Sabtu, 05 April 2025

Hukum Perjanjian

Pendahuluan

Sistem hukum di Indonesia, yang sebagian besar dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Kontinental, menempatkan hukum perjanjian sebagai bagian sentral dalam mengatur hubungan hukum antarindividu dan badan hukum. Dalam tatanan hukum perdata Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menjadi sumber utama yang mengatur mengenai perjanjian, khususnya Buku III yang secara spesifik membahas tentang Perikatan (Verbintenissenrecht).

Sistem hukum perjanjian di Indonesia menganut prinsip keterbukaan (open system), yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mengadakan perjanjian, baik yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang maupun yang belum. Prinsip ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Tulisan ini akan menguraikan konsep hukum perjanjian berdasarkan KUHPerdata, meliputi definisi, unsur-unsur penting, asas-asas yang berlaku, jenis-jenis perjanjian, mekanisme berakhir dan pembatalannya, dan akibat hukum jika terjadi pelanggaran.  

Definisi Hukum Perjanjian Menurut KUHPerdata

Pasal 1313 KUHPerdata memberikan definisi fundamental mengenai perjanjian, yang menyatakan bahwa "Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Definisi ini menekankan beberapa elemen kunci. Pertama, perjanjian merupakan suatu "perbuatan," yang mengindikasikan adanya tindakan sukarela dari pihak-pihak yang terlibat. Kedua, perbuatan ini melibatkan "satu orang atau lebih" di setiap sisi, menunjukkan bahwa perjanjian dapat melibatkan banyak pihak. Ketiga, esensi dari perjanjian adalah adanya tindakan "mengikatkan dirinya," yang berarti timbulnya suatu kewajiban atau prestasi yang harus dipenuhi oleh satu pihak kepada pihak lain yang berhak atas pemenuhan prestasi tersebut. Dengan kata lain, perjanjian menciptakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak.  

Dalam konteks hukum perjanjian di Indonesia, istilah "perjanjian" (overeenkomst) seringkali digunakan secara bergantian dengan "persetujuan" (toestemming). Meskipun terdapat perbedaan linguistik, dalam praktik hukum, kedua istilah ini umumnya merujuk pada kesepakatan yang sama antara para pihak untuk saling mengikatkan diri. Lebih lanjut, Pasal 1233 KUHPerdata menjelaskan bahwa perjanjian melahirkan suatu "perikatan" (verbintenis), yang merupakan hubungan hukum antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain wajib memenuhi tuntutan tersebut. Dengan demikian, perjanjian adalah sumber utama dari perikatan, yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya.  

Unsur-Unsur Penting Agar Perjanjian Dianggap Sah

Agar suatu perjanjian dianggap sah dan mengikat secara hukum berdasarkan KUHPerdata, Pasal 1320 menetapkan empat syarat kumulatif yang harus dipenuhi. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dapat menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Keempat syarat tersebut adalah:  

1.  Kesepakatan Para Pihak (Toestemming)

Syarat pertama adalah adanya kesepakatan atau persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian. Kesepakatan ini harus diberikan secara bebas dan sukarela, tanpa adanya paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog) seperti yang diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Kehendak para pihak harus bertemu dan saling menyetujui mengenai pokok-pokok atau hal-hal esensial dari perjanjian. Kesepakatan dapat dinyatakan secara tegas (tertulis atau lisan) maupun secara diam-diam, tergantung pada sifat perjanjiannya. Adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan dapat menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk mengajukan pembatalan perjanjian karena dianggap tidak adanya kesepakatan yang sah.  

2.  Kecakapan Untuk Membuat Perikatan (Bekwaamheid)

Syarat kedua adalah bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus cakap secara hukum untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Mereka yang dianggap tidak cakap menurut hukum antara lain adalah anak-anak di bawah umur (belum dewasa) dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan (curatele) karena gangguan jiwa atau alasan lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Tujuan dari syarat kecakapan ini adalah untuk melindungi individu yang dianggap belum mampu memahami dan bertanggung jawab atas tindakan hukum yang mereka lakukan.  

3. Suatu Pokok Persoalan Tertentu (Onderwerp)

Syarat ketiga adalah bahwa perjanjian harus memiliki objek yang jelas dan tertentu. Pasal 1332 KUHPerdata menyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi objek perjanjian. Selanjutnya, Pasal 1333 KUHPerdata menjelaskan bahwa objek perjanjian setidaknya harus ditentukan jenisnya. Meskipun jumlahnya tidak perlu pasti pada saat perjanjian dibuat, asalkan jumlah tersebut dapat ditentukan atau dihitung di kemudian hari, syarat ini dianggap terpenuhi. Kejelasan objek perjanjian penting untuk memastikan bahwa hak dan kewajiban para pihak dapat diidentifikasi dan dilaksanakan.  

4.  Suatu Sebab Yang Halal (Oorzaak):

Syarat keempat adalah bahwa sebab atau kausa dari perjanjian harus halal atau tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Pasal 1337 KUHPerdata melarang perjanjian yang memiliki sebab yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan baik, atau ketertiban umum. Sebab yang halal merujuk pada isi dan tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Sebagai contoh, perjanjian untuk melakukan tindakan kriminal atau penipuan akan dianggap tidak sah karena memiliki sebab yang tidak halal. Lebih lanjut, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan pihak-pihak warga negara Indonesia. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan ini dapat menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut pembatalan perjanjian karena dianggap tidak memenuhi unsur sebab yang halal.  

Apabila syarat subjektif (kesepakatan dan kecakapan) tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar). Artinya, perjanjian tersebut tetap berlaku sampai adanya putusan pengadilan yang membatalkannya atas permohonan pihak yang berkepentingan. Pihak yang dirugikan memiliki tenggang waktu untuk mengajukan pembatalan. Sebaliknya, jika syarat objektif (pokok persoalan tertentu dan sebab yang halal) tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig). Dalam hal ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki kekuatan hukum sejak awal, sehingga tidak perlu adanya tindakan pembatalan dari pengadilan.  

Asas-Asas Hukum Perjanjian yang Berlaku di Indonesia

Hukum perjanjian di Indonesia didasarkan pada beberapa asas fundamental yang menjadi landasan dalam pembentukan, pelaksanaan, dan penyelesaian sengketa perjanjian. Asas-asas ini mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianut dalam sistem hukum perdata Indonesia. Beberapa asas utama tersebut adalah:  

1.  Asas Kebebasan Berkontrak (Vrijheid van Contracteren)

Asas ini merupakan salah satu pilar utama dalam hukum perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Asas ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan isi, bentuk, dan persyaratan perjanjian yang mereka adakan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Kebebasan ini mencakup kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, memilih pihak dengan siapa mereka ingin berkontrak, dan menentukan sendiri substansi dari perjanjian tersebut. Asas ini mencerminkan otonomi para pihak dalam mengatur hubungan hukum mereka.  

2. Asas Konsensualisme (Consensualisme)

Asas ini menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya lahir atau terjadi pada saat tercapainya kesepakatan antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan. Asas ini tercermin dalam definisi perjanjian pada Pasal 1313 KUHPerdata, yang menekankan adanya perbuatan mengikatkan diri. Pada umumnya, tidak diperlukan formalitas tertentu untuk sahnya suatu perjanjian, kecuali jika undang-undang menentukan lain. Kesepakatan dapat terjadi secara lisan maupun tertulis. Asas ini mengedepankan prinsip bahwa pertemuan kehendak antara para pihak merupakan dasar dari terbentuknya suatu ikatan hukum.  

3.  Asas Pacta Sunt Servanda (Janji Harus Ditepati)

Asas ini memiliki arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang. Asas ini juga tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Para pihak wajib mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka sepakati dengan itikad baik. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak, kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Asas ini memberikan kepastian hukum dan menekankan pentingnya memenuhi janji yang telah dibuat.  

4.  Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Asas ini menyatakan bahwa dalam melaksanakan suatu perjanjian, para pihak harus bertindak dengan itikad baik, yaitu dengan kejujuran dan niat yang bersih. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata secara tegas menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini tidak hanya berlaku pada tahap pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada tahap pembentukan dan penafsiran perjanjian. Itikad baik menuntut adanya kejujuran, keterbukaan, dan kepatutan dalam berinteraksi antar pihak dalam konteks perjanjian.  

Selain asas-asas utama di atas, terdapat pula asas-asas lain yang relevan dalam hukum perjanjian di Indonesia, seperti asas kepercayaan, asas personalitas (perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya), asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, dan asas moral. Asas-asas ini saling melengkapi dan memberikan kerangka nilai yang lebih luas bagi pemahaman dan penerapan hukum perjanjian.  

Berbagai Jenis Perjanjian yang Diatur dalam KUHPerdata dan Praktik Hukum di Indonesia

KUHPerdata mengatur berbagai jenis perjanjian secara spesifik, yang dikenal sebagai perjanjian bernama (benoemde overeenkomsten). Selain itu, dalam praktik hukum di Indonesia juga diakui adanya perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomsten) dan perjanjian campuran (gemengde overeenkomsten) yang lahir dari asas kebebasan berkontrak.  

Perjanjian Bernama dalam KUHPerdata:

  • Jual Beli (Koop en Verkoop): Diatur dalam Pasal 1457 hingga 1540 KUHPerdata. Perjanjian ini dianggap telah terjadi antara penjual dan pembeli segera setelah mereka mencapai kesepakatan mengenai barang dan harganya.  
  • Sewa Menyewa (Huur en Verhuur): Diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata. Merupakan perjanjian di mana satu pihak mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak lain selama waktu tertentu dengan pembayaran harga yang disepakati.  
  • Pinjam Meminjam (Verbruikleen dan Bruikleen): Diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata untuk pinjam pakai (bruikleen) dan pinjam uang atau barang habis pakai (verbruikleen). Pinjam meminjam adalah perjanjian di mana satu pihak memberikan suatu barang atau sejumlah uang kepada pihak lain untuk dipakai dengan syarat mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama.  

Perjanjian Tidak Bernama dan Perjanjian Campuran:

  • Perjanjian Kerjasama (Samenwerkingsovereenkomst) / Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding - MoU): Meskipun tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, perjanjian kerjasama banyak digunakan dalam praktik bisnis untuk mengatur hubungan kerja sama antara dua pihak atau lebih. Perjanjian ini sering kali memuat ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam menjalankan kerjasama.  
  • Perjanjian Kerja (Arbeidsovereenkomst): Merupakan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha yang mengatur syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban masing-masing pihak. Dasar hukumnya tidak hanya Pasal 1313 KUHPerdata, tetapi juga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.  
  • Perjanjian Pinjaman (Kreditovereenkomst): Merupakan serangkaian perjanjian antara debitur dan kreditur terkait pemberian fasilitas pinjaman. Dasar hukumnya antara lain Pasal 1754 KUHPerdata.  
  • Perjanjian Konsinyasi: Suatu perjanjian di mana pemilik barang menyerahkan barangnya kepada pihak lain untuk dijualkan dengan harga dan syarat tertentu.
  • Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement): Perjanjian di mana satu pihak memberikan hak kepada pihak lain untuk menjalankan usaha dengan menggunakan merek, sistem, dan prosedur yang telah ditetapkan.

Selain berdasarkan pengaturan dalam undang-undang, perjanjian juga dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristiknya :  

  • Perjanjian Sepihak (Eenzijdige Overeenkomst) dan Perjanjian Timbal Balik (Wederkerige Overeenkomst): Berdasarkan apakah kewajiban hanya ada pada satu pihak atau pada kedua belah pihak.
  • Perjanjian Cuma-Cuma (Om Niet) dan Perjanjian Atas Beban (Onder Bezwarende Titel): Berdasarkan apakah satu pihak memberikan keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima imbalan.
  • Perjanjian Konsensuil (Consensueel), Perjanjian Riil (ReĆ«el), dan Perjanjian Formil (Formeel): Berdasarkan persyaratan untuk sahnya perjanjian (kesepakatan saja, penyerahan objek, atau bentuk tertentu).
  • Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian Non-Obligatoir: Berdasarkan apakah perjanjian tersebut menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan hak atau melakukan tindakan lain. Contoh perjanjian non-obligatoir antara lain perjanjian zakelijk (pemindahan hak), bevifs (pembuktian), liberatoir (pembebasan utang), dan vaststelling (perdamaian).  

Berakhir atau Dibatalkannya Suatu Perjanjian Menurut Hukum Perdata Indonesia

Menurut hukum perdata Indonesia, suatu perjanjian dapat berakhir atau dibatalkan karena beberapa alasan:

Berakhirnya Perjanjian:

  • Pembayaran atau Pelaksanaan Prestasi (Nakoming): Cara yang paling umum perjanjian berakhir adalah dengan dipenuhinya semua kewajiban (prestasi) oleh para pihak sesuai dengan isi perjanjian.
  • Kesepakatan Para Pihak (Dading): Para pihak dapat secara sukarela sepakat untuk mengakhiri perjanjian yang telah mereka buat.  
  • Berlakunya Suatu Ketentuan Undang-Undang: Beberapa ketentuan undang-undang dapat menyebabkan berakhirnya suatu perjanjian, misalnya berakhirnya jangka waktu perjanjian sewa menyewa.
  • Terjadinya Suatu Syarat Batal (Ontbindende Voorwaarde): Jika dalam perjanjian terdapat suatu syarat batal, maka dengan terjadinya syarat tersebut, perjanjian akan berakhir.
  • Meninggalnya Salah Satu Pihak: Dalam perjanjian yang bersifat sangat pribadi (misalnya perjanjian kerja untuk pekerjaan tertentu yang memerlukan keahlian khusus), meninggalnya salah satu pihak dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian.
  • Keadaan Memaksa (Overmacht): Jika terjadi keadaan di luar kemampuan manusia (force majeure) yang menyebabkan tidak mungkinnya pelaksanaan perjanjian, maka perjanjian dapat berakhir.

Pembatalan Perjanjian:

  • Adanya Cacat Kehendak (Wilsgebreken): Jika dalam pembentukan perjanjian terdapat unsur paksaan, kekhilafan, atau penipuan, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian ke pengadilan. Perjanjian yang demikian disebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).  
  • Tidak Dipenuhinya Syarat Objektif: Jika perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, yaitu tidak adanya objek yang jelas atau sebab yang tidak halal, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig).  
  • Wanprestasi (Niet-Nakoming): Jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi), pihak yang lain dapat meminta pembatalan perjanjian melalui pengadilan, selain menuntut ganti rugi.  

Perbedaan antara berakhirnya perjanjian dan pembatalan perjanjian terletak pada akibat hukumnya. Berakhirnya perjanjian umumnya tidak memiliki efek surut, kecuali disepakati lain oleh para pihak. Sementara itu, pembatalan perjanjian memiliki efek surut, artinya perjanjian dianggap tidak pernah ada sejak awal.

Akibat Hukum Jika Salah Satu Pihak Melanggar Perjanjian (Wanprestasi) dan Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh Pihak yang Dirugikan

Wanprestasi adalah keadaan di mana salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan. Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan sama sekali, melaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, melaksanakan tetapi terlambat, atau melakukan sesuatu yang dilarang dalam perjanjian.  

Akibat hukum dari wanprestasi bagi pihak yang melakukan pelanggaran adalah timbulnya kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Ganti rugi ini dapat meliputi kerugian materiil (biaya-biaya yang telah dikeluarkan), kerugian immateriil (kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang, seperti kerugian reputasi), dan kehilangan keuntungan yang diharapkan.  

Pihak yang dirugikan akibat wanprestasi memiliki beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh :  

  • Menuntut Pelaksanaan Perjanjian (Nakoming): Pihak yang dirugikan dapat mengajukan tuntutan kepada pihak yang wanprestasi untuk tetap melaksanakan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian.
  • Menuntut Ganti Rugi (Schadevergoeding): Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya akibat wanprestasi.
  • Menuntut Pembatalan Perjanjian (Ontbinding): Jika wanprestasi yang dilakukan cukup signifikan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian ke pengadilan. Pembatalan ini akan membebaskan kedua belah pihak dari kewajiban mereka di masa depan dan dapat diikuti dengan tuntutan ganti rugi.
  • Menuntut Pelaksanaan Perjanjian Disertai Ganti Rugi: Pihak yang dirugikan juga dapat menuntut pelaksanaan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi atas keterlambatan atau pelaksanaan yang tidak sempurna.

Sebelum mengajukan tuntutan hukum, pihak yang dirugikan biasanya akan mengirimkan surat teguran atau peringatan (somasi) kepada pihak yang wanprestasi. Somasi ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang wanprestasi untuk memperbaiki kelalaiannya dan memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tertentu. Jika setelah somasi tidak ada perbaikan, maka pihak yang dirugikan dapat melanjutkan upaya hukum melalui pengadilan.  

Kesimpulan

Konsep hukum perjanjian menurut hukum perdata Indonesia, yang bersumber utama dari KUHPerdata, merupakan fondasi penting dalam mengatur berbagai hubungan hukum dan ekonomi. Definisi perjanjian sebagai suatu perbuatan mengikatkan diri, syarat sah perjanjian yang meliputi kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal, serta asas-asas fundamental seperti kebebasan berkontrak, konsensualisme, pacta sunt servanda, dan itikad baik, membentuk kerangka dasar bagi pembentukan dan pelaksanaan perjanjian di Indonesia.

Berbagai jenis perjanjian, baik yang diatur dalam KUHPerdata maupun yang lahir dari praktik hukum, menunjukkan fleksibilitas sistem hukum Indonesia dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Pemahaman yang mendalam mengenai konsep-konsep ini sangat penting bagi individu dan badan hukum yang melakukan transaksi dan hubungan hukum di Indonesia, guna memastikan kepastian dan keadilan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...