I. Pendahuluan: Definisi Dominus Litis dan Relevansinya dengan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Dalam ranah ilmu hukum, dominus
litis merupakan suatu asas fundamental yang berkaitan erat dengan
pengendalian atau penguasaan suatu perkara hukum. Istilah ini, meskipun berasal
dari tradisi hukum yang panjang, memiliki fleksibilitas makna dan penerapan
yang dapat bervariasi secara signifikan tergantung pada konteks sistem hukum
acara yang melingkupinya. Pemahaman mengenai siapa yang memegang kendali atas
jalannya suatu proses peradilan—apakah itu pihak yang memulai gugatan, penuntut
umum, atau bahkan hakim—menjadi krusial dalam memahami dinamika dan
karakteristik masing-masing cabang peradilan, baik itu perdata, pidana, maupun
tata usaha negara.
Tulisan ini bertujuan untuk
melakukan kajian mendalam mengenai asas dominus litis secara spesifik
dalam kerangka Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN) di Indonesia.
Fokus utama adalah untuk mengurai bagaimana asas ini dipahami dan diterapkan
dalam konteks PTUN, yang seringkali menunjukkan perbedaan interpretasi
dibandingkan dengan penerapannya dalam hukum acara pidana atau perdata. Laporan
ini akan membahas definisi umum dominus litis, penerapannya yang khas di
PTUN, identifikasi pihak yang memegang kendali perkara dalam konteks ini, hak
dan kewajiban yang melekat, dasar hukum yang relevan dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia (khususnya Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara),
contoh penerapan praktis, serta batasan-batasan yang ada terhadap asas tersebut
dalam praktik peradilan administrasi.
Meskipun secara umum dalam
diskursus hukum, dominus litis seringkali merujuk pada pihak yang
memiliki atau menguasai perkara, seperti penggugat dalam perkara perdata atau
jaksa penuntut umum dalam perkara pidana, penerapannya dalam konteks Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia menunjukkan suatu kekhasan. Dalam HAPTUN,
istilah dominus litis secara unik juga dilekatkan pada peran aktif hakim
(asas keaktifan hakim) dalam memimpin persidangan dan mencari kebenaran
materiil. Hal ini menciptakan suatu struktur kontrol ganda dalam proses
persidangan PTUN, di mana penggugat menginisiasi dan dapat mengakhiri sengketa,
sementara hakim secara aktif mengendalikan jalannya pemeriksaan untuk mencapai
tujuan peradilan administrasi.
II. Konsep Umum Dominus
Litis dalam Sistem Hukum
Secara etimologis, istilah dominus
litis berasal dari Bahasa Latin, di mana dominus berarti
"pemilik", "tuan", atau "penguasa", dan litis
berarti "perkara" atau "sengketa". Dengan demikian, secara
harfiah, dominus litis dapat diterjemahkan sebagai "pemilik
perkara" atau "penguasa sengketa".
Definisi umum yang diterima
secara luas merujuk pada pihak yang secara substansial mengendalikan jalannya
suatu proses perkara. Pihak ini adalah orang atau entitas yang memiliki
kepentingan nyata (real interest) dalam putusan suatu kasus, sehingga ia
akan terpengaruh secara langsung oleh hasil akhir perkara tersebut. Pihak
inilah yang akan memperoleh manfaat jika putusan menguntungkan, atau menderita
konsekuensi jika putusan merugikan. Dalam beberapa konteks, istilah lain
seperti litis dominium juga digunakan untuk merujuk pada konsep yang
sama. Esensinya, dominus litis adalah pihak yang memiliki otoritas utama
dalam menentukan arah dan kelanjutan suatu perkara hukum.
Dalam sistem hukum civil
law yang dianut oleh banyak negara, termasuk Indonesia, peran dominus
litis dalam hukum acara pidana secara dominan dipegang oleh Jaksa Penuntut
Umum (JPU). Penempatan Jaksa sebagai pengendali perkara pidana ini berakar pada
konsep ius puniendi, yaitu hak negara untuk menuntut dan menghukum
individu yang melanggar hukum.
Berbeda dengan hukum acara
pidana, dalam hukum acara perdata, asas dominus litis umumnya dipahami
merujuk pada Penggugat (plaintiff). Penggugat adalah pihak yang
berinisiatif mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menuntut haknya yang
dianggap dilanggar oleh Tergugat. Sebagai inisiator, Penggugat memiliki kendali
awal atas perkara, terutama dalam menentukan apa yang dituntut (petitum)
dan dasar-dasar tuntutannya (posita).
III. Dominus Litis
dalam Konteks PTUN: Prinsip Keaktifan Hakim (Asas Keaktifan Hakim)
Salah satu kekhasan yang
paling menonjol dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN) di
Indonesia adalah interpretasi dan penerapan asas dominus litis. Berbeda
dengan pemahaman umum di ranah perdata atau pidana, dalam diskursus HAPTUN,
istilah dominus litis sangat sering digunakan untuk merujuk pada peran
aktif yang diemban oleh hakim dalam proses persidangan. Fenomena ini
dikenal luas sebagai asas keaktifan hakim. Penggunaan istilah dominus
litis untuk menggambarkan keaktifan hakim ini merupakan karakteristik
khusus PTUN yang membedakannya dari lingkungan peradilan lain di Indonesia.
Pergeseran makna atau
penekanan pada peran hakim sebagai dominus litis dalam PTUN bukanlah
tanpa dasar. Terdapat beberapa rasionalisasi fundamental yang melatarbelakangi
mengapa hakim dalam peradilan administrasi dituntut untuk berperan jauh lebih
aktif dibandingkan hakim perdata:
- Mengimbangi Kedudukan Para Pihak (Equality
of Arms): Salah satu alasan utama adalah adanya
ketidakseimbangan posisi yang inheren antara pihak Penggugat dan Tergugat
dalam sengketa tata usaha negara. Penggugat umumnya adalah orang
perorangan atau badan hukum perdata, sementara Tergugat adalah Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang dalam menjalankan tugasnya dilekati
dengan kekuasaan publik (exorbitante rechten), memiliki akses lebih
besar terhadap informasi dan peraturan, serta sumber daya yang seringkali
jauh melampaui Penggugat. Untuk mencegah ketidakadilan prosedural akibat
ketimpangan ini, hakim perlu berperan aktif guna memastikan kedua belah
pihak mendapatkan kesempatan yang setara dalam membela kepentingannya.
- Mencari Kebenaran Materiil (Materiele
Waarheid): Tujuan utama PTUN bukanlah sekadar
mencapai kebenaran formil, yaitu kebenaran yang didasarkan semata-mata
pada apa yang didalilkan dan dibuktikan oleh para pihak. Lebih dari itu,
PTUN bertujuan untuk menemukan kebenaran materiil, yakni kebenaran yang sesungguhnya
mengenai fakta dan penerapan hukum dalam sengketa yang diperiksa. Untuk
mencapai kebenaran substantif ini, hakim tidak bisa bersikap pasif
menunggu, melainkan harus aktif menggali fakta, meminta klarifikasi, dan
memastikan semua aspek relevan terungkap dalam persidangan.
- Perlindungan Kepentingan Umum:
Sengketa di PTUN seringkali tidak hanya berdampak pada kepentingan
individual Penggugat dan Tergugat, tetapi juga menyangkut kepentingan
publik yang lebih luas. Keputusan atau tindakan administrasi negara yang
menjadi objek sengketa dapat berimplikasi pada masyarakat luas atau pada
prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Oleh karena itu,
keaktifan hakim sebagai dominus litis dalam konteks ini juga
bertujuan untuk memastikan bahwa putusan pengadilan selaras dengan hukum,
melindungi kepentingan umum, dan menegakkan prinsip-prinsip negara hukum.
Dengan demikian, dalam konteks
PTUN, fokus pemaknaan dominus litis mengalami pergeseran signifikan.
Jika dalam perdata lebih berorientasi pada kepemilikan gugatan oleh Penggugat (plaintiff-centric),
dan dalam pidana pada kontrol penuntutan oleh Jaksa (prosecutor-centric),
maka dalam PTUN, dominus litis lebih menggambarkan penguasaan hakim atas
proses pencarian kebenaran (judge-centric). Istilah ini diadaptasi untuk
menyoroti fungsi hakim yang paling krusial dalam proses PTUN, yaitu
mengendalikan jalannya persidangan secara aktif demi mencapai tujuan spesifik
peradilan administrasi: memberikan perlindungan hukum yang efektif kepada warga
negara dalam menghadapi tindakan pemerintah, dengan tetap menjunjung tinggi
kebenaran materiil dan kepentingan umum.
Peran aktif hakim PTUN sebagai
dominus litis termanifestasi dalam berbagai kewenangan dan tanggung
jawab selama proses persidangan berlangsung:
- Memimpin Persidangan Secara Aktif:
Hakim tidak hanya berfungsi sebagai wasit pasif, tetapi secara aktif
memimpin dan mengarahkan jalannya pemeriksaan perkara.
- Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 UU PTUN):
Sebelum masuk ke pokok sengketa, hakim wajib melakukan pemeriksaan
persiapan. Dalam tahap ini, hakim berwenang:
- Memberikan nasihat kepada Penggugat untuk
memperbaiki atau melengkapi surat gugatan yang kurang jelas atau kurang
lengkap dalam jangka waktu 30 hari.
- Meminta penjelasan tambahan, data, atau
dokumen dari Badan atau Pejabat TUN yang menjadi Tergugat.
- Menetapkan Beban Pembuktian:
Berbeda dengan hukum acara perdata di mana beban pembuktian umumnya
mengikuti dalil (siapa mendalilkan dia membuktikan), dalam PTUN hakim
memiliki peran aktif dalam menetapkan siapa yang harus membuktikan apa,
sejalan dengan upaya mencari kebenaran materiil dan mengimbangi kedudukan
para pihak.
- Memerintahkan Pemeriksaan Bukti:
Hakim dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat atau dokumen yang
berada dalam penguasaan pejabat TUN atau pihak lain (tersirat dari Pasal
85 UU PTUN dan semangat keaktifan hakim).
- Memanggil Saksi atau Ahli:
Hakim dapat berinisiatif memanggil saksi atau ahli untuk didengar
keterangannya, meskipun tidak diajukan oleh para pihak, jika dipandang
perlu untuk mengungkap kebenaran materiil (tersirat dari asas pembuktian
bebas dan tujuan mencari kebenaran materiil).
- Menguji Aspek di Luar Dalil Para Pihak:
Sebagai konsekuensi dari asas pembuktian bebas, hakim tidak terikat hanya
pada dalil para pihak dan dapat menguji aspek lain yang relevan dengan
sengketa meskipun tidak secara eksplisit didalilkan.
- Potensi Putusan Ultra Petita:
Keaktifan hakim dalam mencari kebenaran materiil membuka kemungkinan bagi
hakim untuk menjatuhkan putusan yang melebihi apa yang dituntut oleh
Penggugat (ultra petita), sepanjang hal tersebut berkaitan langsung
dengan pokok sengketa dan diperlukan demi penegakan hukum atau keadilan
substantif.
Keaktifan hakim ini bukanlah
sekadar preferensi gaya bersidang, melainkan merupakan suatu mekanisme
prosedural yang esensial. PTUN dibentuk untuk menyediakan sarana kontrol
yudisial terhadap tindakan administrasi negara dan melindungi hak warga negara.
Mengingat adanya ketidakseimbangan kekuasaan dan akses informasi antara warga
(Penggugat) dan pejabat (Tergugat) , peran pasif hakim akan membuat Penggugat
sangat kesulitan membuktikan dalilnya, terutama karena bukti-bukti penting
seringkali berada di tangan Tergugat. Oleh karena itu, asas keaktifan hakim
(yang diistilahkan dominus litis dalam konteks ini) menjadi kondisi
niscaya (necessary condition) agar PTUN dapat berfungsi efektif mencapai
tujuannya mencari kebenaran materiil dan memberikan perlindungan hukum yang
nyata. Tanpa peran aktif ini, PTUN berisiko menjadi sekadar formalitas hukum
yang tidak mampu memberikan keadilan substantif.
IV. Kontrol Penggugat atas
Gugatan dalam PTUN
Meskipun hakim memegang peran
aktif yang dominan dalam proses pemeriksaan di PTUN (sebagai dominus litis
dalam pengertian HAPTUN), hal ini tidak berarti meniadakan sama sekali kontrol
Penggugat atas perkaranya. Penggugat tetap memiliki hak-hak prosedural penting
yang berkaitan dengan eksistensi dan lingkup gugatan.
Hak fundamental untuk memulai
proses sengketa di PTUN tetap berada di tangan pihak yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), sebagaimana telah diubah terakhir dengan
UU No. 51 Tahun 2009, "Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang...".
Hak untuk menggugat ini tidak
dimiliki oleh sembarang orang, melainkan harus didasarkan pada adanya
"kepentingan" (legal standing) yang
dirugikan secara langsung oleh KTUN yang disengketakan. Asas kepentingan
menggugat ini, yang dikenal dengan adagium point d'intérêt, point d'action
(tidak ada kepentingan, tidak ada gugatan), mensyaratkan adanya hubungan
sebab-akibat antara KTUN dengan kerugian yang dialami Penggugat. Tanpa adanya
kepentingan langsung yang dapat dibuktikan, gugatan dapat dinyatakan tidak
diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena Penggugat tidak memiliki
kedudukan hukum untuk menggugat. Dengan demikian, inisiasi perkara sepenuhnya
merupakan hak prerogatif Penggugat yang memenuhi syarat kepentingan ini.
Setelah gugatan didaftarkan
dan proses pemeriksaan berjalan, Penggugat masih diberikan hak untuk melakukan
perubahan terhadap gugatannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (1) UU
PTUN: "Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatan hanya sampai
dengan replik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan
kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus saksama oleh Hakim".
Ketentuan ini memberikan hak
kepada Penggugat untuk memperbaiki atau menyesuaikan dasar argumen gugatannya,
namun dengan beberapa batasan penting:
- Batasan Waktu:
Perubahan hanya dapat dilakukan "sampai dengan replik", yaitu
tahap di mana Penggugat memberikan tanggapan atas jawaban (duplik) dari
Tergugat. Setelah melewati tahap replik, Penggugat tidak lagi
diperkenankan mengubah alasan gugatannya. Batasan waktu ini lebih spesifik
dibandingkan dengan ketentuan dalam hukum acara perdata (Pasal 127 Rv)
yang secara teori memperbolehkan perubahan (pengurangan tuntutan) hingga
sebelum putusan, meskipun dalam praktik perdata perubahan signifikan
setelah jawaban juga seringkali dibatasi.
- Batasan Substansi:
Perubahan harus disertai "alasan yang cukup" dan "tidak
merugikan kepentingan tergugat". Penilaian mengenai kecukupan alasan
dan potensi kerugian bagi Tergugat sepenuhnya diserahkan kepada
pertimbangan hakim ("harus saksama oleh Hakim"). Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun hak mengubah ada pada Penggugat, pelaksanaannya
tetap berada di bawah pengawasan yudisial untuk menjamin keadilan bagi
Tergugat dan kelancaran proses persidangan.
Selain hak mengubah, Penggugat
juga memiliki hak untuk mengakhiri proses sengketa dengan mencabut gugatannya.
Ketentuan mengenai pencabutan gugatan diatur dalam Pasal 76 UU PTUN. Sama
halnya dengan hak mengubah, hak mencabut ini juga memiliki batasan tergantung
pada tahapan proses persidangan:
- Sebelum Tergugat Memberikan Jawaban:
Pasal 76 ayat (1) UU PTUN menyatakan, "Penggugat dapat sewaktu-waktu
mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban". Pada tahap
ini, pencabutan merupakan hak mutlak Penggugat dan tidak memerlukan
persetujuan dari pihak Tergugat. Alasannya adalah karena kepentingan
Tergugat dianggap belum tersentuh atau terganggu sebelum ia secara resmi
menanggapi gugatan melalui jawaban.
- Setelah Tergugat Memberikan Jawaban:
Situasinya berubah jika Tergugat telah menyampaikan jawabannya. Pasal 76
ayat (2) UU PTUN menegaskan, "Apabila tergugat sudah memberikan
jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan
dikabulkan oleh Pengadilan hanya apabila disetujui tergugat".
Persyaratan persetujuan Tergugat ini dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan Tergugat yang sudah terlibat dalam proses pembelaan diri dan
mungkin memiliki kepentingan agar perkara diselesaikan hingga tuntas
melalui putusan pengadilan.
Akibat hukum dari pencabutan
gugatan yang sah adalah perkara dianggap selesai dan para pihak dikembalikan
pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada gugatan yang diajukan.
Analisis terhadap peran aktif
hakim dan hak-hak prosedural Penggugat dalam HAPTUN menunjukkan adanya suatu
struktur kontrol ganda yang unik. Di satu sisi, Penggugat memegang kendali atas
eksistensi dan lingkup awal perkara. Penggugatlah yang menentukan apakah
sengketa akan dibawa ke pengadilan (inisiasi melalui Pasal 53), bagaimana dasar
argumennya dirumuskan (dan diubah hingga replik melalui Pasal 75), dan apakah
perkara akan diakhiri sebelum putusan (pencabutan melalui Pasal 76). Penggugat,
dalam hal ini, bertindak sebagai "pemilik" sengketa dalam arti ia
yang membuka dan dapat menutup pintu proses peradilan.
Di sisi lain, begitu pintu
sengketa dibuka oleh Penggugat, kendali atas proses pemeriksaan dan
pencarian kebenaran di dalam arena sengketa tersebut dipegang secara
dominan oleh Hakim (sebagai dominus litis dalam pengertian PTUN).
Hakimlah yang secara aktif mengarahkan jalannya persidangan, menentukan beban
pembuktian, menggali fakta, dan memastikan tercapainya kebenaran materiil,
sebagaimana diatur dalam Pasal 63, 80, dan pasal-pasal terkait pembuktian lainnya.
Struktur kontrol ganda ini
bukanlah suatu kontradiksi, melainkan cerminan dari pembagian peran yang
spesifik dalam HAPTUN. Penggugat menentukan "apa" yang disengketakan
dan "apakah" sengketa berlanjut, sementara Hakim menentukan "bagaimana"
sengketa tersebut diperiksa dan diselesaikan demi keadilan substantif.
Adanya batasan terhadap hak
Penggugat untuk mengubah gugatan (hanya sampai replik - Pasal 75) dan mencabut
gugatan (memerlukan persetujuan Tergugat setelah jawaban - Pasal 76 ayat (2))
juga perlu dipahami dalam kerangka keseimbangan. Pembatasan ini tidak
dimaksudkan untuk meniadakan kontrol Penggugat, melainkan untuk menyeimbangkan
hak Penggugat dengan hak Tergugat yang telah merespons gugatan, serta untuk
menjaga efisiensi dan kepastian hukum dalam proses peradilan yang sudah
berjalan. Begitu Tergugat terlibat aktif, hukum memberikan perlindungan agar
proses tidak dapat dihentikan atau diubah secara sepihak oleh Penggugat tanpa
pertimbangan kepentingan Tergugat. Ini adalah mekanisme penyeimbang yang wajar
dalam sistem peradilan yang adil.
V. Landasan Hukum dalam
Peraturan Perundang-undangan Indonesia (UU PTUN)
Desain unik HAPTUN yang
menampilkan peran aktif hakim sekaligus mengakui kontrol Penggugat atas gugatan
termanifestasi dalam berbagai ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) beserta perubahannya.
Beberapa pasal dalam UU PTUN
secara eksplisit maupun implisit menjadi landasan bagi peran aktif hakim:
- Pasal 63 UU PTUN:
Pasal ini secara tegas mengatur kewajiban hakim untuk melakukan pemeriksaan
persiapan sebelum pemeriksaan pokok sengketa. Dalam tahap ini, hakim
diwajibkan memberi nasihat kepada Penggugat untuk memperbaiki/melengkapi
gugatan dan berwenang meminta penjelasan dari Badan/Pejabat TUN. Ketentuan
ini merupakan manifestasi paling jelas dari keaktifan hakim sejak awal
proses.
- Pasal 80 UU PTUN:
Pasal ini (meskipun isinya tidak secara eksplisit dikutip dalam sumber
yang tersedia) secara umum dipahami dalam praktik dan doktrin hukum acara
PTUN sebagai pasal yang memberikan kewenangan kepada hakim ketua sidang
untuk memimpin pemeriksaan dan menentukan hal-hal krusial terkait pembuktian,
seperti apa yang harus dibuktikan, siapa yang menanggung beban pembuktian,
dan bagaimana alat bukti dinilai. Peran sentral hakim dalam pembuktian ini
adalah inti dari keaktifannya.
- Pasal 85 UU PTUN:
Pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim ketua sidang untuk
memerintahkan pemeriksaan terhadap surat atau dokumen yang dipegang
oleh pejabat TUN atau pihak lain jika dipandang perlu untuk kepentingan
pemeriksaan. Ini adalah contoh konkret kewenangan aktif hakim dalam
mengumpulkan bukti.
- Pasal 100-107 UU PTUN:
Rangkaian pasal ini mengatur tentang alat-alat bukti yang sah di PTUN
(Surat/Tulisan, Keterangan Ahli, Keterangan Saksi, Pengakuan Para Pihak,
Pengetahuan Hakim). Yang terpenting, HAPTUN menganut asas pembuktian
bebas (meskipun terbatas pada alat bukti yang sah), yang berarti hakim
tidak terikat secara kaku pada aturan pembuktian formal dan memiliki
keleluasaan dalam menilai kekuatan pembuktian setiap alat bukti demi
mencari kebenaran materiil. Kebebasan menilai bukti ini merupakan
konsekuensi logis dan pendukung utama dari asas keaktifan hakim.
- Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU No.
48 Tahun 2009): Meskipun bukan bagian dari UU PTUN
secara langsung, UU Kekuasaan Kehakiman sebagai payung hukum peradilan di
Indonesia turut mendukung peran aktif hakim. Pasal 5 ayat (1) UU ini,
misalnya, mewajibkan hakim dan hakim konstitusi untuk "menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat". Kewajiban menggali ini selaras dengan tuntutan mencari
kebenaran materiil di PTUN. Selain itu, UU ini menjamin kemerdekaan hakim
dalam menjalankan tugasnya.
Di sisi lain, UU PTUN juga
secara jelas mengkodifikasi hak-hak Penggugat dalam mengendalikan gugatannya:
- Pasal 53 ayat (1) UU PTUN:
Memberikan dasar hukum bagi orang atau badan hukum perdata yang
kepentingannya dirugikan untuk mengajukan gugatan. Ini adalah landasan hak
inisiasi.
- Pasal 75 UU PTUN:
Memberikan hak kepada Penggugat untuk mengubah alasan gugatan, dengan
batasan waktu (sampai replik) dan substansi (alasan cukup, tidak merugikan
Tergugat).
- Pasal 76 UU PTUN:
Memberikan hak kepada Penggugat untuk mencabut gugatan, dengan pembedaan
syarat sebelum dan sesudah jawaban Tergugat.
Keberadaan kedua kelompok
pasal ini—yang satu mengatur keaktifan hakim (Pasal 63, 80, 85, 100-107) dan
yang lain mengatur kontrol Penggugat (Pasal 53, 75, 76)—dalam satu
undang-undang (UU PTUN) bukanlah suatu kebetulan atau inkonsistensi. Hal ini
justru menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang secara sadar merancang sistem
HAPTUN dengan struktur kontrol ganda. UU PTUN secara simultan mengkodifikasi
kedua aspek kontrol ini sebagai bagian integral dari desain hukum acara
peradilan administrasi di Indonesia, yang bertujuan menyeimbangkan perlindungan
hak individu dengan pengawasan terhadap tindakan pemerintah dalam kerangka
negara hukum.
VI. Batasan dan Klarifikasi
Meskipun asas keaktifan hakim
(dominus litis) memberikan peran yang sangat signifikan kepada hakim
PTUN, peran ini bukanlah tanpa batas. Terdapat koridor hukum dan prinsip
peradilan yang harus tetap dijaga. Beberapa batasan atas peran aktif hakim
adalah sebagai berikut:
- Terikat Hukum Acara:
Keaktifan hakim harus tetap berada dalam kerangka hukum acara yang berlaku
(UU PTUN dan peraturan pelaksanaannya). Hakim tidak boleh bertindak
sewenang-wenang atau menciptakan prosedur sendiri di luar ketentuan yang
ada.
- Terikat Alat Bukti yang Sah:
Hakim hanya dapat mendasarkan putusannya pada alat bukti yang sah menurut
Pasal 100 UU PTUN (Surat/Tulisan, Keterangan Ahli, Keterangan Saksi,
Pengakuan Para Pihak, Pengetahuan Hakim). Hakim tidak dapat menggunakan
informasi atau bukti yang diperoleh di luar jalur hukum acara atau yang
tidak termasuk dalam kategori alat bukti sah tersebut.
- Larangan Menguji Kebijakan (Doelmatigheid):
Kewenangan hakim PTUN terbatas pada pengujian aspek hukum (rechtmatigheid)
dari suatu KTUN, yaitu apakah KTUN tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Hakim dilarang memasuki ranah pengujian kebijakan (doelmatigheid),
yaitu menilai tepat atau tidaknya suatu kebijakan yang diambil oleh
pejabat TUN, meskipun hakim mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai
kebijakan tersebut. Fokusnya adalah pada sah atau tidaknya keputusan
secara hukum, bukan pada kelayakan atau kemanfaatan kebijakannya.
- Asas Imparsialitas:
Keaktifan hakim tidak boleh mengorbankan asas imparsialitas atau
keberpihakan. Hakim harus tetap netral dan tidak memihak salah satu pihak,
meskipun ia aktif dalam mencari kebenaran. Tujuannya adalah kebenaran
materiil, bukan membantu salah satu pihak menang.
Peran aktif hakim dan kontrol
penggugat dalam HAPTUN sebaiknya tidak dilihat sebagai dua hal yang
bertentangan, melainkan sebagai dua sisi mata uang yang bersifat komplementer
dalam mencapai tujuan peradilan administrasi. Kontrol Penggugat menentukan "arena"
sengketa—apakah sengketa ada, apa batasannya (melalui gugatan awal dan
perubahan), dan kapan ia berakhir (melalui pencabutan). Sementara itu,
keaktifan Hakim menentukan "aturan main" dan "proses pencarian
kebenaran" di dalam arena tersebut.
Meskipun demikian, perlu
diakui bahwa peran aktif hakim, terutama dalam mencari kebenaran materiil,
memiliki implikasi signifikan. Sebagaimana telah disinggung, keaktifan ini
memungkinkan hakim PTUN untuk menjatuhkan putusan ultra petita—memutus
hal-hal yang tidak secara eksplisit dituntut oleh Penggugat dalam petitumnya,
namun masih berkaitan erat dengan pokok sengketa dan dianggap perlu demi
keadilan atau penegakan hukum. Kemungkinan putusan ultra petita ini,
meskipun menunjukkan kekuatan hakim dalam membentuk hasil akhir yang melampaui
sekadar menjadi "corong" para pihak, tetap harus didasarkan pada
fakta dan hukum yang terungkap di persidangan dan relevan dengan sengketa
administrasi yang diperiksa. Ini adalah konsekuensi logis dari prioritas HAPTUN
pada pencapaian kebenaran materiil.
Hal ini memang memunculkan
suatu potensi ketegangan inheren antara kebebasan hakim mencari kebenaran
materiil (yang bisa melampaui petitum) dengan prinsip umum peradilan bahwa
hakim seharusnya terikat pada apa yang diminta oleh para pihak (ne eat iudex
ultra petita partium). Penggugat mendefinisikan tuntutannya dalam petitum
gugatan (sesuai Pasal 56 UU PTUN). Namun, asas keaktifan hakim mendorong
penggalian fakta dan hukum yang bisa jadi lebih luas dari rumusan petitum
tersebut. HAPTUN, melalui praktik peradilan yang cenderung membolehkan ultra
petita dalam konteks keaktifan hakim , tampaknya memberikan prioritas lebih
tinggi pada penyelesaian sengketa administrasi secara tuntas berdasarkan
kebenaran materiil dan perlindungan hukum yang efektif bagi warga negara,
bahkan jika itu berarti sedikit melampaui batas-batas formal petitum Penggugat.
Memahami ketegangan ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang
filosofi yang mendasari HAPTUN di Indonesia.
VII. Kesimpulan
Kajian terhadap asas dominus
litis dalam konteks Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia
mengungkapkan suatu pemahaman dan penerapan yang unik dibandingkan dengan hukum
acara pidana maupun perdata. Temuan utama dari analisis ini adalah:
- Pergeseran Makna:
Istilah dominus litis, yang secara umum berarti "pemilik"
atau "pengendali" perkara, dalam HAPTUN Indonesia secara
spesifik dan dominan digunakan untuk merujuk pada asas keaktifan hakim.
Hakim, bukan Penggugat atau Jaksa, yang dipandang sebagai pengendali utama
jalannya proses pemeriksaan perkara di PTUN.
- Rasionalisasi Keaktifan Hakim:
Peran aktif hakim ini didasarkan pada kebutuhan fundamental untuk
mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak setara antara warga negara
(Penggugat) dan pejabat pemerintah (Tergugat), serta untuk mencapai tujuan
utama PTUN, yaitu menemukan kebenaran materiil (materiele waarheid)
dalam sengketa administrasi, demi memberikan perlindungan hukum yang
efektif dan menjaga kepentingan umum.
- Struktur Kontrol Ganda:
Meskipun hakim berperan sangat aktif dalam proses pemeriksaan (sebagai dominus
litis PTUN), Penggugat tetap mempertahankan kontrol signifikan atas
aspek eksistensial perkara. Penggugat memiliki hak prerogatif untuk
menginisiasi gugatan (Pasal 53 UU PTUN), mengubah alasan gugatan hingga
tahap replik (Pasal 75 UU PTUN), dan mencabut gugatan (Pasal 76 UU PTUN),
meskipun hak ubah dan cabut ini memiliki batasan untuk melindungi
kepentingan Tergugat dan efisiensi peradilan.
- Landasan Hukum:
Baik peran aktif hakim (Pasal 63, 80, 85, 100-107 UU PTUN) maupun kontrol
Penggugat (Pasal 53, 75, 76 UU PTUN) memiliki dasar hukum yang jelas dalam
UU PTUN, menunjukkan bahwa struktur kontrol ganda ini merupakan desain
sadar dari sistem HAPTUN Indonesia.
- Batasan: Keaktifan hakim
tetap dibatasi oleh koridor hukum acara, alat bukti yang sah, larangan
menguji kebijakan (doelmatigheid), dan asas imparsialitas.
Dengan demikian, pemahaman
mengenai asas dominus litis dalam PTUN Indonesia adalah krusial untuk
mengerti cara kerja peradilan administrasi di negara ini. Keunikan interpretasi
asas ini, yang menekankan pada keaktifan hakim demi kebenaran materiil dan
keseimbangan para pihak, mencerminkan upaya sistem hukum Indonesia untuk
menyediakan mekanisme kontrol yudisial yang efektif terhadap tindakan
pemerintah, sekaligus memberikan perlindungan hukum yang substantif bagi warga
negara dalam kerangka negara hukum. Meskipun hakim memegang kendali proses yang
kuat, perannya tetap dijalankan dalam batas-batas hukum acara demi tercapainya
keadilan materiil dalam sengketa tata usaha negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar