Meskipun diakui sebagai nilai penting, konsep kepastian hukum tidak luput dari kritik dan menghadapi tantangan fundamental, baik secara teoretis maupun praktis.
Pertentangan Inheren dengan
Keadilan dan Fleksibilitas
Kritik paling klasik terhadap
kepastian hukum adalah pertentangan inherennya dengan nilai keadilan dan
kebutuhan akan fleksibilitas dalam hukum. Hukum yang dirumuskan secara kaku
dan diterapkan secara mekanis demi mencapai kepastian maksimal berisiko
menghasilkan putusan yang tidak adil dalam kasus-kasus individual yang memiliki
keunikan tersendiri. Aturan umum, bagaimanapun sempurnanya dirumuskan, sulit
untuk mengantisipasi semua kemungkinan variasi fakta dan konteks yang muncul
dalam kehidupan nyata. Penerapan aturan secara rigid dalam situasi seperti ini
dapat bertentangan dengan rasa keadilan.
Selain itu, hukum yang
terlalu pasti dan sulit diubah (stabil) dapat menjadi tidak responsif
terhadap perubahan nilai-nilai sosial, perkembangan teknologi, atau kebutuhan
masyarakat yang dinamis. Hukum yang "membatu" akan kehilangan
relevansinya dan gagal menjalankan fungsinya secara efektif.
Di sisi lain, hukum yang
terlalu fleksibel, yang memberikan ruang diskresi yang sangat luas kepada hakim
atau pejabat untuk memutuskan berdasarkan pertimbangan keadilan kasuistik atau
kemanfaatan sesaat, dapat mengorbankan prediktabilitas, konsistensi, dan
kesamaan perlakuan. Fleksibilitas yang berlebihan dapat membuka pintu bagi
subjektivitas, inkonsistensi, dan bahkan kesewenang-wenangan, yang pada
akhirnya justru merusak kepastian hukum itu sendiri.
Oleh karena itu, banyak ahli
berpendapat bahwa tujuan sistem hukum bukanlah untuk mencapai kepastian
absolut atau fleksibilitas tanpa batas, melainkan untuk menemukan dan
menjaga keseimbangan yang tepat antara keduanya. Ketegangan ini bukanlah
masalah yang bisa dihilangkan, melainkan kondisi permanen yang perlu dikelola
secara terus-menerus melalui berbagai mekanisme hukum, seperti interpretasi
hukum yang bijaksana, penggunaan diskresi yudisial yang bertanggung jawab,
pengembangan yurisprudensi, dan reformasi hukum secara periodik ketika aturan
sudah tidak sesuai lagi.
Kritik Aliran Hukum Progresif
dan Realisme Hukum
Aliran-aliran pemikiran hukum
tertentu secara eksplisit menantang asumsi atau prioritas yang diberikan pada
kepastian hukum formal. Hukum Progresif yang digagas Satjipto Rahardjo
di Indonesia adalah contoh utama. Aliran ini secara fundamental mempertanyakan
nilai kepastian hukum jika ia dicapai dengan mengorbankan keadilan substantif,
kemanusiaan, dan kebahagiaan rakyat. Hukum Progresif mengkritik keras
positivisme dan formalisme hukum yang dianggapnya telah menjadikan hukum
sebagai tujuan itu sendiri, terpisah dari realitas sosial dan penderitaan
manusia.
Aliran Realisme Hukum,
terutama yang berkembang di Amerika Serikat, meskipun tidak secara langsung
menyerang kepastian hukum sebagai nilai, cenderung skeptis terhadap kemampuan
aturan hukum formal untuk secara deterministik menentukan hasil suatu perkara.
Para realis menekankan peran faktor-faktor non-hukum, seperti kepribadian
hakim, latar belakang sosial, pertimbangan kebijakan, dan konteks faktual
spesifik, dalam proses pengambilan keputusan hukum. Skeptisisme ini secara
implisit menantang gagasan kepastian hukum yang didasarkan pada prediktabilitas
yang berasal dari penerapan aturan secara logis semata.
Kritik-kritik dari aliran
non-mainstream ini berfungsi sebagai pengingat penting agar kepastian hukum
tidak didewakan menjadi berhala (legal fetishism) dan agar hukum tetap membumi,
terhubung dengan realitas sosial, dan mengabdi pada tujuan etisnya. Namun,
kritik ini juga menghadapi tantangannya sendiri. Misalnya, bagaimana mencegah
subjektivitas atau bahkan anarki jika aturan formal terlalu mudah
dikesampingkan atas nama keadilan atau "terobosan hukum"? Menemukan
kriteria objektif untuk menentukan kapan "rule breaking" dibenarkan
merupakan persoalan sulit. Ini menunjukkan adanya dialektika berkelanjutan
antara kebutuhan akan aturan (untuk kepastian dan ketertiban) dan kebutuhan
akan keadilan, fleksibilitas, serta adaptasi.
Hambatan Implementasi Praktis
Di luar kritik teoretis,
pencapaian cita-cita kepastian hukum dalam praktik dihadapkan pada berbagai
hambatan nyata. Sebagaimana telah diuraikan dalam konteks Indonesia,
faktor-faktor seperti kualitas peraturan perundang-undangan yang buruk,
inkonsistensi penegakan hukum, korupsi dan rendahnya integritas aparat, proses
peradilan yang lambat dan mahal, ketimpangan akses terhadap keadilan, rendahnya
kesadaran hukum masyarakat, serta pengaruh politik dan ekonomi, semuanya
berkontribusi pada terciptanya ketidakpastian hukum.
Hambatan-hambatan ini
menunjukkan bahwa kepastian hukum bukanlah sekadar masalah perumusan norma
hukum yang baik di atas kertas (law in books), tetapi juga sangat bergantung
pada bagaimana hukum tersebut diimplementasikan dan ditegakkan dalam kenyataan
(law in action). Kegagalan dalam implementasi praktis ini tidak hanya bersifat
teknis, tetapi juga dapat dilihat sebagai manifestasi dari ketegangan nilai
(antara kepastian, keadilan, dan kepentingan lain) yang belum terselesaikan
secara memuaskan dalam sistem hukum, atau bahkan sebagai cerminan dari krisis
legitimasi sistem hukum itu sendiri di mata masyarakat dan aparatnya. Mengatasi
hambatan praktis ini memerlukan upaya yang jauh lebih kompleks daripada sekadar
merevisi undang-undang; ia menuntut reformasi kelembagaan, perbaikan sumber
daya manusia, perubahan budaya hukum, dan komitmen politik yang kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar