1. Pendahuluan
Dalam negara hukum (Rechtsstaat)
seperti Indonesia, konsep supremasi hukum meniscayakan adanya mekanisme
pengawasan terhadap tindakan administrasi negara. Kekuasaan negara yang
dijalankan oleh pemerintah tidak boleh bersifat absolut dan sewenang-wenang,
melainkan harus tunduk pada koridor hukum yang berlaku.
Untuk mewujudkan prinsip ini,
diperlukan adanya lembaga peradilan yang berwenang menguji keabsahan
tindakan-tindakan pejabat dan badan administrasi negara. Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN) hadir sebagai badan peradilan khusus yang dibentuk untuk menangani
sengketa yang timbul akibat tindakan administrasi negara tersebut.
Tulisan ini bertujuan untuk
memberikan gambaran mengenai ruang lingkup PTUN di Indonesia, meliputi
definisi, tujuan, jenis sengketa yang menjadi kewenangannya, pihak-pihak yang
dapat menjadi tergugat, contoh-contoh keputusan yang dapat digugat, batasan
kewenangannya, dasar hukum yang mengatur, perbandingan dengan jenis peradilan
lain, serta contoh kasus nyata yang telah diselesaikan.
2. Definisi dan Pemahaman PTUN
- 2.1 Definisi Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN)
Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) merupakan salah satu cabang kekuasaan kehakiman yang khusus dibentuk
dalam sistem hukum Indonesia dan berada di bawah Mahkamah Agung. Sebagai bagian
dari kekuasaan kehakiman, PTUN memiliki peran sentral dalam menyelesaikan sengketa
antara warga masyarakat atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata
usaha negara. Keberadaannya memberikan kesempatan bagi individu maupun
organisasi untuk mencari keadilan apabila merasa dirugikan oleh tindakan
administrasi negara.
Untuk memahami lebih lanjut
mengenai PTUN, perlu dipahami terlebih dahulu definisi dari "Tata Usaha
Negara". Berdasarkan peraturan perundang-undangan, Tata Usaha Negara
adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Ini mencakup berbagai
kegiatan pemerintahan dalam menjalankan kebijakan dan pelayanan publik.
Lebih spesifik lagi, sengketa
yang menjadi ranah PTUN umumnya berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN). KTUN didefinisikan sebagai suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
bersifat konkret, individual, dan final, serta menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Sifat-sifat KTUN ini sangat penting dalam
menentukan apakah suatu tindakan administrasi dapat digugat ke PTUN.
Keputusan harus tertulis untuk
memastikan adanya bukti yang jelas mengenai tindakan tersebut. Sifat konkret
berarti keputusan itu tidak abstrak dan ditujukan pada objek atau peristiwa
tertentu. Sifat individual menunjukkan bahwa keputusan tersebut berlaku
bagi orang atau badan hukum tertentu, bukan bersifat umum. Terakhir, sifat
final berarti keputusan tersebut tidak lagi memerlukan persetujuan dari
atasan atau instansi lain untuk dapat dilaksanakan. Pembatasan pada sifat-sifat
ini bertujuan agar PTUN fokus pada keputusan yang secara langsung dan nyata
mempengaruhi hak dan kewajiban individu atau badan hukum.
Selain keputusan yang telah
dikeluarkan, hukum juga mengakui adanya kondisi di mana badan atau pejabat tata
usaha negara tidak mengeluarkan keputusan padahal hal tersebut merupakan
kewajibannya. Dalam situasi seperti ini, ketidakaktifan tersebut disamakan
dengan KTUN (fictief besluit), sehingga dapat pula menjadi objek
sengketa di PTUN. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan
wewenang melalui kelalaian dalam mengambil keputusan yang seharusnya diambil.
Dengan demikian,
"Sengketa Tata Usaha Negara" adalah sengketa yang timbul dalam bidang
tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau
pejabat tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk juga sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan. Inklusi sengketa
kepegawaian menunjukkan bahwa PTUN juga berperan dalam melindungi hak-hak
pegawai negeri terhadap tindakan administratif yang mungkin merugikan mereka.
- 2.2 Tujuan Pembentukan PTUN
Pembentukan PTUN di Indonesia
memiliki sejumlah tujuan fundamental dalam rangka mewujudkan negara hukum yang
berkeadilan. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk menjamin kedudukan
warga masyarakat dalam hukum, khususnya dalam hubungannya dengan
administrasi negara. Ini berarti memberikan kepastian hukum dan perlindungan
bagi hak-hak warga negara ketika berinteraksi dengan pemerintah.
Lebih lanjut, PTUN bertujuan
untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu dan masyarakat dari
tindakan sewenang-wenang atau melanggar hukum yang dilakukan oleh pejabat tata
usaha negara. Keberadaannya diharapkan dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan dan menjamin bahwa setiap tindakan administrasi
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara lebih luas, pembentukan
PTUN bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram, serta tertib. Dengan adanya mekanisme kontrol
yudisial terhadap tindakan pemerintah, diharapkan tercipta hubungan yang
harmonis, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara
dengan warga masyarakat.
PTUN juga memiliki fungsi sebagai
lembaga pengawas (judicial control) terhadap jalannya fungsi eksekutif,
khususnya terhadap tindakan pejabat tata usaha negara, agar tetap berada dalam
koridor aturan hukum. Pengawasan ini tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul, tetapi juga untuk mendorong terciptanya pemerintahan yang
baik (good governance), transparan, dan akuntabel. Dengan demikian,
diharapkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat meningkat dan hak-hak
individu terlindungi.
Selain itu, PTUN didirikan
untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum
dalam penyelenggaraan administrasi negara. Lembaga ini juga berfungsi sebagai
koreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi
pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.
3. Ruang Lingkup Kewenangan:
Jenis-Jenis Sengketa
- 3.1 Kewenangan Umum
Secara umum, Peradilan Tata
Usaha Negara memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara. Kewenangan ini dilaksanakan pada tingkat pertama
oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang berkedudukan di ibukota
kabupaten/kota, dan pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PT.TUN) yang berkedudukan di ibukota provinsi. Struktur hierarki
ini memastikan adanya mekanisme koreksi terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama.
- 3.2 Contoh Spesifik Bidang Sengketa
Ruang lingkup kewenangan PTUN
sangat luas dan mencakup berbagai bidang kehidupan yang bersentuhan dengan
administrasi negara. Berdasarkan berbagai sumber, beberapa contoh spesifik
bidang sengketa yang dapat diajukan ke PTUN meliputi:
a. Pertahanan:
Sengketa terkait keputusan administratif di bidang pertahanan negara.
b. Kepegawaian: Sengketa
mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, atau tindakan administratif
lain yang berkaitan dengan status dan hak pegawai negeri sipil.
c. Perizinan: Sengketa
terkait penerbitan, penolakan, pencabutan, atau perubahan izin-izin yang
dikeluarkan oleh instansi pemerintah, seperti izin usaha, izin mendirikan
bangunan, dan lain-lain.
d. Lingkungan
Hidup: Sengketa mengenai izin lingkungan, penegakan hukum
lingkungan oleh instansi pemerintah, atau keputusan administratif lain yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
e. Pengadaan
Barang dan Jasa: Sengketa yang timbul dalam proses pengadaan
barang dan jasa oleh pemerintah, seperti penetapan pemenang tender.
f. Keputusan
Kepala Desa: Meskipun berada di tingkat pemerintahan paling
bawah, keputusan kepala desa yang memenuhi kriteria KTUN dapat digugat ke PTUN.
g. Pemilu:
Sengketa terkait proses administrasi pemilihan umum, seperti verifikasi partai
politik atau penetapan daftar pemilih tetap (perlu dicatat bahwa sengketa hasil
pemilu memiliki mekanisme penyelesaian tersendiri).
h. Ketenagakerjaan:
Sengketa terkait keputusan administratif di bidang ketenagakerjaan, seperti
penetapan upah minimum atau izin penggunaan tenaga kerja asing.
i. Informasi
Publik: Sengketa mengenai penolakan permohonan informasi publik
oleh badan publik berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
j. Tindakan
Pemerintah: Selain keputusan tertulis, tindakan faktual
pemerintah yang dianggap melanggar hukum atau merugikan warga juga dapat
menjadi objek sengketa di PTUN.
k. Penyalahgunaan
Kewenangan: Sengketa di mana penggugat menduga adanya
unsur penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan KTUN.
l. Pertanahan:
Sengketa terkait keputusan administratif di bidang pertanahan, seperti
penerbitan sertifikat hak atas tanah.
Luasnya cakupan bidang
sengketa ini menunjukkan betapa pentingnya peran PTUN dalam mengawasi berbagai
aspek tindakan administrasi negara yang dapat mempengaruhi kehidupan warga
masyarakat dan badan hukum perdata.
- 3.3 Sengketa yang Dikecualikan dari
Kewenangan PTUN
Meskipun memiliki kewenangan
yang luas, terdapat beberapa jenis sengketa yang secara tegas dikecualikan dari
kewenangan PTUN. Pengecualian ini bertujuan untuk membatasi ruang lingkup PTUN
agar tidak tumpang tindih dengan kewenangan peradilan lain atau lembaga negara
lainnya. Beberapa jenis sengketa yang dikecualikan antara lain:
a. Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. Ini berarti
jika negara bertindak dalam kapasitasnya sebagai pihak dalam perjanjian atau
hubungan keperdataan, sengketa yang timbul tidak menjadi kewenangan PTUN.
b. Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum (regeling).
Peraturan perundang-undangan yang berlaku umum tidak dapat digugat ke PTUN,
melainkan melalui mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan (judicial
review) di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi sesuai dengan jenis
peraturan yang diuji.
c. Keputusan
Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan dari atasan atau
instansi lain. Keputusan yang belum final dan masih dalam proses
pengambilan keputusan tidak dapat digugat ke PTUN.
d. Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau
peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. Tindakan
penegakan hukum pidana merupakan kewenangan peradilan umum.
e. Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Putusan pengadilan tidak dapat digugat ke PTUN.
f. Keputusan
Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Urusan internal administrasi militer dikecualikan dari kewenangan PTUN.
g. Keputusan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum. Sengketa hasil pemilu memiliki mekanisme penyelesaian
tersendiri melalui Mahkamah Konstitusi.
Pengecualian-pengecualian ini
memberikan batasan yang jelas terhadap kewenangan PTUN dan memastikan bahwa
setiap jenis sengketa ditangani oleh lembaga peradilan yang sesuai dengan
kompetensinya.
4. Pihak-Pihak yang Dapat
Menjadi Tergugat dalam Perkara di PTUN
- 4.1 Tergugat
Dalam perkara di PTUN, pihak
yang dapat menjadi tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan keputusan yang menjadi objek sengketa. Ini mencakup badan
atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Penentuan siapa yang dapat
menjadi tergugat didasarkan pada kriteria fungsional, yaitu siapapun atau badan
apapun yang pada suatu waktu melaksanakan fungsi pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat dianggap sebagai Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara. Fokus pada fungsi ini memastikan bahwa
pertanggungjawaban dapat dikenakan kepada pihak yang sebenarnya memiliki
kewenangan untuk mengambil tindakan administratif yang dipersoalkan.
- 4.2 Contoh Potensi Tergugat
Beberapa contoh pihak yang
berpotensi menjadi tergugat dalam perkara di PTUN antara lain:
a. Kementerian
dan kantor-kantor wilayahnya di daerah.
b. Kepala
badan atau lembaga pemerintah non-kementerian.
c. Kepala
daerah (gubernur, bupati, walikota) dalam kapasitasnya sebagai pejabat
administrasi negara.
d. Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) ketika mengeluarkan keputusan yang mempengaruhi
hak-hak publik dalam konteks pelaksanaan fungsi negara.
e. Badan
atau pejabat lain yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk
mengeluarkan keputusan tata usaha negara.
5. Batasan-Batasan Kewenangan
PTUN dalam Mengadili Suatu Perkara
- 5.1 Batasan Materi Muatan
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, PTUN memiliki batasan kewenangan dalam hal materi muatan sengketa.
Lembaga ini secara khusus dirancang untuk menangani sengketa yang berkaitan
dengan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana didefinisikan oleh
undang-undang, dan tidak berwenang mengadili perkara yang termasuk dalam ranah
peradilan lain seperti perdata, pidana, atau agama.
- 5.2 Batasan Situasional
Selain batasan materi muatan,
terdapat pula batasan kewenangan PTUN yang bersifat situasional. Berdasarkan
peraturan perundang-undangan, PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu apabila keputusan yang
disengketakan itu dikeluarkan dalam kondisi-kondisi khusus : dalam
waktu perang, dalam keadaan bahaya, dalam keadaan bencana alam, dalam keadaan
luar biasa yang membahayakan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Batasan ini mengakui bahwa
dalam situasi-situasi luar biasa tersebut, pemerintah mungkin perlu mengambil
tindakan cepat dan tegas demi kepentingan yang lebih besar, dan proses
peradilan tata usaha negara yang cenderung memerlukan waktu dapat menghambat efektivitas
tindakan tersebut. Namun, penting untuk dicatat bahwa batasan ini tidak berarti
bahwa tindakan pemerintah dalam kondisi tersebut sepenuhnya bebas dari
pengawasan hukum, melainkan mungkin tunduk pada mekanisme pengawasan yang
berbeda atau dapat dipersoalkan setelah kondisi luar biasa berakhir jika
terbukti adanya penyalahgunaan wewenang.
- 5.3 Keharusan Menempuh Upaya Administratif
Secara umum, sebelum
mengajukan gugatan ke PTUN, pihak yang merasa dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara diwajibkan untuk terlebih dahulu menempuh upaya
administratif yang tersedia, seperti mengajukan keberatan atau banding
administratif kepada instansi yang berwenang. Prinsip ini dikenal sebagai
"exhaustion of administrative remedies". PTUN baru berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara jika seluruh
upaya administratif yang tersedia telah digunakan. Tujuan dari ketentuan ini
adalah untuk memberikan kesempatan kepada badan atau pejabat tata usaha negara
untuk memperbaiki sendiri keputusan yang dianggap keliru sebelum melibatkan
pengadilan, serta untuk mengurangi beban perkara di pengadilan. Namun,
terdapat kemungkinan pengecualian terhadap prinsip ini dalam kondisi tertentu,
misalnya jika upaya administratif dianggap tidak efektif atau jika terdapat
kerugian yang mendesak dan tidak dapat dipulihkan jika harus menunggu proses
administratif selesai.
6. Dasar Hukum yang Mengatur
Ruang Lingkup PTUN di Indonesia
- 6.1 Undang-Undang Utama
Dasar hukum utama yang
mengatur ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia adalah
serangkaian undang-undang yang terdiri dari:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang ini
merupakan fondasi hukum yang membentuk PTUN, mengatur kewenangan, susunan
organisasi, dan prosedur beracara di dalamnya.
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Undang-undang ini memperkenalkan
berbagai perubahan penting terhadap UU No. 5 Tahun 1986, termasuk
penguatan peran PTUN dan percepatan proses penyelesaian sengketa. Salah
satu perubahan signifikan adalah pengalihan pembinaan teknis peradilan,
organisasi, administrasi, dan finansial PTUN ke Mahkamah Agung.
- Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Undang-undang ini kembali
melakukan perubahan terhadap UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan
UU No. 9 Tahun 2004, terutama terkait dengan isu-isu pengangkatan hakim
dan aspek prosedural lainnya.
- 6.2 Undang-Undang Terkait Lainnya
Selain ketiga undang-undang
utama tersebut, terdapat pula undang-undang lain yang relevan dengan ruang
lingkup PTUN, di antaranya:
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang ini menjadi dasar pembentukan berbagai badan peradilan
khusus, termasuk PTUN.
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kedua undang-undang ini memperkuat
prinsip independensi kekuasaan kehakiman, yang juga berlaku bagi PTUN.
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan. Undang-undang ini
memberikan kerangka hukum yang lebih luas mengenai prinsip-prinsip
administrasi pemerintahan yang baik dan dapat menjadi acuan dalam
pemeriksaan sengketa di PTUN.
- Undang-undang sektoral lain yang
berkaitan dengan materi gugatan, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- 6.3 Peraturan dan Yurisprudensi
Selain undang-undang, ruang
lingkup PTUN juga dipengaruhi oleh berbagai peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Menteri, serta yurisprudensi atau putusan-putusan Mahkamah Agung yang
berkaitan dengan sengketa tata usaha negara. Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
juga mengatur mengenai prosedur beracara khusus di PTUN.
7. Perbandingan Ruang Lingkup
PTUN dengan Jenis Peradilan Lain di Indonesia
- 7.1 Peradilan Umum
Peradilan Umum memiliki
kewenangan untuk mengadili perkara pidana dan perdata antara individu atau
badan hukum perdata. Perbedaan mendasar dengan PTUN terletak pada jenis
sengketa dan pihak yang bersengketa. PTUN secara khusus menangani sengketa
antara individu atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara terkait dengan keabsahan keputusan administratif, sedangkan Peradilan
Umum menangani sengketa di ranah hukum privat dan perkara pidana. Misalnya,
sengketa mengenai wanprestasi dalam perjanjian akan diselesaikan di Peradilan
Umum, sementara sengketa mengenai pencabutan izin usaha oleh pemerintah akan
diselesaikan di PTUN.
- 7.2 Peradilan Agama
Peradilan Agama memiliki
kewenangan untuk mengadili perkara-perkara perdata tertentu bagi masyarakat
yang beragama Islam, seperti perkawinan, perceraian, waris, dan wakaf. Ruang
lingkup Peradilan Agama sangat berbeda dengan PTUN karena didasarkan pada identitas
agama para pihak dan jenis perkara yang spesifik berkaitan dengan hukum
keluarga dan hukum Islam. Sengketa perceraian antara suami istri beragama Islam
akan diselesaikan di Peradilan Agama, sementara sengketa mengenai keputusan
pemerintah yang mempengaruhi organisasi keagamaan akan diselesaikan di PTUN.
- 7.3 Peradilan Militer
Peradilan Militer memiliki
kewenangan untuk mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer.
Ruang lingkupnya terbatas pada penegakan hukum pidana di lingkungan militer dan
tidak berkaitan dengan sengketa administrasi negara antara warga sipil dengan
pemerintah yang menjadi kewenangan PTUN.
8. Kesimpulan
Ruang lingkup Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia sangat luas dan mencakup berbagai jenis sengketa yang
timbul antara warga masyarakat atau badan hukum perdata dengan badan atau
pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
PTUN memiliki peran krusial dalam menjamin kedudukan hukum warga negara,
melindungi hak-hak mereka dari tindakan administrasi yang melanggar hukum,
serta mendorong terciptanya pemerintahan yang baik, transparan, dan akuntabel.
Dasar hukum PTUN yang kuat, terutama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 beserta
perubahannya, memberikan landasan yang jelas bagi pelaksanaan kewenangannya.
Meskipun demikian, perbandingan dengan jenis peradilan lain menunjukkan bahwa
PTUN memiliki fokus yang spesifik pada sengketa administrasi negara, berbeda
dengan Peradilan Umum yang menangani perkara perdata dan pidana, serta
Peradilan Agama yang menangani perkara khusus terkait hukum keluarga dan hukum
Islam bagi umat Muslim. Studi kasus nyata menunjukkan bahwa PTUN memiliki potensi
besar untuk memberikan keadilan substantif, meskipun tantangan terkait
efektivitas dan penegakan putusan perlu terus diatasi demi mewujudkan negara
hukum yang ideal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar