Kamis, 24 April 2025

Unsur-Unsur Esensial Perbuatan Pidana

Kerangka Umum Unsur Tindak Pidana

Agar suatu perbuatan dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana dan pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, serangkaian unsur atau elemen harus terpenuhi. Dalam ilmu hukum pidana, unsur-unsur ini secara umum dikategorikan menjadi dua kelompok besar: unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif berkaitan dengan aspek-aspek lahiriah dari perbuatan itu sendiri, yaitu hal-hal yang dapat diamati atau terjadi di luar diri pelaku. Sebaliknya, unsur subjektif berkaitan dengan aspek-aspek batiniah atau kejiwaan pelaku pada saat melakukan perbuatan tersebut.  

Unsur-unsur ini dapat berasal dari dua sumber. Pertama, unsur-unsur yang secara eksplisit dirumuskan dalam pasal undang-undang yang mengatur delik tertentu, yang disebut sebagai bestanddelen van het delict (bagian-bagian dari delik). Kedua, unsur-unsur yang tidak selalu dicantumkan dalam rumusan delik tetapi dianggap sebagai syarat umum untuk pemidanaan berdasarkan doktrin atau ilmu hukum, seperti sifat melawan hukum (apabila tidak disebut secara tegas) dan kesalahan (dalam arti luas, mencakup kesengajaan/kealpaan dan kemampuan bertanggung jawab). Unsur-unsur dari doktrin ini sering disebut sebagai elementen van het delict (elemen-elemen delik).

Unsur Objektif (Actus Reus)

Unsur objektif adalah semua elemen yang berkaitan dengan perbuatan itu sendiri dan keadaan-keadaan eksternal yang menyertainya. Unsur-unsur ini meliputi:

  • Perbuatan Manusia (Menselijke Gedraging): Inti dari setiap tindak pidana adalah adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Perbuatan ini dapat berwujud:
    • Perbuatan Aktif/Positif (Commissie, Doing, Act): Melakukan suatu tindakan fisik atau mengucapkan kata-kata yang dilarang oleh hukum. Contohnya adalah tindakan 'mengambil' barang milik orang lain dalam delik pencurian (Pasal 362 KUHP lama).  
    • Perbuatan Pasif/Negatif (Omissie, Nalaten, Omission): Tidak melakukan suatu tindakan yang diperintahkan atau diharuskan oleh hukum, padahal ada kewajiban hukum untuk melakukannya. Contohnya adalah 'tidak memberikan pertolongan' kepada orang yang dalam bahaya maut, padahal dapat melakukannya tanpa bahaya bagi diri sendiri (Pasal 531 KUHP lama).  
  • Akibat Konstitutif (Gevolg): Khusus pada delik materiil, undang-undang mensyaratkan timbulnya suatu akibat tertentu sebagai hasil dari perbuatan pelaku. Tanpa timbulnya akibat tersebut, delik materiil belum dianggap selesai. Contoh klasik adalah timbulnya 'kematian orang lain' sebagai akibat dari perbuatan dalam delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP lama).  
  • Keadaan Menyertai (Bijkomende Omstandigheden): Situasi, kondisi, atau atribut tertentu yang harus ada pada saat perbuatan dilakukan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari rumusan delik. Keadaan ini bisa berkaitan dengan waktu, tempat, cara melakukan perbuatan, objek perbuatan, atau kondisi lainnya. Contohnya adalah keadaan 'di muka umum' pada delik penghasutan (Pasal 160 KUHP lama) atau status 'barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain' pada delik pencurian (Pasal 362 KUHP lama).  
  • Kualitas Pelaku: Beberapa delik hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kualitas, status, atau kedudukan tertentu (disebut juga delik jabatan atau delik propria). Kualitas ini menjadi unsur objektif yang harus dipenuhi. Contohnya adalah status 'pegawai negeri' dalam delik jabatan (misalnya Pasal 415 KUHP lama tentang penipuan oleh pegawai negeri) atau status 'ibu' dalam delik pembunuhan anak (Pasal 341 KUHP lama).  
  • Kausalitas (Hubungan Sebab-Akibat): Adanya mata rantai hubungan sebab-akibat antara perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dengan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Unsur kausalitas ini menjadi sangat penting pembuktiannya, terutama dalam delik-delik materiil.  

Unsur Subjektif (Mens Rea)

Unsur subjektif berkaitan dengan keadaan batin, sikap mental, atau kondisi kejiwaan pelaku pada saat melakukan tindak pidana. Unsur ini mencerminkan aspek psikologis dari perbuatan pidana dan menjadi dasar untuk menilai kadar ketercelaan pelaku. Unsur-unsur subjektif yang utama meliputi:

  • Kesalahan (Schuld): Ini adalah inti dari unsur subjektif dan pertanggungjawaban pidana. Kesalahan dalam arti luas (schuld in ruime zin) mencakup kemampuan bertanggung jawab dan bentuk kesalahan dalam arti sempit (schuld in enge zin). Bentuk kesalahan dalam arti sempit terdiri dari:
    • Kesengajaan (Dolus, Opzet, Intention): Pelaku secara sadar menghendaki (willens) perbuatan yang dilakukannya dan/atau mengetahui (wetens) akibat yang akan timbul dari perbuatannya tersebut. Dalam doktrin, kesengajaan dibedakan menjadi beberapa bentuk:
      • Dolus Directus (Sengaja sebagai Tujuan / Opzet als Oogmerk): Pelaku memang bertujuan untuk mewujudkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Ini adalah bentuk kesengajaan yang paling murni.  
      • Dolus Indirectus (Sengaja dengan Kesadaran Kepastian / Opzet bij Zekerheidsbewustzijn): Pelaku menyadari bahwa suatu akibat tertentu (yang mungkin tidak diinginkan) pasti akan terjadi sebagai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukannya untuk mencapai tujuan lain.  
      • Dolus Eventualis (Sengaja dengan Kesadaran Kemungkinan / Opzet bij Mogelijkheidsbewustzijn): Pelaku menyadari adanya kemungkinan (bukan kepastian) bahwa akibat yang dilarang dapat terjadi akibat perbuatannya, namun ia tetap melakukan perbuatan tersebut dan menerima atau 'masa bodoh' terhadap kemungkinan timbulnya akibat itu.  
    • Kealpaan (Culpa, Schuld in narrow sense, Negligence): Pelaku tidak menghendaki timbulnya akibat yang dilarang, tetapi akibat tersebut tetap terjadi karena pelaku kurang berhati-hati, lalai, ceroboh, atau kurang memiliki kemampuan untuk menduga akibat yang mungkin timbul dari perbuatannya. Kealpaan juga dapat dibedakan lebih lanjut:
      • Kealpaan Berat (Culpa Lata) vs. Kealpaan Ringan (Culpa Levis): Berdasarkan tingkat ketidakhati-hatian.
      • Kealpaan Disadari (Bewuste Schuld): Pelaku sempat membayangkan atau menyadari kemungkinan timbulnya akibat, tetapi ia percaya atau berharap akibat itu tidak akan terjadi.  
      • Kealpaan Tidak Disadari (Onbewuste Schuld): Pelaku sama sekali tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya akibat, padahal berdasarkan standar objektivitas, ia seharusnya dapat menduga atau membayangkannya.  
  • Niat (Voornemen): Merupakan unsur subjektif khusus dalam delik percobaan (poging). Niat di sini diartikan sebagai kehendak pelaku yang telah diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan tindak pidana yang dituju (Pasal 53 KUHP lama, Pasal 17 UU 1/2023).  
  • Maksud (Oogmerk): Merupakan tujuan spesifik yang ingin dicapai oleh pelaku melalui perbuatannya, yang menjadi unsur konstitutif dalam rumusan delik tertentu. Contohnya adalah "maksud untuk dimiliki secara melawan hukum" dalam delik pencurian (Pasal 362 KUHP lama) atau "maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum" dalam delik penipuan (Pasal 378 KUHP lama).  
  • Perencanaan Terlebih Dahulu (Voorbedachte Raad): Unsur ini terdapat dalam beberapa delik yang dikualifikasikan (diperberat ancaman pidananya). Perencanaan menunjukkan adanya jeda waktu antara timbulnya niat dengan pelaksanaan perbuatan, di mana pelaku memiliki kesempatan untuk berpikir dengan tenang mengenai keputusannya untuk melakukan tindak pidana tersebut. Contoh paling jelas adalah dalam delik pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP lama, Pasal 459 UU 1/2023).  
  • Perasaan Takut (Vrees): Merupakan unsur subjektif yang sangat spesifik dan hanya ditemukan dalam rumusan delik tertentu, seperti dalam Pasal 308 KUHP lama (menempatkan anak di bawah umur dalam keadaan terlantar karena takut ketahuan melahirkan) atau Pasal 430 UU 1/2023.  

3.4 Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijkheid / Unlawfulness)

Sifat melawan hukum merupakan unsur yang mutlak ada dalam setiap tindak pidana, meskipun tidak selalu dicantumkan secara eksplisit dalam rumusan pasal. Artinya, suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai tindak pidana jika perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum. Dalam doktrin hukum pidana, dikenal dua ajaran mengenai sifat melawan hukum:  

  • Sifat Melawan Hukum Formal: Ajaran ini mengartikan sifat melawan hukum semata-mata sebagai pertentangan dengan hukum tertulis (undang-undang). Suatu perbuatan dianggap melawan hukum jika telah memenuhi semua unsur yang dirumuskan dalam delik yang diatur dalam undang-undang. Ajaran ini sangat menekankan pada kepastian hukum berdasarkan teks undang-undang.  
  • Sifat Melawan Hukum Materiil: Ajaran ini memperluas pengertian sifat melawan hukum, tidak hanya terbatas pada pertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis), tetapi juga mencakup pertentangan dengan hukum tidak tertulis, yaitu asas-asas hukum umum, norma-norma kepatutan, kesusilaan, atau rasa keadilan yang hidup dan diakui dalam masyarakat. Ajaran sifat melawan hukum materiil ini memiliki dua fungsi:
    • Fungsi Positif: Menganggap suatu perbuatan tetap bersifat melawan hukum meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, asalkan perbuatan tersebut dianggap tercela dan bertentangan dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
    • Fungsi Negatif: Menganggap suatu perbuatan yang sebenarnya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang menjadi tidak bersifat melawan hukum (dan karenanya tidak dapat dipidana) jika perbuatan tersebut dibenarkan oleh norma atau hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat (berfungsi sebagai alasan pembenar di luar undang-undang).

KUHP baru (UU 1/2023) tampaknya mengadopsi kedua aspek ini. Pasal 12 ayat (2) secara eksplisit menyatakan bahwa suatu perbuatan harus "bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat" untuk dapat dinyatakan sebagai Tindak Pidana. Hal ini menunjukkan pengakuan terhadap eksistensi sifat melawan hukum materiil di samping sifat melawan hukum formal.  

Kemampuan Bertanggung Jawab (Toerekeningsvatbaarheid)

Kemampuan bertanggung jawab adalah kondisi psikis atau kejiwaan pelaku yang memungkinkan ia untuk memahami makna dan akibat dari perbuatannya, menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang atau tidak patut, serta mampu untuk menentukan kehendaknya secara bebas sesuai dengan kesadarannya tersebut.  

Dalam pandangan dualistis yang dominan, kemampuan bertanggung jawab bukanlah unsur dari tindak pidana itu sendiri, melainkan syarat untuk dapat dipidananya si pelaku (syarat pertanggungjawaban pidana). Artinya, meskipun suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur tindak pidana (objektif dan subjektif seperti kesengajaan/kealpaan, serta bersifat melawan hukum), pelakunya belum tentu dapat dipidana jika ia ternyata tidak mampu bertanggung jawab pada saat melakukan perbuatan tersebut.

Ketidakmampuan bertanggung jawab dapat disebabkan oleh berbagai faktor, terutama gangguan jiwa atau retardasi mental. Pasal 44 KUHP lama mengatur bahwa orang yang jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dapat dipidana. Ketentuan serupa juga terdapat dalam Pasal 38 UU 1/2023. Kondisi ketidakmampuan bertanggung jawab ini merupakan salah satu bentuk alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond), yang menghapuskan kesalahan pelaku sehingga ia tidak dapat dicela dan tidak dapat dipidana.  

Pembuktian unsur subjektif, seperti kesengajaan atau kealpaan, seringkali menjadi bagian yang paling menantang dalam proses peradilan pidana. Berbeda dengan unsur objektif yang bersifat lahiriah dan dapat diamati atau dibuktikan melalui bukti fisik, saksi mata, atau dokumen , unsur subjektif menyangkut keadaan batin atau mental pelaku yang tidak dapat dilihat secara langsung. Oleh karena itu, penuntut umum harus membangun argumentasi dan menyajikan bukti-bukti tidak langsung (circumstantial evidence) untuk meyakinkan hakim mengenai keadaan batin terdakwa pada saat melakukan perbuatan. Bukti-bukti ini bisa berupa cara pelaku melakukan perbuatan, alat yang digunakan, perkataan atau perilaku sebelum, selama, dan sesudah perbuatan, serta motif yang melatarbelakangi perbuatan tersebut. Proses penyimpulan keadaan batin dari fakta-fakta eksternal ini (pembuktian inferensial) memerlukan kehati-hatian dan standar pembuktian yang tinggi ("di luar keraguan yang wajar" atau beyond reasonable doubt) untuk mencegah penghukuman terhadap orang yang mungkin secara fisik melakukan perbuatan, tetapi tidak memiliki sikap batin (kesalahan) yang membuatnya patut dicela.  

Di sisi lain, pengakuan terhadap sifat melawan hukum materiil dalam hukum pidana Indonesia menghadirkan dinamika tersendiri. Sifat melawan hukum formal, yang bersandar pada hukum tertulis, memberikan tingkat kepastian hukum yang tinggi. Setiap orang dapat mengetahui dengan jelas perbuatan apa saja yang dilarang oleh undang-undang. Namun, hukum tertulis terkadang bisa terasa kaku, statis, dan tidak selalu sejalan dengan perkembangan nilai-nilai atau rasa keadilan dalam masyarakat. Di sinilah sifat melawan hukum materiil berperan, memungkinkan hakim untuk mempertimbangkan hukum tidak tertulis atau rasa keadilan masyarakat dalam menilai suatu perbuatan. Akan tetapi, penggunaan sifat melawan hukum materiil juga mengandung risiko, yaitu potensi berkurangnya kepastian hukum dan munculnya subjektivitas hakim dalam menafsirkan apa yang dimaksud dengan "hukum yang hidup" atau "rasa keadilan masyarakat". KUHP baru (UU 1/2023) melalui Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 2 mencoba mencari titik keseimbangan dengan mengakui keberadaan hukum yang hidup sebagai sumber sifat melawan hukum, namun tetap dalam koridor asas legalitas (Pasal 1 ayat (1)) dan prinsip-prinsip negara hukum. Upaya rekodifikasi ini mencerminkan usaha untuk menyelaraskan antara kepastian hukum formal dan keadilan substantif dalam sistem hukum pidana nasional.  

Kesimpulan

Pemahaman yang utuh mengenai perbuatan pidana menuntut kemampuan untuk melihat interaksi dinamis antar elemen-elemen tersebut. Bagaimana suatu tindakan dinilai berdasarkan norma hukum tertulis (melawan hukum formal) dan hukum tidak tertulis (melawan hukum materiil)? Bagaimana sikap batin pelaku, apakah sengaja atau alpa, mempengaruhi kualifikasi tindak pidana dan tingkat ketercelaannya? Bagaimana berbagai klasifikasi tindak pidana (kejahatan vs pelanggaran, formil vs materiil, dolus vs culpa, aduan vs biasa, dll.) membawa implikasi hukum yang berbeda? Dan bagaimana asas legalitas, sebagai benteng kepastian hukum dan perlindungan hak asasi, membatasi dan sekaligus memberikan kerangka bagi penentuan perbuatan apa saja yang dapat dipidana? Semua pertanyaan ini menunjukkan kompleksitas konsep dasar ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...