Kamis, 24 April 2025

Pokok-Pokok Hukum Perikatan

1. Pendahuluan

Hukum perikatan (Hukum Perikatan) merupakan salah satu pilar fundamental dalam sistem hukum perdata (Hukum Perdata) Indonesia. Bidang hukum ini mengatur hubungan hukum yang bersifat keperdataan, khususnya yang berkaitan dengan harta kekayaan, antara para pihak, di mana satu pihak memiliki hak untuk menuntut suatu prestasi (kinerja atau pemenuhan kewajiban) dan pihak lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasi tersebut. Pengaturan utama mengenai hukum perikatan di Indonesia terdapat dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek).  

Pemahaman yang mendalam mengenai pokok-pokok hukum perikatan memiliki signifikansi yang krusial, baik dalam konteks hubungan personal maupun, terutama, dalam dunia bisnis dan perdagangan. Hukum perikatan menyediakan kerangka kerja hukum yang esensial untuk memastikan kepastian hukum dalam berbagai transaksi, memfasilitasi kegiatan ekonomi, melindungi kepentingan para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian, serta menetapkan mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan.

Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan secara komprehensif pokok-pokok hukum perikatan di Indonesia, mencakup definisi dan ruang lingkupnya, sumber-sumber hukum yang mendasarinya, asas-asas fundamental yang mengaturnya, syarat-syarat keabsahan suatu perikatan, berbagai jenis perikatan yang diakui, konsep wanprestasi beserta akibat hukumnya, cara-cara berakhirnya perikatan, hingga metode penyelesaian sengketa yang lazim digunakan.  

 

2. Definisi dan Ruang Lingkup Hukum Perikatan

2.1. Definisi "Perikatan"

Meskipun menjadi subjek utama Buku Ketiga, KUHPerdata Indonesia secara eksplisit tidak memberikan definisi formal mengenai istilah "perikatan" (verbintenis). Ketiadaan definisi formal ini mengindikasikan bahwa para penyusun KUHPerdata kemungkinan menganggap konsep ini telah dipahami secara umum, berakar pada tradisi hukum Romawi-Belanda yang kuat, di mana konsep obligatio telah mapan. Akibatnya, pemahaman mengenai definisi perikatan di Indonesia sangat bergantung pada interpretasi doktrinal yang dikemukakan oleh para ahli hukum terkemuka.  

Beberapa definisi yang sering dirujuk dalam literatur hukum Indonesia antara lain:

  • Menurut Pitlo: Perikatan adalah suatu hubungan hukum (hubungan hukum) di bidang harta kekayaan (harta kekayaan) antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.  
  • Menurut Subekti: Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.  
  • Definisi lain yang relevan termasuk dari Von Savigny, yang menekankan aspek kewajiban untuk mengadakan prestasi, dan Hofmann, yang mendefinisikannya sebagai hubungan hukum antara subjek hukum tertentu yang mengakibatkan kewajiban pelaksanaan hal yang disepakati.  

Dari berbagai definisi tersebut, dapat disintesiskan bahwa perikatan pada intinya adalah suatu ikatan hukum yang terletak dalam lapangan harta kekayaan, yang terjadi antara minimal dua pihak (kreditur dan debitur), di mana satu pihak (kreditur) memiliki hak untuk menuntut pelaksanaan suatu prestasi, dan pihak lain (debitur) memiliki kewajiban hukum untuk memenuhi prestasi tersebut.  

 

2.2. Unsur-Unsur Esensial Perikatan

Berdasarkan definisi-definisi di atas, suatu perikatan mengandung unsur-unsur esensial sebagai berikut:

  1. Hubungan Hukum (Legal Relation): Ikatan antara para pihak diakui dan memiliki akibat hukum, artinya dapat dipaksakan pemenuhannya melalui jalur hukum.  
  2. Para Pihak (Parties): Minimal harus ada dua pihak, yaitu:
    • Kreditur (Crediteur): Pihak yang berhak menuntut prestasi.
    • Debitur (Debiteur): Pihak yang berkewajiban melaksanakan prestasi. Kedua pihak ini merupakan subjek perikatan.  
  3. Harta Kekayaan (Assets/Property): Hubungan hukum ini berada dalam lingkup hukum harta kekayaan (vermogensrecht), yang berarti hak dan kewajiban yang timbul umumnya bersifat patrimonial atau dapat dinilai dengan uang.  
  4. Prestasi (Prestation/Performance): Merupakan objek dari perikatan, yaitu apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi dapat berupa:
    • Memberikan sesuatu (iets te geven).
    • Berbuat sesuatu (iets te doen).
    • Tidak berbuat sesuatu (iets niet te doen).  

 

2.3. Ruang Lingkup Hukum Perikatan

Hukum perikatan merupakan bagian dari hukum harta kekayaan (hukum harta kekayaan). Penting untuk membedakannya dari hukum benda (hukum benda). Hukum perikatan mengatur hak-hak yang bersifat relatif (relatief recht), yaitu hak yang hanya dapat dituntut terhadap orang atau pihak tertentu (debitur). Sebaliknya, hukum benda mengatur hak-hak absolut (absoluut recht), yaitu hak yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang (misalnya hak milik). Selain itu, hukum perikatan menganut sistem terbuka (open system), yang berarti para pihak relatif bebas menciptakan jenis-jenis perikatan baru (melalui asas kebebasan berkontrak), sedangkan hukum benda menganut sistem tertutup (gesloten system), di mana jenis-jenis hak kebendaan terbatas pada yang diatur oleh undang-undang.  

Meskipun fokus utamanya adalah pada hubungan yang bernilai ekonomis (harta kekayaan), mekanisme perikatan juga dapat timbul atau berkaitan dengan bidang hukum lain. Perikatan dapat muncul dalam konteks hukum pribadi (hukum pribadi), hukum keluarga (hukum keluarga), misalnya kewajiban suami istri atau kewajiban orang tua terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 104 KUHPerdata, serta dalam hukum waris (hukum waris). Penekanan pada aspek harta kekayaan menunjukkan orientasi ekonomi hukum perikatan, namun keberadaannya dalam ranah hukum keluarga dan pribadi menandakan peranannya yang lebih luas dalam menstrukturkan berbagai hubungan hukum dalam masyarakat, melampaui transaksi komersial murni.  

 

3. Sumber Hukum Perikatan

Sumber hukum perikatan di Indonesia berasal dari berbagai peraturan dan norma hukum. Sumber-sumber ini menentukan bagaimana suatu perikatan dapat lahir dan apa saja aturan yang mengaturnya.

3.1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Sumber utama dan paling fundamental bagi hukum perikatan di Indonesia adalah Buku Ketiga KUHPerdata, yang secara khusus berjudul "Tentang Perikatan" (Van Verbintenissen). Buku ini memuat ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk semua jenis perikatan (diatur dalam Bab I, Pasal 1233-1312) serta aturan-aturan khusus untuk perikatan yang lahir dari perjanjian (Bab II, Pasal 1313-1351) dan perikatan yang lahir karena undang-undang (Bab III, Pasal 1352-1380), diikuti oleh bab-bab yang mengatur jenis-jenis perjanjian bernama (benoemde overeenkomsten) seperti jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain. KUHPerdata Indonesia sendiri merupakan warisan dari hukum kolonial Belanda (Burgerlijk Wetboek), yang pada gilirannya banyak dipengaruhi oleh Code Civil Prancis.  

3.2. Undang-Undang (Statutory Law)

Pasal 1233 KUHPerdata secara eksplisit menyebutkan bahwa perikatan lahir "karena suatu persetujuan atau karena undang-undang". Ini menegaskan bahwa undang-undang, sebagai sumber hukum formal tertulis, dapat secara langsung menciptakan perikatan. Perikatan yang lahir dari undang-undang ini dapat dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan Pasal 1352 KUHPerdata :  

  1. Perikatan yang Lahir Semata-mata Karena Undang-Undang (uit de wet allen): Perikatan ini timbul secara otomatis berdasarkan ketentuan hukum, tanpa memerlukan tindakan manusia tertentu. Contohnya adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak (Pasal 104 KUHPerdata) atau hak dan kewajiban antar pemilik pekarangan bertetangga (Pasal 625 KUHPerdata).  
  2. Perikatan yang Lahir Karena Undang-Undang Akibat Perbuatan Manusia (uit de wet ten gevolge van 's menschen toedoen): Perikatan ini timbul karena adanya suatu perbuatan manusia yang kemudian diatur akibat hukumnya oleh undang-undang. Pasal 1353 KUHPerdata membedakannya lebih lanjut menjadi :
    • Perbuatan yang Sesuai Hukum (Rechtmatige daad): Tindakan yang sah menurut hukum namun menimbulkan perikatan. Contohnya adalah zaakwaarneming (pengurusan kepentingan orang lain secara sukarela tanpa diminta, Pasal 1354 KUHPerdata) dan onverschuldigde betaling (pembayaran yang tidak terutang, Pasal 1359 KUHPerdata).  
    • Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige daad / Tort): Tindakan yang melanggar hukum dan merugikan orang lain, yang menimbulkan kewajiban bagi pelaku untuk mengganti kerugian (Pasal 1365 KUHPerdata).  

Pembedaan antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang dalam Pasal 1233 menyoroti dualitas fundamental dalam hukum perikatan: kewajiban dapat timbul baik dari kehendak bebas para pihak (perjanjian) maupun dari perintah eksternal sistem hukum (undang-undang). Pemahaman akan dasar timbulnya suatu kewajiban ini sangat penting karena mempengaruhi cara pembentukan, penafsiran, dan penegakan perikatan tersebut.

3.3. Perjanjian (Agreement/Contract)

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1233 KUHPerdata, perjanjian (persetujuan) adalah sumber utama kedua dari perikatan. Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian sebagai "suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Perjanjian merupakan manifestasi dari kehendak bebas para pihak (asas kebebasan berkontrak) dan merupakan sumber perikatan yang paling umum ditemui dalam praktik sehari-hari, terutama dalam transaksi komersial.  

3.4. Yurisprudensi (Jurisprudence/Case Law)

Putusan-putusan pengadilan, terutama putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi yurisprudensi (yurisprudensi tetap), memainkan peran penting sebagai sumber hukum perikatan. Yurisprudensi berfungsi untuk menafsirkan ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan lainnya, mengisi kekosongan hukum, serta mengadaptasi hukum dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan praktik. Beberapa contoh relevan meliputi:  

  • Penafsiran luas terhadap konsep "perbuatan melawan hukum" (Pasal 1365) yang tidak hanya terbatas pada pelanggaran undang-undang tertulis.  
  • Penegasan kekuatan hukum Purchase Order yang ditandatangani kedua belah pihak sebagai perjanjian yang mengikat.  
  • Pembedaan antara wanprestasi (pelanggaran kontrak) dengan tindak pidana penipuan, yang seringkali bergantung pada ada atau tidaknya itikad buruk (itikad buruk) pada saat perjanjian dibuat.  
  • Penetapan bahwa pengakhiran perjanjian secara sepihak tanpa dasar hukum yang sah merupakan perbuatan melawan hukum.  

3.5. Hukum Adat (Customary Law)

Hukum adat diakui sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia, termasuk dalam bidang perikatan, terutama untuk komunitas adat tertentu atau untuk jenis-jenis perjanjian tradisional yang tidak secara spesifik diatur dalam KUHPerdata. Sifatnya yang pragmatis dan realis memungkinkan hukum adat untuk memenuhi kebutuhan fungsional dan religius masyarakat tertentu. Contoh perikatan adat meliputi perjanjian bagi hasil ternak (perjanjian ternak), perjanjian bagi hasil pertanian (perjanjian bagi hasil), perjanjian pemeliharaan orang tua dengan imbalan warisan (perjanjian pemeliharaan), dan perjanjian pertanggungan kerabat (perjanjian pertanggungan kerabat). Pengakuan terhadap hukum adat ini menunjukkan adanya pluralisme hukum dalam sistem hukum perikatan Indonesia, di mana hukum negara (KUHPerdata) berdampingan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat adat.  

3.6. Sumber-Sumber Lain

Selain sumber-sumber utama di atas, beberapa sumber lain juga dapat mempengaruhi hukum perikatan:

  • Doktrin (Legal Doctrine): Pendapat para sarjana hukum terkemuka memiliki pengaruh signifikan terhadap interpretasi hukum oleh hakim dan pembentukan hukum di masa depan.  
  • Perjanjian Internasional (International Treaties): Traktat atau konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia dapat menjadi sumber hukum, terutama dalam transaksi yang melibatkan unsur asing. Meskipun demikian, integrasi standar internasional seperti United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (CISG) ke dalam hukum nasional Indonesia masih terbatas. Kebutuhan untuk menyelaraskan hukum perikatan nasional dengan standar internasional semakin mendesak seiring globalisasi ekonomi, guna meningkatkan kepercayaan investor asing dan mendukung pertumbuhan ekonomi.  
  • Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA): Meskipun secara formal tidak memiliki kekuatan mengikat seperti undang-undang, instruksi dan SEMA memberikan panduan bagi para hakim dalam menerapkan hukum acara perdata maupun hukum perdata materiil.  

Pengakuan terhadap yurisprudensi dan hukum adat sebagai sumber hukum di samping KUHPerdata menunjukkan bahwa hukum perikatan Indonesia bukanlah sistem yang statis dan murni kodifikasi. Ia bersifat dinamis, berkembang melalui interpretasi yudisial dan pengakuan terhadap praktik-praktik masyarakat yang sudah ada, mencerminkan realitas pluralisme hukum di Indonesia.

 

4. Asas-Asas Fundamental Hukum Perikatan

Hukum perikatan Indonesia didasarkan pada sejumlah asas atau prinsip fundamental yang menjadi landasan bagi pembentukan, pelaksanaan, dan penafsiran perjanjian. Asas-asas ini, sebagian besar tersirat maupun tersurat dalam Buku Ketiga KUHPerdata, membentuk kerangka kerja konseptual hukum kontrak. Lima asas utama yang sering disebut sebagai "Pancasila Hukum Perjanjian" adalah:

4.1. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Asas ini merupakan salah satu asas sentral dalam hukum perjanjian. Landasan utamanya adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa "Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Asas ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :  

  • Menentukan apakah mereka ingin membuat perjanjian atau tidak.
  • Memilih dengan siapa mereka akan membuat perjanjian.
  • Menentukan isi, syarat-syarat, dan klausula perjanjian sesuai dengan kehendak mereka.  
  • Menentukan bentuk perjanjian (lisan, tertulis, akta otentik), kecuali jika undang-undang mensyaratkan bentuk tertentu untuk jenis perjanjian tertentu.  

Asas ini mencerminkan prinsip otonomi kehendak (wilsautonomie) dan merupakan ciri khas dari sistem terbuka (sistem terbuka) dalam hukum perikatan. Namun, kebebasan ini tidaklah mutlak. Para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang isinya bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum (ketertiban umum), atau kesusilaan (kesusilaan).  

4.2. Asas Konsensualisme (Consensualism)

Asas ini menyatakan bahwa suatu perjanjian pada umumnya lahir dan mengikat sejak saat tercapainya kata sepakat (consensus) antara para pihak mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian tersebut. Landasan asas ini tersirat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang mensyaratkan adanya "kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya" sebagai syarat sahnya perjanjian. Artinya, pada prinsipnya, tidak diperlukan formalitas tertentu (seperti bentuk tertulis atau akta notaris) agar suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat, kecuali jika undang-undang secara khusus mensyaratkannya untuk jenis perjanjian tertentu (misalnya, perjanjian hibah tanah).  

4.3. Asas Pacta Sunt Servanda (Agreements Must Be Kept)

Asas ini sering disebut juga sebagai asas kekuatan mengikat perjanjian. Maknanya adalah bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat mereka sebagaimana layaknya undang-undang. Asas ini ditegaskan kembali dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Konsekuensi dari asas ini adalah para pihak wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah mereka sepakati dalam perjanjian. Kegagalan untuk melaksanakan kewajiban tersebut (wanprestasi) akan menimbulkan akibat hukum, termasuk kemungkinan tuntutan ganti rugi atau pembatalan perjanjian. Kekuatan mengikat ini menunjukkan betapa pentingnya komitmen sukarela yang dibuat antar individu dalam sistem hukum perdata Indonesia, di mana janji yang sah diberi status setara dengan hukum bagi para pembuatnya.  

4.4. Asas Itikad Baik (Good Faith / Goede Trouw)

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata secara tegas menyatakan bahwa "Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik". Asas ini menuntut para pihak untuk bertindak secara jujur, patut, dan adil dalam seluruh tahapan hubungan kontraktual, mulai dari tahap negosiasi, pembentukan perjanjian, pelaksanaan hak dan kewajiban, hingga penyelesaian sengketa yang mungkin timbul. Itikad baik mencakup baik aspek subjektif (kejujuran niat para pihak) maupun aspek objektif (kepatutan dan kelayakan berdasarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat). Pelaksanaan perjanjian tidak hanya terikat pada apa yang secara eksplisit tertulis, tetapi juga pada segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 KUHPerdata).  

Interaksi antara asas kebebasan berkontrak dan asas itikad baik menjadi sangat penting. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi kontrak dibatasi oleh kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik serta tidak melanggar hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan. Ini menegaskan bahwa kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan otonomi yang bertanggung jawab.

4.5. Asas Kepribadian (Privity of Contract)

Asas ini mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada prinsipnya hanya mengikat dan menimbulkan hak serta kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga, yaitu orang yang tidak ikut serta membuat perjanjian, pada umumnya tidak dapat memperoleh hak atau dibebani kewajiban berdasarkan perjanjian tersebut. Landasan hukum asas ini terdapat dalam Pasal 1315 KUHPerdata ("Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri") dan Pasal 1340 KUHPerdata ("Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya").  

Meskipun demikian, asas kepribadian ini memiliki beberapa pengecualian yang diatur oleh undang-undang, antara lain:

  • Janji untuk Pihak Ketiga (beding ten behoeve van een derde): Pasal 1317 KUHPerdata memungkinkan para pihak untuk membuat suatu janji dalam perjanjian yang memberikan manfaat atau hak kepada pihak ketiga, asalkan pihak ketiga tersebut menyatakan kehendak untuk menerimanya.  
  • Ahli Waris dan Penerima Hak: Pasal 1318 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian juga berlaku untuk kepentingan ahli waris para pihak dan orang-orang yang memperoleh hak dari mereka, kecuali jika ditentukan lain atau sifat perikatannya tidak memungkinkan.  

Kombinasi asas konsensualisme (pembentukan kontrak melalui kesepakatan) dan asas kepribadian (efek mengikat terbatas pada para pihak) mendefinisikan lingkup tipikal dari akibat hukum suatu kontrak. Namun, adanya pengecualian terhadap asas kepribadian menunjukkan bahwa sistem hukum mengakui situasi di mana pengaturan kontraktual dapat secara sengaja atau sebagai konsekuensi hukum mempengaruhi hak pihak ketiga atau melibatkan penerus hak, menambah kompleksitas di luar model dua pihak yang sederhana.

4.6. Asas-Asas Lain yang Relevan

Selain kelima asas utama tersebut, beberapa prinsip lain juga sering dikemukakan dalam konteks hukum perikatan Indonesia, yang seringkali merupakan turunan atau berkaitan erat dengan asas-asas utama:

  • Asas Keseimbangan (Equity): Menghendaki adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara para pihak dalam perjanjian.  
  • Asas Kepastian Hukum (Legal Certainty): Perjanjian yang sah memberikan kepastian hukum bagi para pihak karena berlaku sebagai undang-undang bagi mereka.  
  • Asas Kepercayaan (Trust): Para pihak saling menaruh kepercayaan bahwa masing-masing akan memenuhi janjinya.  
  • Asas Persamaan Hukum (Equality): Para pihak memiliki kedudukan hukum yang setara dalam perjanjian.  
  • Asas Moralitas (Morality): Adanya landasan moral atau kesusilaan dalam perikatan, tercermin misalnya dalam perikatan wajar (natuurlijke verbintenis).  
  • Asas Kepatutan (Propriety/Reasonableness): Pelaksanaan perjanjian harus memperhatikan kepatutan sesuai sifat perjanjian (Pasal 1339 KUHPerdata).  
  • Asas Kebiasaan (Custom): Kebiasaan yang lazim diikuti dalam bidang tertentu dapat menjadi bagian dari perjanjian (Pasal 1339, 1347 KUHPerdata).  
  • Asas Perlindungan (Protection): Hukum memberikan perlindungan kepada para pihak, terutama pihak yang posisinya lebih lemah.  

Asas-asas ini secara kolektif membentuk filosofi dasar hukum perjanjian di Indonesia, mengarahkan interpretasi dan penerapan aturan-aturan spesifik dalam KUHPerdata.

 

5. Syarat Sahnya Perikatan (Perjanjian)

Agar suatu perjanjian atau perikatan yang lahir dari perjanjian dapat dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat, Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat kumulatif yang harus dipenuhi. Keempat syarat tersebut adalah:  

5.1. Kesepakatan Mereka yang Mengikatkan Dirinya (Consensus ad idem)

Syarat pertama adalah adanya pertemuan kehendak yang bebas dan saling sesuai antara para pihak mengenai unsur-unsur pokok perjanjian. Kesepakatan ini harus diberikan secara sukarela, tanpa adanya paksaan, kekeliruan, atau penipuan. Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwa persetujuan tidak memiliki kekuatan hukum jika diberikan karena adanya cacat kehendak (wilsgebreken), yaitu :  

  • Kekhilafan (Dwaling / Mistake): Kesalahan mengenai hal pokok (substansi) dari objek perjanjian atau mengenai orang yang menjadi pihak dalam perjanjian, asalkan kesalahan tersebut bukan karena kelalaian pihak yang mengalaminya.  
  • Paksaan (Dwang / Duress): Ancaman fisik atau psikologis yang menimbulkan ketakutan pada salah satu pihak sehingga ia terpaksa memberikan persetujuannya. Paksaan ini juga berlaku jika ditujukan kepada suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dari pihak yang dipaksa.  
  • Penipuan (Bedrog / Fraud): Tindakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan yang sengaja dilakukan oleh salah satu pihak untuk membujuk pihak lain agar memberikan persetujuannya.  
  • Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden / Undue Influence): Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 1321, doktrin dan yurisprudensi kadang mengakui kondisi di mana satu pihak memanfaatkan kelemahan atau keadaan khusus pihak lain untuk memperoleh keuntungan yang tidak wajar, yang dapat mempengaruhi keabsahan kesepakatan.  

5.2. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan (Capacity)

Syarat kedua adalah bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus memiliki kecakapan atau kewenangan hukum untuk melakukan perbuatan hukum tersebut. Prinsip umumnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata, adalah bahwa setiap orang cakap untuk membuat perikatan, kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan pihak-pihak yang dianggap tidak cakap hukum, antara lain :  

  • Anak yang belum dewasa (minderjarig), yaitu mereka yang belum mencapai usia dewasa menurut undang-undang (saat ini umumnya 18 tahun atau sudah menikah).
  • Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), misalnya karena gangguan jiwa, pemboros, atau kelemahan akal pikiran.
  • Perempuan yang telah kawin (dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang). Namun, ketentuan ini sebagian besar sudah tidak relevan lagi sejak dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memberikan kedudukan hukum yang sama kepada suami dan istri.  
  • Semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.

5.3. Suatu Pokok Persoalan Tertentu (Certainty of Subject Matter)

Syarat ketiga mengharuskan objek perjanjian (prestasi) haruslah tertentu atau setidaknya dapat ditentukan (bepaalbaar). Artinya, hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian harus jelas dan tidak samar-samar. Objek ini merujuk pada prestasi yang wajib dilakukan, yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Barang yang menjadi objek perikatan setidaknya harus dapat ditentukan jenisnya, meskipun jumlahnya belum pasti, asalkan dapat dihitung atau ditetapkan kemudian. Prestasi tersebut juga harus mungkin untuk dilaksanakan.  

5.4. Suatu Sebab yang Halal (Lawful Cause / Geoorloofde Oorzaak)

Syarat keempat adalah bahwa perjanjian harus didasarkan pada suatu sebab atau causa yang halal, yang tidak terlarang. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, suatu sebab dianggap terlarang (dan karenanya tidak halal) apabila :  

  • Dilarang oleh undang-undang.
  • Bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden / good morals).
  • Bertentangan dengan ketertiban umum (openbare orde / public order).

Contoh perjanjian dengan sebab yang tidak halal adalah perjanjian jual beli narkotika atau perjanjian untuk melakukan tindak kejahatan. Penting dicatat bahwa "sebab" di sini merujuk pada isi atau tujuan dari perjanjian itu sendiri, bukan motif pribadi masing-masing pihak.  

Persyaratan mengenai Sebab yang Halal ini memberikan ruang bagi pengadilan untuk menilai keabsahan kontrak tidak hanya berdasarkan kepatuhan formal terhadap undang-undang, tetapi juga berdasarkan nilai-nilai moralitas dan ketertiban publik yang lebih luas. Hal ini, meskipun penting untuk menjaga integritas hukum, dapat menimbulkan tingkat ketidakpastian karena konsep "kesusilaan" dan "ketertiban umum" dapat diinterpretasikan secara berbeda tergantung pada konteks sosial dan pandangan hakim.  

5.5. Syarat Subjektif dan Objektif serta Akibat Hukumnya

Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut sering dikelompokkan menjadi dua kategori :  

  1. Syarat Subjektif: Berkaitan dengan para pihak (subjek) yang membuat perjanjian, yaitu kesepakatan dan kecakapan.
  2. Syarat Objektif: Berkaitan dengan isi atau objek perjanjian itu sendiri, yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal.

Pembedaan ini memiliki konsekuensi hukum yang signifikan terkait akibat hukum jika salah satu syarat tidak terpenuhi :  

  • Jika Syarat Subjektif Tidak Terpenuhi: Perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar / voidable). Artinya, perjanjian itu pada dasarnya sah dan mengikat, namun salah satu pihak (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas karena adanya cacat kehendak) memiliki hak untuk meminta pembatalan perjanjian tersebut kepada hakim. Selama belum dibatalkan oleh putusan pengadilan, perjanjian tersebut tetap berlaku.  
  • Jika Syarat Objektif Tidak Terpenuhi: Perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig van rechtswege / void ab initio). Artinya, perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak semula dan tidak pernah menimbulkan hubungan hukum atau perikatan apapun di antara para pihak. Konsekuensinya, tidak ada dasar hukum bagi para pihak untuk saling menuntut pemenuhan prestasi berdasarkan perjanjian tersebut.  

Perbedaan antara status "dapat dibatalkan" dan "batal demi hukum" ini sangat fundamental dalam praktik hukum. Kontrak yang dapat dibatalkan memberikan pilihan kepada pihak yang dilindungi untuk menegaskan atau menolak kontrak, sementara kontrak yang batal demi hukum secara otomatis tidak memiliki kekuatan hukum, demi melindungi kepentingan publik atau prinsip dasar hukum. Hal ini berdampak langsung pada kepastian hukum dan kemampuan para pihak untuk mengandalkan validitas kesepakatan mereka.

 

6. Jenis-Jenis Perikatan

Hukum perikatan Indonesia mengenal berbagai macam jenis perikatan, yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Pengklasifikasian ini penting karena seringkali aturan hukum yang berlaku berbeda-beda tergantung pada jenis perikatannya. Klasifikasi ini dapat didasarkan pada ketentuan KUHPerdata maupun pengembangan dalam ilmu hukum perdata (doktrin).  

6.1. Berdasarkan Sumbernya

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya (Bagian 3), perikatan dapat dibedakan berdasarkan sumber lahirnya:

  • Perikatan yang Lahir dari Perjanjian: Timbul karena kesepakatan para pihak.  
  • Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang: Timbul karena ditentukan oleh undang-undang, baik semata-mata karena undang-undang maupun karena undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia (sah atau melawan hukum).  

6.2. Berdasarkan Prestasinya (Objeknya)

  • Perikatan untuk Memberikan Sesuatu, Berbuat Sesuatu, atau Tidak Berbuat Sesuatu: Klasifikasi dasar menurut Pasal 1234 KUHPerdata.  
  • Perikatan Positif dan Negatif: Perikatan positif mewajibkan debitur melakukan tindakan aktif (memberi atau berbuat sesuatu), sedangkan perikatan negatif mewajibkan debitur untuk tidak melakukan suatu tindakan.  
  • Perikatan Spesifik dan Generik: Perikatan spesifik memiliki objek prestasi yang ditentukan secara individual (misalnya, menyerahkan mobil dengan nomor polisi tertentu). Perikatan generik memiliki objek yang ditentukan berdasarkan jenis dan jumlahnya (misalnya, menyerahkan 10 ton beras kualitas Cianjur). Perbedaan ini relevan terutama terkait risiko musnahnya barang.  
  • Perikatan Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi (Deelbaar en Ondeelbaar): Suatu prestasi dianggap dapat dibagi jika pelaksanaannya dapat dilakukan secara berangsur-angsur atau dalam bagian-bagian tanpa mengurangi esensi prestasi itu sendiri (misalnya, pembayaran sejumlah uang). Prestasi dianggap tidak dapat dibagi jika pelaksanaannya harus dilakukan secara utuh (misalnya, menyerahkan seekor kuda) (Pasal 1296-1303 KUHPerdata). Pembedaan ini penting jika ada lebih dari satu kreditur atau debitur.  
  • Perikatan Sepintas Lalu dan Berkelanjutan (Aflopend en Voortdurend): Perikatan sepintas lalu dipenuhi dengan satu kali perbuatan dan selesai (misalnya, jual beli tunai). Perikatan berkelanjutan memerlukan pemenuhan prestasi yang berlangsung terus-menerus selama jangka waktu tertentu (misalnya, sewa-menyewa, perjanjian kerja).  
  • Perikatan Alternatif atau Manasuka (Alternatief): Debitur diwajibkan untuk melaksanakan salah satu dari dua atau lebih prestasi yang ditentukan, dan pemenuhan salah satunya membebaskan debitur dari yang lain. Hak pilih biasanya ada pada debitur, kecuali ditentukan lain (Pasal 1272-1277 KUHPerdata).  
  • Perikatan Fakultatif (Facultatief): Hanya ada satu prestasi yang menjadi kewajiban utama debitur, namun debitur diberikan hak (bukan kewajiban) untuk menggantinya dengan prestasi lain yang telah ditentukan.  
  • Perikatan Kumulatif atau Konjungtif: Debitur wajib melaksanakan beberapa macam prestasi sekaligus.  

6.3. Berdasarkan Subjeknya

  • Perikatan Tanggung Menanggung atau Tanggung Renteng (Hoofdelijk / Solidair): Terjadi jika terdapat lebih dari satu orang di pihak kreditur (tanggung renteng aktif) atau di pihak debitur (tanggung renteng pasif). Dalam tanggung renteng aktif, setiap kreditur berhak menuntut seluruh prestasi dari debitur. Dalam tanggung renteng pasif, setiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh prestasi kepada kreditur, dan pemenuhan oleh salah satu debitur membebaskan debitur lainnya terhadap kreditur (Pasal 1278-1295 KUHPerdata). Perikatan tanggung renteng ini merupakan mekanisme penting untuk mengamankan pemenuhan prestasi, terutama dalam transaksi dengan banyak pihak, karena memungkinkan kreditur menagih jumlah penuh dari debitur mana pun yang paling mudah dijangkau atau paling mampu membayar. Namun, ini juga menciptakan hubungan internal antar sesama debitur terkait pembagian beban utang (regres).  
  • Perikatan Pokok dan Tambahan (Principaal en Accessoir): Perikatan tambahan (aksesoir) adalah perikatan yang keberadaannya bergantung pada adanya perikatan lain sebagai perikatan pokok. Jika perikatan pokok hapus, maka perikatan tambahan ikut hapus. Contoh perikatan tambahan adalah perjanjian penanggungan utang (borgtocht) atau pemberian jaminan seperti gadai dan hipotek.  

6.4. Berdasarkan Syarat atau Waktu (Daya Kerjanya)

  • Perikatan Murni (Zuiver): Perikatan yang tidak digantungkan pada syarat atau ketetapan waktu tertentu, sehingga dapat segera dituntut pemenuhannya.  
  • Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk): Perikatan yang lahir atau hapusnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan belum pasti terjadi (onzekere toekomstige gebeurtenis) (Pasal 1253-1267 KUHPerdata). Dibedakan menjadi:
    • Perikatan dengan Syarat Tangguh (Opschortende Voorwaarde): Perikatan baru lahir atau berlaku efektif setelah syarat tersebut terpenuhi.  
    • Perikatan dengan Syarat Batal (Ontbindende Voorwaarde): Perikatan lahir seketika, namun akan berakhir atau batal apabila syarat tersebut terpenuhi.  

 

  • Perikatan dengan Ketetapan Waktu (Tijdsbepaling): Perikatan yang pelaksanaan atau berakhirnya digantungkan pada suatu waktu atau peristiwa di masa depan yang pasti akan terjadi, meskipun mungkin belum diketahui kapan tepatnya (Pasal 1268-1271 KUHPerdata). Ketetapan waktu hanya menangguhkan pelaksanaan, bukan kelahiran perikatan itu sendiri.  

Pembedaan antara perikatan murni, bersyarat, dan dengan ketetapan waktu ini menyoroti pentingnya aspek kepastian versus ketidakpastian dalam pelaksanaan kontrak. Hukum menyediakan aturan spesifik mengenai kapan hak dan kewajiban timbul atau berakhir tergantung pada elemen waktu atau kondisi ini, yang berfungsi untuk mengelola risiko dan ekspektasi para pihak.

6.5. Klasifikasi Lainnya

  • Perikatan dengan Ancaman Hukuman (Strafbeding): Perikatan yang memuat klausula di mana debitur diwajibkan membayar sejumlah uang atau melakukan sesuatu sebagai denda atau hukuman jika ia tidak memenuhi prestasi utamanya (Pasal 1304-1312 KUHPerdata). Tujuannya adalah untuk mendorong pemenuhan prestasi dan mempermudah penentuan ganti rugi.  
  • Perikatan Wajar (Natuurlijke Verbintenis): Perikatan yang didasarkan pada kewajiban moral atau kepatutan, yang tidak dapat dituntut pemenuhannya di muka hakim, namun jika dipenuhi secara sukarela oleh debitur, pembayaran tersebut sah dan tidak dapat diminta kembali. Ini berbeda dengan perikatan perdata (civiele verbintenis) yang dapat dipaksakan pemenuhannya melalui hukum.  
  • Berdasarkan Jenis Perjanjian: Seringkali jenis perikatan terkait erat dengan jenis perjanjiannya, seperti perjanjian timbal balik vs. sepihak, cuma-cuma vs. atas beban, konsensuil vs. riil vs. formil, bernama vs. tidak bernama vs. campuran.  

Sistem klasifikasi yang terperinci ini mencerminkan upaya hukum perdata untuk mengkategorikan berbagai jenis hubungan hukum dan menerapkan aturan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing. Hal ini memungkinkan penerapan prinsip hukum yang lebih bernuansa dan tepat sasaran.

 

7. Wanprestasi (Pelanggaran Kontrak)

Wanprestasi merupakan konsep sentral dalam hukum perikatan yang berkaitan dengan kegagalan salah satu pihak (debitur) untuk melaksanakan kewajibannya (prestasi) sebagaimana yang telah disepakati dalam suatu perikatan atau perjanjian.

7.1. Definisi dan Bentuk Wanprestasi

Wanprestasi, sering juga disebut sebagai cidera janji atau ingkar janji, terjadi ketika debitur tidak memenuhi atau lalai melaksanakan prestasi yang menjadi kewajibannya, dan kegagalan tersebut disebabkan oleh kesalahannya (baik karena kesengajaan maupun kelalaian), bukan karena keadaan memaksa (force majeure atau overmacht).  

Berdasarkan interpretasi doktrinal dan praktik hukum, wanprestasi dapat terwujud dalam beberapa bentuk :  

  1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali: Debitur sama sekali tidak melakukan apa yang telah dijanjikannya.
  2. Melaksanakan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya: Debitur melakukan prestasi, namun kualitas atau caranya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
  3. Melaksanakan prestasi tetapi terlambat: Debitur melakukan prestasi, namun melewati batas waktu yang telah ditentukan atau disepakati.
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian dilarang: Debitur melakukan suatu tindakan yang secara eksplisit dilarang oleh klausula dalam perjanjian.

7.2. Penetapan Wanprestasi: Peran Somasi

Pada umumnya, seorang debitur baru dapat dianggap berada dalam keadaan wanprestasi atau lalai (nalatig) setelah ia diberi peringatan atau teguran resmi oleh kreditur atau melalui juru sita pengadilan. Peringatan resmi ini dikenal dengan istilah somasi (sommatie) atau ingebrekestelling, sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata.  

Tujuan utama somasi adalah untuk memberikan kesempatan terakhir kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu yang patut, sebelum kreditur menempuh upaya hukum lebih lanjut atau menuntut akibat hukum dari wanprestasi. Somasi biasanya berbentuk surat perintah atau akta sejenisnya (misalnya, surat teguran tertulis dari kreditur atau kuasanya) yang isinya secara jelas menyatakan tuntutan, dasar tuntutan, dan batas waktu pemenuhan. Somasi secara lisan umumnya tidak dianggap sah.  

Namun, terdapat beberapa keadaan di mana somasi tidak diperlukan untuk menyatakan debitur lalai:

  • Klausula Batas Waktu Fatal (Fatale Termijn): Jika perjanjian secara tegas menentukan bahwa lewatnya batas waktu pelaksanaan prestasi dengan sendirinya menyebabkan debitur lalai (mora ex re).  
  • Pelanggaran Kewajiban untuk Tidak Berbuat Sesuatu: Jika debitur melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukannya menurut perjanjian.  
  • Pengakuan Debitur: Jika debitur sendiri mengakui bahwa ia telah lalai atau wanprestasi.  
  • Prestasi Menjadi Tidak Mungkin atau Tidak Berguna: Jika pemenuhan prestasi sudah tidak mungkin dilakukan karena kesalahan debitur, atau jika pemenuhan prestasi setelah batas waktu sudah tidak ada artinya lagi bagi kreditur (misalnya, keterlambatan pengiriman gaun pengantin).  

Meskipun ada pengecualian ini, dalam praktik seringkali masih terdapat perdebatan mengenai apakah somasi mutlak diperlukan sebelum mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan. Banyak praktisi hukum menyarankan untuk tetap mengirimkan somasi terlebih dahulu sebagai bukti itikad baik dan untuk memperkuat posisi hukum kreditur. Persyaratan somasi ini mencerminkan preferensi hukum untuk mendorong pemenuhan sukarela dan memberikan kesempatan perbaikan sebelum eskalasi ke sanksi hukum. Namun, kebutuhan akan efisiensi, terutama ketika batas waktu sangat krusial atau prestasi menjadi sia-sia, menciptakan ketegangan dengan formalitas prosedur ini.  

7.3. Akibat Hukum Wanprestasi

Apabila debitur terbukti melakukan wanprestasi, maka ia dapat dikenakan berbagai sanksi atau akibat hukum berikut:

  1. Kewajiban Membayar Ganti Rugi (Schadevergoeding): Ini adalah konsekuensi paling umum. Debitur wajib mengganti kerugian yang diderita oleh kreditur akibat wanprestasinya (Pasal 1243 KUHPerdata). Ganti rugi ini, menurut Pasal 1246 KUHPerdata, dapat meliputi tiga komponen:  
    • Biaya (Kosten): Segala pengeluaran nyata yang telah dikeluarkan oleh kreditur.  
    • Rugi (Schaden): Kerugian aktual yang diderita kreditur akibat berkurangnya nilai kekayaannya.  
    • Bunga (Interessen): Kehilangan keuntungan yang diharapkan (gederfde winst) atau bunga atas sejumlah uang yang seharusnya dibayar. Bunga ini bisa berupa bunga moratoir (bunga karena keterlambatan pembayaran, menurut undang-undang sebesar 6% per tahun), bunga konvensional (yang disepakati para pihak), atau bunga kompensatoir (bunga atas kerugian lain yang harus dibuktikan). Tuntutan ganti rugi umumnya baru dapat diajukan setelah debitur dinyatakan lalai (melalui somasi) dan kreditur harus membuktikan adanya kerugian serta hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dan kerugian tersebut.  
  2. Pembatalan Perjanjian (Ontbinding): Khusus untuk perjanjian timbal balik, pihak yang dirugikan (kreditur) dapat menuntut pembatalan perjanjian kepada hakim (Pasal 1266 KUHPerdata). Pembatalan ini bertujuan untuk mengakhiri hubungan kontraktual dan, idealnya, mengembalikan para pihak pada keadaan sebelum perjanjian dibuat (restitutio in integrum), meskipun hal ini seringkali kompleks dalam praktiknya.  
    • Perlunya Putusan Hakim: Pasal 1266 ayat (2) menyatakan bahwa pembatalan harus dimintakan kepada hakim, meskipun syarat batal (karena wanprestasi) telah dicantumkan dalam perjanjian. Putusan hakim bersifat konstitutif, artinya putusan itulah yang secara hukum mengakhiri perjanjian.  
    • Pengesampingan Pasal 1266: Dalam praktik kontrak komersial, sangat umum ditemukan klausula yang menyatakan para pihak sepakat untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 (dan seringkali Pasal 1267) KUHPerdata. Tujuannya adalah agar pengakhiran perjanjian karena wanprestasi dapat dilakukan secara sepihak oleh kreditur tanpa perlu melalui proses pengadilan yang dianggap lama dan mahal. Keabsahan klausula pengesampingan ini menjadi sumber perdebatan signifikan dalam hukum dan praktik di Indonesia. Sebagian ahli dan putusan pengadilan menganggap pengesampingan ini sah berdasarkan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338). Namun, pandangan lain menyatakan Pasal 1266 bersifat memaksa (dwingend recht) atau pengesampingannya bertentangan dengan asas itikad baik, kepatutan, atau keadilan, sehingga klausula tersebut batal demi hukum. Inkonsistensi putusan pengadilan mengenai hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang besar bagi para pihak yang mengandalkan klausula tersebut.  
  3. Pemenuhan Perikatan (Nakoming): Kreditur tetap dapat menuntut agar debitur melaksanakan prestasi sesuai dengan yang diperjanjikan, terutama jika prestasi tersebut masih mungkin dan relevan untuk dilaksanakan (Pasal 1267 KUHPerdata). Tuntutan pemenuhan ini dapat disertai dengan tuntutan ganti rugi atas keterlambatan atau kerugian lain yang timbul.  
  4. Peralihan Risiko (Risico-overgang): Sejak debitur dinyatakan lalai, risiko atas objek perikatan (misalnya, risiko kerusakan atau kehilangan barang yang belum diserahkan) beralih kepadanya, meskipun sebelumnya risiko tersebut mungkin berada pada kreditur (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata).  
  5. Membayar Biaya Perkara: Jika sengketa wanprestasi diselesaikan melalui pengadilan, pihak yang kalah (biasanya debitur yang wanprestasi) dapat diwajibkan untuk membayar biaya perkara.  

7.4. Pilihan Tuntutan Kreditur

Pasal 1267 KUHPerdata memberikan hak kepada kreditur yang menghadapi debitur wanprestasi untuk memilih salah satu dari beberapa kemungkinan tuntutan:

  • Menuntut pemenuhan perikatan saja.
  • Menuntut pemenuhan perikatan disertai ganti rugi.  
  • Menuntut pembatalan perjanjian saja.
  • Menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.  
  • Menuntut ganti rugi saja (berdasarkan Pasal 1243).  

Pilihan ini bergantung pada kepentingan kreditur dan sifat dari wanprestasi yang terjadi.

 

8. Hapusnya Perikatan

Suatu perikatan hukum tidak berlangsung selamanya. KUHPerdata, khususnya dalam Pasal 1381, mengatur berbagai cara bagaimana suatu perikatan dapat berakhir atau hapus. Penting untuk dicatat bahwa hapusnya satu atau beberapa perikatan dalam suatu perjanjian tidak secara otomatis menghapuskan perjanjian itu sendiri, kecuali jika perikatan yang hapus tersebut merupakan satu-satunya atau inti dari perjanjian tersebut.  

Berikut adalah sepuluh cara hapusnya perikatan menurut Pasal 1381 KUHPerdata:

  1. Karena Pembayaran (Betaling): Ini adalah cara paling umum dan wajar berakhirnya perikatan, yaitu dengan dilaksanakannya prestasi yang menjadi kewajiban debitur secara sukarela kepada kreditur. Pembayaran tidak harus dilakukan oleh debitur sendiri, tetapi bisa juga oleh pihak ketiga yang berkepentingan (misalnya penanggung utang) atau bahkan pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asalkan bertindak atas nama debitur atau tidak mengambil alih hak kreditur (Pasal 1382 KUHPerdata).  
  2. Karena Penawaran Pembayaran Tunai, Diikuti dengan Penyimpanan atau Penitipan (Consignatie): Jika kreditur menolak untuk menerima pembayaran yang sah dari debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran secara resmi (biasanya melalui notaris atau juru sita) dan jika tetap ditolak, menitipkan objek pembayaran (uang atau barang) di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Tindakan ini membebaskan debitur dari kewajibannya seolah-olah ia telah membayar (Pasal 1404-1412 KUHPerdata).  
  3. Karena Pembaruan Utang (Novatie): Terjadi ketika para pihak membuat suatu perikatan baru yang dimaksudkan untuk menggantikan dan menghapuskan perikatan lama (Pasal 1413-1424 KUHPerdata). Novasi dapat berupa:
    • Novasi Objektif: Mengganti isi atau sebab perikatan lama dengan yang baru.
    • Novasi Subjektif Pasif: Mengganti debitur lama dengan debitur baru yang dibebaskan oleh kreditur.
    • Novasi Subjektif Aktif: Mengganti kreditur lama dengan kreditur baru, di mana kreditur lama membebaskan debitur.  
  4. Karena Perjumpaan Utang atau Kompensasi (Schuldvergelijking): Apabila dua pihak saling berutang satu sama lain, maka utang-utang tersebut dapat saling menghapuskan (dikompensasikan) hingga jumlah yang terkecil, asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti kedua utang sudah dapat ditagih (jatuh tempo) dan objeknya berupa sejumlah uang atau barang sejenis yang dapat dihabiskan (Pasal 1425-1435 KUHPerdata).  
  5. Karena Percampuran Utang (Schuldvermenging): Terjadi apabila kedudukan sebagai kreditur dan debitur bersatu pada satu orang yang sama, misalnya karena pewarisan atau perkawinan dengan percampuran harta. Dalam hal ini, perikatan hapus demi hukum (Pasal 1436-1437 KUHPerdata).  
  6. Karena Pembebasan Utang (Kwijtschelding): Terjadi jika kreditur secara sukarela melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan ini harus dinyatakan secara tegas atau terbukti dari tindakan kreditur dan tidak dapat dipersangkakan (Pasal 1438-1443 KUHPerdata).  
  7. Karena Musnahnya Barang yang Terutang (Tenietgaan van de verschuldigde zaak): Jika barang tertentu yang menjadi objek perikatan musnah, tidak dapat diperdagangkan lagi, atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya, maka perikatan tersebut hapus (Pasal 1444-1445 KUHPerdata).  
  8. Karena Kebatalan atau Pembatalan (Nietigheid of Vernietiging): Jika suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum (karena tidak memenuhi syarat objektif Pasal 1320), maka perikatan yang seharusnya lahir darinya dianggap tidak pernah ada. Jika perjanjian dibatalkan oleh hakim (karena tidak memenuhi syarat subjektif Pasal 1320), maka perikatan yang lahir darinya hapus secara retroaktif (Pasal 1446-1456 KUHPerdata).  
  9. Karena Berlakunya Suatu Syarat Batal (Ontbindende Voorwaarde): Jika perikatan dibuat dengan syarat batal, maka terpenuhinya syarat tersebut secara otomatis menghapuskan perikatan dan membawa keadaan kembali seperti semula seolah-olah perikatan tidak pernah ada (Pasal 1265 KUHPerdata).  
  10. Karena Lewat Waktu atau Daluwarsa (Verjaring): Hak kreditur untuk menuntut pemenuhan prestasi di muka pengadilan dapat hapus karena lewatnya jangka waktu tertentu yang ditetapkan undang-undang (umumnya 30 tahun untuk tuntutan perdata, Pasal 1967 KUHPerdata). Daluwarsa ini disebut daluwarsa ekstinktif (extinctieve verjaring) dan mengubah perikatan perdata menjadi perikatan wajar (Pasal 1946-1993 KUHPerdata).  

Selain kesepuluh cara yang disebutkan dalam Pasal 1381, suatu perjanjian (dan perikatan di dalamnya) juga dapat berakhir karena :  

  • Kesepakatan Para Pihak: Para pihak setuju untuk mengakhiri perjanjian (Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata).
  • Tercapainya Tujuan Perjanjian: Jika tujuan dibuatnya perjanjian telah tercapai.
  • Berakhirnya Jangka Waktu: Jika perjanjian dibuat untuk jangka waktu tertentu dan waktu tersebut telah habis.
  • Meninggalnya Salah Satu Pihak: Hanya berlaku untuk perjanjian yang bersifat sangat pribadi (intuitu personae), seperti perjanjian kerja, pemberian kuasa, atau perjanjian dengan seniman tertentu.  
  • Putusan Hakim: Selain karena pembatalan, hakim dapat memutuskan berakhirnya perjanjian dalam kasus-kasus tertentu.

Mekanisme hapusnya perikatan seperti novasi, kompensasi, percampuran utang, dan pembebasan utang menunjukkan fleksibilitas hukum perdata dalam menyelesaikan hubungan utang-piutang. Hukum menyediakan cara-cara untuk merestrukturisasi atau mengakhiri kewajiban tanpa harus selalu melalui pemenuhan prestasi secara penuh, memberikan alternatif penyelesaian bagi para pihak.

 

9. Penyelesaian Sengketa Perikatan

Sengketa atau perselisihan yang timbul dari hubungan perikatan, terutama yang lahir dari perjanjian (kontrak), merupakan hal yang lazim terjadi. Sistem hukum Indonesia menyediakan berbagai mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tersebut, yang secara garis besar dapat dibagi menjadi jalur di luar pengadilan (Alternatif Penyelesaian Sengketa/APS atau Alternative Dispute Resolution/ADR) dan jalur pengadilan (litigasi).  

9.1. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS/ADR)

APS seringkali menjadi pilihan utama dalam penyelesaian sengketa bisnis karena dianggap lebih efisien, cepat, hemat biaya (dalam beberapa kasus), bersifat rahasia, dan lebih kondusif untuk menjaga hubungan baik antar pihak. Pengaturan mengenai APS, khususnya arbitrase, terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Beberapa bentuk APS yang umum dikenal adalah:  

  • Negosiasi (Negotiation): Proses perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan damai tanpa melibatkan pihak ketiga. Sifatnya sangat fleksibel dan informal, namun keberhasilannya sangat bergantung pada kemauan baik dan posisi tawar para pihak.  
  • Mediasi (Mediation): Penyelesaian sengketa melalui perundingan yang dibantu oleh pihak ketiga yang netral dan tidak memihak, yaitu mediator. Mediator bertugas memfasilitasi komunikasi, membantu para pihak mengidentifikasi kepentingan mereka, dan menjajaki opsi-opsi penyelesaian. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memutus sengketa; kesepakatan harus dicapai secara sukarela oleh para pihak. Mediasi juga diwajibkan sebagai tahap awal dalam proses berperkara di pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2016.  
  • Konsiliasi (Conciliation): Mirip dengan mediasi, namun konsiliator (pihak ketiga netral) dapat mengambil peran lebih aktif dalam memberikan usulan atau rekomendasi penyelesaian sengketa kepada para pihak. Keputusan akhir tetap berada di tangan para pihak.  
  • Konsultasi (Consultation): Tindakan salah satu pihak meminta pendapat atau nasihat hukum dari seorang ahli (konsultan) mengenai sengketa yang dihadapinya. Konsultan tidak berperan menengahi para pihak.  
  • Pendapat Ahli (Expert Opinion): Para pihak sepakat untuk meminta pendapat dari seorang ahli mengenai aspek teknis atau faktual tertentu dalam sengketa. Pendapat ini bisa mengikat atau tidak mengikat, tergantung kesepakatan.  

Ketersediaan beragam pilihan APS ini mencerminkan pengakuan bahwa proses litigasi formal tidak selalu merupakan cara yang paling efektif atau sesuai untuk semua jenis sengketa kontraktual. Fleksibilitas, kerahasiaan, dan fokus pada solusi yang dapat diterima bersama menjadi daya tarik utama APS, terutama dalam konteks bisnis yang mengutamakan kelangsungan hubungan.

9.2. Litigasi (Penyelesaian Melalui Pengadilan)

Jika upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak berhasil atau tidak dipilih, sengketa perikatan dapat diajukan ke pengadilan negeri. Proses litigasi bersifat formal, terbuka untuk umum, dan diatur oleh hukum acara perdata (HIR untuk Jawa dan Madura, RBg untuk luar Jawa dan Madura, serta UU Kekuasaan Kehakiman). Hakim akan memeriksa perkara berdasarkan bukti-bukti yang diajukan para pihak dan menjatuhkan putusan yang mengikat. Putusan pengadilan negeri dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dan kasasi ke Mahkamah Agung, bahkan Peninjauan Kembali (PK) dalam kondisi tertentu.  

Meskipun sering dianggap lambat, mahal, dan formalistis , litigasi memiliki keunggulan dalam memberikan kepastian hukum melalui putusan yang dapat dieksekusi secara paksa, menetapkan preseden hukum, dan menjamin proses yang adil (meskipun bersifat adversarial win-lose).  

9.3. Arbitrase (Arbitration)

Arbitrase adalah mekanisme penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase (biasanya berupa klausula arbitrase dalam kontrak) di mana para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada seorang atau beberapa arbiter. Arbiter yang dipilih (seringkali ahli di bidang sengketa) akan memeriksa perkara dan memberikan putusan (disebut award) yang bersifat final (final) dan mengikat (binding) bagi para pihak. Putusan arbitrase memiliki kekuatan eksekutorial setelah didaftarkan di pengadilan negeri dan hanya dapat dibatalkan oleh pengadilan atas dasar alasan-alasan yang sangat terbatas menurut UU No. 30 Tahun 1999.  

Arbitrase sering dipilih untuk sengketa komersial, terutama yang bersifat internasional atau memerlukan keahlian teknis khusus, karena menawarkan kelebihan berupa kecepatan, kerahasiaan, netralitas (para pihak dapat memilih arbiter), dan finalitas putusan.  

9.4. Klausula Pilihan Forum (Choice of Forum Clause)

Untuk menghindari ketidakpastian dan potensi konflik yurisdiksi, terutama dalam kontrak yang melibatkan pihak dari yurisdiksi berbeda, sangat disarankan bagi para pihak untuk secara tegas mencantumkan klausula pilihan forum dalam perjanjian mereka. Klausula ini menentukan mekanisme penyelesaian sengketa yang disepakati (misalnya, pengadilan negeri tertentu, arbitrase melalui lembaga tertentu seperti BANI, atau mediasi) dan lokasi atau yurisdiksi tempat penyelesaian sengketa akan dilakukan. Pencantuman klausula ini merupakan bagian penting dari manajemen risiko kontrak secara proaktif.  

Pilihan antara metode fasilitatif (negosiasi, mediasi) di mana para pihak mengendalikan hasil, dan metode adjudikatif (litigasi, arbitrase) di mana pihak ketiga memaksakan keputusan yang mengikat, merupakan spektrum fundamental dalam penyelesaian sengketa. Pilihan ini mencerminkan trade-off antara otonomi pihak, kepastian putusan, kecepatan, biaya, dan dampak pada hubungan para pihak.

 

10. Kesimpulan

Hukum perikatan Indonesia, yang berpusat pada Buku Ketiga KUHPerdata, membentuk dasar bagi sebagian besar hubungan hukum privat yang berkaitan dengan hak dan kewajiban bernilai ekonomis. Pemahaman mengenai definisi perikatan sebagai hubungan hukum berbasis prestasi antara kreditur dan debitur, serta pengakuan terhadap perjanjian dan undang-undang sebagai sumber utamanya, adalah esensial. Asas-asas fundamental seperti kebebasan berkontrak, konsensualisme, pacta sunt servanda, itikad baik, dan kepribadian memberikan kerangka filosofis dan normatif bagi pembentukan dan pelaksanaan perjanjian.

Keabsahan suatu perjanjian bergantung pada terpenuhinya empat syarat kumulatif dalam Pasal 1320 KUHPerdata: kesepakatan yang bebas dari cacat kehendak, kecakapan para pihak, objek prestasi yang tertentu atau dapat ditentukan, dan sebab yang halal (tidak melanggar hukum, kesusilaan, atau ketertiban umum). Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya syarat subjektif (dapat dibatalkan) berbeda secara signifikan dari tidak terpenuhinya syarat objektif (batal demi hukum). Hukum perikatan juga mengenal berbagai jenis klasifikasi perikatan yang memungkinkan penerapan aturan yang lebih spesifik.

Konsep wanprestasi (pelanggaran kontrak) menjadi krusial ketika salah satu pihak gagal memenuhi prestasinya karena kesalahannya. Penetapan wanprestasi umumnya memerlukan somasi, meskipun terdapat pengecualian. Akibat hukum wanprestasi dapat berupa kewajiban membayar ganti rugi, kemungkinan pembatalan perjanjian (yang seringkali memerlukan putusan hakim, meskipun praktik pengesampingan Pasal 1266 KUHPerdata menimbulkan ketidakpastian hukum), tuntutan pemenuhan prestasi, dan peralihan risiko. Pemilihan dasar gugatan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum juga merupakan aspek penting yang mempengaruhi proses dan hasil penyelesaian sengketa.

Perikatan dapat berakhir melalui berbagai cara yang diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata, seperti pembayaran, novasi, kompensasi, musnahnya barang, atau daluwarsa, serta cara-cara lain seperti kesepakatan para pihak atau berakhirnya jangka waktu. Akhirnya, sengketa perikatan dapat diselesaikan melalui jalur non-litigasi (negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase) yang seringkali lebih disukai dalam konteks bisnis, atau melalui jalur litigasi di pengadilan negeri.

Secara keseluruhan, hukum perikatan Indonesia merupakan bidang hukum yang dinamis, terus beradaptasi dengan kebutuhan zaman dan praktik bisnis modern, sambil tetap berpegang pada akar hukum perdata warisan Belanda. Perkembangan yurisprudensi, pengaruh doktrin, pengakuan hukum adat, dan tekanan harmonisasi dengan standar internasional terus membentuk evolusinya. Oleh karena itu, pemahaman yang cermat terhadap prinsip-prinsip, aturan, dan isu-isu kontemporer dalam hukum perikatan, seperti validitas pengesampingan Pasal 1266 KUHPerdata, sangatlah vital bagi praktisi hukum dan pelaku bisnis yang beroperasi dalam yurisdiksi Indonesia untuk memastikan kepastian hukum dan efektivitas dalam hubungan kontraktual mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...