Senin, 14 April 2025

Perspektif Para Ahli Hukum tentang Kepastian Hukum

Konsep kepastian hukum telah menjadi objek kajian dan perdebatan intensif di kalangan para ahli hukum dan filsuf hukum sepanjang sejarah. Pandangan mereka bervariasi, mencerminkan perbedaan aliran pemikiran, konteks historis, dan penekanan pada nilai-nilai hukum yang berbeda.

Pemikir Internasional

  • Gustav Radbruch: Ahli hukum Jerman, Gustav Radbruch, terkenal dengan teorinya tentang tiga nilai dasar atau tujuan hukum (Idee des Rechts): Keadilan (Gerechtigkeit), Kemanfaatan (Zweckmäßigkeit), dan Kepastian Hukum (Rechtssicherheit). Dalam pandangannya, ketiga nilai ini seringkali berada dalam hubungan yang saling menarik (spannungsverhältnis). Radbruch mendefinisikan kepastian hukum sebagai kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati, dengan tujuan utama menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Ia mengaitkan kepastian hukum erat dengan hukum positif, khususnya perundang-undangan, yang dianggap sebagai wujud konkret dari hukum yang pasti. Pada periode awal pemikirannya (sebelum Perang Dunia II), beberapa interpretasi menunjukkan bahwa Radbruch cenderung memberikan prioritas pada kepastian hukum di atas keadilan dan kemanfaatan jika terjadi konflik. Argumennya adalah bahwa keberadaan suatu tatanan hukum (yang dijamin oleh kepastian) lebih penting daripada keadilan atau kemanfaatannya, karena hukum yang tidak pasti tidak dapat berfungsi sama sekali. Bahkan hukum yang isinya tidak adil sekalipun, menurut pandangan ini, masih memenuhi satu tujuan, yaitu kepastian. Posisi ini sering dikaitkan dengan pengaruh positivisme hukum. Namun, pengalaman di bawah rezim Nazi mendorong Radbruch untuk merevisi pandangannya secara signifikan pasca-Perang Dunia II. Ia kemudian merumuskan apa yang dikenal sebagai "Formula Radbruch" (Radbruchsche Formel). Formula ini menyatakan bahwa meskipun hukum positif yang dibuat sesuai prosedur dan didukung kekuasaan tetap berlaku bahkan jika isinya tidak adil atau tidak bermanfaat, keabsahannya gugur jika pertentangan antara hukum positif dan keadilan mencapai tingkat yang "tak tertahankan" (unerträgliches Maß) atau jika hukum positif tersebut secara sengaja mengingkari kesetaraan yang merupakan inti dari keadilan. Dalam kasus ekstrem seperti itu, hukum positif yang "cacat" (fehlerhaftes Recht) atau bahkan "bukan hukum sama sekali" (Unrecht) harus mengalah pada keadilan. Evolusi pemikiran Radbruch ini menunjukkan kompleksitas hubungan antara kepastian hukum dan keadilan, serta pengakuan bahwa kepastian hukum bukanlah nilai absolut yang tanpa batas.  
  • Lon Fuller: Filsuf hukum Amerika, Lon Fuller, melalui karyanya "The Morality of Law", menawarkan perspektif yang berbeda. Ia mengkritik pandangan positivis yang memisahkan secara tegas antara hukum dan moralitas. Fuller berpendapat bahwa agar suatu sistem aturan dapat secara sah disebut sebagai "hukum" dan berfungsi secara efektif, ia harus memenuhi delapan asas atau prinsip "moralitas internal hukum" (inner morality of law) atau legalitas. Kedelapan asas tersebut adalah: (1) hukum harus berupa aturan umum (generality); (2) aturan harus diumumkan (promulgation); (3) aturan tidak boleh berlaku surut (non-retroactivity); (4) aturan harus jelas dan dapat dimengerti (clarity); (5) aturan tidak boleh saling bertentangan (consistency); (6) aturan tidak boleh menuntut hal yang mustahil (possibility of obedience); (7) aturan harus relatif stabil (constancy through time); dan (8) harus ada kesesuaian antara aturan yang diumumkan dengan penegakannya (congruence between official action and declared rule). Kedelapan asas Fuller ini secara inheren berkontribusi pada pencapaian kepastian hukum. Aturan yang umum, jelas, konsisten, stabil, dipublikasikan, dan diterapkan sesuai dengan bunyinya akan menciptakan sistem hukum yang dapat diprediksi dan dapat diandalkan oleh warga negara sebagai panduan perilaku. Kegagalan total untuk memenuhi satu atau beberapa asas ini, menurut Fuller, tidak hanya menghasilkan sistem hukum yang buruk, tetapi juga sesuatu yang sama sekali tidak dapat disebut sebagai sistem hukum. Dengan demikian, bagi Fuller, kepastian hukum (yang terwujud melalui pemenuhan asas legalitas) bukanlah sekadar nilai eksternal atau tujuan hukum, melainkan merupakan bagian dari esensi atau moralitas internal hukum itu sendiri.  
  • Perspektif Positivisme Hukum (Kelsen, Hart, Austin): Aliran positivisme hukum secara umum menekankan pentingnya kepastian hukum yang bersumber dari kriteria formal dan pemisahan hukum dari elemen non-hukum seperti moralitas atau fakta sosial.  
    • Hans Kelsen, dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtslehre), melihat hukum sebagai sistem norma yang tersusun secara hierarkis (Stufenbau). Kepastian hukum dicapai melalui identifikasi validitas suatu norma berdasarkan norma yang lebih tinggi, hingga berpuncak pada Norma Dasar (Grundnorm) yang bersifat hipotetis. Fokusnya adalah pada struktur logis dan validitas formal sistem hukum, terlepas dari isi atau keadilan norma tersebut.  
    • H.L.A. Hart mengembangkan konsep hukum sebagai gabungan antara aturan primer (yang memberlakukan kewajiban) dan aturan sekunder (yang mengatur pembuatan, perubahan, dan penegakan aturan primer). Kepastian hukum terutama disediakan oleh "Aturan Pengakuan" (Rule of Recognition), yaitu kriteria sosial yang diterima oleh pejabat hukum untuk mengidentifikasi aturan mana yang sah dalam sistem tersebut. Namun, Hart juga mengakui adanya "tekstur terbuka" (open texture) dalam bahasa hukum, yang berarti selalu ada area ketidakpastian atau "penumbra" di mana aturan tidak memberikan jawaban yang jelas, sehingga memerlukan penggunaan diskresi oleh hakim.  
    • John Austin mendefinisikan hukum sebagai perintah dari penguasa (sovereign) yang memiliki kebiasaan ditaati dan didukung oleh ancaman sanksi. Dalam pandangan ini, kepastian hukum berasal dari kejelasan sumber perintah (penguasa yang definit) dan kepastian adanya sanksi bagi pelanggar. Fokus utamanya adalah pada aspek imperatif dan paksaan dari hukum. Secara keseluruhan, positivisme hukum melihat kepastian sebagai nilai sentral yang dicapai melalui identifikasi hukum berdasarkan sumber formalnya (misalnya, undang-undang yang dibuat oleh lembaga berwenang) dan penerapannya secara logis dan konsisten, seraya meminimalkan pengaruh pertimbangan subjektif atau moral.  
  • Perspektif Lain (Hayek, Dicey, Raz, Apeldoorn, Aristotle, Dworkin):
    • Friedrich Hayek, seorang ekonom dan filsuf politik, sangat menekankan hubungan antara kepastian hukum dan kebebasan individu serta tatanan pasar bebas. Baginya, Rule of Law, yang dicirikan oleh aturan yang umum, abstrak, jelas, diumumkan, dan stabil, berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap intervensi negara yang diskresioner dan sewenang-wenang. Kepastian hukum memungkinkan individu untuk merencanakan hidup mereka dengan bebas dan memprediksi tindakan pemerintah.  
    • A.V. Dicey, seorang ahli hukum konstitusi Inggris, mengidentifikasi tiga elemen utama Rule of Law: (1) supremasi hukum reguler sebagai lawan dari kekuasaan sewenang-wenang; (2) persamaan di hadapan hukum bagi semua orang; dan (3) hak-hak individu dijamin oleh putusan pengadilan biasa. Kepastian hukum secara implisit terkandung dalam elemen pertama, yaitu penolakan terhadap kesewenang-wenangan dan penekanan pada hukum yang reguler dan dapat diprediksi.  
    • Joseph Raz, seorang filsuf hukum positivis kontemporer, mengartikulasikan serangkaian prinsip yang membentuk Rule of Law, seperti hukum harus prospektif, terbuka, jelas, relatif stabil, didasarkan pada aturan umum, adanya peradilan independen, dan akses ke pengadilan. Prinsip-prinsip ini bertujuan memastikan bahwa hukum mampu secara efektif memandu perilaku manusia. Namun, Raz secara eksplisit memandang Rule of Law (termasuk kepastian hukum) sebagai kebajikan formal atau instrumental, yang terpisah dari isu keadilan substantif dari isi hukum itu sendiri. Suatu sistem hukum bisa saja memenuhi prinsip Rule of Law namun tetap tidak adil secara substantif.  
    • Van Apeldoorn, seorang ahli hukum Belanda yang berpengaruh di Indonesia, menyatakan bahwa kepastian hukum memiliki dua aspek penting: (1) dapat ditentukannya hukum dalam hal-hal konkret (predictability), dan (2) keamanan hukum (legal security), yaitu perlindungan bagi individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari pihak lain atau negara.  
    • Aristoteles, filsuf Yunani kuno, meskipun hidup jauh sebelum istilah "kepastian hukum" modern muncul, telah membahas keutamaan pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law) dibandingkan pemerintahan oleh manusia (rule of man). Ia berpendapat bahwa hukum, sebagai aturan umum yang dibuat setelah pertimbangan panjang, lebih unggul daripada keputusan ad hoc yang dibuat dalam waktu singkat. Namun, ia juga mengakui adanya kasus-kasus sulit yang memerlukan epieikeia (equity atau keadilan individual) yang melampaui aturan umum.  
    • Ronald Dworkin, seorang kritikus positivisme terkemuka, berpendapat bahwa hukum tidak hanya terdiri dari aturan (rules) tetapi juga prinsip-prinsip (principles) moral dan politik. Interpretasi hukum, terutama dalam kasus-kasus sulit (hard cases), bukanlah sekadar penerapan aturan secara mekanis, melainkan upaya konstruktif untuk menemukan "jawaban benar" (right answer) yang paling sesuai (best fit) dengan materi hukum yang ada (undang-undang, preseden) dan sekaligus paling dapat dibenarkan secara moral (best justification). Bagi Dworkin, kepastian hukum tidak terletak pada formalitas semata, tetapi pada integritas dan koherensi sistem hukum secara keseluruhan, termasuk prinsip-prinsip keadilan yang mendasarinya.  

Pakar Hukum Indonesia

Pemikiran mengenai kepastian hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh teori-teori global, namun juga diwarnai oleh konteks sejarah, sosial-budaya, dan ideologi (Pancasila) yang khas. Hal ini menghasilkan berbagai perspektif yang mencoba menyeimbangkan cita-cita universal dengan realitas lokal.

  • Sudikno Mertokusumo: Profesor Sudikno Mertokusumo, seorang ahli hukum acara dan pengantar ilmu hukum terkemuka di Indonesia, memberikan definisi yang sering dikutip mengenai kepastian hukum. Baginya, kepastian hukum adalah sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Lebih spesifik, ia mengartikannya sebagai jaminan bahwa "yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan". Untuk mencapai ini, ia menekankan perlunya upaya pengaturan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan tersebut memiliki aspek yuridis yang menjamin fungsi hukum sebagai pedoman yang harus ditaati. Sudikno juga mengaitkan kepastian hukum dengan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang. Meskipun mengakui hubungan erat antara kepastian hukum dan keadilan, ia membedakan keduanya: hukum bersifat umum dan menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subjektif dan individualistis. Namun, keduanya, bersama dengan kemanfaatan, merupakan unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum. Pandangan Sudikno cenderung mencerminkan tradisi hukum Eropa Kontinental (Civil Law) yang menekankan peran sentral undang-undang (hukum positif) dalam menciptakan kepastian.  
  • Utrecht: Ernst Utrecht, seorang pakar hukum tata negara dan politik yang aktif di Indonesia, memberikan pemahaman kepastian hukum yang mencakup dua aspek. Pertama, adanya aturan-aturan yang bersifat umum memungkinkan individu untuk mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Ini menekankan fungsi hukum sebagai panduan perilaku yang jelas. Kedua, kepastian hukum juga berarti keamanan hukum (legal security) bagi individu dari kesewenang-wenangan pemerintah. Dengan adanya aturan umum yang mengikat pemerintah, individu dapat mengetahui batasan kewenangan negara terhadap mereka dan terlindungi dari tindakan arbitrer. Pandangan Utrecht menyoroti fungsi ganda kepastian hukum: sebagai pemberi arah (guidance) dan sebagai pelindung (protection).  
  • Satjipto Rahardjo: Profesor Satjipto Rahardjo dikenal sebagai penggagas aliran Hukum Progresif di Indonesia. Pemikirannya lahir dari keprihatinan mendalam terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia yang dianggapnya terlalu formalistik, kaku, koruptif, dan seringkali gagal mewujudkan keadilan substantif bagi masyarakat, terutama rakyat kecil. Hukum Progresif merupakan antitesis terhadap dominasi paradigma positivisme hukum yang menurutnya telah "mengerangkeng kecerdasan" dan memisahkan hukum dari tujuan utamanya. Kredo utama Hukum Progresif adalah "hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum". Bagi Satjipto, tujuan akhir hukum adalah untuk mengantarkan manusia pada keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Oleh karena itu, ia mengkritik keras penegakan hukum yang hanya terpaku pada bunyi teks undang-undang (according to the letter) atau formalitas prosedural, namun mengabaikan semangat hukum (spirit of the law) dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law). Dalam situasi di mana kepastian hukum formal bertentangan dengan keadilan substantif, Satjipto Rahardjo mendorong para penegak hukum (terutama hakim dan jaksa) yang memiliki integritas dan keberanian untuk melakukan "rule breaking" atau terobosan hukum demi mencapai keadilan yang sesungguhnya. Ia memandang hukum bukan sebagai institusi yang final dan mutlak, melainkan sebagai proses yang terus bergerak dan berkembang (law in the making) untuk mengabdi pada manusia. Kritik Satjipto terhadap formalisme dan penekanannya pada keadilan substantif serta peran sentral manusia (penegak hukum) dalam hukum menempatkannya sebagai suara kritis yang menantang pemujaan berlebihan terhadap kepastian hukum formal.  
  • Jimly Asshiddiqie: Sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi pertama dan Guru Besar Hukum Tata Negara, Profesor Jimly Asshiddiqie banyak memberikan kontribusi pemikiran mengenai konsep negara hukum Indonesia pasca-amandemen UUD 1945, yang secara tegas menyatakan "Negara Indonesia adalah negara hukum" (Pasal 1 ayat 3). Ia mengidentifikasi 12 prinsip pokok negara hukum modern yang relevan bagi Indonesia, ditambah satu prinsip khas Indonesia, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama Pancasila). Prinsip-prinsip tersebut meliputi supremasi hukum, persamaan di depan hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan konstitusi (Mahkamah Konstitusi), perlindungan hak asasi manusia, sifat demokratis, fungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara (welfare state), serta transparansi dan kontrol sosial. Banyak dari prinsip-prinsip ini secara langsung berkontribusi pada atau mensyaratkan adanya kepastian hukum. Jimly berpandangan bahwa konsep negara hukum Indonesia (Negara Hukum Pancasila) berupaya melakukan sintesis antara elemen-elemen terbaik dari tradisi Rechtsstaat (yang menekankan kepastian hukum melalui undang-undang) dan tradisi Rule of Law (yang menekankan keadilan dan perlindungan hak melalui peradilan), serta mengintegrasikannya dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Ia mengakui bahwa pemahaman hukum yang terlalu kaku dan sempit (hanya sebagai peraturan perundang-undangan) berisiko mengabaikan keadilan substantif. Oleh karena itu, penegakan hukum di Indonesia idealnya harus menyeimbangkan antara jaminan kepastian hukum dan penegakan keadilan substansial, serta memperhatikan asas kemanfaatan.  
  • Mochtar Kusumaatmadja: Profesor Mochtar Kusumaatmadja dikenal dengan Teori Hukum Pembangunan, yang mengkonseptualisasikan hukum sebagai "Sarana Pembaharuan Masyarakat" (Law as a Tool/Instrument of Social Engineering). Teori ini, yang diadaptasi dari pemikiran Roscoe Pound namun disesuaikan dengan konteks Indonesia, menekankan peran aktif hukum, khususnya perundang-undangan, dalam mengarahkan dan memfasilitasi perubahan sosial yang terencana menuju tujuan pembangunan nasional. Meskipun fokus utama Mochtar adalah pada fungsi hukum dalam pembangunan, konsepnya secara implisit mengasumsikan pentingnya kepastian hukum. Agar hukum dapat berfungsi efektif sebagai sarana pembaharuan dan mengarahkan kegiatan manusia, diperlukan adanya aturan yang relatif jelas, stabil, dan ditegakkan secara konsisten. Hukum juga berfungsi untuk memelihara ketertiban selama proses perubahan sosial berlangsung. Mochtar tidak mengabaikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law); ia berpendapat bahwa agar hukum positif (peraturan perundang-undangan) efektif, ia harus sejauh mungkin sesuai dengan atau setidaknya tidak bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai dan kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian, dalam kerangka Teori Hukum Pembangunan, kepastian hukum dilihat sebagai kondisi instrumental yang diperlukan agar hukum dapat menjalankan fungsi pembaharuannya secara efektif dan teratur.  
  • Pakar Lain (Nusrhasan Ismail, Bagir Manan, Maria S.W. Sumardjono, Fence M. Wantu, dll.): Sejumlah pakar hukum Indonesia lainnya juga memberikan kontribusi pada pemahaman kepastian hukum:
    • Nusrhasan Ismail menekankan syarat-syarat internal kepastian hukum, yaitu adanya kejelasan konsep yang digunakan dalam norma hukum, kejelasan hierarki peraturan perundang-undangan (menyangkut legitimasi dan kekuatan mengikat), serta konsistensi antar norma hukum yang mengatur subjek yang sama. Ia juga menegaskan perlunya hukum dibuat oleh pihak yang berwenang.  
    • Bagir Manan menguraikan bahwa kepastian hukum mencakup tiga aspek: kepastian mengenai aturan hukum yang diterapkan, kepastian mengenai proses hukum (penegakan dan pelayanan), serta kepastian mengenai kewenangan lembaga atau pejabat. Ia menekankan bahwa peraturan harus jelas, tetap, dan konsisten.  
    • Maria S.W. Sumardjono berpendapat bahwa secara normatif, kepastian hukum memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang jelas dan operasional, serta didukung oleh sumber daya manusia (aparat penegak hukum) yang melaksanakannya secara konsisten dan konsekuen.  
    • Fence M. Wantu menegaskan bahwa hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan maknanya sebagai pedoman perilaku bagi semua orang. Kepastian hukum diartikan sebagai kejelasan norma yang memungkinkan masyarakat menjadikannya pedoman.  

Secara keseluruhan, pandangan para ahli hukum, baik internasional maupun Indonesia, menunjukkan spektrum pemikiran yang luas mengenai kepastian hukum. Terdapat perdebatan fundamental mengenai hubungannya dengan keadilan, mulai dari pandangan positivis yang cenderung memisahkannya atau memprioritaskan kepastian formal, hingga pandangan non-positivis yang melihat keterkaitan intrinsik atau bahkan memprioritaskan keadilan. Pemikir seperti Fuller dan Dworkin melihat adanya hubungan prosedural atau substantif antara kepastian dan moralitas/keadilan , sementara Radbruch menunjukkan evolusi pemikiran dari prioritas kepastian menuju prioritas keadilan dalam kasus-kasus ekstrem.  

Pemikiran hukum di Indonesia secara khusus sangat dipengaruhi oleh pengalaman sejarah (kolonialisme, Orde Baru, Reformasi) dan konteks ideologis Pancasila. Hal ini melahirkan upaya sintesis atau justru ketegangan antara teori global dan realitas lokal. Mochtar Kusumaatmadja merespons kebutuhan pembangunan pasca-kolonial , Satjipto Rahardjo mengkritik formalisme hukum warisan masa lalu yang dianggap menindas , Jimly Asshiddiqie berusaha merumuskan negara hukum dalam kerangka Pancasila pasca-Reformasi , sementara Sudikno Mertokusumo merefleksikan pandangan doktrinal yang kuat namun tetap mengakui nilai lain. Keragaman ini menunjukkan dinamika pencarian identitas hukum Indonesia.  

Kritik Satjipto Rahardjo terhadap pemujaan kepastian hukum formal menyoroti bahaya jika kepastian menjadi tujuan itu sendiri (fetishisme hukum) dan terlepas dari tujuan hukum yang lebih luhur seperti keadilan dan kebahagiaan manusia. Ini merupakan tantangan etis mendasar bagi para penegak hukum mengenai peran hati nurani dan keberanian moral dalam menjalankan tugasnya.  

Meskipun terdapat perbedaan penekanan, hampir semua ahli mengakui kepastian hukum sebagai salah satu nilai atau tujuan hukum yang penting. Bahkan kritikus formalisme tidak menolak aturan sama sekali, dan positivis pun mengakui adanya area ketidakpastian. Konsensus dasarnya adalah bahwa suatu tingkat kepastian diperlukan agar hukum dapat berfungsi. Namun, bagaimana kepastian itu dicapai, sejauh mana ia harus diutamakan, dan bagaimana menyeimbangkannya dengan nilai-nilai lain, terutama keadilan, tetap menjadi perdebatan inti dalam filsafat dan teori hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...