1. Pendahuluan
Hukum perikatan (Hukum Perikatan)
merupakan salah satu pilar fundamental dalam sistem hukum perdata (Hukum
Perdata) Indonesia. Bidang hukum ini mengatur hubungan hukum yang bersifat
keperdataan, khususnya yang berkaitan dengan harta kekayaan, antara para pihak,
di mana satu pihak memiliki hak untuk menuntut suatu prestasi (kinerja atau
pemenuhan kewajiban) dan pihak lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasi
tersebut. Pengaturan utama mengenai hukum perikatan di Indonesia terdapat dalam
Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata atau Burgerlijk
Wetboek).
Pemahaman yang mendalam mengenai
pokok-pokok hukum perikatan memiliki signifikansi yang krusial, baik dalam
konteks hubungan personal maupun, terutama, dalam dunia bisnis dan perdagangan.
Hukum perikatan menyediakan kerangka kerja hukum yang esensial untuk memastikan
kepastian hukum dalam berbagai transaksi, memfasilitasi kegiatan ekonomi,
melindungi kepentingan para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian, serta
menetapkan mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan.
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan
secara komprehensif pokok-pokok hukum perikatan di Indonesia, mencakup definisi
dan ruang lingkupnya, sumber-sumber hukum yang mendasarinya, asas-asas
fundamental yang mengaturnya, syarat-syarat keabsahan suatu perikatan, berbagai
jenis perikatan yang diakui, konsep wanprestasi beserta akibat hukumnya,
cara-cara berakhirnya perikatan, hingga metode penyelesaian sengketa yang lazim
digunakan.
2. Definisi dan Ruang Lingkup
Hukum Perikatan
2.1. Definisi
"Perikatan"
Meskipun menjadi subjek utama Buku Ketiga,
KUHPerdata Indonesia secara eksplisit tidak memberikan definisi formal mengenai
istilah "perikatan" (verbintenis). Ketiadaan definisi formal
ini mengindikasikan bahwa para penyusun KUHPerdata kemungkinan menganggap
konsep ini telah dipahami secara umum, berakar pada tradisi hukum
Romawi-Belanda yang kuat, di mana konsep obligatio telah mapan.
Akibatnya, pemahaman mengenai definisi perikatan di Indonesia sangat bergantung
pada interpretasi doktrinal yang dikemukakan oleh para ahli hukum terkemuka.
Beberapa definisi yang sering dirujuk
dalam literatur hukum Indonesia antara lain:
- Menurut Pitlo: Perikatan adalah suatu
hubungan hukum (hubungan hukum) di bidang harta kekayaan (harta
kekayaan) antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu
berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu
prestasi.
- Menurut Subekti: Perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak lain, dan pihak lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
- Definisi lain yang relevan termasuk dari Von
Savigny, yang menekankan aspek kewajiban untuk mengadakan prestasi,
dan Hofmann, yang mendefinisikannya sebagai hubungan hukum antara
subjek hukum tertentu yang mengakibatkan kewajiban pelaksanaan hal yang
disepakati.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat
disintesiskan bahwa perikatan pada intinya adalah suatu ikatan hukum yang
terletak dalam lapangan harta kekayaan, yang terjadi antara minimal dua pihak
(kreditur dan debitur), di mana satu pihak (kreditur) memiliki hak untuk
menuntut pelaksanaan suatu prestasi, dan pihak lain (debitur) memiliki kewajiban
hukum untuk memenuhi prestasi tersebut.
2.2. Unsur-Unsur Esensial
Perikatan
Berdasarkan definisi-definisi di atas,
suatu perikatan mengandung unsur-unsur esensial sebagai berikut:
- Hubungan Hukum (Legal Relation):
Ikatan antara para pihak diakui dan memiliki akibat hukum, artinya dapat
dipaksakan pemenuhannya melalui jalur hukum.
- Para Pihak (Parties):
Minimal harus ada dua pihak, yaitu:
- Kreditur (Crediteur):
Pihak yang berhak menuntut prestasi.
- Debitur (Debiteur):
Pihak yang berkewajiban melaksanakan prestasi. Kedua pihak ini merupakan
subjek perikatan.
- Harta Kekayaan (Assets/Property):
Hubungan hukum ini berada dalam lingkup hukum harta kekayaan (vermogensrecht),
yang berarti hak dan kewajiban yang timbul umumnya bersifat patrimonial
atau dapat dinilai dengan uang.
- Prestasi (Prestation/Performance):
Merupakan objek dari perikatan, yaitu apa yang menjadi hak kreditur dan
kewajiban debitur. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi dapat berupa:
- Memberikan sesuatu (iets te geven).
- Berbuat sesuatu (iets te doen).
- Tidak berbuat sesuatu (iets niet te
doen).
2.3. Ruang Lingkup Hukum
Perikatan
Hukum perikatan merupakan bagian dari
hukum harta kekayaan (hukum harta kekayaan). Penting untuk membedakannya
dari hukum benda (hukum benda). Hukum perikatan mengatur hak-hak yang
bersifat relatif (relatief recht), yaitu hak yang hanya dapat
dituntut terhadap orang atau pihak tertentu (debitur). Sebaliknya, hukum
benda mengatur hak-hak absolut (absoluut recht), yaitu hak yang
dapat dipertahankan terhadap setiap orang (misalnya hak milik). Selain itu,
hukum perikatan menganut sistem terbuka (open system), yang
berarti para pihak relatif bebas menciptakan jenis-jenis perikatan baru
(melalui asas kebebasan berkontrak), sedangkan hukum benda menganut sistem
tertutup (gesloten system), di mana jenis-jenis hak kebendaan
terbatas pada yang diatur oleh undang-undang.
Meskipun fokus utamanya adalah pada
hubungan yang bernilai ekonomis (harta kekayaan), mekanisme perikatan juga
dapat timbul atau berkaitan dengan bidang hukum lain. Perikatan dapat muncul
dalam konteks hukum pribadi (hukum pribadi), hukum keluarga (hukum
keluarga), misalnya kewajiban suami istri atau kewajiban orang tua terhadap
anak sebagaimana diatur dalam Pasal 104 KUHPerdata, serta dalam hukum waris (hukum
waris). Penekanan pada aspek harta kekayaan menunjukkan orientasi
ekonomi hukum perikatan, namun keberadaannya dalam ranah hukum keluarga dan
pribadi menandakan peranannya yang lebih luas dalam menstrukturkan berbagai
hubungan hukum dalam masyarakat, melampaui transaksi komersial murni.
3. Sumber Hukum Perikatan
Sumber hukum perikatan di Indonesia
berasal dari berbagai peraturan dan norma hukum. Sumber-sumber ini menentukan
bagaimana suatu perikatan dapat lahir dan apa saja aturan yang mengaturnya.
3.1. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata)
Sumber utama dan paling fundamental bagi
hukum perikatan di Indonesia adalah Buku Ketiga KUHPerdata, yang secara
khusus berjudul "Tentang Perikatan" (Van Verbintenissen). Buku
ini memuat ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk semua jenis perikatan
(diatur dalam Bab I, Pasal 1233-1312) serta aturan-aturan khusus untuk
perikatan yang lahir dari perjanjian (Bab II, Pasal 1313-1351) dan perikatan
yang lahir karena undang-undang (Bab III, Pasal 1352-1380), diikuti oleh
bab-bab yang mengatur jenis-jenis perjanjian bernama (benoemde
overeenkomsten) seperti jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain. KUHPerdata
Indonesia sendiri merupakan warisan dari hukum kolonial Belanda (Burgerlijk
Wetboek), yang pada gilirannya banyak dipengaruhi oleh Code Civil
Prancis.
3.2. Undang-Undang (Statutory
Law)
Pasal 1233 KUHPerdata secara eksplisit
menyebutkan bahwa perikatan lahir "karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang". Ini menegaskan bahwa undang-undang, sebagai sumber
hukum formal tertulis, dapat secara langsung menciptakan perikatan. Perikatan
yang lahir dari undang-undang ini dapat dibedakan menjadi dua kategori
berdasarkan Pasal 1352 KUHPerdata :
- Perikatan yang Lahir Semata-mata Karena Undang-Undang
(uit de wet allen): Perikatan ini timbul
secara otomatis berdasarkan ketentuan hukum, tanpa memerlukan tindakan
manusia tertentu. Contohnya adalah kewajiban orang tua untuk memelihara
dan mendidik anak (Pasal 104 KUHPerdata) atau hak dan kewajiban
antar pemilik pekarangan bertetangga (Pasal 625 KUHPerdata).
- Perikatan yang Lahir Karena Undang-Undang Akibat
Perbuatan Manusia (uit de wet ten gevolge van 's menschen toedoen):
Perikatan ini timbul karena adanya suatu perbuatan manusia yang kemudian
diatur akibat hukumnya oleh undang-undang. Pasal 1353 KUHPerdata
membedakannya lebih lanjut menjadi :
- Perbuatan yang Sesuai Hukum (Rechtmatige
daad): Tindakan yang sah menurut hukum namun
menimbulkan perikatan. Contohnya adalah zaakwaarneming (pengurusan
kepentingan orang lain secara sukarela tanpa diminta, Pasal 1354
KUHPerdata) dan onverschuldigde betaling (pembayaran yang tidak
terutang, Pasal 1359 KUHPerdata).
- Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige
daad / Tort): Tindakan yang melanggar hukum dan
merugikan orang lain, yang menimbulkan kewajiban bagi pelaku untuk
mengganti kerugian (Pasal 1365 KUHPerdata).
Pembedaan antara perikatan yang lahir dari
perjanjian dan yang lahir dari undang-undang dalam Pasal 1233 menyoroti
dualitas fundamental dalam hukum perikatan: kewajiban dapat timbul baik dari
kehendak bebas para pihak (perjanjian) maupun dari perintah eksternal sistem
hukum (undang-undang). Pemahaman akan dasar timbulnya suatu kewajiban ini
sangat penting karena mempengaruhi cara pembentukan, penafsiran, dan penegakan
perikatan tersebut.
3.3. Perjanjian (Agreement/Contract)
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1233
KUHPerdata, perjanjian (persetujuan) adalah sumber utama kedua dari
perikatan. Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian sebagai "suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih". Perjanjian merupakan manifestasi dari kehendak
bebas para pihak (asas kebebasan berkontrak) dan merupakan sumber
perikatan yang paling umum ditemui dalam praktik sehari-hari, terutama dalam
transaksi komersial.
3.4. Yurisprudensi (Jurisprudence/Case
Law)
Putusan-putusan pengadilan, terutama
putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi
yurisprudensi (yurisprudensi tetap), memainkan peran penting sebagai
sumber hukum perikatan. Yurisprudensi berfungsi untuk menafsirkan
ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan lainnya,
mengisi kekosongan hukum, serta mengadaptasi hukum dengan perkembangan masyarakat
dan kebutuhan praktik. Beberapa contoh relevan meliputi:
- Penafsiran luas terhadap konsep "perbuatan
melawan hukum" (Pasal 1365) yang tidak hanya terbatas pada
pelanggaran undang-undang tertulis.
- Penegasan kekuatan hukum Purchase Order yang
ditandatangani kedua belah pihak sebagai perjanjian yang mengikat.
- Pembedaan antara wanprestasi (pelanggaran kontrak)
dengan tindak pidana penipuan, yang seringkali bergantung pada ada atau
tidaknya itikad buruk (itikad buruk) pada saat perjanjian dibuat.
- Penetapan bahwa pengakhiran perjanjian secara sepihak
tanpa dasar hukum yang sah merupakan perbuatan melawan hukum.
3.5. Hukum Adat (Customary
Law)
Hukum adat diakui sebagai salah satu
sumber hukum di Indonesia, termasuk dalam bidang perikatan, terutama untuk
komunitas adat tertentu atau untuk jenis-jenis perjanjian tradisional yang
tidak secara spesifik diatur dalam KUHPerdata. Sifatnya yang pragmatis dan
realis memungkinkan hukum adat untuk memenuhi kebutuhan fungsional dan religius
masyarakat tertentu. Contoh perikatan adat meliputi perjanjian bagi hasil
ternak (perjanjian ternak), perjanjian bagi hasil pertanian (perjanjian
bagi hasil), perjanjian pemeliharaan orang tua dengan imbalan warisan (perjanjian
pemeliharaan), dan perjanjian pertanggungan kerabat (perjanjian
pertanggungan kerabat). Pengakuan terhadap hukum adat ini menunjukkan
adanya pluralisme hukum dalam sistem hukum perikatan Indonesia, di mana hukum
negara (KUHPerdata) berdampingan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat
adat.
3.6. Sumber-Sumber Lain
Selain sumber-sumber utama di atas,
beberapa sumber lain juga dapat mempengaruhi hukum perikatan:
- Doktrin (Legal Doctrine):
Pendapat para sarjana hukum terkemuka memiliki pengaruh signifikan
terhadap interpretasi hukum oleh hakim dan pembentukan hukum di masa
depan.
- Perjanjian Internasional (International Treaties):
Traktat atau konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia
dapat menjadi sumber hukum, terutama dalam transaksi yang melibatkan unsur
asing. Meskipun demikian, integrasi standar internasional seperti United
Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods
(CISG) ke dalam hukum nasional Indonesia masih terbatas. Kebutuhan untuk
menyelaraskan hukum perikatan nasional dengan standar internasional
semakin mendesak seiring globalisasi ekonomi, guna meningkatkan
kepercayaan investor asing dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
- Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA):
Meskipun secara formal tidak memiliki kekuatan mengikat seperti
undang-undang, instruksi dan SEMA memberikan panduan bagi para hakim dalam
menerapkan hukum acara perdata maupun hukum perdata materiil.
Pengakuan terhadap yurisprudensi dan hukum
adat sebagai sumber hukum di samping KUHPerdata menunjukkan bahwa hukum
perikatan Indonesia bukanlah sistem yang statis dan murni kodifikasi. Ia
bersifat dinamis, berkembang melalui interpretasi yudisial dan pengakuan
terhadap praktik-praktik masyarakat yang sudah ada, mencerminkan realitas
pluralisme hukum di Indonesia.
4. Asas-Asas Fundamental Hukum
Perikatan
Hukum perikatan Indonesia didasarkan pada
sejumlah asas atau prinsip fundamental yang menjadi landasan bagi pembentukan,
pelaksanaan, dan penafsiran perjanjian. Asas-asas ini, sebagian besar tersirat
maupun tersurat dalam Buku Ketiga KUHPerdata, membentuk kerangka kerja
konseptual hukum kontrak. Lima asas utama yang sering disebut sebagai
"Pancasila Hukum Perjanjian" adalah:
4.1. Asas Kebebasan Berkontrak
(Freedom of Contract)
Asas ini merupakan salah satu asas sentral
dalam hukum perjanjian. Landasan utamanya adalah Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, yang menyatakan bahwa "Semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Asas ini
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
- Menentukan apakah mereka ingin membuat perjanjian atau
tidak.
- Memilih dengan siapa mereka akan membuat perjanjian.
- Menentukan isi, syarat-syarat, dan klausula perjanjian
sesuai dengan kehendak mereka.
- Menentukan bentuk perjanjian (lisan, tertulis, akta
otentik), kecuali jika undang-undang mensyaratkan bentuk tertentu untuk
jenis perjanjian tertentu.
Asas ini mencerminkan prinsip otonomi
kehendak (wilsautonomie) dan merupakan ciri khas dari sistem terbuka (sistem
terbuka) dalam hukum perikatan. Namun, kebebasan ini tidaklah mutlak. Para
pihak tidak boleh membuat perjanjian yang isinya bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum (ketertiban umum), atau kesusilaan (kesusilaan).
4.2. Asas Konsensualisme (Consensualism)
Asas ini menyatakan bahwa suatu
perjanjian pada umumnya lahir dan mengikat sejak saat tercapainya kata sepakat (consensus)
antara para pihak mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian tersebut. Landasan
asas ini tersirat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang mensyaratkan adanya
"kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya" sebagai syarat sahnya
perjanjian. Artinya, pada prinsipnya, tidak diperlukan formalitas tertentu
(seperti bentuk tertulis atau akta notaris) agar suatu perjanjian menjadi sah
dan mengikat, kecuali jika undang-undang secara khusus mensyaratkannya untuk
jenis perjanjian tertentu (misalnya, perjanjian hibah tanah).
4.3. Asas Pacta Sunt Servanda
(Agreements Must Be Kept)
Asas ini sering disebut juga sebagai asas
kekuatan mengikat perjanjian. Maknanya adalah bahwa perjanjian yang dibuat
secara sah oleh para pihak mengikat mereka sebagaimana layaknya
undang-undang. Asas ini ditegaskan kembali dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata. Konsekuensi dari asas ini adalah para pihak wajib melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang telah mereka sepakati dalam perjanjian. Kegagalan
untuk melaksanakan kewajiban tersebut (wanprestasi) akan menimbulkan akibat
hukum, termasuk kemungkinan tuntutan ganti rugi atau pembatalan perjanjian.
Kekuatan mengikat ini menunjukkan betapa pentingnya komitmen sukarela yang
dibuat antar individu dalam sistem hukum perdata Indonesia, di mana janji yang sah
diberi status setara dengan hukum bagi para pembuatnya.
4.4. Asas Itikad Baik (Good
Faith / Goede Trouw)
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata secara
tegas menyatakan bahwa "Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad
baik". Asas ini menuntut para pihak untuk bertindak secara jujur,
patut, dan adil dalam seluruh tahapan hubungan kontraktual, mulai dari
tahap negosiasi, pembentukan perjanjian, pelaksanaan hak dan kewajiban, hingga
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul. Itikad baik mencakup baik aspek
subjektif (kejujuran niat para pihak) maupun aspek objektif (kepatutan dan
kelayakan berdasarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat). Pelaksanaan
perjanjian tidak hanya terikat pada apa yang secara eksplisit tertulis, tetapi
juga pada segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 KUHPerdata).
Interaksi antara asas kebebasan berkontrak
dan asas itikad baik menjadi sangat penting. Kebebasan para pihak untuk
menentukan isi kontrak dibatasi oleh kewajiban untuk bertindak dengan itikad
baik serta tidak melanggar hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan. Ini
menegaskan bahwa kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan
otonomi yang bertanggung jawab.
4.5. Asas Kepribadian (Privity
of Contract)
Asas ini mengandung pengertian bahwa suatu
perjanjian pada prinsipnya hanya mengikat dan menimbulkan hak serta
kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga, yaitu orang yang
tidak ikut serta membuat perjanjian, pada umumnya tidak dapat memperoleh hak
atau dibebani kewajiban berdasarkan perjanjian tersebut. Landasan hukum asas
ini terdapat dalam Pasal 1315 KUHPerdata ("Pada umumnya seseorang tidak
dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri")
dan Pasal 1340 KUHPerdata ("Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak
yang membuatnya").
Meskipun demikian, asas kepribadian ini
memiliki beberapa pengecualian yang diatur oleh undang-undang, antara lain:
- Janji untuk Pihak Ketiga (beding ten behoeve van
een derde): Pasal 1317 KUHPerdata memungkinkan para
pihak untuk membuat suatu janji dalam perjanjian yang memberikan manfaat
atau hak kepada pihak ketiga, asalkan pihak ketiga tersebut menyatakan
kehendak untuk menerimanya.
- Ahli Waris dan Penerima Hak:
Pasal 1318 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian juga berlaku untuk
kepentingan ahli waris para pihak dan orang-orang yang memperoleh hak dari
mereka, kecuali jika ditentukan lain atau sifat perikatannya tidak
memungkinkan.
Kombinasi asas konsensualisme (pembentukan
kontrak melalui kesepakatan) dan asas kepribadian (efek mengikat terbatas pada
para pihak) mendefinisikan lingkup tipikal dari akibat hukum suatu kontrak.
Namun, adanya pengecualian terhadap asas kepribadian menunjukkan bahwa sistem
hukum mengakui situasi di mana pengaturan kontraktual dapat secara sengaja atau
sebagai konsekuensi hukum mempengaruhi hak pihak ketiga atau melibatkan penerus
hak, menambah kompleksitas di luar model dua pihak yang sederhana.
4.6. Asas-Asas Lain yang
Relevan
Selain kelima asas utama tersebut,
beberapa prinsip lain juga sering dikemukakan dalam konteks hukum perikatan
Indonesia, yang seringkali merupakan turunan atau berkaitan erat dengan
asas-asas utama:
- Asas Keseimbangan (Equity):
Menghendaki adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara para pihak dalam
perjanjian.
- Asas Kepastian Hukum (Legal Certainty):
Perjanjian yang sah memberikan kepastian hukum bagi para pihak karena
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka.
- Asas Kepercayaan (Trust):
Para pihak saling menaruh kepercayaan bahwa masing-masing akan memenuhi
janjinya.
- Asas Persamaan Hukum (Equality):
Para pihak memiliki kedudukan hukum yang setara dalam perjanjian.
- Asas Moralitas (Morality):
Adanya landasan moral atau kesusilaan dalam perikatan, tercermin misalnya
dalam perikatan wajar (natuurlijke verbintenis).
- Asas Kepatutan (Propriety/Reasonableness):
Pelaksanaan perjanjian harus memperhatikan kepatutan sesuai sifat
perjanjian (Pasal 1339 KUHPerdata).
- Asas Kebiasaan (Custom):
Kebiasaan yang lazim diikuti dalam bidang tertentu dapat menjadi bagian
dari perjanjian (Pasal 1339, 1347 KUHPerdata).
- Asas Perlindungan (Protection):
Hukum memberikan perlindungan kepada para pihak, terutama pihak yang
posisinya lebih lemah.
Asas-asas ini secara kolektif membentuk
filosofi dasar hukum perjanjian di Indonesia, mengarahkan interpretasi dan
penerapan aturan-aturan spesifik dalam KUHPerdata.
5. Syarat Sahnya Perikatan
(Perjanjian)
Agar suatu perjanjian atau perikatan yang
lahir dari perjanjian dapat dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat,
Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat kumulatif yang harus dipenuhi.
Keempat syarat tersebut adalah:
5.1. Kesepakatan Mereka yang
Mengikatkan Dirinya (Consensus ad idem)
Syarat pertama adalah adanya pertemuan
kehendak yang bebas dan saling sesuai antara para pihak mengenai unsur-unsur
pokok perjanjian. Kesepakatan ini harus diberikan secara sukarela, tanpa adanya
paksaan, kekeliruan, atau penipuan. Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwa
persetujuan tidak memiliki kekuatan hukum jika diberikan karena adanya cacat
kehendak (wilsgebreken), yaitu :
- Kekhilafan (Dwaling / Mistake):
Kesalahan mengenai hal pokok (substansi) dari objek perjanjian atau
mengenai orang yang menjadi pihak dalam perjanjian, asalkan kesalahan
tersebut bukan karena kelalaian pihak yang mengalaminya.
- Paksaan (Dwang / Duress):
Ancaman fisik atau psikologis yang menimbulkan ketakutan pada salah satu
pihak sehingga ia terpaksa memberikan persetujuannya. Paksaan ini juga
berlaku jika ditujukan kepada suami/istri atau keluarga sedarah dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah dari pihak yang dipaksa.
- Penipuan (Bedrog / Fraud):
Tindakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan yang sengaja dilakukan
oleh salah satu pihak untuk membujuk pihak lain agar memberikan
persetujuannya.
- Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden
/ Undue Influence): Meskipun tidak secara eksplisit
disebutkan dalam Pasal 1321, doktrin dan yurisprudensi kadang mengakui
kondisi di mana satu pihak memanfaatkan kelemahan atau keadaan khusus
pihak lain untuk memperoleh keuntungan yang tidak wajar, yang dapat
mempengaruhi keabsahan kesepakatan.
5.2. Kecakapan untuk Membuat
Suatu Perikatan (Capacity)
Syarat kedua adalah bahwa para pihak yang
membuat perjanjian harus memiliki kecakapan atau kewenangan hukum untuk
melakukan perbuatan hukum tersebut. Prinsip umumnya, sebagaimana diatur dalam
Pasal 1329 KUHPerdata, adalah bahwa setiap orang cakap untuk membuat perikatan,
kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata
menyebutkan pihak-pihak yang dianggap tidak cakap hukum, antara lain :
- Anak yang belum dewasa (minderjarig), yaitu
mereka yang belum mencapai usia dewasa menurut undang-undang (saat ini
umumnya 18 tahun atau sudah menikah).
- Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele),
misalnya karena gangguan jiwa, pemboros, atau kelemahan akal pikiran.
- Perempuan yang telah kawin (dalam hal-hal yang
ditentukan undang-undang). Namun, ketentuan ini sebagian besar sudah tidak
relevan lagi sejak dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun
1963 dan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang memberikan kedudukan hukum yang sama kepada suami dan istri.
- Semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk
membuat perjanjian tertentu.
5.3. Suatu Pokok Persoalan
Tertentu (Certainty of Subject Matter)
Syarat ketiga mengharuskan objek
perjanjian (prestasi) haruslah tertentu atau setidaknya dapat ditentukan (bepaalbaar).
Artinya, hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian harus jelas dan tidak
samar-samar. Objek ini merujuk pada prestasi yang wajib dilakukan, yaitu
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234
KUHPerdata). Barang yang menjadi objek perikatan setidaknya harus dapat
ditentukan jenisnya, meskipun jumlahnya belum pasti, asalkan dapat dihitung
atau ditetapkan kemudian. Prestasi tersebut juga harus mungkin untuk
dilaksanakan.
5.4. Suatu Sebab yang Halal (Lawful
Cause / Geoorloofde Oorzaak)
Syarat keempat adalah bahwa perjanjian
harus didasarkan pada suatu sebab atau causa yang halal, yang tidak terlarang.
Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, suatu sebab dianggap terlarang (dan karenanya
tidak halal) apabila :
- Dilarang oleh undang-undang.
- Bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden /
good morals).
- Bertentangan dengan ketertiban umum (openbare orde
/ public order).
Contoh perjanjian dengan sebab yang tidak
halal adalah perjanjian jual beli narkotika atau perjanjian untuk melakukan
tindak kejahatan. Penting dicatat bahwa "sebab" di sini merujuk pada
isi atau tujuan dari perjanjian itu sendiri, bukan motif pribadi masing-masing
pihak.
Persyaratan mengenai Sebab yang Halal
ini memberikan ruang bagi pengadilan untuk menilai keabsahan kontrak tidak
hanya berdasarkan kepatuhan formal terhadap undang-undang, tetapi juga
berdasarkan nilai-nilai moralitas dan ketertiban publik yang lebih luas. Hal
ini, meskipun penting untuk menjaga integritas hukum, dapat menimbulkan tingkat
ketidakpastian karena konsep "kesusilaan" dan "ketertiban
umum" dapat diinterpretasikan secara berbeda tergantung pada konteks
sosial dan pandangan hakim.
5.5. Syarat Subjektif dan
Objektif serta Akibat Hukumnya
Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut
sering dikelompokkan menjadi dua kategori :
- Syarat Subjektif: Berkaitan dengan
para pihak (subjek) yang membuat perjanjian, yaitu kesepakatan dan kecakapan.
- Syarat Objektif: Berkaitan dengan isi
atau objek perjanjian itu sendiri, yaitu suatu hal tertentu dan sebab
yang halal.
Pembedaan ini memiliki konsekuensi hukum
yang signifikan terkait akibat hukum jika salah satu syarat tidak terpenuhi :
- Jika Syarat Subjektif Tidak Terpenuhi:
Perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar /
voidable). Artinya, perjanjian itu pada dasarnya sah dan mengikat, namun
salah satu pihak (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
kesepakatan secara tidak bebas karena adanya cacat kehendak) memiliki hak
untuk meminta pembatalan perjanjian tersebut kepada hakim. Selama belum
dibatalkan oleh putusan pengadilan, perjanjian tersebut tetap berlaku.
- Jika Syarat Objektif Tidak Terpenuhi:
Perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig van rechtswege
/ void ab initio). Artinya, perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada
sejak semula dan tidak pernah menimbulkan hubungan hukum atau perikatan
apapun di antara para pihak. Konsekuensinya, tidak ada dasar hukum bagi
para pihak untuk saling menuntut pemenuhan prestasi berdasarkan perjanjian
tersebut.
Perbedaan antara status "dapat
dibatalkan" dan "batal demi hukum" ini sangat fundamental dalam
praktik hukum. Kontrak yang dapat dibatalkan memberikan pilihan kepada pihak
yang dilindungi untuk menegaskan atau menolak kontrak, sementara kontrak yang
batal demi hukum secara otomatis tidak memiliki kekuatan hukum, demi melindungi
kepentingan publik atau prinsip dasar hukum. Hal ini berdampak langsung pada
kepastian hukum dan kemampuan para pihak untuk mengandalkan validitas
kesepakatan mereka.
6. Jenis-Jenis Perikatan
Hukum perikatan Indonesia mengenal
berbagai macam jenis perikatan, yang diklasifikasikan berdasarkan
kriteria-kriteria tertentu. Pengklasifikasian ini penting karena seringkali
aturan hukum yang berlaku berbeda-beda tergantung pada jenis perikatannya. Klasifikasi
ini dapat didasarkan pada ketentuan KUHPerdata maupun pengembangan dalam ilmu
hukum perdata (doktrin).
6.1. Berdasarkan Sumbernya
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya
(Bagian 3), perikatan dapat dibedakan berdasarkan sumber lahirnya:
- Perikatan yang Lahir dari Perjanjian:
Timbul karena kesepakatan para pihak.
- Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang:
Timbul karena ditentukan oleh undang-undang, baik semata-mata karena
undang-undang maupun karena undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia
(sah atau melawan hukum).
6.2. Berdasarkan Prestasinya
(Objeknya)
- Perikatan untuk Memberikan Sesuatu, Berbuat Sesuatu,
atau Tidak Berbuat Sesuatu: Klasifikasi dasar
menurut Pasal 1234 KUHPerdata.
- Perikatan Positif dan Negatif:
Perikatan positif mewajibkan debitur melakukan tindakan aktif (memberi
atau berbuat sesuatu), sedangkan perikatan negatif mewajibkan debitur
untuk tidak melakukan suatu tindakan.
- Perikatan Spesifik dan Generik:
Perikatan spesifik memiliki objek prestasi yang ditentukan secara
individual (misalnya, menyerahkan mobil dengan nomor polisi tertentu).
Perikatan generik memiliki objek yang ditentukan berdasarkan jenis dan
jumlahnya (misalnya, menyerahkan 10 ton beras kualitas Cianjur). Perbedaan
ini relevan terutama terkait risiko musnahnya barang.
- Perikatan Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi (Deelbaar
en Ondeelbaar): Suatu prestasi dianggap dapat
dibagi jika pelaksanaannya dapat dilakukan secara berangsur-angsur atau
dalam bagian-bagian tanpa mengurangi esensi prestasi itu sendiri
(misalnya, pembayaran sejumlah uang). Prestasi dianggap tidak dapat dibagi
jika pelaksanaannya harus dilakukan secara utuh (misalnya, menyerahkan
seekor kuda) (Pasal 1296-1303 KUHPerdata). Pembedaan ini penting jika ada
lebih dari satu kreditur atau debitur.
- Perikatan Sepintas Lalu dan Berkelanjutan (Aflopend
en Voortdurend): Perikatan sepintas lalu dipenuhi
dengan satu kali perbuatan dan selesai (misalnya, jual beli tunai).
Perikatan berkelanjutan memerlukan pemenuhan prestasi yang berlangsung
terus-menerus selama jangka waktu tertentu (misalnya, sewa-menyewa,
perjanjian kerja).
- Perikatan Alternatif atau Manasuka (Alternatief):
Debitur diwajibkan untuk melaksanakan salah satu dari dua atau lebih
prestasi yang ditentukan, dan pemenuhan salah satunya membebaskan debitur
dari yang lain. Hak pilih biasanya ada pada debitur, kecuali ditentukan
lain (Pasal 1272-1277 KUHPerdata).
- Perikatan Fakultatif (Facultatief):
Hanya ada satu prestasi yang menjadi kewajiban utama debitur, namun
debitur diberikan hak (bukan kewajiban) untuk menggantinya dengan prestasi
lain yang telah ditentukan.
- Perikatan Kumulatif atau Konjungtif:
Debitur wajib melaksanakan beberapa macam prestasi sekaligus.
6.3. Berdasarkan Subjeknya
- Perikatan Tanggung Menanggung atau Tanggung Renteng (Hoofdelijk
/ Solidair): Terjadi jika terdapat lebih dari satu
orang di pihak kreditur (tanggung renteng aktif) atau di pihak debitur
(tanggung renteng pasif). Dalam tanggung renteng aktif, setiap
kreditur berhak menuntut seluruh prestasi dari debitur. Dalam tanggung
renteng pasif, setiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh
prestasi kepada kreditur, dan pemenuhan oleh salah satu debitur
membebaskan debitur lainnya terhadap kreditur (Pasal 1278-1295
KUHPerdata). Perikatan tanggung renteng ini merupakan mekanisme penting untuk
mengamankan pemenuhan prestasi, terutama dalam transaksi dengan banyak
pihak, karena memungkinkan kreditur menagih jumlah penuh dari debitur mana
pun yang paling mudah dijangkau atau paling mampu membayar. Namun, ini
juga menciptakan hubungan internal antar sesama debitur terkait pembagian
beban utang (regres).
- Perikatan Pokok dan Tambahan (Principaal en
Accessoir): Perikatan tambahan (aksesoir) adalah
perikatan yang keberadaannya bergantung pada adanya perikatan lain sebagai
perikatan pokok. Jika perikatan pokok hapus, maka perikatan tambahan ikut
hapus. Contoh perikatan tambahan adalah perjanjian penanggungan utang (borgtocht)
atau pemberian jaminan seperti gadai dan hipotek.
6.4. Berdasarkan Syarat atau
Waktu (Daya Kerjanya)
- Perikatan Murni (Zuiver):
Perikatan yang tidak digantungkan pada syarat atau ketetapan waktu
tertentu, sehingga dapat segera dituntut pemenuhannya.
- Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk):
Perikatan yang lahir atau hapusnya digantungkan pada suatu peristiwa yang
masih akan datang dan belum pasti terjadi (onzekere toekomstige
gebeurtenis) (Pasal 1253-1267 KUHPerdata). Dibedakan menjadi:
- Perikatan dengan Syarat Tangguh (Opschortende
Voorwaarde): Perikatan baru lahir atau berlaku
efektif setelah syarat tersebut terpenuhi.
- Perikatan dengan Syarat Batal (Ontbindende
Voorwaarde): Perikatan lahir seketika, namun akan
berakhir atau batal apabila syarat tersebut terpenuhi.
- Perikatan dengan Ketetapan Waktu (Tijdsbepaling):
Perikatan yang pelaksanaan atau berakhirnya digantungkan pada suatu waktu
atau peristiwa di masa depan yang pasti akan terjadi, meskipun
mungkin belum diketahui kapan tepatnya (Pasal 1268-1271 KUHPerdata).
Ketetapan waktu hanya menangguhkan pelaksanaan, bukan kelahiran perikatan
itu sendiri.
Pembedaan antara perikatan murni,
bersyarat, dan dengan ketetapan waktu ini menyoroti pentingnya aspek kepastian
versus ketidakpastian dalam pelaksanaan kontrak. Hukum menyediakan aturan
spesifik mengenai kapan hak dan kewajiban timbul atau berakhir tergantung pada
elemen waktu atau kondisi ini, yang berfungsi untuk mengelola risiko dan
ekspektasi para pihak.
6.5. Klasifikasi Lainnya
- Perikatan dengan Ancaman Hukuman (Strafbeding):
Perikatan yang memuat klausula di mana debitur diwajibkan membayar
sejumlah uang atau melakukan sesuatu sebagai denda atau hukuman jika ia
tidak memenuhi prestasi utamanya (Pasal 1304-1312 KUHPerdata). Tujuannya
adalah untuk mendorong pemenuhan prestasi dan mempermudah penentuan ganti
rugi.
- Perikatan Wajar (Natuurlijke Verbintenis):
Perikatan yang didasarkan pada kewajiban moral atau kepatutan, yang tidak
dapat dituntut pemenuhannya di muka hakim, namun jika dipenuhi secara
sukarela oleh debitur, pembayaran tersebut sah dan tidak dapat diminta
kembali. Ini berbeda dengan perikatan perdata (civiele verbintenis)
yang dapat dipaksakan pemenuhannya melalui hukum.
- Berdasarkan Jenis Perjanjian:
Seringkali jenis perikatan terkait erat dengan jenis perjanjiannya,
seperti perjanjian timbal balik vs. sepihak, cuma-cuma vs. atas beban,
konsensuil vs. riil vs. formil, bernama vs. tidak bernama vs. campuran.
Sistem klasifikasi yang terperinci ini
mencerminkan upaya hukum perdata untuk mengkategorikan berbagai jenis hubungan
hukum dan menerapkan aturan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing. Hal
ini memungkinkan penerapan prinsip hukum yang lebih bernuansa dan tepat
sasaran.
7. Wanprestasi (Pelanggaran
Kontrak)
Wanprestasi merupakan konsep sentral
dalam hukum perikatan yang berkaitan dengan kegagalan salah satu pihak
(debitur) untuk melaksanakan kewajibannya (prestasi) sebagaimana yang telah
disepakati dalam suatu perikatan atau perjanjian.
7.1. Definisi dan Bentuk
Wanprestasi
Wanprestasi, sering juga disebut sebagai cidera
janji atau ingkar janji, terjadi ketika debitur tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan prestasi yang menjadi kewajibannya, dan kegagalan tersebut
disebabkan oleh kesalahannya (baik karena kesengajaan maupun kelalaian), bukan
karena keadaan memaksa (force majeure atau overmacht).
Berdasarkan interpretasi doktrinal dan
praktik hukum, wanprestasi dapat terwujud dalam beberapa bentuk :
- Tidak melaksanakan prestasi sama sekali:
Debitur sama sekali tidak melakukan apa yang telah dijanjikannya.
- Melaksanakan prestasi tetapi tidak sebagaimana
mestinya: Debitur melakukan prestasi, namun
kualitas atau caranya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
- Melaksanakan prestasi tetapi terlambat:
Debitur melakukan prestasi, namun melewati batas waktu yang telah
ditentukan atau disepakati.
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian dilarang:
Debitur melakukan suatu tindakan yang secara eksplisit dilarang oleh
klausula dalam perjanjian.
7.2. Penetapan Wanprestasi:
Peran Somasi
Pada umumnya, seorang debitur baru dapat
dianggap berada dalam keadaan wanprestasi atau lalai (nalatig) setelah
ia diberi peringatan atau teguran resmi oleh kreditur atau melalui juru sita
pengadilan. Peringatan resmi ini dikenal dengan istilah somasi (sommatie)
atau ingebrekestelling, sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata.
Tujuan utama somasi
adalah untuk memberikan kesempatan terakhir kepada debitur untuk memenuhi
kewajibannya dalam jangka waktu yang patut, sebelum kreditur menempuh upaya
hukum lebih lanjut atau menuntut akibat hukum dari wanprestasi. Somasi biasanya
berbentuk surat perintah atau akta sejenisnya (misalnya, surat teguran tertulis
dari kreditur atau kuasanya) yang isinya secara jelas menyatakan tuntutan,
dasar tuntutan, dan batas waktu pemenuhan. Somasi secara lisan umumnya tidak
dianggap sah.
Namun, terdapat beberapa keadaan di mana
somasi tidak diperlukan untuk menyatakan debitur lalai:
- Klausula Batas Waktu Fatal (Fatale Termijn):
Jika perjanjian secara tegas menentukan bahwa lewatnya batas waktu
pelaksanaan prestasi dengan sendirinya menyebabkan debitur lalai (mora
ex re).
- Pelanggaran Kewajiban untuk Tidak Berbuat Sesuatu:
Jika debitur melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukannya
menurut perjanjian.
- Pengakuan Debitur: Jika debitur
sendiri mengakui bahwa ia telah lalai atau wanprestasi.
- Prestasi Menjadi Tidak Mungkin atau Tidak Berguna:
Jika pemenuhan prestasi sudah tidak mungkin dilakukan karena kesalahan
debitur, atau jika pemenuhan prestasi setelah batas waktu sudah tidak ada
artinya lagi bagi kreditur (misalnya, keterlambatan pengiriman gaun
pengantin).
Meskipun ada pengecualian ini, dalam
praktik seringkali masih terdapat perdebatan mengenai apakah somasi mutlak
diperlukan sebelum mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan. Banyak
praktisi hukum menyarankan untuk tetap mengirimkan somasi terlebih dahulu
sebagai bukti itikad baik dan untuk memperkuat posisi hukum kreditur.
Persyaratan somasi ini mencerminkan preferensi hukum untuk mendorong pemenuhan
sukarela dan memberikan kesempatan perbaikan sebelum eskalasi ke sanksi hukum.
Namun, kebutuhan akan efisiensi, terutama ketika batas waktu sangat krusial
atau prestasi menjadi sia-sia, menciptakan ketegangan dengan formalitas
prosedur ini.
7.3. Akibat Hukum Wanprestasi
Apabila debitur terbukti melakukan
wanprestasi, maka ia dapat dikenakan berbagai sanksi atau akibat hukum berikut:
- Kewajiban Membayar Ganti Rugi (Schadevergoeding):
Ini adalah konsekuensi paling umum. Debitur wajib mengganti kerugian yang
diderita oleh kreditur akibat wanprestasinya (Pasal 1243 KUHPerdata).
Ganti rugi ini, menurut Pasal 1246 KUHPerdata, dapat meliputi tiga
komponen:
- Biaya (Kosten):
Segala pengeluaran nyata yang telah dikeluarkan oleh kreditur.
- Rugi (Schaden):
Kerugian aktual yang diderita kreditur akibat berkurangnya nilai
kekayaannya.
- Bunga (Interessen):
Kehilangan keuntungan yang diharapkan (gederfde winst) atau bunga
atas sejumlah uang yang seharusnya dibayar. Bunga ini bisa berupa bunga
moratoir (bunga karena keterlambatan pembayaran, menurut undang-undang
sebesar 6% per tahun), bunga konvensional (yang disepakati para pihak),
atau bunga kompensatoir (bunga atas kerugian lain yang harus dibuktikan).
Tuntutan ganti rugi umumnya baru dapat diajukan setelah debitur
dinyatakan lalai (melalui somasi) dan kreditur harus membuktikan adanya
kerugian serta hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dan kerugian tersebut.
- Pembatalan Perjanjian (Ontbinding):
Khusus untuk perjanjian timbal balik, pihak yang dirugikan (kreditur)
dapat menuntut pembatalan perjanjian kepada hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).
Pembatalan ini bertujuan untuk mengakhiri hubungan kontraktual dan,
idealnya, mengembalikan para pihak pada keadaan sebelum perjanjian dibuat
(restitutio in integrum), meskipun hal ini seringkali kompleks
dalam praktiknya.
- Perlunya Putusan Hakim:
Pasal 1266 ayat (2) menyatakan bahwa pembatalan harus dimintakan kepada
hakim, meskipun syarat batal (karena wanprestasi) telah dicantumkan dalam
perjanjian. Putusan hakim bersifat konstitutif, artinya putusan itulah
yang secara hukum mengakhiri perjanjian.
- Pengesampingan Pasal 1266:
Dalam praktik kontrak komersial, sangat umum ditemukan klausula yang
menyatakan para pihak sepakat untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 1266
(dan seringkali Pasal 1267) KUHPerdata. Tujuannya adalah agar pengakhiran
perjanjian karena wanprestasi dapat dilakukan secara sepihak oleh
kreditur tanpa perlu melalui proses pengadilan yang dianggap lama dan
mahal. Keabsahan klausula pengesampingan ini menjadi sumber perdebatan
signifikan dalam hukum dan praktik di Indonesia. Sebagian ahli dan
putusan pengadilan menganggap pengesampingan ini sah berdasarkan asas
kebebasan berkontrak (Pasal 1338). Namun, pandangan lain menyatakan Pasal
1266 bersifat memaksa (dwingend recht) atau pengesampingannya
bertentangan dengan asas itikad baik, kepatutan, atau keadilan, sehingga
klausula tersebut batal demi hukum. Inkonsistensi putusan pengadilan
mengenai hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang besar bagi para
pihak yang mengandalkan klausula tersebut.
- Pemenuhan Perikatan (Nakoming):
Kreditur tetap dapat menuntut agar debitur melaksanakan prestasi sesuai
dengan yang diperjanjikan, terutama jika prestasi tersebut masih mungkin
dan relevan untuk dilaksanakan (Pasal 1267 KUHPerdata). Tuntutan pemenuhan
ini dapat disertai dengan tuntutan ganti rugi atas keterlambatan atau
kerugian lain yang timbul.
- Peralihan Risiko (Risico-overgang):
Sejak debitur dinyatakan lalai, risiko atas objek perikatan (misalnya,
risiko kerusakan atau kehilangan barang yang belum diserahkan) beralih
kepadanya, meskipun sebelumnya risiko tersebut mungkin berada pada
kreditur (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata).
- Membayar Biaya Perkara:
Jika sengketa wanprestasi diselesaikan melalui pengadilan, pihak yang
kalah (biasanya debitur yang wanprestasi) dapat diwajibkan untuk membayar
biaya perkara.
7.4. Pilihan Tuntutan Kreditur
Pasal 1267 KUHPerdata memberikan hak
kepada kreditur yang menghadapi debitur wanprestasi untuk memilih salah satu
dari beberapa kemungkinan tuntutan:
- Menuntut pemenuhan perikatan saja.
- Menuntut pemenuhan perikatan disertai ganti rugi.
- Menuntut pembatalan perjanjian saja.
- Menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.
- Menuntut ganti rugi saja (berdasarkan Pasal 1243).
Pilihan ini bergantung pada kepentingan
kreditur dan sifat dari wanprestasi yang terjadi.
8. Hapusnya Perikatan
Suatu perikatan hukum tidak berlangsung
selamanya. KUHPerdata, khususnya dalam Pasal 1381, mengatur berbagai cara
bagaimana suatu perikatan dapat berakhir atau hapus. Penting untuk dicatat
bahwa hapusnya satu atau beberapa perikatan dalam suatu perjanjian tidak secara
otomatis menghapuskan perjanjian itu sendiri, kecuali jika perikatan yang hapus
tersebut merupakan satu-satunya atau inti dari perjanjian tersebut.
Berikut adalah sepuluh cara hapusnya
perikatan menurut Pasal 1381 KUHPerdata:
- Karena Pembayaran (Betaling):
Ini adalah cara paling umum dan wajar berakhirnya perikatan, yaitu dengan
dilaksanakannya prestasi yang menjadi kewajiban debitur secara sukarela
kepada kreditur. Pembayaran tidak harus dilakukan oleh debitur sendiri,
tetapi bisa juga oleh pihak ketiga yang berkepentingan (misalnya
penanggung utang) atau bahkan pihak ketiga yang tidak berkepentingan,
asalkan bertindak atas nama debitur atau tidak mengambil alih hak kreditur
(Pasal 1382 KUHPerdata).
- Karena Penawaran Pembayaran Tunai, Diikuti dengan
Penyimpanan atau Penitipan (Consignatie):
Jika kreditur menolak untuk menerima pembayaran yang sah dari debitur,
debitur dapat melakukan penawaran pembayaran secara resmi (biasanya
melalui notaris atau juru sita) dan jika tetap ditolak, menitipkan objek
pembayaran (uang atau barang) di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Tindakan
ini membebaskan debitur dari kewajibannya seolah-olah ia telah membayar
(Pasal 1404-1412 KUHPerdata).
- Karena Pembaruan Utang (Novatie):
Terjadi ketika para pihak membuat suatu perikatan baru yang dimaksudkan
untuk menggantikan dan menghapuskan perikatan lama (Pasal 1413-1424
KUHPerdata). Novasi dapat berupa:
- Novasi Objektif:
Mengganti isi atau sebab perikatan lama dengan yang baru.
- Novasi Subjektif Pasif:
Mengganti debitur lama dengan debitur baru yang dibebaskan oleh kreditur.
- Novasi Subjektif Aktif:
Mengganti kreditur lama dengan kreditur baru, di mana kreditur lama
membebaskan debitur.
- Karena Perjumpaan Utang atau Kompensasi (Schuldvergelijking):
Apabila dua pihak saling berutang satu sama lain, maka utang-utang
tersebut dapat saling menghapuskan (dikompensasikan) hingga jumlah yang
terkecil, asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti kedua utang
sudah dapat ditagih (jatuh tempo) dan objeknya berupa sejumlah uang atau
barang sejenis yang dapat dihabiskan (Pasal 1425-1435 KUHPerdata).
- Karena Percampuran Utang (Schuldvermenging):
Terjadi apabila kedudukan sebagai kreditur dan debitur bersatu pada satu
orang yang sama, misalnya karena pewarisan atau perkawinan dengan
percampuran harta. Dalam hal ini, perikatan hapus demi hukum (Pasal
1436-1437 KUHPerdata).
- Karena Pembebasan Utang (Kwijtschelding):
Terjadi jika kreditur secara sukarela melepaskan haknya untuk menagih
piutangnya dari debitur. Pembebasan ini harus dinyatakan secara tegas atau
terbukti dari tindakan kreditur dan tidak dapat dipersangkakan (Pasal
1438-1443 KUHPerdata).
- Karena Musnahnya Barang yang Terutang (Tenietgaan
van de verschuldigde zaak): Jika barang tertentu
yang menjadi objek perikatan musnah, tidak dapat diperdagangkan lagi, atau
hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya, maka
perikatan tersebut hapus (Pasal 1444-1445 KUHPerdata).
- Karena Kebatalan atau Pembatalan (Nietigheid of
Vernietiging): Jika suatu perjanjian dinyatakan
batal demi hukum (karena tidak memenuhi syarat objektif Pasal 1320), maka
perikatan yang seharusnya lahir darinya dianggap tidak pernah ada. Jika
perjanjian dibatalkan oleh hakim (karena tidak memenuhi syarat subjektif Pasal
1320), maka perikatan yang lahir darinya hapus secara retroaktif (Pasal
1446-1456 KUHPerdata).
- Karena Berlakunya Suatu Syarat Batal (Ontbindende
Voorwaarde): Jika perikatan dibuat dengan syarat
batal, maka terpenuhinya syarat tersebut secara otomatis menghapuskan
perikatan dan membawa keadaan kembali seperti semula seolah-olah perikatan
tidak pernah ada (Pasal 1265 KUHPerdata).
- Karena Lewat Waktu atau Daluwarsa (Verjaring):
Hak kreditur untuk menuntut pemenuhan prestasi di muka pengadilan dapat
hapus karena lewatnya jangka waktu tertentu yang ditetapkan undang-undang
(umumnya 30 tahun untuk tuntutan perdata, Pasal 1967 KUHPerdata).
Daluwarsa ini disebut daluwarsa ekstinktif (extinctieve verjaring)
dan mengubah perikatan perdata menjadi perikatan wajar (Pasal 1946-1993
KUHPerdata).
Selain kesepuluh cara yang disebutkan
dalam Pasal 1381, suatu perjanjian (dan perikatan di dalamnya) juga dapat
berakhir karena :
- Kesepakatan Para Pihak:
Para pihak setuju untuk mengakhiri perjanjian (Pasal 1338 ayat (2)
KUHPerdata).
- Tercapainya Tujuan Perjanjian:
Jika tujuan dibuatnya perjanjian telah tercapai.
- Berakhirnya Jangka Waktu:
Jika perjanjian dibuat untuk jangka waktu tertentu dan waktu tersebut
telah habis.
- Meninggalnya Salah Satu Pihak:
Hanya berlaku untuk perjanjian yang bersifat sangat pribadi (intuitu
personae), seperti perjanjian kerja, pemberian kuasa, atau perjanjian
dengan seniman tertentu.
- Putusan Hakim: Selain karena
pembatalan, hakim dapat memutuskan berakhirnya perjanjian dalam
kasus-kasus tertentu.
Mekanisme hapusnya perikatan seperti
novasi, kompensasi, percampuran utang, dan pembebasan utang menunjukkan
fleksibilitas hukum perdata dalam menyelesaikan hubungan utang-piutang. Hukum
menyediakan cara-cara untuk merestrukturisasi atau mengakhiri kewajiban tanpa
harus selalu melalui pemenuhan prestasi secara penuh, memberikan alternatif
penyelesaian bagi para pihak.
9. Penyelesaian Sengketa
Perikatan
Sengketa atau perselisihan yang timbul
dari hubungan perikatan, terutama yang lahir dari perjanjian (kontrak),
merupakan hal yang lazim terjadi. Sistem hukum Indonesia menyediakan berbagai
mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tersebut, yang secara garis besar dapat
dibagi menjadi jalur di luar pengadilan (Alternatif Penyelesaian
Sengketa/APS atau Alternative Dispute Resolution/ADR) dan jalur
pengadilan (litigasi).
9.1. Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS/ADR)
APS seringkali menjadi pilihan utama dalam
penyelesaian sengketa bisnis karena dianggap lebih efisien, cepat, hemat biaya
(dalam beberapa kasus), bersifat rahasia, dan lebih kondusif untuk menjaga
hubungan baik antar pihak. Pengaturan mengenai APS, khususnya arbitrase,
terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Beberapa bentuk APS yang umum dikenal adalah:
- Negosiasi (Negotiation):
Proses perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa untuk
mencapai kesepakatan damai tanpa melibatkan pihak ketiga. Sifatnya sangat
fleksibel dan informal, namun keberhasilannya sangat bergantung pada
kemauan baik dan posisi tawar para pihak.
- Mediasi (Mediation):
Penyelesaian sengketa melalui perundingan yang dibantu oleh pihak ketiga
yang netral dan tidak memihak, yaitu mediator. Mediator bertugas
memfasilitasi komunikasi, membantu para pihak mengidentifikasi kepentingan
mereka, dan menjajaki opsi-opsi penyelesaian. Mediator tidak memiliki
kewenangan untuk memutus sengketa; kesepakatan harus dicapai secara
sukarela oleh para pihak. Mediasi juga diwajibkan sebagai tahap awal dalam
proses berperkara di pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) No. 1 Tahun 2016.
- Konsiliasi (Conciliation):
Mirip dengan mediasi, namun konsiliator (pihak ketiga netral) dapat
mengambil peran lebih aktif dalam memberikan usulan atau rekomendasi
penyelesaian sengketa kepada para pihak. Keputusan akhir tetap berada di
tangan para pihak.
- Konsultasi (Consultation):
Tindakan salah satu pihak meminta pendapat atau nasihat hukum dari seorang
ahli (konsultan) mengenai sengketa yang dihadapinya. Konsultan tidak
berperan menengahi para pihak.
- Pendapat Ahli (Expert Opinion):
Para pihak sepakat untuk meminta pendapat dari seorang ahli mengenai aspek
teknis atau faktual tertentu dalam sengketa. Pendapat ini bisa mengikat
atau tidak mengikat, tergantung kesepakatan.
Ketersediaan beragam pilihan APS ini
mencerminkan pengakuan bahwa proses litigasi formal tidak selalu merupakan cara
yang paling efektif atau sesuai untuk semua jenis sengketa kontraktual.
Fleksibilitas, kerahasiaan, dan fokus pada solusi yang dapat diterima bersama
menjadi daya tarik utama APS, terutama dalam konteks bisnis yang mengutamakan
kelangsungan hubungan.
9.2. Litigasi (Penyelesaian
Melalui Pengadilan)
Jika upaya penyelesaian di luar pengadilan
tidak berhasil atau tidak dipilih, sengketa perikatan dapat diajukan ke
pengadilan negeri. Proses litigasi bersifat formal, terbuka untuk umum, dan
diatur oleh hukum acara perdata (HIR untuk Jawa dan Madura, RBg untuk luar Jawa
dan Madura, serta UU Kekuasaan Kehakiman). Hakim akan memeriksa perkara
berdasarkan bukti-bukti yang diajukan para pihak dan menjatuhkan putusan yang
mengikat. Putusan pengadilan negeri dapat diajukan upaya hukum banding ke
Pengadilan Tinggi dan kasasi ke Mahkamah Agung, bahkan Peninjauan Kembali (PK)
dalam kondisi tertentu.
Meskipun sering dianggap lambat, mahal,
dan formalistis , litigasi memiliki keunggulan dalam memberikan kepastian hukum
melalui putusan yang dapat dieksekusi secara paksa, menetapkan preseden hukum,
dan menjamin proses yang adil (meskipun bersifat adversarial win-lose).
9.3. Arbitrase (Arbitration)
Arbitrase adalah mekanisme penyelesaian
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase (biasanya berupa klausula arbitrase dalam kontrak) di mana para pihak
sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada seorang atau beberapa arbiter.
Arbiter yang dipilih (seringkali ahli di bidang sengketa) akan memeriksa
perkara dan memberikan putusan (disebut award) yang bersifat final (final)
dan mengikat (binding) bagi para pihak. Putusan arbitrase memiliki
kekuatan eksekutorial setelah didaftarkan di pengadilan negeri dan hanya dapat
dibatalkan oleh pengadilan atas dasar alasan-alasan yang sangat terbatas
menurut UU No. 30 Tahun 1999.
Arbitrase sering dipilih untuk sengketa
komersial, terutama yang bersifat internasional atau memerlukan keahlian teknis
khusus, karena menawarkan kelebihan berupa kecepatan, kerahasiaan, netralitas
(para pihak dapat memilih arbiter), dan finalitas putusan.
9.4. Klausula Pilihan Forum (Choice
of Forum Clause)
Untuk menghindari ketidakpastian dan
potensi konflik yurisdiksi, terutama dalam kontrak yang melibatkan pihak dari
yurisdiksi berbeda, sangat disarankan bagi para pihak untuk secara tegas
mencantumkan klausula pilihan forum dalam perjanjian mereka. Klausula ini
menentukan mekanisme penyelesaian sengketa yang disepakati (misalnya,
pengadilan negeri tertentu, arbitrase melalui lembaga tertentu seperti BANI,
atau mediasi) dan lokasi atau yurisdiksi tempat penyelesaian sengketa akan
dilakukan. Pencantuman klausula ini merupakan bagian penting dari manajemen
risiko kontrak secara proaktif.
Pilihan antara metode fasilitatif
(negosiasi, mediasi) di mana para pihak mengendalikan hasil, dan metode
adjudikatif (litigasi, arbitrase) di mana pihak ketiga memaksakan keputusan
yang mengikat, merupakan spektrum fundamental dalam penyelesaian sengketa.
Pilihan ini mencerminkan trade-off antara otonomi pihak, kepastian putusan,
kecepatan, biaya, dan dampak pada hubungan para pihak.
10. Kesimpulan
Hukum perikatan Indonesia, yang berpusat
pada Buku Ketiga KUHPerdata, membentuk dasar bagi sebagian besar hubungan hukum
privat yang berkaitan dengan hak dan kewajiban bernilai ekonomis. Pemahaman
mengenai definisi perikatan sebagai hubungan hukum berbasis prestasi antara
kreditur dan debitur, serta pengakuan terhadap perjanjian dan undang-undang
sebagai sumber utamanya, adalah esensial. Asas-asas fundamental seperti
kebebasan berkontrak, konsensualisme, pacta sunt servanda, itikad baik,
dan kepribadian memberikan kerangka filosofis dan normatif bagi pembentukan dan
pelaksanaan perjanjian.
Keabsahan suatu perjanjian bergantung pada
terpenuhinya empat syarat kumulatif dalam Pasal 1320 KUHPerdata: kesepakatan
yang bebas dari cacat kehendak, kecakapan para pihak, objek prestasi yang
tertentu atau dapat ditentukan, dan sebab yang halal (tidak melanggar hukum,
kesusilaan, atau ketertiban umum). Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya
syarat subjektif (dapat dibatalkan) berbeda secara signifikan dari tidak
terpenuhinya syarat objektif (batal demi hukum). Hukum perikatan juga mengenal
berbagai jenis klasifikasi perikatan yang memungkinkan penerapan aturan yang
lebih spesifik.
Konsep wanprestasi (pelanggaran kontrak)
menjadi krusial ketika salah satu pihak gagal memenuhi prestasinya karena
kesalahannya. Penetapan wanprestasi umumnya memerlukan somasi, meskipun
terdapat pengecualian. Akibat hukum wanprestasi dapat berupa kewajiban membayar
ganti rugi, kemungkinan pembatalan perjanjian (yang seringkali memerlukan
putusan hakim, meskipun praktik pengesampingan Pasal 1266 KUHPerdata
menimbulkan ketidakpastian hukum), tuntutan pemenuhan prestasi, dan peralihan
risiko. Pemilihan dasar gugatan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum
juga merupakan aspek penting yang mempengaruhi proses dan hasil penyelesaian
sengketa.
Perikatan dapat berakhir melalui berbagai
cara yang diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata, seperti pembayaran, novasi,
kompensasi, musnahnya barang, atau daluwarsa, serta cara-cara lain seperti
kesepakatan para pihak atau berakhirnya jangka waktu. Akhirnya, sengketa
perikatan dapat diselesaikan melalui jalur non-litigasi (negosiasi, mediasi,
konsiliasi, arbitrase) yang seringkali lebih disukai dalam konteks bisnis, atau
melalui jalur litigasi di pengadilan negeri.
Secara keseluruhan, hukum perikatan
Indonesia merupakan bidang hukum yang dinamis, terus beradaptasi dengan
kebutuhan zaman dan praktik bisnis modern, sambil tetap berpegang pada akar
hukum perdata warisan Belanda. Perkembangan yurisprudensi, pengaruh doktrin,
pengakuan hukum adat, dan tekanan harmonisasi dengan standar internasional
terus membentuk evolusinya. Oleh karena itu, pemahaman yang cermat terhadap
prinsip-prinsip, aturan, dan isu-isu kontemporer dalam hukum perikatan, seperti
validitas pengesampingan Pasal 1266 KUHPerdata, sangatlah vital bagi praktisi
hukum dan pelaku bisnis yang beroperasi dalam yurisdiksi Indonesia untuk
memastikan kepastian hukum dan efektivitas dalam hubungan kontraktual mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar