, seperti asas kepercayaan, asas personalitas (perjanjian hanya
mengikat para pihak yang membuatnya), asas persamaan hukum, asas keseimbangan,
asas kepastian hukum, dan asas moral. Asas-asas ini saling melengkapi dan
memberikan kerangka nilai yang lebih luas bagi pemahaman dan penerapan hukum
perjanjian.
Berbagai Jenis Perjanjian yang
Diatur dalam KUHPerdata dan Praktik Hukum di Indonesia
KUHPerdata mengatur berbagai
jenis perjanjian secara spesifik, yang dikenal sebagai perjanjian bernama
(benoemde overeenkomsten). Selain itu, dalam praktik hukum di Indonesia juga
diakui adanya perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomsten) dan perjanjian
campuran (gemengde overeenkomsten) yang lahir dari asas kebebasan berkontrak.
Perjanjian Bernama dalam
KUHPerdata:
- Jual Beli (Koop en Verkoop):
Diatur dalam Pasal 1457 hingga 1540 KUHPerdata. Perjanjian ini dianggap
telah terjadi antara penjual dan pembeli segera setelah mereka mencapai
kesepakatan mengenai barang dan harganya.
- Sewa Menyewa (Huur en Verhuur):
Diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata. Merupakan perjanjian di mana satu
pihak mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada
pihak lain selama waktu tertentu dengan pembayaran harga yang disepakati.
- Pinjam Meminjam (Verbruikleen dan
Bruikleen): Diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata untuk
pinjam pakai (bruikleen) dan pinjam uang atau barang habis pakai
(verbruikleen). Pinjam meminjam adalah perjanjian di mana satu pihak
memberikan suatu barang atau sejumlah uang kepada pihak lain untuk dipakai
dengan syarat mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama.
Perjanjian Tidak Bernama dan
Perjanjian Campuran:
- Perjanjian Kerjasama
(Samenwerkingsovereenkomst) / Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding - MoU): Meskipun tidak diatur secara khusus
dalam KUHPerdata, perjanjian kerjasama banyak digunakan dalam praktik
bisnis untuk mengatur hubungan kerja sama antara dua pihak atau lebih.
Perjanjian ini sering kali memuat ketentuan mengenai hak dan kewajiban
para pihak dalam menjalankan kerjasama.
- Perjanjian Kerja (Arbeidsovereenkomst): Merupakan
kesepakatan antara pekerja dan pengusaha yang mengatur syarat-syarat
kerja, hak, dan kewajiban masing-masing pihak. Dasar hukumnya tidak hanya
Pasal 1313 KUHPerdata, tetapi juga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
- Perjanjian Pinjaman (Kreditovereenkomst):
Merupakan serangkaian perjanjian antara debitur dan kreditur terkait
pemberian fasilitas pinjaman. Dasar hukumnya antara lain Pasal 1754
KUHPerdata.
- Perjanjian Konsinyasi:
Suatu perjanjian di mana pemilik barang menyerahkan barangnya kepada pihak
lain untuk dijualkan dengan harga dan syarat tertentu.
- Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement):
Perjanjian di mana satu pihak memberikan hak kepada pihak lain untuk
menjalankan usaha dengan menggunakan merek, sistem, dan prosedur yang
telah ditetapkan.
Selain berdasarkan pengaturan
dalam undang-undang, perjanjian juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
karakteristiknya :
- Perjanjian Sepihak (Eenzijdige
Overeenkomst) dan Perjanjian Timbal Balik (Wederkerige Overeenkomst):
Berdasarkan apakah kewajiban hanya ada pada satu pihak atau pada kedua
belah pihak.
- Perjanjian Cuma-Cuma (Om Niet) dan
Perjanjian Atas Beban (Onder Bezwarende Titel):
Berdasarkan apakah satu pihak memberikan keuntungan kepada pihak lain
tanpa menerima imbalan.
- Perjanjian Konsensuil (Consensueel),
Perjanjian Riil (Reƫel), dan Perjanjian Formil (Formeel):
Berdasarkan persyaratan untuk sahnya perjanjian (kesepakatan saja,
penyerahan objek, atau bentuk tertentu).
- Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian
Non-Obligatoir: Berdasarkan apakah perjanjian tersebut
menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan hak atau melakukan tindakan lain.
Contoh perjanjian non-obligatoir antara lain perjanjian zakelijk
(pemindahan hak), bevifs (pembuktian), liberatoir (pembebasan utang), dan
vaststelling (perdamaian).
Berakhir atau Dibatalkannya
Suatu Perjanjian Menurut Hukum Perdata Indonesia
Menurut hukum perdata
Indonesia, suatu perjanjian dapat berakhir atau dibatalkan karena beberapa
alasan:
Berakhirnya Perjanjian:
- Pembayaran atau Pelaksanaan Prestasi
(Nakoming): Cara yang paling umum perjanjian berakhir
adalah dengan dipenuhinya semua kewajiban (prestasi) oleh para pihak
sesuai dengan isi perjanjian.
- Kesepakatan Para Pihak (Dading):
Para pihak dapat secara sukarela sepakat untuk mengakhiri perjanjian yang
telah mereka buat.
- Berlakunya Suatu Ketentuan Undang-Undang:
Beberapa ketentuan undang-undang dapat menyebabkan berakhirnya suatu
perjanjian, misalnya berakhirnya jangka waktu perjanjian sewa menyewa.
- Terjadinya Suatu Syarat Batal (Ontbindende
Voorwaarde): Jika dalam perjanjian terdapat suatu
syarat batal, maka dengan terjadinya syarat tersebut, perjanjian akan
berakhir.
- Meninggalnya Salah Satu Pihak:
Dalam perjanjian yang bersifat sangat pribadi (misalnya perjanjian kerja
untuk pekerjaan tertentu yang memerlukan keahlian khusus), meninggalnya
salah satu pihak dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian.
- Keadaan Memaksa (Overmacht):
Jika terjadi keadaan di luar kemampuan manusia (force majeure) yang
menyebabkan tidak mungkinnya pelaksanaan perjanjian, maka perjanjian dapat
berakhir.
Pembatalan Perjanjian:
- Adanya Cacat Kehendak (Wilsgebreken):
Jika dalam pembentukan perjanjian terdapat unsur paksaan, kekhilafan, atau
penipuan, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan
perjanjian ke pengadilan. Perjanjian yang demikian disebut dapat
dibatalkan (vernietigbaar).
- Tidak Dipenuhinya Syarat Objektif:
Jika perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, yaitu tidak adanya objek
yang jelas atau sebab yang tidak halal, maka perjanjian tersebut batal
demi hukum (nietig).
- Wanprestasi (Niet-Nakoming):
Jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi), pihak
yang lain dapat meminta pembatalan perjanjian melalui pengadilan, selain
menuntut ganti rugi.
Perbedaan antara berakhirnya
perjanjian dan pembatalan perjanjian terletak pada akibat hukumnya. Berakhirnya
perjanjian umumnya tidak memiliki efek surut, kecuali disepakati lain oleh para
pihak. Sementara itu, pembatalan perjanjian memiliki efek surut, artinya
perjanjian dianggap tidak pernah ada sejak awal.
Akibat Hukum Jika Salah Satu
Pihak Melanggar Perjanjian (Wanprestasi) dan Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh
Pihak yang Dirugikan
Wanprestasi adalah keadaan di
mana salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana yang telah diperjanjikan. Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa
tidak melaksanakan sama sekali, melaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan, melaksanakan tetapi terlambat, atau melakukan sesuatu yang
dilarang dalam perjanjian.
Akibat hukum dari wanprestasi
bagi pihak yang melakukan pelanggaran adalah timbulnya kewajiban untuk membayar
ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Ganti rugi ini dapat meliputi kerugian
materiil (biaya-biaya yang telah dikeluarkan), kerugian immateriil (kerugian
yang tidak dapat dinilai dengan uang, seperti kerugian reputasi), dan
kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Pihak yang dirugikan akibat
wanprestasi memiliki beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh :
- Menuntut Pelaksanaan Perjanjian
(Nakoming): Pihak yang dirugikan dapat mengajukan
tuntutan kepada pihak yang wanprestasi untuk tetap melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian.
- Menuntut Ganti Rugi (Schadevergoeding):
Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi atas kerugian yang
dideritanya akibat wanprestasi.
- Menuntut Pembatalan Perjanjian
(Ontbinding): Jika wanprestasi yang dilakukan cukup
signifikan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan
perjanjian ke pengadilan. Pembatalan ini akan membebaskan kedua belah
pihak dari kewajiban mereka di masa depan dan dapat diikuti dengan tuntutan
ganti rugi.
- Menuntut Pelaksanaan Perjanjian Disertai
Ganti Rugi: Pihak yang dirugikan juga dapat menuntut
pelaksanaan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi atas keterlambatan
atau pelaksanaan yang tidak sempurna.
Sebelum mengajukan tuntutan
hukum, pihak yang dirugikan biasanya akan mengirimkan surat teguran atau
peringatan (somasi) kepada pihak yang wanprestasi. Somasi ini bertujuan untuk
memberikan kesempatan kepada pihak yang wanprestasi untuk memperbaiki kelalaiannya
dan memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tertentu. Jika setelah somasi
tidak ada perbaikan, maka pihak yang dirugikan dapat melanjutkan upaya hukum
melalui pengadilan.
Kesimpulan
Konsep hukum perjanjian
menurut hukum perdata Indonesia, yang bersumber utama dari KUHPerdata,
merupakan fondasi penting dalam mengatur berbagai hubungan hukum dan ekonomi.
Definisi perjanjian sebagai suatu perbuatan mengikatkan diri, syarat sah
perjanjian yang meliputi kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang
halal, serta asas-asas fundamental seperti kebebasan berkontrak,
konsensualisme, pacta sunt servanda, dan itikad baik, membentuk kerangka dasar
bagi pembentukan dan pelaksanaan perjanjian di Indonesia.
Berbagai jenis perjanjian,
baik yang diatur dalam KUHPerdata maupun yang lahir dari praktik hukum,
menunjukkan fleksibilitas sistem hukum Indonesia dalam mengakomodasi kebutuhan
masyarakat. Pemahaman yang mendalam mengenai konsep-konsep ini sangat penting
bagi individu dan badan hukum yang melakukan transaksi dan hubungan hukum di
Indonesia, guna memastikan kepastian dan keadilan dalam pelaksanaan hak dan
kewajiban yang timbul dari perjanjian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar