1. Pendahuluan
Dalam sistem hukum
administrasi negara (HAN) Indonesia, Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
memegang peranan sentral sebagai salah satu instrumen yuridis utama yang
digunakan oleh badan atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsi
administrasi, baik yang bersifat pengaturan, pelayanan, pembangunan,
pemberdayaan, maupun perlindungan. KTUN pada hakikatnya merupakan suatu
tindakan hukum publik yang bersifat sepihak (eenzijdige
publiekrechtelijke rechtshandeling), yang dimaksudkan untuk menciptakan,
mengubah, atau mengakhiri hubungan hukum dalam ranah administrasi.
Sebagai negara hukum (rechtsstaat),
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, segala tindakan pemerintahan, termasuk
penerbitan KTUN, haruslah didasarkan pada hukum. Prinsip keabsahan (rechtmatigheid)
tindakan pemerintahan ini menuntut agar setiap KTUN tidak hanya memiliki dasar
kewenangan yang jelas (asas legalitas) , tetapi juga harus sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan dan substansi hukum yang berlaku, termasuk Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Keabsahan KTUN menjadi krusial tidak
hanya untuk menjamin tertib administrasi pemerintahan, tetapi juga untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dari
potensi kesewenang-wenangan.
Namun, dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan, tidak jarang KTUN diterbitkan dengan mengandung
cacat hukum (juridische gebreken). Cacat hukum ini dapat bersumber
dari berbagai aspek, seperti ketiadaan atau pelampauan wewenang (onbevoegdheid),
kesalahan prosedur (procedurele gebreken), maupun kekurangan
dalam substansi atau materi keputusan (substantiele gebreken).
Adanya cacat hukum tersebut dapat mengakibatkan suatu KTUN menjadi tidak sah
atau tidak berlaku (niet-rechtsgeldig).
Hukum administrasi negara,
baik dalam doktrin maupun perkembangannya dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia, mengenal dua konsekuensi hukum utama akibat adanya cacat dalam
KTUN, yaitu Putusan Nietig (yang dalam konteks UU
Administrasi Pemerintahan seringkali diterjemahkan sebagai "Tidak
Sah") dan Putusan Vernietigbaar (yang dalam konteks UU
Administrasi Pemerintahan seringkali diterjemahkan sebagai "Batal").
Pembedaan antara kedua konsep ini memiliki implikasi hukum yang fundamental,
terutama terkait dengan saat berlakunya ketidakabsahan dan proses
pembatalannya.
Tulisan ini bertujuan untuk
melakukan analisis mendalam terhadap konsep Putusan Nietig dan Putusan
Vernietigbaar dalam konteks Hukum Administrasi Negara Indonesia. Analisis
akan mencakup definisi, akibat hukum, dasar hukum atau alasan-alasan yang
menyebabkannya, perbandingan mendasar antara keduanya, mekanisme penyelesaian
sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), contoh-contoh kasus dalam
praktik, serta signifikansi pembedaan kedua konsep ini dalam menjamin kepastian
hukum dan perlindungan hak warga negara.
Pembahasan akan didasarkan
pada kajian doktrin hukum administrasi, yurisprudensi, serta peraturan
perundang-undangan yang relevan, khususnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) sebagaimana telah diubah, serta Undang-Undang
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Konsep Putusan Nietig
2.1. Definisi, Penjelasan, dan
Terminologi
Konsep Nietig dalam
hukum administrasi merujuk pada suatu keadaan di mana sebuah KTUN, karena
mengandung cacat hukum yang sangat fundamental, dianggap tidak pernah
ada (never existed) sejak saat diterbitkan. Artinya, bagi hukum, perbuatan
penerbitan KTUN tersebut dan segala akibat hukum yang ditimbulkannya dianggap
tidak pernah terjadi.
Dalam doktrin hukum
administrasi, terdapat beberapa terminologi yang berkaitan erat dan seringkali
digunakan secara bergantian atau tumpang tindih dengan Nietig:
- Nietig van Rechtswege (Batal
Demi Hukum): Ini adalah bentuk Nietig yang
paling sering dibahas. Kebatalan terjadi secara otomatis (ipso
jure) berdasarkan hukum itu sendiri, tanpa memerlukan adanya putusan
pembatalan dari hakim atau badan administrasi lain yang berwenang.
Kebatalan otomatis ini terjadi karena KTUN tersebut mengandung cacat atau
kekurangan yang bersifat esensial (essentieel gebrek). Kekurangan
esensial yang paling utama dan secara konsisten diakui sebagai penyebab Nietig
van Rechtswege adalah ketiadaan wewenang yang nyata (nyata-nyata
tanpa wewenang atau kennelijk onbevoegd) dari badan atau
pejabat yang menerbitkan KTUN.
- Absoluut Nietig
(Batal Mutlak): Istilah ini sering digunakan sebagai
sinonim untuk Nietig atau Nietig van Rechtswege.
Penekanannya adalah pada sifat kebatalan yang berlaku mutlak, artinya
berlaku terhadap siapa saja dan dapat dituntut atau dinyatakan oleh setiap
orang yang berkepentingan. Akibat hukumnya adalah semua perbuatan hukum
yang terkait dengan KTUN tersebut dianggap belum pernah ada, sejalan
dengan prinsip fiction theory.
- Relatief Nietig
(Batal Nisbi): Konsep ini, meskipun kadang disebut,
kurang sentral dalam perbandingan utama Nietig dan Vernietigbaar.
Relatief Nietig merujuk pada keadaan di mana pembatalan suatu
perbuatan hukum hanya dapat dituntut oleh orang-orang tertentu saja.
Konsep ini secara fungsional lebih mendekati Vernietigbaar.
Dalam konteks peraturan
perundang-undangan Indonesia modern, khususnya UU AP, istilah yang secara
fungsional setara dengan Nietig atau Nietig van Rechtswege
adalah "Tidak Sah". Pasal 70 ayat (1) UU AP (sebagaimana dirujuk
dalam analisis ) menyatakan bahwa keputusan dan/atau tindakan yang "Tidak
Sah" tidak mengikat sejak saat ditetapkan dan segala akibat hukum yang
ditimbulkan dianggap tidak pernah ada. Definisi dalam Pasal 69 ayat (1) UU
AP (sebagaimana dirujuk dalam analisis) juga menegaskan bahwa keputusan yang
"Tidak Sah" adalah yang ditetapkan oleh badan/pejabat yang tidak
berwenang, sehingga dianggap tidak pernah ada dan keadaan dikembalikan seperti
semula. Akibat hukum yang berlaku surut dan anggapan tidak pernah ada ini
sangat paralel dengan konsep Nietig dalam doktrin.
2.2. Akibat Hukum
Konsekuensi yuridis utama dari
suatu KTUN yang dinyatakan Nietig atau "Tidak Sah" adalah
sebagai berikut:
- Berlaku Surut (Ex Tunc):
Akibat hukum yang paling fundamental adalah bahwa kebatalan berlaku
surut sejak saat KTUN tersebut diterbitkan atau ditetapkan. Keputusan
tersebut, beserta seluruh akibat hukum yang telah atau mungkin
ditimbulkannya, dianggap tidak pernah ada (null and void ab initio).
Implikasinya, keadaan hukum harus dikembalikan seperti keadaan semula
sebelum KTUN tersebut diterbitkan (restitutio in integrum).
- Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Mengikat:
Sebagai konsekuensi logis dari anggapan tidak pernah ada, KTUN yang Nietig/Tidak
Sah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (rechtskracht)
bagi siapapun.
- Tidak Dapat Dilaksanakan (Tidak
Eksekutabel): Karena tidak memiliki kekuatan hukum,
KTUN tersebut tidak dapat dilaksanakan atau dieksekusi (niet
uitvoerbaar).
- Konsekuensi Finansial:
UU AP secara spesifik mengatur bahwa jika KTUN yang dinyatakan "Tidak
Sah" telah mengakibatkan terjadinya pembayaran dari keuangan negara,
maka badan dan/atau pejabat pemerintahan yang bertanggung jawab wajib
mengembalikan uang tersebut ke kas negara.
- Tidak Memerlukan Pembatalan Formal (Secara
Teori): Doktrin, khususnya untuk Nietig van
Rechtswege, menyatakan bahwa kebatalan terjadi secara otomatis karena
hukum itu sendiri. Tidak diperlukan putusan pembatalan dari hakim atau
badan lain. Namun, dalam praktik hukum, demi kepastian hukum (rechtszekerheid),
seringkali tetap diperlukan adanya putusan pengadilan (PTUN) yang
bersifat deklaratif untuk secara formal menyatakan bahwa KTUN tersebut
memang Nietig atau "Tidak Sah". Putusan PTUN ini
berfungsi untuk menegaskan status hukum KTUN yang sebenarnya sudah batal
demi hukum.
2.3. Dasar Hukum dan Alasan
Alasan utama yang menyebabkan
suatu KTUN dapat dikategorikan sebagai Nietig atau "Tidak Sah"
adalah adanya cacat hukum yang bersifat fundamental atau esensial.
Berdasarkan doktrin dan peraturan perundang-undangan, alasan-alasan tersebut
meliputi:
- Ketiadaan Wewenang (Onbevoegdheid):
Ini merupakan alasan yang paling sering diidentifikasi dan dianggap paling
fundamental. Ketiadaan wewenang dapat terjadi dalam berbagai bentuk:
- Competentie Absolut:
Badan atau pejabat pemerintahan sama sekali tidak memiliki kewenangan
(kompetensi absolut) untuk mengatur atau memutuskan materi atau persoalan
yang menjadi objek KTUN tersebut. Misalnya, seorang kepala dinas daerah
mengeluarkan keputusan yang menjadi kewenangan menteri.
- Competentie Relatif:
Badan atau pejabat pemerintahan bertindak di luar batas wilayah (territorial)
kewenangannya (kompetensi relatif). Misalnya, seorang bupati mengeluarkan
izin untuk lokasi yang berada di wilayah kabupaten lain.
- Onbevoegdheid Ratione Temporis:
Badan atau pejabat pemerintahan bertindak di luar batas waktu (temporal)
berlakunya kewenangan yang dimilikinya. Misalnya, pejabat yang sudah
pensiun atau berakhir masa jabatannya masih mengeluarkan KTUN.
- Ketentuan UU AP:
UU AP secara eksplisit mengkategorikan beberapa bentuk pelanggaran
wewenang sebagai alasan suatu keputusan atau tindakan menjadi "Tidak
Sah". Pasal 70 ayat (1) huruf b jo. Pasal 17 ayat (2) huruf a dan
Pasal 18 ayat (1) UU AP (sebagaimana dirangkum) menyatakan bahwa
keputusan/tindakan yang melampaui wewenang (melampaui masa
jabatan, batas waktu, batas wilayah, atau bertentangan dengan UU) adalah
"Tidak Sah". Demikian pula, tindakan sewenang-wenang
karena tanpa dasar kewenangan atau bertentangan dengan putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat
(3) UU AP) juga berakibat "Tidak Sah". Selain itu, Pasal 69
ayat (1) UU AP secara umum menyatakan keputusan yang dibuat oleh
badan/pejabat yang tidak berwenang adalah "Tidak Sah".
Penekanan kuat pada aspek
wewenang sebagai penyebab utama Nietig/Tidak Sah ini dapat
dipahami karena wewenang merupakan landasan paling dasar bagi setiap tindakan
administrasi negara dalam kerangka negara hukum yang berlandaskan asas
legalitas. Tanpa adanya wewenang yang sah, tindakan pemerintah kehilangan
seluruh legitimasinya. Pelanggaran terhadap wewenang dianggap sebagai cacat
hukum yang paling serius, yang tidak dapat ditoleransi atau diperbaiki,
sehingga konsekuensi logisnya adalah kebatalan total sejak awal (ex tunc).
Berbeda dengan cacat
prosedur atau substansi yang mungkin masih menyisakan ruang untuk perbaikan
atau pengesahan sementara, ketiadaan wewenang membuat tindakan tersebut
hampa secara hukum sejak semula. UU AP tampaknya mengadopsi pandangan ini
dengan secara tegas mengelompokkan sebagian besar bentuk pelanggaran wewenang
ke dalam kategori akibat hukum "Tidak Sah". Hal ini menggarisbawahi
betapa pentingnya kepatuhan pejabat pada batas-batas kewenangan yang diberikan
oleh hukum dalam sistem administrasi di Indonesia.
- Cacat Yuridis Esensial Lainnya:
Selain ketiadaan wewenang, Nietig/Tidak Sah juga dapat timbul
karena adanya cacat yuridis lain yang dianggap sangat mendasar atau
esensial (essentieel gebrek). Meskipun contoh spesifiknya dalam
konteks HAN kurang dielaborasi dalam sumber yang tersedia, secara analogis
dengan prinsip hukum umum (misalnya hukum perikatan), ini bisa mencakup KTUN
yang objek atau tujuannya bertentangan dengan ketertiban umum atau
kesusilaan.
- Tidak Terpenuhinya Syarat Mutlak:
Beberapa doktrin menyebutkan bahwa jika syarat-syarat mutlak (absolute
vereisten) bagi sahnya suatu perbuatan hukum administrasi tidak
terpenuhi, maka perbuatan tersebut dapat menjadi absoluut nietig
atau nietig van rechtswege. Syarat mutlak ini biasanya merujuk pada
elemen-elemen paling fundamental seperti adanya wewenang dan potensi objek
hukum yang sah.
3. Konsep Putusan
Vernietigbaar
3.1. Definisi dan Penjelasan
Berbeda dengan Nietig,
konsep Vernietigbaar (dapat dibatalkan) merujuk pada suatu KTUN
yang, meskipun mengandung cacat hukum, tetap dianggap sah (rechtsgeldig)
dan menimbulkan akibat hukum sejak diterbitkan, sampai dengan adanya tindakan
pembatalan oleh hakim atau instansi administrasi lain yang berwenang. Dengan
kata lain, keputusan ini tidak batal secara otomatis karena hukum (niet
van rechtswege nietig).
Ciri utama dari KTUN yang
bersifat Vernietigbaar adalah diperlukannya suatu tindakan hukum
aktif untuk membatalkannya. Pembatalan ini dapat dilakukan melalui:
- Putusan Pengadilan:
Gugatan yang diajukan oleh pihak yang dirugikan ke PTUN dapat menghasilkan
putusan yang menyatakan pembatalan KTUN tersebut.
- Keputusan Pejabat/Instansi Berwenang:
Pembatalan juga dapat dilakukan oleh pejabat atau instansi pemerintahan
yang berwenang, misalnya pejabat yang menerbitkan KTUN itu sendiri
(berdasarkan asas contrarius actus), atau instansi atasan dari
pejabat tersebut, seringkali sebagai hasil dari penyelesaian upaya
administratif (keberatan atau banding administratif).
Dalam terminologi UU AP, konsep
yang paling mendekati Vernietigbaar adalah "Batal". Pasal
70 ayat (2) UU AP (sebagaimana dirujuk dalam analisis ) menyatakan bahwa
keputusan dan/atau tindakan yang "Batal" tidak mengikat sejak saat
dibatalkan atau tetap sah sampai adanya pembatalan, dan berakhir setelah
ada pembatalan. Akibat hukum yang baru timbul sejak saat pembatalan (ex
nunc) dan pengakuan keabsahan sementara ini sejalan dengan
karakteristik Vernietigbaar dalam doktrin.
3.2. Akibat Hukum
Akibat hukum dari KTUN yang
bersifat Vernietigbaar atau dinyatakan "Batal" oleh pihak yang
berwenang adalah:
- Berlaku Ke Depan (Ex Nunc):
Akibat hukum utama dari pembatalan KTUN yang Vernietigbaar adalah berlaku
ke depan, yaitu sejak saat putusan atau keputusan pembatalan tersebut
dikeluarkan dan memiliki kekuatan hukum. Pembatalan tidak berlaku surut
(retroaktif) ke tanggal penerbitan KTUN.
- Keabsahan Sementara (Presumptio Iustae
Causa): Sebelum dibatalkan, KTUN tersebut
dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini didasarkan pada
asas presumptio iustae causa (praduga keabsahan atau vermoeden
van rechtmatigheid), yang menyatakan bahwa setiap keputusan pejabat
TUN harus dianggap benar dan sah menurut hukum sampai ada pembatalan atau
bukti sebaliknya. Asas ini penting untuk menjaga kelancaran dan kepastian
dalam roda pemerintahan.
- Konsekuensi Finansial:
Menurut Pasal 71 ayat (2) UU AP (sebagaimana dirujuk dalam analisis),
kerugian yang timbul akibat keputusan dan/atau tindakan yang kemudian
"Dibatalkan" menjadi tanggung jawab badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang menetapkan dan/atau melakukannya.
- Proses Pembatalan:
Pembatalan KTUN yang bersifat Vernietigbaar dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme: putusan PTUN yang mengabulkan gugatan pembatalan,
keputusan pejabat yang menerbitkan KTUN itu sendiri (misalnya karena
menyadari adanya kekeliruan), atau keputusan atasan pejabat sebagai tindak
lanjut dari upaya administratif.
3.3. Dasar Hukum dan Alasan
Suatu KTUN dapat bersifat Vernietigbaar
atau dapat "Dibatalkan" apabila mengandung cacat hukum yang tidak
termasuk dalam kategori fundamental yang menyebabkan Nietig/Tidak Sah.
Alasan-alasan ini umumnya berkaitan dengan proses pembentukan atau isi dari
KTUN itu sendiri, meliputi:
- Cacat Prosedur (Procedurele Gebreken):
Terjadi ketika tata cara atau prosedur formal yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan dalam pembuatan KTUN tidak diikuti atau
dilanggar. Contohnya meliputi tidak dilakukannya konsultasi dengan pihak
terkait yang diwajibkan, tidak dipenuhinya syarat-syarat formalitas bentuk
keputusan, atau pelanggaran terhadap standar operasional prosedur (SOP)
yang berlaku. Contoh kasus nyata adalah pembatalan SK Gubernur DKI
tentang penetapan lokasi MRT karena dinilai melanggar prosedur
terkait AMDAL dan tahapan pengadaan tanah.
- Cacat Substansi (Substantiele Gebreken):
Merujuk pada kekurangan atau kesalahan yang terdapat dalam isi atau materi
muatan KTUN itu sendiri. Cacat substansi ini dapat berupa:
- Bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan: Isi KTUN bertentangan dengan norma
hukum yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau setingkat, yang bersifat materiil atau substansial.
- Bertentangan dengan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB): Isi atau proses
penerbitan KTUN melanggar AUPB. AUPB yang sering menjadi dasar gugatan
antara lain asas kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan,
kecermatan, larangan penyalahgunaan wewenang, keterbukaan, kepentingan
umum, dan pelayanan yang baik.
- Penyalahgunaan Wewenang (Detournement
de Pouvoir): Penggunaan wewenang oleh pejabat untuk
tujuan lain di luar dari tujuan yang seharusnya atau yang telah
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. UU AP (Pasal 17 ayat (2)
huruf b dan c jo. Pasal 18 ayat (2) dan (3)) mengkategorikan tindakan
mencampuradukkan wewenang (misalnya, keputusan di luar cakupan bidang
atau bertentangan dengan tujuan wewenang) dan tindakan sewenang-wenang
(misalnya, bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap) sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang dapat menjadi dasar
pembatalan KTUN.
- Konflik Kepentingan:
KTUN diterbitkan oleh pejabat yang memiliki konflik kepentingan
pribadi atau bisnis yang mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan.
- Cacat Kehendak:
Pembentukan kehendak pejabat dalam menerbitkan KTUN didasarkan pada
bayangan yang salah (dwaling atau salah kira), adanya
paksaan (dwang), atau tipu muslihat (bedrog).
- Ketidakrasionalan Pertimbangan:
Pertimbangan atau alasan yang digunakan dalam KTUN dinilai tidak
rasional atau tidak patut (onredelijk).
- Cacat Wewenang (Non-Fundamental):
Meskipun cacat wewenang fundamental menjadi dasar Nietig/Tidak Sah,
beberapa sumber dan praktik peradilan, termasuk interpretasi UU AP,
mengindikasikan bahwa beberapa jenis pelanggaran wewenang yang tidak
dianggap "nyata-nyata" atau esensial dapat menjadi dasar untuk Vernietigbaar/Batal.
Contohnya adalah "mencampuradukkan wewenang" sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU AP, yang akibat hukumnya menurut Pasal
19 ayat (2) adalah "dapat dibatalkan" setelah melalui pengujian
pengadilan. Hal ini menunjukkan adanya gradasi dalam pelanggaran wewenang.
- Tidak Terpenuhinya Syarat Relatif:
Doktrin juga menyebutkan bahwa jika syarat-syarat relatif (relatieve
vereisten) dalam pembuatan KTUN tidak terpenuhi, maka KTUN
tersebut dapat dinyatakan vernietigbaar. Syarat relatif biasanya
berkaitan dengan prosedur atau substansi yang tidak bersifat fundamental.
- Ketentuan UU AP:
UU AP, khususnya Pasal 64 dan 66 (terkait pencabutan dan pembatalan oleh
pejabat) serta Pasal 70 ayat (2) (terkait akibat hukum "Batal"),
secara umum mengidentifikasi cacat wewenang (yang tidak termasuk kategori
"Tidak Sah"), cacat prosedur, dan cacat substansi sebagai alasan
suatu KTUN dapat "Dibatalkan".
Adanya potensi irisan antara
alasan-alasan yang dapat menyebabkan Nietig/Tidak Sah dan Vernietigbaar/Batal
menunjukkan kompleksitas dalam praktik hukum administrasi. Misalnya, suatu KTUN
yang "bertentangan dengan peraturan perundang-undangan" dapat
berakibat "Tidak Sah" jika pertentangan tersebut menyangkut ketiadaan
wewenang, namun dapat juga berakibat "Batal" jika pertentangan
tersebut menyangkut aspek prosedur atau substansi materiil. Demikian pula, UU
AP mengklasifikasikan "mencampuradukkan wewenang" sebagai alasan
untuk "dapat dibatalkan", padahal secara konseptual ini tetap
merupakan isu wewenang.
Kompleksitas ini muncul karena
dalam kasus nyata, seringkali suatu KTUN mengandung lebih dari satu jenis
cacat hukum. Selain itu, doktrin hukum administrasi sendiri mengakui bahwa
penentuan akibat hukum (Nietig atau Vernietigbaar) bergantung
pada tingkat keseriusan atau esensialitas dari cacat yang ada, yang menyiratkan
adanya suatu spektrum penilaian, bukan sekadar pemisahan hitam-putih yang
kaku. Oleh karena itu, meskipun UU AP telah mencoba memberikan kriteria
yang lebih pasti, peran hakim PTUN dalam melakukan analisis kasus per kasus
menjadi sangat penting untuk menentukan sifat cacat hukum yang sebenarnya
dan menetapkan akibat hukum yang paling tepat, apakah KTUN tersebut harus
dinyatakan "Tidak Sah" (Nietig) atau "Batal" (Vernietigbaar).
Hal ini juga menuntut penggugat untuk dapat mengkonstruksikan dalil gugatannya
secara jelas mengenai jenis cacat hukum yang dituduhkan dan akibat hukum yang
diharapkan.
4. Peran Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN)
Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) memegang peranan kunci dalam sistem hukum administrasi Indonesia,
khususnya dalam menguji keabsahan KTUN dan memberikan perlindungan hukum kepada
masyarakat terhadap tindakan pemerintah.
4.1. Kewenangan PTUN
PTUN memiliki kewenangan utama
untuk menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara (Sengketa TUN). Sengketa TUN didefinisikan sebagai sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Seiring perkembangan hukum,
kewenangan PTUN diperluas. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2
Tahun 2019, PTUN juga berwenang mengadili perkara perbuatan melanggar hukum
oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad).
Selain itu, UU AP (Pasal 21) jo. Perma No. 4 Tahun 2015 memberikan kewenangan
kepada PTUN untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan permohonan penilaian ada
atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir)
yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan
keputusan dan/atau tindakan.
4.2. Proses Gugatan
Pembatalan/Pernyataan Tidak Sah
Mekanisme utama bagi
masyarakat atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu KTUN untuk mencari keadilan adalah melalui pengajuan gugatan ke PTUN.
Proses ini secara umum meliputi tahapan sebagai berikut:
- Upaya Administratif (Jika Tersedia):
Sebelum mengajukan gugatan ke PTUN, peraturan perundang-undangan (termasuk
UU AP Pasal 75-78 dan UU sektoral lainnya) seringkali mensyaratkan
penempuhan upaya administratif terlebih dahulu, yang bisa berupa
pengajuan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan KTUN atau banding
administratif kepada instansi atasan atau badan lain yang ditunjuk.
Gugatan ke PTUN baru dapat diajukan setelah upaya administratif ditempuh
dan hasilnya tidak memuaskan, atau jika pejabat tidak menyelesaikan upaya
administratif dalam batas waktu yang ditentukan. Perma No. 6 Tahun 2018
memberikan pedoman mengenai penyelesaian sengketa administrasi setelah
menempuh upaya administratif.
- Pengajuan Gugatan:
Gugatan diajukan secara tertulis kepada PTUN yang berwenang (sesuai lokasi
kedudukan tergugat) dalam tenggang waktu 90 hari sejak saat KTUN diterima
atau diumumkan oleh pihak penggugat. Gugatan harus memuat identitas para
pihak, uraian mengenai objek sengketa (KTUN yang bersifat konkret,
individual, dan final ), alasan-alasan gugatan yang jelas, serta petitum
(tuntutan).
- Alasan Gugatan:
Sesuai Pasal 53 ayat (2) UU PTUN, alasan yang dapat digunakan sebagai
dasar gugatan adalah:
- KTUN yang digugat bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- KTUN yang digugat bertentangan dengan
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
- Pemeriksaan Perkara:
Setelah gugatan lolos pemeriksaan administratif (prosedur dismisal), PTUN
akan melakukan pemeriksaan perkara. Pemeriksaan di PTUN menganut asas
pembuktian bebas (vrij bewijs) dan hakim berperan aktif (dominus
litis) dalam mencari kebenaran materiil, tidak hanya terikat pada apa
yang diajukan para pihak. Hakim dapat menentukan apa yang harus dibuktikan
dan membagi beban pembuktian. Proses pemeriksaan dapat dilakukan dengan
acara biasa, acara cepat (jika ada kepentingan mendesak), atau acara
singkat (untuk perlawanan).
4.3. Penetapan Status Nietig
atau Vernietigbaar oleh PTUN
Melalui putusannya, PTUN
memberikan kepastian hukum mengenai status KTUN yang disengketakan, apakah
tetap sah, batal, atau tidak sah.
- Jenis Putusan:
Berdasarkan Pasal 97 ayat (7) UU PTUN, putusan akhir PTUN dapat berupa: gugatan
ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima (misalnya karena
tidak memenuhi syarat formal atau PTUN tidak berwenang), atau gugatan
gugur (misalnya penggugat tidak hadir).
- Amar Putusan Jika Gugatan Dikabulkan:
Apabila PTUN mengabulkan gugatan, amar putusannya akan menyatakan
pembatalan atau ketidakabsahan KTUN yang digugat. Dalam praktik dan
terminologi UU AP, PTUN dapat menyatakan KTUN tersebut
"Batal" atau "Tidak Sah".
- Putusan Menyatakan "Tidak Sah":
Jika amar putusan menyatakan KTUN "Tidak Sah", ini mencerminkan
penerapan konsep Nietig. Putusan ini pada hakikatnya bersifat deklaratif
(menyatakan atau menegaskan). Artinya, PTUN hanya menegaskan keadaan
hukum yang sebenarnya, yaitu bahwa KTUN tersebut memang sudah tidak sah
sejak awal diterbitkan (ex tunc) karena mengandung cacat
fundamental (umumnya ketiadaan wewenang).
- Putusan Menyatakan "Batal":
Jika amar putusan menyatakan KTUN "Batal", ini mencerminkan
penerapan konsep Vernietigbaar. Putusan ini bersifat konstitutif
(menciptakan keadaan hukum baru). Artinya, PTUN menciptakan keadaan hukum
baru dengan membatalkan KTUN yang sebelumnya dianggap sah berdasarkan
asas presumptio iustae causa. Akibat hukum pembatalan ini berlaku
sejak putusan diucapkan (ex nunc).
- Putusan Tambahan (Condemnatoir):
Selain menyatakan batal atau tidak sah, dalam hal gugatan dikabulkan, PTUN
juga dapat menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dilakukan
oleh Badan atau Pejabat TUN yang kalah perkara (putusan kondemnator).
Kewajiban ini dapat berupa :
- Pencabutan KTUN yang dinyatakan batal
atau tidak sah.
- Penerbitan KTUN baru sebagai pengganti
(jika diperlukan berdasarkan hukum).
- Pencabutan KTUN yang batal/tidak sah dan
penerbitan KTUN baru.
- Pemberian ganti rugi kepada penggugat.
- Rehabilitasi (pemulihan hak, kedudukan,
harkat, dan martabat), khususnya dalam sengketa kepegawaian.
- Praktik Peradilan:
Terdapat kecenderungan dalam doktrin dan praktik PTUN (meskipun UU AP
memberikan kerangka baru) untuk mengaitkan pelanggaran aspek wewenang
dengan putusan "Tidak Sah" (Nietig), sementara
pelanggaran aspek prosedur dan substansi (termasuk AUPB) dikaitkan dengan
putusan "Batal" (Vernietigbaar).
Melalui kewenangan dan proses
peradilannya, PTUN memainkan peran sentral dalam mengkonkretkan konsep abstrak Nietig/Tidak
Sah dan Vernietigbaar/Batal. Meskipun doktrin dan peraturan
perundang-undangan (seperti UU AP) telah memberikan definisi dan kriteria, pada
akhirnya hakim PTUN lah yang akan menilai fakta-fakta spesifik dalam setiap
sengketa dan menerapkan prinsip hukum yang relevan untuk menentukan apakah
suatu KTUN mengandung cacat hukum, sejauh mana tingkat keseriusan cacat
tersebut, dan apa akibat hukum yang tepat. Putusan PTUN tidak hanya
berfungsi untuk menyelesaikan sengketa individual, tetapi juga memberikan
kepastian hukum mengenai status KTUN yang disengketakan. Sifat putusan
PTUN—apakah deklaratif (menyatakan "Tidak Sah") atau konstitutif
(menyatakan "Batal")—secara langsung mencerminkan penerapan
praktis dari pembedaan antara Nietig dan Vernietigbaar. Oleh
karena itu, putusan PTUN, terutama yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde), menjadi sumber hukum penting (yurisprudensi) yang
berkontribusi pada pemahaman, pengembangan, dan klarifikasi hukum administrasi
negara di Indonesia, termasuk dalam hal penerapan konsekuensi dari KTUN yang
cacat hukum.
5. Contoh Kasus dalam Praktik
Hukum Administrasi
Penerapan konsep Nietig/Tidak
Sah dan Vernietigbaar/Batal dapat diilustrasikan melalui
contoh-contoh teoritis dan kasus-kasus nyata yang pernah ditangani oleh
pengadilan:
Contoh Kasus Putusan
Nietig/Tidak Sah (Umumnya Cacat Wewenang Fundamental)
- Contoh Teoritis:
- Seorang Gubernur menerbitkan Surat
Keputusan (SK) pemberhentian seorang Dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS)
pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Kewenangan pemberhentian dosen PNS
berada pada Menteri terkait atau Presiden. Tindakan Gubernur ini
merupakan tindakan yang nyata-nyata tanpa wewenang (kennelijk
onbevoegd), sehingga SK tersebut batal demi hukum (nietig van
rechtswege) atau "Tidak Sah" sejak diterbitkan.
- Seorang Pelaksana Tugas (Plt) Bupati
mengeluarkan SK Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap seorang
PNS di lingkungannya. Kewenangan PTDH biasanya melekat pada pejabat
definitif (Bupati). Tindakan Plt Bupati ini melampaui kewenangannya,
sehingga SK tersebut dapat dianggap "Tidak Sah".
- Pejabat A mengeluarkan izin mendirikan
bangunan untuk lokasi yang secara administratif masuk ke dalam wilayah
kerja Pejabat B. Keputusan Pejabat A ini melampaui batas wilayah
kewenangannya (competentie relatif), sehingga berakibat
"Tidak Sah".
- Pejabat yang telah berakhir masa
jabatannya mengeluarkan suatu keputusan administratif. Keputusan ini
diterbitkan di luar batas waktu kewenangannya (onbevoegdheid
ratione temporis), sehingga "Tidak Sah".
- Pemerintah daerah mengeluarkan peraturan
daerah (Perda) yang isinya bertentangan dengan undang-undang yang lebih
tinggi. Meskipun ini lebih ke ranah pengujian peraturan (judicial
review), analoginya adalah tindakan ultra vires (melampaui
kewenangan) yang dapat berakibat batal demi hukum.
- Dalam konteks hukum acara pidana (sebagai
analogi pentingnya syarat fundamental), putusan pengadilan yang tidak
memenuhi syarat mutlak formalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat
(1) KUHAP (misalnya tidak mencantumkan perintah penahanan/pembebasan
sebelum adanya putusan MK No. 69/PUU-X/2012) dinyatakan batal demi hukum.
- Contoh Kasus Nyata (Potensial/Implisit):
- Kasus-kasus sengketa tanah di mana BPN
(Badan Pertanahan Nasional) menerbitkan sertifikat di atas tanah yang bukan
kewenangannya atau bertentangan dengan data yuridis yang sah dapat
berpotensi dinyatakan "Tidak Sah" jika terbukti ada cacat
wewenang yang fundamental.
- Keputusan pejabat yang didasarkan pada
peraturan delegasi yang ternyata melampaui batas delegasi yang diberikan
oleh peraturan induknya dapat dianggap "Tidak Sah".
Contoh Kasus Putusan
Vernietigbaar/Batal (Umumnya Cacat Prosedur/Substansi/AUPB)
- Contoh Teoritis:
- Seorang importir mengajukan izin impor 10
unit mesin, namun pejabat karena salah kira (dwaling) menerbitkan
izin untuk 40 unit. Keputusan ini mengandung cacat kehendak dan
dapat dibatalkan (vernietigbaar).
- Pemerintah daerah mengeluarkan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) untuk proyek besar tanpa melalui prosedur
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan. IMB ini mengandung cacat prosedur
dan/atau substansi sehingga dapat dibatalkan oleh PTUN.
- Keputusan Bupati tentang pemberhentian
seorang Kepala Desa yang didasarkan pada usulan Badan Permusyawaratan
Desa (BPD), namun ternyata proses di tingkat BPD itu sendiri mengandung
cacat hukum (misalnya tidak kuorum). Keputusan Bupati tersebut menjadi dapat
dibatalkan karena didasarkan pada pertimbangan yang cacat.
- Sertifikat Hak Milik atas tanah
diterbitkan, namun kemudian ditemukan adanya kesalahan prosedur dalam
pengukuran, kesalahan subjek atau objek hak, atau tumpang tindih dengan
sertifikat lain. Sertifikat ini mengandung cacat administrasi dan
dapat dibatalkan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau melalui putusan PTUN.
- Contoh Kasus Nyata:
- Putusan PTUN Jakarta No.
604/G/2023/PTUN.JKT: Membatalkan Keputusan MK mengenai
pengangkatan Hakim Konstitusi Suhartoyo sebagai Ketua MK. Meskipun alasan
detailnya perlu ditelaah lebih lanjut dari putusan lengkap, pembatalan
ini kemungkinan besar didasarkan pada penilaian hakim PTUN mengenai adanya
cacat prosedur, substansi, atau pelanggaran AUPB dalam proses
pengangkatan tersebut, sehingga bersifat Vernietigbaar.
- Putusan PTUN Medan No. 48/G/2021/PTUN-Mdn:
Membatalkan Sertifikat Hak Milik No. 999/Desa Buntu Bedimbar atas nama
Kian Peng Alias Aman. Pembatalan sertifikat tanah oleh PTUN umumnya
terjadi karena adanya cacat hukum administratif dalam penerbitannya
(prosedur, subjek, objek, dll.) atau karena melaksanakan putusan
peradilan lain yang telah berkekuatan hukum tetap, yang mengarah pada
sifat Vernietigbaar.
- Putusan PTUN Jakarta No.
87/G/PU/2019/PTUN-JKT: Membatalkan SK Gubernur Provinsi
DKI Jakarta Nomor 225 Tahun 2019 tentang Penetapan Lokasi untuk
Pembangunan Jalur Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta Fase 2 (Bundaran
HI-Kota). Alasan pembatalan adalah adanya cacat prosedur, yaitu
penerbitan SK dinilai tidak memperhatikan hasil AMDAL dan tidak
mengikuti tahapan persiapan pengadaan tanah sesuai UU Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Ini jelas merupakan kasus Vernietigbaar.
- Putusan PTUN Banda Aceh No.
28/G/2021/PTUN.BNA: Membatalkan SK Walikota
Lhokseumawe Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pemberhentian Dengan Hormat
Seorang PNS karena melakukan tindak pidana pemalsuan surat. Gugatan
dikabulkan karena SK Walikota tersebut dinilai bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS (cacat
substansi) dan tidak melalui prosedur pemeriksaan yang benar (cacat
prosedur). Ini adalah contoh KTUN yang Vernietigbaar.
- Perkara Gugatan No.
140/G/TF/2022/PTUN.JKT: Gugatan yang diajukan
oleh sekelompok warga negara terhadap tindakan pemerintah (Tergugat I
Menteri Kesehatan, Tergugat II Kepala Badan Siber dan Sandi Negara) yang
mewajibkan penggunaan aplikasi PeduliLindungi. Para Penggugat mendalilkan
bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
dan AUPB (khususnya terkait hak privasi, kebebasan bergerak, dan potensi
diskriminasi). Meskipun hasil akhir putusan tidak dirinci dalam sumber,
kasus ini merupakan contoh sengketa di mana tindakan/keputusan pemerintah
digugat karena dugaan cacat substansi dan pelanggaran AUPB, yang
jika dikabulkan akan mengarah pada pembatalan (Vernietigbaar).
Contoh-contoh di atas
menunjukkan bahwa penentuan apakah suatu KTUN bersifat Nietig/Tidak Sah
atau Vernietigbaar/Batal sangat bergantung pada analisis mendalam
terhadap fakta-fakta spesifik kasus dan penilaian hakim (atau pejabat
berwenang) mengenai sifat dan tingkat keseriusan (esensialitas) dari cacat
hukum yang terkandung di dalamnya.
6. Signifikansi Pembedaan
Nietig dan Vernietigbaar
Pembedaan antara konsep Putusan
Nietig/Tidak Sah dan Putusan Vernietigbaar/Batal dalam Hukum
Administrasi Negara Indonesia bukan sekadar perbedaan terminologi akademis,
melainkan memiliki signifikansi praktis yang mendalam bagi penegakan hukum,
perlindungan hak warga negara, dan tata kelola pemerintahan yang baik.
- Menjamin Kepastian Hukum (Legal
Certainty): Pembedaan ini memberikan kejelasan
fundamental mengenai status hukum suatu KTUN yang mengandung cacat. Dengan
mengetahui apakah suatu cacat hukum berakibat Nietig atau Vernietigbaar,
baik warga negara maupun aparat pemerintah dapat memahami konsekuensi
hukum yang melekat. Jika Nietig, KTUN tersebut secara teoretis
dapat diabaikan karena dianggap tidak pernah ada. Jika Vernietigbaar,
KTUN tersebut harus dianggap sah dan ditaati sampai ada tindakan
pembatalan formal. Kejelasan ini mencegah ambiguitas dan potensi
kesewenang-wenangan dalam penerapan hukum. Konsep Vernietigbaar,
yang didukung oleh asas presumptio iustae causa, secara khusus
menjaga stabilitas dan kelangsungan tindakan administrasi, karena tidak
setiap cacat hukum secara otomatis menggugurkan keabsahan KTUN. Namun,
keberadaan konsep Nietig untuk cacat yang paling fundamental
memastikan bahwa tindakan pemerintah yang secara esensial melanggar hukum
tidak dapat dipertahankan.
- Perlindungan Hak Warga Negara (Citizen
Rights Protection): Pembedaan ini merupakan instrumen
penting untuk melindungi hak-hak warga negara dari tindakan administrasi
pemerintah yang merugikan atau melanggar hukum. Warga negara yang
dirugikan oleh KTUN yang cacat memiliki dasar hukum untuk melawannya.
Pemahaman apakah cacat tersebut bersifat Nietig atau Vernietigbaar
akan menentukan strategi hukum yang paling tepat. Jika Nietig,
secara teori warga negara tidak terikat oleh KTUN tersebut. Jika Vernietigbaar,
warga negara perlu secara aktif mengajukan upaya hukum (upaya
administratif atau gugatan ke PTUN) untuk memperoleh pembatalan. Adanya
mekanisme PTUN sebagai kontrol yudisial memastikan bahwa warga negara
memiliki akses terhadap keadilan administratif. Lebih lanjut, jika KTUN
yang merugikan tersebut berhasil dinyatakan batal atau tidak sah oleh
PTUN, terbuka kemungkinan bagi warga negara untuk memperoleh pemulihan
hak, ganti rugi, atau rehabilitasi.
- Akuntabilitas Pejabat/Badan Administrasi:
Konsekuensi hukum yang jelas berupa Nietig/Tidak Sah atau Vernietigbaar/Batal
mendorong pejabat dan badan administrasi negara untuk bertindak lebih
hati-hati, cermat, dan selalu berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan serta AUPB dalam menerbitkan KTUN. Kesadaran bahwa
keputusan mereka dapat diuji dan dibatalkan oleh pengadilan atau instansi
atasan menjadi mekanisme kontrol internal dan eksternal yang penting.
Selain itu, jika suatu KTUN dibatalkan karena adanya kesalahan atau
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pejabat, hal ini dapat menjadi dasar
untuk meminta pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan, baik
secara administratif, disiplin, maupun dalam kasus tertentu,
pertanggungjawaban hukum lainnya (misalnya, jika ada unsur pidana atau
kerugian negara).
Secara keseluruhan, pembedaan
antara Nietig dan Vernietigbaar mencerminkan upaya hukum
administrasi untuk mencapai keseimbangan yang rumit antara dua nilai
fundamental: kepastian hukum dan keadilan.
Di satu sisi, kepastian hukum
menuntut adanya stabilitas dan prediktabilitas dalam tindakan pemerintahan; keputusan
yang sudah dikeluarkan tidak dapat dengan mudah dianggap tidak berlaku.
Konsep Vernietigbaar dengan asas presumptio iustae causa
mengakomodasi kebutuhan ini, dengan menganggap KTUN sah sampai dibatalkan
secara formal, meskipun ini menempatkan beban pembuktian dan inisiatif gugatan
pada warga negara.
Di sisi lain, keadilan
menuntut agar tindakan pemerintah yang secara fundamental cacat atau melanggar
hukum tidak dapat dipertahankan dan harus dikoreksi. Konsep Nietig
(khususnya van rechtswege untuk cacat wewenang yang nyata) memberikan
perlindungan yang kuat dalam situasi ini, dengan menyatakan KTUN batal sejak
awal demi keadilan substantif, meskipun penerapannya yang terlalu luas dapat
mengganggu kepastian hukum jika status keputusan menjadi tidak jelas tanpa
adanya putusan pengadilan. UU AP, dengan memperkenalkan terminologi "Tidak
Sah" dan "Batal" beserta kriteria-kriterianya, merupakan upaya
legislatif penting untuk menata dan memberikan kerangka yang lebih jelas bagi
pencapaian keseimbangan ini dalam konteks hukum Indonesia. Namun demikian,
penerapan kerangka ini dalam praktik tetap memerlukan interpretasi dan
kebijaksanaan yudisial oleh PTUN untuk memastikan bahwa baik kepastian
hukum maupun perlindungan hak warga negara dapat terwujud secara optimal dalam
setiap kasus konkret.
7. Kesimpulan
Konsep Putusan Nietig
(Tidak Sah) dan Putusan Vernietigbaar (Batal) merupakan dua pilar
penting dalam memahami konsekuensi hukum dari adanya cacat dalam
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) di Indonesia. Perbedaan mendasar terletak
pada akibat hukum dan proses penegakannya:
- Putusan Nietig/Tidak Sah:
Dianggap tidak pernah ada sejak awal (ab initio), batal secara
otomatis karena hukum (khususnya nietig van rechtswege), dan akibat
hukumnya berlaku surut (ex tunc). Penyebab utamanya adalah cacat
hukum yang bersifat fundamental dan esensial, terutama ketiadaan wewenang
yang nyata dari badan/pejabat yang menerbitkan KTUN. Meskipun batal
otomatis, seringkali diperlukan putusan deklaratif dari PTUN untuk
kepastian hukum.
- Putusan Vernietigbaar/Batal:
Dianggap sah dan berlaku sampai adanya tindakan pembatalan aktif oleh
hakim (PTUN) atau instansi/pejabat yang berwenang. Akibat hukum pembatalan
berlaku ke depan (ex nunc). Penyebabnya adalah cacat hukum yang
tidak bersifat fundamental, seperti cacat prosedur, cacat substansi
(termasuk pelanggaran AUPB dan penyalahgunaan wewenang tertentu), atau
cacat wewenang non-fundamental.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) telah berupaya mengkodifikasi
dan memberikan terminologi serta kriteria yang lebih jelas untuk kedua konsep
ini dengan menggunakan istilah "Tidak Sah" (untuk Nietig) dan
"Batal" (untuk Vernietigbaar). UU AP mengaitkan "Tidak
Sah" terutama dengan pelanggaran wewenang yang serius (melampaui wewenang,
tanpa dasar wewenang), sementara "Batal" dikaitkan dengan cacat
prosedur, substansi, dan beberapa bentuk penyalahgunaan wewenang seperti
mencampuradukkan wewenang. Meskipun demikian, kompleksitas kasus dan dinamika
interpretasi dalam praktik peradilan menunjukkan bahwa pemahaman doktrin dan
analisis kasus per kasus oleh PTUN tetap krusial.
Pembedaan antara Nietig/Tidak
Sah dan Vernietigbaar/Batal memiliki signifikansi yang besar dalam
sistem hukum administrasi Indonesia. Pembedaan ini berfungsi untuk:
- Menjamin Kepastian Hukum:
Memberikan kejelasan status KTUN yang cacat.
- Melindungi Hak Warga Negara:
Menyediakan dasar dan mekanisme bagi warga negara untuk melawan tindakan
administrasi yang merugikan dan mencari pemulihan hak.
- Meningkatkan Akuntabilitas Pemerintah:
Mendorong pejabat untuk bertindak sesuai hukum dan menjadi dasar
pertanggungjawaban atas penerbitan KTUN yang cacat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar