Konsep kepastian hukum telah menjadi objek kajian dan perdebatan intensif di kalangan para ahli hukum dan filsuf hukum sepanjang sejarah. Pandangan mereka bervariasi, mencerminkan perbedaan aliran pemikiran, konteks historis, dan penekanan pada nilai-nilai hukum yang berbeda.
Pemikir Internasional
- Gustav Radbruch:
Ahli hukum Jerman, Gustav Radbruch, terkenal dengan teorinya tentang tiga
nilai dasar atau tujuan hukum (Idee des Rechts): Keadilan (Gerechtigkeit),
Kemanfaatan (Zweckmäßigkeit), dan Kepastian Hukum (Rechtssicherheit).
Dalam pandangannya, ketiga nilai ini seringkali berada dalam hubungan yang
saling menarik (spannungsverhältnis). Radbruch mendefinisikan kepastian
hukum sebagai kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang
harus ditaati, dengan tujuan utama menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
Ia mengaitkan kepastian hukum erat dengan hukum positif, khususnya
perundang-undangan, yang dianggap sebagai wujud konkret dari hukum yang
pasti. Pada periode awal pemikirannya (sebelum Perang Dunia II), beberapa
interpretasi menunjukkan bahwa Radbruch cenderung memberikan prioritas
pada kepastian hukum di atas keadilan dan kemanfaatan jika terjadi
konflik. Argumennya adalah bahwa keberadaan suatu tatanan hukum (yang
dijamin oleh kepastian) lebih penting daripada keadilan atau
kemanfaatannya, karena hukum yang tidak pasti tidak dapat berfungsi sama
sekali. Bahkan hukum yang isinya tidak adil sekalipun, menurut pandangan
ini, masih memenuhi satu tujuan, yaitu kepastian. Posisi ini sering
dikaitkan dengan pengaruh positivisme hukum. Namun, pengalaman di bawah
rezim Nazi mendorong Radbruch untuk merevisi pandangannya secara
signifikan pasca-Perang Dunia II. Ia kemudian merumuskan apa yang dikenal
sebagai "Formula Radbruch" (Radbruchsche Formel). Formula ini
menyatakan bahwa meskipun hukum positif yang dibuat sesuai prosedur dan
didukung kekuasaan tetap berlaku bahkan jika isinya tidak adil atau tidak
bermanfaat, keabsahannya gugur jika pertentangan antara hukum positif dan
keadilan mencapai tingkat yang "tak tertahankan" (unerträgliches
Maß) atau jika hukum positif tersebut secara sengaja mengingkari
kesetaraan yang merupakan inti dari keadilan. Dalam kasus ekstrem seperti
itu, hukum positif yang "cacat" (fehlerhaftes Recht) atau bahkan
"bukan hukum sama sekali" (Unrecht) harus mengalah pada
keadilan. Evolusi pemikiran Radbruch ini menunjukkan kompleksitas hubungan
antara kepastian hukum dan keadilan, serta pengakuan bahwa kepastian hukum
bukanlah nilai absolut yang tanpa batas.
- Lon Fuller: Filsuf
hukum Amerika, Lon Fuller, melalui karyanya "The Morality of
Law", menawarkan perspektif yang berbeda. Ia mengkritik pandangan
positivis yang memisahkan secara tegas antara hukum dan moralitas. Fuller
berpendapat bahwa agar suatu sistem aturan dapat secara sah disebut
sebagai "hukum" dan berfungsi secara efektif, ia harus memenuhi
delapan asas atau prinsip "moralitas internal hukum" (inner
morality of law) atau legalitas. Kedelapan asas tersebut adalah: (1) hukum
harus berupa aturan umum (generality); (2) aturan harus diumumkan
(promulgation); (3) aturan tidak boleh berlaku surut (non-retroactivity);
(4) aturan harus jelas dan dapat dimengerti (clarity); (5) aturan tidak
boleh saling bertentangan (consistency); (6) aturan tidak boleh menuntut
hal yang mustahil (possibility of obedience); (7) aturan harus relatif
stabil (constancy through time); dan (8) harus ada kesesuaian antara
aturan yang diumumkan dengan penegakannya (congruence between official
action and declared rule). Kedelapan asas Fuller ini secara inheren
berkontribusi pada pencapaian kepastian hukum. Aturan yang umum, jelas,
konsisten, stabil, dipublikasikan, dan diterapkan sesuai dengan bunyinya
akan menciptakan sistem hukum yang dapat diprediksi dan dapat diandalkan
oleh warga negara sebagai panduan perilaku. Kegagalan total untuk memenuhi
satu atau beberapa asas ini, menurut Fuller, tidak hanya menghasilkan
sistem hukum yang buruk, tetapi juga sesuatu yang sama sekali tidak dapat
disebut sebagai sistem hukum. Dengan demikian, bagi Fuller, kepastian
hukum (yang terwujud melalui pemenuhan asas legalitas) bukanlah sekadar
nilai eksternal atau tujuan hukum, melainkan merupakan bagian dari esensi
atau moralitas internal hukum itu sendiri.
- Perspektif Positivisme Hukum
(Kelsen, Hart, Austin): Aliran positivisme hukum
secara umum menekankan pentingnya kepastian hukum yang bersumber dari
kriteria formal dan pemisahan hukum dari elemen non-hukum seperti
moralitas atau fakta sosial.
- Hans Kelsen,
dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtslehre), melihat hukum sebagai
sistem norma yang tersusun secara hierarkis (Stufenbau). Kepastian hukum
dicapai melalui identifikasi validitas suatu norma berdasarkan norma yang
lebih tinggi, hingga berpuncak pada Norma Dasar (Grundnorm) yang bersifat
hipotetis. Fokusnya adalah pada struktur logis dan validitas formal
sistem hukum, terlepas dari isi atau keadilan norma tersebut.
- H.L.A. Hart
mengembangkan konsep hukum sebagai gabungan antara aturan primer (yang
memberlakukan kewajiban) dan aturan sekunder (yang mengatur pembuatan,
perubahan, dan penegakan aturan primer). Kepastian hukum terutama
disediakan oleh "Aturan Pengakuan" (Rule of Recognition), yaitu
kriteria sosial yang diterima oleh pejabat hukum untuk mengidentifikasi
aturan mana yang sah dalam sistem tersebut. Namun, Hart juga mengakui
adanya "tekstur terbuka" (open texture) dalam bahasa hukum,
yang berarti selalu ada area ketidakpastian atau "penumbra" di
mana aturan tidak memberikan jawaban yang jelas, sehingga memerlukan
penggunaan diskresi oleh hakim.
- John Austin
mendefinisikan hukum sebagai perintah dari penguasa (sovereign) yang
memiliki kebiasaan ditaati dan didukung oleh ancaman sanksi. Dalam
pandangan ini, kepastian hukum berasal dari kejelasan sumber perintah
(penguasa yang definit) dan kepastian adanya sanksi bagi pelanggar. Fokus
utamanya adalah pada aspek imperatif dan paksaan dari hukum. Secara
keseluruhan, positivisme hukum melihat kepastian sebagai nilai sentral
yang dicapai melalui identifikasi hukum berdasarkan sumber formalnya
(misalnya, undang-undang yang dibuat oleh lembaga berwenang) dan
penerapannya secara logis dan konsisten, seraya meminimalkan pengaruh
pertimbangan subjektif atau moral.
- Perspektif Lain (Hayek, Dicey, Raz,
Apeldoorn, Aristotle, Dworkin):
- Friedrich Hayek,
seorang ekonom dan filsuf politik, sangat menekankan hubungan antara
kepastian hukum dan kebebasan individu serta tatanan pasar bebas.
Baginya, Rule of Law, yang dicirikan oleh aturan yang umum, abstrak,
jelas, diumumkan, dan stabil, berfungsi sebagai benteng pertahanan
terhadap intervensi negara yang diskresioner dan sewenang-wenang.
Kepastian hukum memungkinkan individu untuk merencanakan hidup mereka
dengan bebas dan memprediksi tindakan pemerintah.
- A.V. Dicey,
seorang ahli hukum konstitusi Inggris, mengidentifikasi tiga elemen utama
Rule of Law: (1) supremasi hukum reguler sebagai lawan dari kekuasaan
sewenang-wenang; (2) persamaan di hadapan hukum bagi semua orang; dan (3)
hak-hak individu dijamin oleh putusan pengadilan biasa. Kepastian hukum
secara implisit terkandung dalam elemen pertama, yaitu penolakan terhadap
kesewenang-wenangan dan penekanan pada hukum yang reguler dan dapat
diprediksi.
- Joseph Raz,
seorang filsuf hukum positivis kontemporer, mengartikulasikan serangkaian
prinsip yang membentuk Rule of Law, seperti hukum harus prospektif,
terbuka, jelas, relatif stabil, didasarkan pada aturan umum, adanya
peradilan independen, dan akses ke pengadilan. Prinsip-prinsip ini
bertujuan memastikan bahwa hukum mampu secara efektif memandu perilaku
manusia. Namun, Raz secara eksplisit memandang Rule of Law (termasuk
kepastian hukum) sebagai kebajikan formal atau instrumental, yang
terpisah dari isu keadilan substantif dari isi hukum itu sendiri. Suatu
sistem hukum bisa saja memenuhi prinsip Rule of Law namun tetap tidak
adil secara substantif.
- Van Apeldoorn,
seorang ahli hukum Belanda yang berpengaruh di Indonesia, menyatakan
bahwa kepastian hukum memiliki dua aspek penting: (1) dapat ditentukannya
hukum dalam hal-hal konkret (predictability), dan (2) keamanan hukum
(legal security), yaitu perlindungan bagi individu terhadap tindakan
sewenang-wenang dari pihak lain atau negara.
- Aristoteles,
filsuf Yunani kuno, meskipun hidup jauh sebelum istilah "kepastian
hukum" modern muncul, telah membahas keutamaan pemerintahan
berdasarkan hukum (rule of law) dibandingkan pemerintahan oleh manusia
(rule of man). Ia berpendapat bahwa hukum, sebagai aturan umum yang
dibuat setelah pertimbangan panjang, lebih unggul daripada keputusan ad
hoc yang dibuat dalam waktu singkat. Namun, ia juga mengakui adanya
kasus-kasus sulit yang memerlukan epieikeia (equity atau keadilan
individual) yang melampaui aturan umum.
- Ronald Dworkin,
seorang kritikus positivisme terkemuka, berpendapat bahwa hukum tidak
hanya terdiri dari aturan (rules) tetapi juga prinsip-prinsip
(principles) moral dan politik. Interpretasi hukum, terutama dalam
kasus-kasus sulit (hard cases), bukanlah sekadar penerapan aturan secara
mekanis, melainkan upaya konstruktif untuk menemukan "jawaban
benar" (right answer) yang paling sesuai (best fit) dengan materi
hukum yang ada (undang-undang, preseden) dan sekaligus paling dapat
dibenarkan secara moral (best justification). Bagi Dworkin, kepastian
hukum tidak terletak pada formalitas semata, tetapi pada integritas dan
koherensi sistem hukum secara keseluruhan, termasuk prinsip-prinsip
keadilan yang mendasarinya.
Pakar Hukum Indonesia
Pemikiran mengenai kepastian
hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh teori-teori global,
namun juga diwarnai oleh konteks sejarah, sosial-budaya, dan ideologi
(Pancasila) yang khas. Hal ini menghasilkan berbagai perspektif yang mencoba menyeimbangkan
cita-cita universal dengan realitas lokal.
- Sudikno Mertokusumo:
Profesor Sudikno Mertokusumo, seorang ahli hukum acara dan pengantar ilmu
hukum terkemuka di Indonesia, memberikan definisi yang sering dikutip
mengenai kepastian hukum. Baginya, kepastian hukum adalah sebuah jaminan
bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Lebih
spesifik, ia mengartikannya sebagai jaminan bahwa "yang berhak
menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat
dilaksanakan". Untuk mencapai ini, ia menekankan perlunya upaya
pengaturan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan tersebut memiliki
aspek yuridis yang menjamin fungsi hukum sebagai pedoman yang harus
ditaati. Sudikno juga mengaitkan kepastian hukum dengan perlindungan
terhadap tindakan sewenang-wenang. Meskipun mengakui hubungan erat antara
kepastian hukum dan keadilan, ia membedakan keduanya: hukum bersifat umum
dan menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subjektif dan
individualistis. Namun, keduanya, bersama dengan kemanfaatan, merupakan
unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum. Pandangan Sudikno
cenderung mencerminkan tradisi hukum Eropa Kontinental (Civil Law) yang
menekankan peran sentral undang-undang (hukum positif) dalam menciptakan
kepastian.
- Utrecht:
Ernst Utrecht, seorang pakar hukum tata negara dan politik yang aktif di
Indonesia, memberikan pemahaman kepastian hukum yang mencakup dua aspek.
Pertama, adanya aturan-aturan yang bersifat umum memungkinkan individu
untuk mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Ini
menekankan fungsi hukum sebagai panduan perilaku yang jelas. Kedua,
kepastian hukum juga berarti keamanan hukum (legal security) bagi individu
dari kesewenang-wenangan pemerintah. Dengan adanya aturan umum yang mengikat
pemerintah, individu dapat mengetahui batasan kewenangan negara terhadap
mereka dan terlindungi dari tindakan arbitrer. Pandangan Utrecht menyoroti
fungsi ganda kepastian hukum: sebagai pemberi arah (guidance) dan sebagai
pelindung (protection).
- Satjipto Rahardjo:
Profesor Satjipto Rahardjo dikenal sebagai penggagas aliran Hukum
Progresif di Indonesia. Pemikirannya lahir dari keprihatinan mendalam
terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia yang dianggapnya terlalu
formalistik, kaku, koruptif, dan seringkali gagal mewujudkan keadilan
substantif bagi masyarakat, terutama rakyat kecil. Hukum Progresif
merupakan antitesis terhadap dominasi paradigma positivisme hukum yang
menurutnya telah "mengerangkeng kecerdasan" dan memisahkan hukum
dari tujuan utamanya. Kredo utama Hukum Progresif adalah "hukum untuk
manusia, bukan manusia untuk hukum". Bagi Satjipto, tujuan akhir
hukum adalah untuk mengantarkan manusia pada keadilan, kesejahteraan, dan
kebahagiaan. Oleh karena itu, ia mengkritik keras penegakan hukum yang
hanya terpaku pada bunyi teks undang-undang (according to the letter) atau
formalitas prosedural, namun mengabaikan semangat hukum (spirit of the
law) dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law). Dalam
situasi di mana kepastian hukum formal bertentangan dengan keadilan
substantif, Satjipto Rahardjo mendorong para penegak hukum (terutama hakim
dan jaksa) yang memiliki integritas dan keberanian untuk melakukan
"rule breaking" atau terobosan hukum demi mencapai keadilan yang
sesungguhnya. Ia memandang hukum bukan sebagai institusi yang final dan
mutlak, melainkan sebagai proses yang terus bergerak dan berkembang (law
in the making) untuk mengabdi pada manusia. Kritik Satjipto terhadap
formalisme dan penekanannya pada keadilan substantif serta peran sentral
manusia (penegak hukum) dalam hukum menempatkannya sebagai suara kritis
yang menantang pemujaan berlebihan terhadap kepastian hukum formal.
- Jimly Asshiddiqie:
Sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi pertama dan Guru Besar Hukum Tata
Negara, Profesor Jimly Asshiddiqie banyak memberikan kontribusi pemikiran
mengenai konsep negara hukum Indonesia pasca-amandemen UUD 1945, yang
secara tegas menyatakan "Negara Indonesia adalah negara hukum"
(Pasal 1 ayat 3). Ia mengidentifikasi 12 prinsip pokok negara hukum modern
yang relevan bagi Indonesia, ditambah satu prinsip khas Indonesia, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama Pancasila). Prinsip-prinsip tersebut
meliputi supremasi hukum, persamaan di depan hukum, asas legalitas,
pembatasan kekuasaan, organ independen, peradilan bebas dan tidak memihak,
peradilan tata usaha negara, peradilan konstitusi (Mahkamah Konstitusi),
perlindungan hak asasi manusia, sifat demokratis, fungsi sebagai sarana
mewujudkan tujuan negara (welfare state), serta transparansi dan kontrol
sosial. Banyak dari prinsip-prinsip ini secara langsung berkontribusi pada
atau mensyaratkan adanya kepastian hukum. Jimly berpandangan bahwa konsep
negara hukum Indonesia (Negara Hukum Pancasila) berupaya melakukan
sintesis antara elemen-elemen terbaik dari tradisi Rechtsstaat (yang
menekankan kepastian hukum melalui undang-undang) dan tradisi Rule of Law
(yang menekankan keadilan dan perlindungan hak melalui peradilan), serta
mengintegrasikannya dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Ia mengakui bahwa
pemahaman hukum yang terlalu kaku dan sempit (hanya sebagai peraturan
perundang-undangan) berisiko mengabaikan keadilan substantif. Oleh karena
itu, penegakan hukum di Indonesia idealnya harus menyeimbangkan antara
jaminan kepastian hukum dan penegakan keadilan substansial, serta
memperhatikan asas kemanfaatan.
- Mochtar Kusumaatmadja:
Profesor Mochtar Kusumaatmadja dikenal dengan Teori Hukum Pembangunan,
yang mengkonseptualisasikan hukum sebagai "Sarana Pembaharuan
Masyarakat" (Law as a Tool/Instrument of Social Engineering). Teori
ini, yang diadaptasi dari pemikiran Roscoe Pound namun disesuaikan dengan
konteks Indonesia, menekankan peran aktif hukum, khususnya
perundang-undangan, dalam mengarahkan dan memfasilitasi perubahan sosial
yang terencana menuju tujuan pembangunan nasional. Meskipun fokus utama
Mochtar adalah pada fungsi hukum dalam pembangunan, konsepnya secara
implisit mengasumsikan pentingnya kepastian hukum. Agar hukum dapat
berfungsi efektif sebagai sarana pembaharuan dan mengarahkan kegiatan
manusia, diperlukan adanya aturan yang relatif jelas, stabil, dan
ditegakkan secara konsisten. Hukum juga berfungsi untuk memelihara
ketertiban selama proses perubahan sosial berlangsung. Mochtar tidak
mengabaikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law); ia berpendapat
bahwa agar hukum positif (peraturan perundang-undangan) efektif, ia harus
sejauh mungkin sesuai dengan atau setidaknya tidak bertentangan secara
diametral dengan nilai-nilai dan kesadaran hukum masyarakat. Dengan
demikian, dalam kerangka Teori Hukum Pembangunan, kepastian hukum dilihat
sebagai kondisi instrumental yang diperlukan agar hukum dapat menjalankan
fungsi pembaharuannya secara efektif dan teratur.
- Pakar Lain (Nusrhasan Ismail, Bagir
Manan, Maria S.W. Sumardjono, Fence M. Wantu, dll.):
Sejumlah pakar hukum Indonesia lainnya juga memberikan kontribusi pada
pemahaman kepastian hukum:
- Nusrhasan Ismail
menekankan syarat-syarat internal kepastian hukum, yaitu adanya kejelasan
konsep yang digunakan dalam norma hukum, kejelasan hierarki peraturan
perundang-undangan (menyangkut legitimasi dan kekuatan mengikat), serta
konsistensi antar norma hukum yang mengatur subjek yang sama. Ia juga
menegaskan perlunya hukum dibuat oleh pihak yang berwenang.
- Bagir Manan
menguraikan bahwa kepastian hukum mencakup tiga aspek: kepastian mengenai
aturan hukum yang diterapkan, kepastian mengenai proses hukum (penegakan
dan pelayanan), serta kepastian mengenai kewenangan lembaga atau pejabat.
Ia menekankan bahwa peraturan harus jelas, tetap, dan konsisten.
- Maria S.W. Sumardjono
berpendapat bahwa secara normatif, kepastian hukum memerlukan tersedianya
perangkat peraturan perundang-undangan yang jelas dan operasional, serta
didukung oleh sumber daya manusia (aparat penegak hukum) yang
melaksanakannya secara konsisten dan konsekuen.
- Fence M. Wantu
menegaskan bahwa hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan maknanya
sebagai pedoman perilaku bagi semua orang. Kepastian hukum diartikan
sebagai kejelasan norma yang memungkinkan masyarakat menjadikannya
pedoman.
Secara keseluruhan, pandangan
para ahli hukum, baik internasional maupun Indonesia, menunjukkan spektrum
pemikiran yang luas mengenai kepastian hukum. Terdapat perdebatan fundamental
mengenai hubungannya dengan keadilan, mulai dari pandangan positivis yang
cenderung memisahkannya atau memprioritaskan kepastian formal, hingga pandangan
non-positivis yang melihat keterkaitan intrinsik atau bahkan memprioritaskan
keadilan. Pemikir seperti Fuller dan Dworkin melihat adanya hubungan prosedural
atau substantif antara kepastian dan moralitas/keadilan , sementara Radbruch
menunjukkan evolusi pemikiran dari prioritas kepastian menuju prioritas
keadilan dalam kasus-kasus ekstrem.
Pemikiran hukum di Indonesia
secara khusus sangat dipengaruhi oleh pengalaman sejarah (kolonialisme, Orde
Baru, Reformasi) dan konteks ideologis Pancasila. Hal ini melahirkan upaya
sintesis atau justru ketegangan antara teori global dan realitas lokal. Mochtar
Kusumaatmadja merespons kebutuhan pembangunan pasca-kolonial , Satjipto
Rahardjo mengkritik formalisme hukum warisan masa lalu yang dianggap menindas ,
Jimly Asshiddiqie berusaha merumuskan negara hukum dalam kerangka Pancasila
pasca-Reformasi , sementara Sudikno Mertokusumo merefleksikan pandangan
doktrinal yang kuat namun tetap mengakui nilai lain. Keragaman ini menunjukkan
dinamika pencarian identitas hukum Indonesia.
Kritik Satjipto Rahardjo
terhadap pemujaan kepastian hukum formal menyoroti bahaya jika kepastian
menjadi tujuan itu sendiri (fetishisme hukum) dan terlepas dari tujuan hukum
yang lebih luhur seperti keadilan dan kebahagiaan manusia. Ini merupakan tantangan
etis mendasar bagi para penegak hukum mengenai peran hati nurani dan keberanian
moral dalam menjalankan tugasnya.
Meskipun terdapat perbedaan
penekanan, hampir semua ahli mengakui kepastian hukum sebagai salah satu
nilai atau tujuan hukum yang penting. Bahkan kritikus formalisme tidak menolak
aturan sama sekali, dan positivis pun mengakui adanya area ketidakpastian.
Konsensus dasarnya adalah bahwa suatu tingkat kepastian diperlukan agar hukum
dapat berfungsi. Namun, bagaimana kepastian itu dicapai, sejauh mana
ia harus diutamakan, dan bagaimana menyeimbangkannya dengan nilai-nilai
lain, terutama keadilan, tetap menjadi perdebatan inti dalam filsafat dan teori
hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar