Kerangka Umum Unsur Tindak Pidana
Agar suatu perbuatan dapat
diklasifikasikan sebagai tindak pidana dan pelakunya dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana, serangkaian unsur atau elemen harus terpenuhi. Dalam
ilmu hukum pidana, unsur-unsur ini secara umum dikategorikan menjadi dua kelompok
besar: unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif berkaitan dengan
aspek-aspek lahiriah dari perbuatan itu sendiri, yaitu hal-hal yang dapat
diamati atau terjadi di luar diri pelaku. Sebaliknya, unsur subjektif berkaitan
dengan aspek-aspek batiniah atau kejiwaan pelaku pada saat melakukan perbuatan
tersebut.
Unsur-unsur ini dapat berasal
dari dua sumber. Pertama, unsur-unsur yang secara eksplisit dirumuskan dalam
pasal undang-undang yang mengatur delik tertentu, yang disebut sebagai bestanddelen
van het delict (bagian-bagian dari delik). Kedua, unsur-unsur yang tidak
selalu dicantumkan dalam rumusan delik tetapi dianggap sebagai syarat umum
untuk pemidanaan berdasarkan doktrin atau ilmu hukum, seperti sifat melawan
hukum (apabila tidak disebut secara tegas) dan kesalahan (dalam arti luas,
mencakup kesengajaan/kealpaan dan kemampuan bertanggung jawab). Unsur-unsur
dari doktrin ini sering disebut sebagai elementen van het delict
(elemen-elemen delik).
Unsur Objektif (Actus
Reus)
Unsur objektif adalah semua
elemen yang berkaitan dengan perbuatan itu sendiri dan keadaan-keadaan
eksternal yang menyertainya. Unsur-unsur ini meliputi:
- Perbuatan Manusia (Menselijke Gedraging):
Inti dari setiap tindak pidana adalah adanya suatu perbuatan yang
dilakukan oleh manusia. Perbuatan ini dapat berwujud:
- Perbuatan Aktif/Positif (Commissie,
Doing, Act): Melakukan suatu
tindakan fisik atau mengucapkan kata-kata yang dilarang oleh hukum.
Contohnya adalah tindakan 'mengambil' barang milik orang lain dalam delik
pencurian (Pasal 362 KUHP lama).
- Perbuatan Pasif/Negatif (Omissie, Nalaten, Omission): Tidak melakukan suatu tindakan yang diperintahkan atau diharuskan oleh hukum, padahal ada kewajiban hukum untuk melakukannya. Contohnya adalah 'tidak memberikan pertolongan' kepada orang yang dalam bahaya maut, padahal dapat melakukannya tanpa bahaya bagi diri sendiri (Pasal 531 KUHP lama).
- Akibat Konstitutif (Gevolg):
Khusus pada delik materiil, undang-undang mensyaratkan timbulnya suatu
akibat tertentu sebagai hasil dari perbuatan pelaku. Tanpa timbulnya
akibat tersebut, delik materiil belum dianggap selesai. Contoh klasik
adalah timbulnya 'kematian orang lain' sebagai akibat dari perbuatan dalam
delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP lama).
- Keadaan Menyertai (Bijkomende
Omstandigheden): Situasi, kondisi, atau atribut
tertentu yang harus ada pada saat perbuatan dilakukan dan menjadi bagian
tak terpisahkan dari rumusan delik. Keadaan ini bisa berkaitan dengan
waktu, tempat, cara melakukan perbuatan, objek perbuatan, atau kondisi
lainnya. Contohnya adalah keadaan 'di muka umum' pada delik penghasutan
(Pasal 160 KUHP lama) atau status 'barang sebagian atau seluruhnya milik
orang lain' pada delik pencurian (Pasal 362 KUHP lama).
- Kualitas Pelaku:
Beberapa delik hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kualitas, status, atau kedudukan tertentu (disebut juga delik jabatan atau
delik propria). Kualitas ini menjadi unsur objektif yang harus
dipenuhi. Contohnya adalah status 'pegawai negeri' dalam delik jabatan
(misalnya Pasal 415 KUHP lama tentang penipuan oleh pegawai negeri) atau
status 'ibu' dalam delik pembunuhan anak (Pasal 341 KUHP lama).
- Kausalitas (Hubungan Sebab-Akibat):
Adanya mata rantai hubungan sebab-akibat antara perbuatan yang dilakukan
oleh pelaku dengan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Unsur
kausalitas ini menjadi sangat penting pembuktiannya, terutama dalam
delik-delik materiil.
Unsur Subjektif (Mens
Rea)
Unsur subjektif berkaitan
dengan keadaan batin, sikap mental, atau kondisi kejiwaan pelaku pada saat
melakukan tindak pidana. Unsur ini mencerminkan aspek psikologis dari perbuatan
pidana dan menjadi dasar untuk menilai kadar ketercelaan pelaku. Unsur-unsur
subjektif yang utama meliputi:
- Kesalahan (Schuld):
Ini adalah inti dari unsur subjektif dan pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan dalam arti luas (schuld in ruime zin) mencakup kemampuan
bertanggung jawab dan bentuk kesalahan dalam arti sempit (schuld in
enge zin). Bentuk kesalahan dalam arti sempit terdiri dari:
- Kesengajaan (Dolus, Opzet, Intention):
Pelaku secara sadar menghendaki (willens) perbuatan yang
dilakukannya dan/atau mengetahui (wetens) akibat yang akan timbul
dari perbuatannya tersebut. Dalam doktrin, kesengajaan dibedakan menjadi
beberapa bentuk:
- Dolus Directus
(Sengaja sebagai Tujuan / Opzet als Oogmerk): Pelaku memang
bertujuan untuk mewujudkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Ini
adalah bentuk kesengajaan yang paling murni.
- Dolus Indirectus
(Sengaja dengan Kesadaran Kepastian / Opzet bij Zekerheidsbewustzijn):
Pelaku menyadari bahwa suatu akibat tertentu (yang mungkin tidak
diinginkan) pasti akan terjadi sebagai konsekuensi dari perbuatan yang
dilakukannya untuk mencapai tujuan lain.
- Dolus Eventualis (Sengaja dengan Kesadaran Kemungkinan / Opzet bij Mogelijkheidsbewustzijn): Pelaku menyadari adanya kemungkinan (bukan kepastian) bahwa akibat yang dilarang dapat terjadi akibat perbuatannya, namun ia tetap melakukan perbuatan tersebut dan menerima atau 'masa bodoh' terhadap kemungkinan timbulnya akibat itu.
- Kealpaan (Culpa, Schuld in
narrow sense, Negligence): Pelaku tidak
menghendaki timbulnya akibat yang dilarang, tetapi akibat tersebut tetap
terjadi karena pelaku kurang berhati-hati, lalai, ceroboh, atau kurang
memiliki kemampuan untuk menduga akibat yang mungkin timbul dari
perbuatannya. Kealpaan juga dapat dibedakan lebih lanjut:
- Kealpaan Berat (Culpa Lata) vs.
Kealpaan Ringan (Culpa Levis): Berdasarkan tingkat
ketidakhati-hatian.
- Kealpaan Disadari (Bewuste Schuld):
Pelaku sempat membayangkan atau menyadari kemungkinan timbulnya akibat,
tetapi ia percaya atau berharap akibat itu tidak akan terjadi.
- Kealpaan Tidak Disadari (Onbewuste Schuld): Pelaku sama sekali tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya akibat, padahal berdasarkan standar objektivitas, ia seharusnya dapat menduga atau membayangkannya.
- Niat (Voornemen):
Merupakan unsur subjektif khusus dalam delik percobaan (poging).
Niat di sini diartikan sebagai kehendak pelaku yang telah diwujudkan dalam
suatu permulaan pelaksanaan tindak pidana yang dituju (Pasal 53 KUHP lama,
Pasal 17 UU 1/2023).
- Maksud (Oogmerk):
Merupakan tujuan spesifik yang ingin dicapai oleh pelaku melalui
perbuatannya, yang menjadi unsur konstitutif dalam rumusan delik tertentu.
Contohnya adalah "maksud untuk dimiliki secara melawan hukum"
dalam delik pencurian (Pasal 362 KUHP lama) atau "maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum"
dalam delik penipuan (Pasal 378 KUHP lama).
- Perencanaan Terlebih Dahulu (Voorbedachte
Raad): Unsur ini terdapat dalam beberapa delik
yang dikualifikasikan (diperberat ancaman pidananya). Perencanaan
menunjukkan adanya jeda waktu antara timbulnya niat dengan pelaksanaan
perbuatan, di mana pelaku memiliki kesempatan untuk berpikir dengan tenang
mengenai keputusannya untuk melakukan tindak pidana tersebut. Contoh
paling jelas adalah dalam delik pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP lama,
Pasal 459 UU 1/2023).
- Perasaan Takut (Vrees):
Merupakan unsur subjektif yang sangat spesifik dan hanya ditemukan dalam
rumusan delik tertentu, seperti dalam Pasal 308 KUHP lama (menempatkan
anak di bawah umur dalam keadaan terlantar karena takut ketahuan
melahirkan) atau Pasal 430 UU 1/2023.
3.4 Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijkheid
/ Unlawfulness)
Sifat melawan hukum merupakan
unsur yang mutlak ada dalam setiap tindak pidana, meskipun tidak selalu
dicantumkan secara eksplisit dalam rumusan pasal. Artinya, suatu perbuatan
hanya dapat dianggap sebagai tindak pidana jika perbuatan tersebut bertentangan
dengan hukum. Dalam doktrin hukum pidana, dikenal dua ajaran mengenai sifat
melawan hukum:
- Sifat Melawan Hukum Formal:
Ajaran ini mengartikan sifat melawan hukum semata-mata sebagai
pertentangan dengan hukum tertulis (undang-undang). Suatu perbuatan
dianggap melawan hukum jika telah memenuhi semua unsur yang dirumuskan
dalam delik yang diatur dalam undang-undang. Ajaran ini sangat menekankan
pada kepastian hukum berdasarkan teks undang-undang.
- Sifat Melawan Hukum Materiil:
Ajaran ini memperluas pengertian sifat melawan hukum, tidak hanya terbatas
pada pertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis), tetapi juga
mencakup pertentangan dengan hukum tidak tertulis, yaitu asas-asas hukum
umum, norma-norma kepatutan, kesusilaan, atau rasa keadilan yang hidup dan
diakui dalam masyarakat. Ajaran sifat melawan hukum materiil ini memiliki
dua fungsi:
- Fungsi Positif:
Menganggap suatu perbuatan tetap bersifat melawan hukum meskipun tidak
diatur secara eksplisit dalam undang-undang, asalkan perbuatan tersebut
dianggap tercela dan bertentangan dengan nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat.
- Fungsi Negatif: Menganggap suatu perbuatan yang sebenarnya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang menjadi tidak bersifat melawan hukum (dan karenanya tidak dapat dipidana) jika perbuatan tersebut dibenarkan oleh norma atau hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat (berfungsi sebagai alasan pembenar di luar undang-undang).
KUHP baru (UU 1/2023)
tampaknya mengadopsi kedua aspek ini. Pasal 12 ayat (2) secara eksplisit
menyatakan bahwa suatu perbuatan harus "bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat" untuk dapat
dinyatakan sebagai Tindak Pidana. Hal ini menunjukkan pengakuan terhadap
eksistensi sifat melawan hukum materiil di samping sifat melawan hukum formal.
Kemampuan Bertanggung
Jawab (Toerekeningsvatbaarheid)
Kemampuan bertanggung jawab
adalah kondisi psikis atau kejiwaan pelaku yang memungkinkan ia untuk memahami
makna dan akibat dari perbuatannya, menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang
atau tidak patut, serta mampu untuk menentukan kehendaknya secara bebas sesuai
dengan kesadarannya tersebut.
Dalam pandangan dualistis yang
dominan, kemampuan bertanggung jawab bukanlah unsur dari tindak pidana itu
sendiri, melainkan syarat untuk dapat dipidananya si pelaku (syarat
pertanggungjawaban pidana). Artinya, meskipun suatu perbuatan telah memenuhi
semua unsur tindak pidana (objektif dan subjektif seperti kesengajaan/kealpaan,
serta bersifat melawan hukum), pelakunya belum tentu dapat dipidana jika ia
ternyata tidak mampu bertanggung jawab pada saat melakukan perbuatan tersebut.
Ketidakmampuan bertanggung
jawab dapat disebabkan oleh berbagai faktor, terutama gangguan jiwa atau
retardasi mental. Pasal 44 KUHP lama mengatur bahwa orang yang jiwanya cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dapat dipidana. Ketentuan
serupa juga terdapat dalam Pasal 38 UU 1/2023. Kondisi ketidakmampuan
bertanggung jawab ini merupakan salah satu bentuk alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond),
yang menghapuskan kesalahan pelaku sehingga ia tidak dapat dicela dan tidak
dapat dipidana.
Pembuktian unsur subjektif,
seperti kesengajaan atau kealpaan, seringkali menjadi bagian yang paling
menantang dalam proses peradilan pidana. Berbeda dengan unsur objektif yang
bersifat lahiriah dan dapat diamati atau dibuktikan melalui bukti fisik, saksi
mata, atau dokumen , unsur subjektif menyangkut keadaan batin atau mental
pelaku yang tidak dapat dilihat secara langsung. Oleh karena itu, penuntut umum
harus membangun argumentasi dan menyajikan bukti-bukti tidak langsung
(circumstantial evidence) untuk meyakinkan hakim mengenai keadaan batin
terdakwa pada saat melakukan perbuatan. Bukti-bukti ini bisa berupa cara pelaku
melakukan perbuatan, alat yang digunakan, perkataan atau perilaku sebelum,
selama, dan sesudah perbuatan, serta motif yang melatarbelakangi perbuatan
tersebut. Proses penyimpulan keadaan batin dari fakta-fakta eksternal ini
(pembuktian inferensial) memerlukan kehati-hatian dan standar pembuktian yang
tinggi ("di luar keraguan yang wajar" atau beyond reasonable doubt)
untuk mencegah penghukuman terhadap orang yang mungkin secara fisik melakukan
perbuatan, tetapi tidak memiliki sikap batin (kesalahan) yang membuatnya patut
dicela.
Di sisi lain, pengakuan
terhadap sifat melawan hukum materiil dalam hukum pidana Indonesia menghadirkan
dinamika tersendiri. Sifat melawan hukum formal, yang bersandar pada hukum
tertulis, memberikan tingkat kepastian hukum yang tinggi. Setiap orang dapat
mengetahui dengan jelas perbuatan apa saja yang dilarang oleh undang-undang.
Namun, hukum tertulis terkadang bisa terasa kaku, statis, dan tidak selalu
sejalan dengan perkembangan nilai-nilai atau rasa keadilan dalam masyarakat. Di
sinilah sifat melawan hukum materiil berperan, memungkinkan hakim untuk
mempertimbangkan hukum tidak tertulis atau rasa keadilan masyarakat dalam
menilai suatu perbuatan. Akan tetapi, penggunaan sifat melawan hukum materiil
juga mengandung risiko, yaitu potensi berkurangnya kepastian hukum dan
munculnya subjektivitas hakim dalam menafsirkan apa yang dimaksud dengan
"hukum yang hidup" atau "rasa keadilan masyarakat". KUHP
baru (UU 1/2023) melalui Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 2 mencoba mencari titik
keseimbangan dengan mengakui keberadaan hukum yang hidup sebagai sumber sifat
melawan hukum, namun tetap dalam koridor asas legalitas (Pasal 1 ayat (1)) dan
prinsip-prinsip negara hukum. Upaya rekodifikasi ini mencerminkan usaha untuk
menyelaraskan antara kepastian hukum formal dan keadilan substantif dalam
sistem hukum pidana nasional.
Kesimpulan
Pemahaman yang utuh mengenai
perbuatan pidana menuntut kemampuan untuk melihat interaksi dinamis antar
elemen-elemen tersebut. Bagaimana suatu tindakan dinilai berdasarkan norma
hukum tertulis (melawan hukum formal) dan hukum tidak tertulis (melawan hukum
materiil)? Bagaimana sikap batin pelaku, apakah sengaja atau alpa, mempengaruhi
kualifikasi tindak pidana dan tingkat ketercelaannya? Bagaimana berbagai
klasifikasi tindak pidana (kejahatan vs pelanggaran, formil vs materiil, dolus
vs culpa, aduan vs biasa, dll.) membawa implikasi hukum yang berbeda? Dan
bagaimana asas legalitas, sebagai benteng kepastian hukum dan perlindungan hak
asasi, membatasi dan sekaligus memberikan kerangka bagi penentuan perbuatan apa
saja yang dapat dipidana? Semua pertanyaan ini menunjukkan kompleksitas konsep
dasar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar