Dalam sistem hukum pidana Indonesia, tindak pidana dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai kriteria. Klasifikasi ini penting karena seringkali membawa konsekuensi hukum yang berbeda dalam penerapannya.
Kejahatan (Misdrijven)
vs. Pelanggaran (Overtredingen)
Klasifikasi paling fundamental
dalam KUHP lama (WvS) adalah pembedaan antara Kejahatan (misdrijven) dan
Pelanggaran (overtredingen). Kejahatan diatur dalam Buku II KUHP,
sedangkan Pelanggaran diatur dalam Buku III. Pembedaan ini bukan sekadar
sistematika buku, melainkan memiliki dasar teoritis dan konsekuensi hukum yang
signifikan dalam sistem KUHP lama.
- Dasar Pembedaan Teoritis:
Secara teoritis, pembedaan ini sering dikaitkan dengan konsep rechtsdelicten
dan wetsdelicten.
- Kejahatan (Misdrijven)
dianggap sebagai rechtsdelicten (delik hukum), yaitu
perbuatan-perbuatan yang secara intrinsik, menurut pandangan masyarakat,
bersifat jahat, tercela, dan bertentangan dengan rasa keadilan
fundamental. Perbuatan ini dianggap salah bahkan seandainya tidak ada
undang-undang yang mengaturnya secara eksplisit.
- Pelanggaran (Overtredingen) dianggap sebagai wetsdelicten (delik undang-undang), yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang semata-mata demi menjaga ketertiban umum atau kepentingan administratif. Perbuatan ini belum tentu dianggap sebagai sesuatu yang secara inheren jahat oleh masyarakat, tetapi menjadi terlarang karena diatur demikian oleh hukum positif.
- Perbedaan Konsekuensi Hukum (dalam KUHP
Lama): Pembedaan ini membawa sejumlah
konsekuensi hukum penting dalam penerapan KUHP lama, antara lain:
- Percobaan (Poging):
Mencoba melakukan kejahatan dapat dipidana (Pasal 53), sedangkan mencoba
melakukan pelanggaran pada umumnya tidak dipidana (Pasal 54).
- Penyertaan (Deelneming):
Membantu melakukan (pembantuan) pelanggaran pada umumnya tidak dipidana
(Pasal 60), sedangkan pembantuan dalam kejahatan dapat dipidana (Pasal
56, 57).
- Daluwarsa (Verjaring):
Jangka waktu daluwarsa kewenangan menuntut pidana untuk kejahatan umumnya
lebih panjang dibandingkan dengan pelanggaran (Pasal 78).
- Aturan Perbarengan (Concursus):
Terdapat perbedaan dalam sistem penjatuhan pidana jika terjadi gabungan
beberapa kejahatan (concursus realis/idealis pada kejahatan)
dibandingkan dengan gabungan pelanggaran atau gabungan kejahatan dan
pelanggaran (Pasal 65, 66, 70).
- Sanksi: Secara umum,
ancaman pidana untuk kejahatan lebih berat (misalnya pidana penjara,
pidana mati) dibandingkan dengan pelanggaran (umumnya pidana kurungan
atau denda yang lebih ringan).
- Relevansi dalam KUHP Baru (UU 1/2023):
KUHP baru (UU 1/2023) tidak lagi menggunakan struktur pemisahan Buku II
untuk Kejahatan dan Buku III untuk Pelanggaran. Namun demikian, pembedaan
kualitatif antara tindak pidana yang lebih serius (yang dahulu
dikategorikan kejahatan) dan yang lebih ringan (yang dahulu dikategorikan
pelanggaran) tetap relevan. Hal ini tercermin, misalnya, dalam perbedaan
ancaman pidana pokok (pidana penjara vs pidana denda atau kerja sosial)
dan penerapan pidana tambahan. Akan tetapi, konsekuensi hukum spesifik
seperti aturan mengenai percobaan dan pembantuan tidak lagi secara
otomatis dikaitkan dengan klasifikasi 'kejahatan' atau 'pelanggaran',
melainkan diatur lebih spesifik per delik atau dalam ketentuan umum yang
berlaku untuk semua tindak pidana.
Klasifikasi Lainnya
Selain pembedaan utama antara
kejahatan dan pelanggaran, tindak pidana juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan kriteria lain:
- Delik Formil vs. Delik Materil:
- Delik Formil:
Undang-undang menitikberatkan larangan pada perbuatannya itu
sendiri. Delik ini dianggap selesai ketika perbuatan yang dirumuskan
dalam undang-undang telah dilakukan, terlepas dari timbul atau tidaknya
akibat tertentu. Contoh: Pencurian (Pasal 362 KUHP lama - fokus pada
perbuatan mengambil), Penghasutan (Pasal 160 KUHP lama - fokus pada
perbuatan menghasut).
- Delik Materil:
Undang-undang menitikberatkan larangan pada timbulnya akibat
tertentu. Delik ini baru dianggap selesai ketika akibat yang dilarang
oleh undang-undang telah terjadi sebagai hasil dari perbuatan pelaku.
Contoh: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP lama - fokus pada akibat kematian),
Penganiayaan yang menyebabkan luka berat (Pasal 351 ayat (2) KUHP lama -
fokus pada akibat luka berat).
- Delik Dolus vs. Delik Culpa:
- Delik Dolus (Kesengajaan):
Delik yang dalam rumusannya mensyaratkan adanya unsur kesengajaan
(dolus atau opzet) pada diri pelaku. Mayoritas kejahatan
dalam KUHP merupakan delik dolus. Contoh: Pembunuhan (Pasal 338),
Pencurian (Pasal 362), Penipuan (Pasal 378).
- Delik Culpa (Kealpaan):
Delik yang dalam rumusannya mensyaratkan adanya unsur kealpaan
atau kelalaian (culpa) pada diri pelaku. Pelaku dipidana
karena ketidakhati-hatiannya menyebabkan timbulnya akibat yang dilarang.
Contoh: Menyebabkan kematian karena kealpaan (Pasal 359 KUHP lama),
Menyebabkan luka berat karena kealpaan (Pasal 360 KUHP lama).
- Delik Komisi vs. Delik Omisi:
- Delik Komisi (Delicta Commissionis):
Delik yang dilakukan melalui perbuatan aktif atau positif, yaitu
melanggar suatu larangan untuk berbuat. Ini adalah bentuk delik yang
paling umum. Contoh: Mencuri, menipu, menganiaya.
- Delik Omisi (Delicta Ommissionis):
Delik yang dilakukan melalui perbuatan pasif atau negatif, yaitu
melanggar suatu perintah atau kewajiban hukum untuk berbuat. Dibedakan
lagi menjadi:
- Delik Omisi Murni:
Tidak melakukan suatu perbuatan yang secara eksplisit diperintahkan oleh
undang-undang. Contoh: Tidak menghadap sebagai saksi setelah dipanggil
secara sah (Pasal 522 KUHP lama).
- Delik Komisi melalui Omisi (Commissio
per Omissionem) / Delik Omisi Tidak Murni:
Menyebabkan timbulnya suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang
(yang biasanya memerlukan perbuatan aktif) dengan cara tidak
melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan berdasarkan
hukum atau posisi khusus pelaku untuk mencegah akibat tersebut. Contoh:
Seorang ibu yang memiliki kewajiban merawat bayinya, membiarkan bayinya
mati kelaparan dengan tidak memberinya susu. Perbuatannya (tidak memberi
susu) dapat dikualifikasikan sebagai penyebab kematian (Pasal 338 atau
359 KUHP lama).
- Delik Biasa vs. Delik Aduan (Klachtdelict):
- Delik Biasa:
Delik yang dapat dituntut oleh penuntut umum tanpa memerlukan adanya
pengaduan (klacht) terlebih dahulu dari pihak yang dirugikan
(korban). Mayoritas tindak pidana termasuk dalam kategori ini.
- Delik Aduan:
Delik yang penuntutannya hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan
resmi dari orang yang berhak mengadu (biasanya korban atau wakilnya yang
sah menurut undang-undang). Tanpa adanya pengaduan, penuntut umum tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan. Delik aduan dibedakan
lagi menjadi:
- Delik Aduan Absolut:
Sifat aduan melekat pada sifat deliknya itu sendiri. Artinya, perbuatan
tersebut baru dapat dituntut jika ada pengaduan, siapapun pelakunya.
Contoh: Perzinahan (Pasal 284 KUHP lama), Penghinaan (Pasal 310 KUHP
lama).
- Delik Aduan Relatif: Perbuatannya sendiri sebenarnya merupakan delik biasa, tetapi penuntutannya menjadi bergantung pada pengaduan karena adanya hubungan khusus antara pelaku dan korban, biasanya hubungan keluarga. Contoh: Pencurian dalam kalangan keluarga (Pasal 367 KUHP lama).
- Delik Umum (Communia) vs. Delik
Khusus (Propria):
- Delik Umum (Communia):
Delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang (ieder), tanpa
memerlukan kualitas atau kedudukan khusus pada diri pelaku. Contoh:
Pencurian, pembunuhan, penganiayaan.
- Delik Khusus (Propria):
Delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kualitas,
status, atau kedudukan tertentu sebagaimana disyaratkan dalam rumusan
delik. Contoh: Delik jabatan yang hanya bisa dilakukan oleh pegawai
negeri (misalnya korupsi), delik pers yang hanya bisa dilakukan oleh
penanggung jawab media, delik militer yang hanya bisa dilakukan oleh
anggota militer.
Klasifikasi tindak pidana ini
bukanlah sekadar latihan akademis dalam mengelompokkan berbagai jenis perbuatan
terlarang. Setiap klasifikasi membawa implikasi praktis yang penting dalam
penegakan hukum pidana. Pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP
lama, misalnya, secara langsung menentukan apakah percobaan atau pembantuan
terhadap perbuatan tersebut dapat dipidana, serta mempengaruhi perhitungan masa
daluwarsa dan penerapan aturan perbarengan. Demikian pula, status suatu delik
sebagai delik aduan atau delik biasa sangat menentukan apakah aparat penegak
hukum dapat memulai proses hukum atas inisiatif sendiri atau harus menunggu
laporan dari korban. Perbedaan antara delik formil dan materiil mengarahkan
fokus pembuktian di persidangan , sementara pembedaan delik dolus dan culpa
menentukan jenis kesalahan yang harus dibuktikan dan seringkali berakibat pada
perbedaan beratnya ancaman pidana. Oleh karena itu, pemahaman yang baik
mengenai berbagai klasifikasi ini sangat esensial bagi para praktisi hukum
dalam menerapkan ketentuan hukum pidana materiil dan formil secara tepat dan
benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar