Senin, 14 April 2025

Kritik dan Tantangan terhadap Pencapaian Kepastian Hukum

Meskipun diakui sebagai nilai penting, konsep kepastian hukum tidak luput dari kritik dan menghadapi tantangan fundamental, baik secara teoretis maupun praktis.

Pertentangan Inheren dengan Keadilan dan Fleksibilitas

Kritik paling klasik terhadap kepastian hukum adalah pertentangan inherennya dengan nilai keadilan dan kebutuhan akan fleksibilitas dalam hukum. Hukum yang dirumuskan secara kaku dan diterapkan secara mekanis demi mencapai kepastian maksimal berisiko menghasilkan putusan yang tidak adil dalam kasus-kasus individual yang memiliki keunikan tersendiri. Aturan umum, bagaimanapun sempurnanya dirumuskan, sulit untuk mengantisipasi semua kemungkinan variasi fakta dan konteks yang muncul dalam kehidupan nyata. Penerapan aturan secara rigid dalam situasi seperti ini dapat bertentangan dengan rasa keadilan.  

Selain itu, hukum yang terlalu pasti dan sulit diubah (stabil) dapat menjadi tidak responsif terhadap perubahan nilai-nilai sosial, perkembangan teknologi, atau kebutuhan masyarakat yang dinamis. Hukum yang "membatu" akan kehilangan relevansinya dan gagal menjalankan fungsinya secara efektif.  

Di sisi lain, hukum yang terlalu fleksibel, yang memberikan ruang diskresi yang sangat luas kepada hakim atau pejabat untuk memutuskan berdasarkan pertimbangan keadilan kasuistik atau kemanfaatan sesaat, dapat mengorbankan prediktabilitas, konsistensi, dan kesamaan perlakuan. Fleksibilitas yang berlebihan dapat membuka pintu bagi subjektivitas, inkonsistensi, dan bahkan kesewenang-wenangan, yang pada akhirnya justru merusak kepastian hukum itu sendiri.  

Oleh karena itu, banyak ahli berpendapat bahwa tujuan sistem hukum bukanlah untuk mencapai kepastian absolut atau fleksibilitas tanpa batas, melainkan untuk menemukan dan menjaga keseimbangan yang tepat antara keduanya. Ketegangan ini bukanlah masalah yang bisa dihilangkan, melainkan kondisi permanen yang perlu dikelola secara terus-menerus melalui berbagai mekanisme hukum, seperti interpretasi hukum yang bijaksana, penggunaan diskresi yudisial yang bertanggung jawab, pengembangan yurisprudensi, dan reformasi hukum secara periodik ketika aturan sudah tidak sesuai lagi.  

Kritik Aliran Hukum Progresif dan Realisme Hukum

Aliran-aliran pemikiran hukum tertentu secara eksplisit menantang asumsi atau prioritas yang diberikan pada kepastian hukum formal. Hukum Progresif yang digagas Satjipto Rahardjo di Indonesia adalah contoh utama. Aliran ini secara fundamental mempertanyakan nilai kepastian hukum jika ia dicapai dengan mengorbankan keadilan substantif, kemanusiaan, dan kebahagiaan rakyat. Hukum Progresif mengkritik keras positivisme dan formalisme hukum yang dianggapnya telah menjadikan hukum sebagai tujuan itu sendiri, terpisah dari realitas sosial dan penderitaan manusia.  

Aliran Realisme Hukum, terutama yang berkembang di Amerika Serikat, meskipun tidak secara langsung menyerang kepastian hukum sebagai nilai, cenderung skeptis terhadap kemampuan aturan hukum formal untuk secara deterministik menentukan hasil suatu perkara. Para realis menekankan peran faktor-faktor non-hukum, seperti kepribadian hakim, latar belakang sosial, pertimbangan kebijakan, dan konteks faktual spesifik, dalam proses pengambilan keputusan hukum. Skeptisisme ini secara implisit menantang gagasan kepastian hukum yang didasarkan pada prediktabilitas yang berasal dari penerapan aturan secara logis semata.

Kritik-kritik dari aliran non-mainstream ini berfungsi sebagai pengingat penting agar kepastian hukum tidak didewakan menjadi berhala (legal fetishism) dan agar hukum tetap membumi, terhubung dengan realitas sosial, dan mengabdi pada tujuan etisnya. Namun, kritik ini juga menghadapi tantangannya sendiri. Misalnya, bagaimana mencegah subjektivitas atau bahkan anarki jika aturan formal terlalu mudah dikesampingkan atas nama keadilan atau "terobosan hukum"? Menemukan kriteria objektif untuk menentukan kapan "rule breaking" dibenarkan merupakan persoalan sulit. Ini menunjukkan adanya dialektika berkelanjutan antara kebutuhan akan aturan (untuk kepastian dan ketertiban) dan kebutuhan akan keadilan, fleksibilitas, serta adaptasi.

Hambatan Implementasi Praktis

Di luar kritik teoretis, pencapaian cita-cita kepastian hukum dalam praktik dihadapkan pada berbagai hambatan nyata. Sebagaimana telah diuraikan dalam konteks Indonesia, faktor-faktor seperti kualitas peraturan perundang-undangan yang buruk, inkonsistensi penegakan hukum, korupsi dan rendahnya integritas aparat, proses peradilan yang lambat dan mahal, ketimpangan akses terhadap keadilan, rendahnya kesadaran hukum masyarakat, serta pengaruh politik dan ekonomi, semuanya berkontribusi pada terciptanya ketidakpastian hukum.  

Hambatan-hambatan ini menunjukkan bahwa kepastian hukum bukanlah sekadar masalah perumusan norma hukum yang baik di atas kertas (law in books), tetapi juga sangat bergantung pada bagaimana hukum tersebut diimplementasikan dan ditegakkan dalam kenyataan (law in action). Kegagalan dalam implementasi praktis ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga dapat dilihat sebagai manifestasi dari ketegangan nilai (antara kepastian, keadilan, dan kepentingan lain) yang belum terselesaikan secara memuaskan dalam sistem hukum, atau bahkan sebagai cerminan dari krisis legitimasi sistem hukum itu sendiri di mata masyarakat dan aparatnya. Mengatasi hambatan praktis ini memerlukan upaya yang jauh lebih kompleks daripada sekadar merevisi undang-undang; ia menuntut reformasi kelembagaan, perbaikan sumber daya manusia, perubahan budaya hukum, dan komitmen politik yang kuat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...