Sabtu, 05 April 2025

Perikatan vs Perjanjian

 1. Pendahuluan

Dalam ranah hukum perdata Indonesia, konsep "perikatan" (obligation) dan "perjanjian" (agreement/contract) memegang peranan sentral, terutama dalam konteks hukum harta kekayaan ("hukum harta kekayaan"). Pemahaman yang mendalam mengenai perbedaan dan hubungan antara kedua istilah ini sangat krusial bagi para praktisi hukum, akademisi, serta individu yang terlibat dalam aktivitas hukum atau komersial di Indonesia.

Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan penjelasan komprehensif mengenai masing-masing konsep, mengupas tuntas relasi di antara keduanya, dan secara jelas menguraikan perbedaan mendasar yang ada berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata Indonesia yang terkodifikasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta interpretasi dari para ahli hukum.  

2. Definisi "Perikatan" (Obligation) dalam Hukum Perdata Indonesia

Istilah "perikatan" merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda "verbintenis" yang merupakan akar dari KUHPerdata. Secara harfiah, "verbintenis" mengandung makna ikatan atau hubungan, dan dalam konteks hukum, merujuk pada hubungan hukum yang mengikat antara dua pihak atau lebih. Berbagai definisi mengenai "perikatan" telah dikemukakan oleh para sarjana hukum terkemuka di Indonesia.  

Subekti mendefinisikan "perikatan" sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Definisi ini menyoroti adanya hak dan kewajiban sebagai inti dari sebuah perikatan. Pitlo menggambarkan "perikatan" sebagai suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu memiliki hak (kreditur) dan pihak yang lain memiliki kewajiban (debitur) atas suatu prestasi. Penjelasan ini secara eksplisit menempatkan "perikatan" dalam ranah hukum harta kekayaan. Hofmann memberikan definisi "perikatan" atau "verbintenis" sebagai suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek hukum, di mana seseorang mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian. Definisi ini menekankan sifat mengikat dan subjek hukum yang terlibat dalam perikatan.  

Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa "perikatan" berarti hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain, yang timbul dari suatu peristiwa hukum. Definisi ini menyoroti aspek mengikat dan asal mula perikatan dari suatu kejadian yang memiliki konsekuensi hukum. R. Setiawan mendefinisikan "perikatan" sebagai suatu hubungan hukum yang diatur dan diakui oleh hukum. Definisi ini menggarisbawahi dasar hukum dan pengakuan formal terhadap perikatan. Riduan Syahrani juga mendefinisikan "perikatan" sebagai hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lain berkewajiban memenuhi prestasi itu. J. Satrio berpendapat bahwa "perikatan" adalah perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan. Willa Wahyuni mendefinisikan "perikatan" sebagai hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak kreditur berhak atas suatu prestasi dan pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi tersebut.  

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diidentifikasi beberapa karakteristik utama dari "perikatan" dalam hukum perdata Indonesia. Pertama, adanya hubungan hukum, yang berarti hubungan tersebut diatur dan diakui oleh sistem hukum, sehingga memiliki konsekuensi yuridis jika tidak dipenuhi. Hal ini membedakan perikatan dari sekadar hubungan sosial atau moral. Kedua, perikatan berada dalam lapangan hukum harta kekayaan, yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang memiliki nilai ekonomis. Meskipun pada awalnya terdapat perdebatan mengenai batasan ini, hukum perikatan secara umum dianggap sebagai bagian dari hukum harta kekayaan. Ketiga, perikatan melibatkan dua pihak atau lebih, yaitu pihak yang berhak menuntut pemenuhan (kreditur) dan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan (debitur). Jumlah kreditur dan debitur dalam suatu perikatan dapat lebih dari satu. Keempat, adanya objek perikatan (prestasi), yaitu sesuatu yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa prestasi dapat berupa memberikan sesuatu ("memberikan sesuatu"), berbuat sesuatu ("berbuat sesuatu"), atau tidak berbuat sesuatu ("tidak berbuat sesuatu"). Prestasi ini harus memenuhi syarat tertentu, yaitu tertentu atau dapat ditentukan, diperbolehkan oleh hukum, dan mungkin untuk dilaksanakan.  

3. Sumber-Sumber "Perikatan" Menurut Hukum Perdata Indonesia

Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) merupakan landasan utama yang mengatur sumber-sumber "perikatan" dalam hukum perdata Indonesia. Pasal ini menyatakan bahwa "Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang." Berdasarkan ketentuan ini, terdapat dua sumber utama timbulnya perikatan.  

3.1. Perikatan yang Bersumber dari Perjanjian ("Persetujuan")

"Perjanjian" didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih berdasarkan kata sepakat. Ini merupakan sumber perikatan yang paling umum. Hukum perdata Indonesia menganut prinsip kebebasan berkontrak ("kebebasan berkontrak") yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Prinsip ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan isi perjanjian yang mereka adakan, sepanjang memenuhi persyaratan sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Berbagai jenis perjanjian dapat melahirkan perikatan, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian pinjam meminjam, perjanjian kerja, dan lain-lain.  

3.2. Perikatan yang Bersumber dari Undang-Undang ("Undang-Undang")

Selain dari perjanjian, "perikatan" juga dapat timbul langsung dari ketentuan undang-undang, tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu antara pihak-pihak yang terlibat. Perikatan yang bersumber dari undang-undang dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:  

  • Perikatan yang timbul dari undang-undang saja: Jenis perikatan ini lahir secara otomatis berdasarkan ketentuan undang-undang karena adanya status hukum atau hubungan tertentu. Contohnya adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya (sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menggantikan Pasal 104 KUHPerdata) dan kewajiban antara pemilik pekarangan yang bertetangga (seperti yang diatur dalam Pasal 625 KUHPerdata).  
  • Perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan manusia: Jenis perikatan ini timbul karena adanya perbuatan manusia yang diatur oleh undang-undang, sehingga undang-undang secara langsung mengaitkan perbuatan tersebut dengan timbulnya suatu perikatan. Kategori ini dibagi lagi menjadi:
    • Perbuatan menurut hukum ("rechtmatige daad"): Perbuatan yang sesuai dengan hukum tetapi tetap menimbulkan kewajiban. Contohnya adalah zaakwaarneming (pengurusan kepentingan orang lain secara sukarela) (diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata) dan onverschuldigde betaling (pembayaran yang tidak terutang) (diatur dalam Pasal 1359 KUHPerdata).  
    • Perbuatan melawan hukum ("onrechtmatige daad"): Perbuatan yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian bagi orang lain, sehingga menimbulkan kewajiban untuk mengganti kerugian tersebut (diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata).  

4. Unsur-Unsur Penting yang Membentuk Suatu "Perikatan"

Berdasarkan definisi dan sumber-sumber "perikatan" yang telah dibahas, dapat diidentifikasi unsur-unsur penting yang membentuk suatu perikatan :  

  • Hubungan Hukum. Adanya hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum antara pihak-pihak yang terlibat, yang melahirkan hak dan kewajiban. Unsur ini membedakan perikatan dari hubungan sosial atau moral yang tidak memiliki konsekuensi hukum yang mengikat.  
  • Pihak-Pihak. Dalam setiap perikatan minimal terdapat dua pihak, yaitu kreditur (pihak yang memiliki hak untuk menuntut) dan debitur (pihak yang memiliki kewajiban untuk memenuhi tuntutan).  
  • Objek Perikatan ("Prestasi"). Sesuatu yang menjadi inti dari perikatan, yaitu apa yang harus diberikan, dilakukan, atau tidak dilakukan oleh debitur kepada kreditur. Pasal 1234 KUHPerdata secara eksplisit menyebutkan tiga bentuk prestasi, yaitu memberikan sesuatu ("memberikan sesuatu"), berbuat sesuatu ("berbuat sesuatu"), dan tidak berbuat sesuatu ("tidak berbuat sesuatu").  
  • Lapangan Harta Kekayaan ("Lapangan Harta Kekayaan"): Perikatan harus berkaitan dengan hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, meskipun objek awalnya mungkin tidak berupa uang secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa perikatan berada dalam ranah hukum yang mengatur nilai-nilai ekonomi.  

5. Berbagai Jenis-Jenis Perikatan yang Diakui dalam Hukum Perdata

Hukum perdata Indonesia mengakui berbagai jenis "perikatan" yang diklasifikasikan berdasarkan karakteristiknya :  

  • Perikatan Bersyarat (Pasal 1253-1267 KUHPerdata): Perikatan yang keberadaan atau berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang belum terjadi dan belum pasti akan terjadi.  
  • Perikatan dengan Ketetapan Waktu (Pasal 1268-1271 KUHPerdata): Perikatan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai pada suatu waktu tertentu yang pasti akan datang.  
  • Perikatan Alternatif atau Manasuka (Pasal 1272-1277 KUHPerdata): Perikatan di mana debitur dapat memilih untuk melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang telah ditentukan.  
  • Perikatan Tanggung-Menanggung atau Solider (Pasal 1278-1295 KUHPerdata): Perikatan yang melibatkan beberapa kreditur atau debitur, di mana setiap kreditur berhak menuntut pemenuhan seluruh utang, atau setiap debitur bertanggung jawab untuk seluruh utang.  
  • Perikatan yang Dapat Dibagi dan Tak Dapat Dibagi (Pasal 1296-1303 KUHPerdata): Perikatan yang prestasinya dapat atau tidak dapat dibagi secara fisik atau perhitungan tanpa mengurangi hakikat prestasi itu.  
  • Perikatan dengan Ancaman Hukuman (Pasal 1304-1312 KUHPerdata): Perikatan di mana ditentukan bahwa debitur, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi.  
  • Perikatan Pokok dan Tambahan: Perikatan pokok adalah perikatan utama, sedangkan perikatan tambahan adalah perikatan yang keberadaannya bergantung pada perikatan pokok (misalnya, perjanjian garansi atau hipotik).  
  • Perikatan Sepintas Lalu dan Berkelanjutan: Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang pemenuhannya cukup dengan satu perbuatan saja, sedangkan perikatan berkelanjutan memerlukan pemenuhan prestasi secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu (misalnya, perjanjian sewa menyewa).  
  • Perikatan Positif dan Negatif: Perikatan positif adalah perikatan yang prestasinya berupa perbuatan aktif (memberikan sesuatu atau berbuat sesuatu), sedangkan perikatan negatif adalah perikatan yang prestasinya berupa perbuatan pasif (tidak berbuat sesuatu).  
  • Perikatan Generik dan Spesifik: Perikatan generik adalah perikatan yang objeknya ditentukan menurut jenis dan jumlahnya, sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan yang objeknya ditentukan secara terperinci.  

6. Definisi "Perjanjian" (Agreement/Contract) dalam Hukum Perdata Indonesia

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mendefinisikan "perjanjian" sebagai "suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Definisi ini telah menjadi subjek interpretasi dan kritik di kalangan ahli hukum. Beberapa ahli berpendapat bahwa definisi ini terlalu luas karena istilah "perbuatan" dapat mencakup tindakan melawan hukum atau tindakan sepihak yang tidak selalu dianggap sebagai perjanjian dalam pengertian kontraktual. Selain itu, ada yang menyoroti bahwa definisi ini seolah-olah hanya menekankan pada satu pihak yang mengikatkan diri, padahal dalam banyak perjanjian terdapat sifat resiprokal di mana kedua belah pihak memiliki kewajiban. Meskipun demikian, Pasal 1313 tetap memberikan pemahaman dasar bahwa "perjanjian" adalah suatu tindakan hukum yang mengikat antara para pihak.  

Agar suatu perjanjian dianggap sah dan dapat menimbulkan akibat hukum, Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat kumulatif yang harus dipenuhi :  

  • Kesepakatan. Adanya persesuaian kehendak antara para pihak untuk saling mengikatkan diri terhadap isi perjanjian. Kesepakatan harus diberikan secara bebas tanpa adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan.  
  • Kecakapan. Para pihak yang membuat perjanjian harus memiliki kemampuan hukum untuk bertindak sendiri. Umumnya, ini berarti telah dewasa (berusia 21 tahun atau sudah menikah dan tidak di bawah pengampuan ) dan sehat akal pikirannya.  
  • Suatu Hal Tertentu. Objek perjanjian harus jelas atau setidaknya dapat ditentukan jenisnya.  
  • Sebab yang Halal. Alasan atau tujuan dari pembuatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, atau kesusilaan.  

7. Analisis Hubungan antara "Perikatan" dan "Perjanjian"

"Perjanjian" merupakan salah satu sumber utama timbulnya "perikatan". Ketika dua pihak atau lebih membuat perjanjian yang sah, mereka menciptakan suatu "perikatan" yang mengikat mereka untuk melaksanakan kewajiban tertentu.  

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah setiap "perjanjian" pasti menimbulkan "perikatan"? Jawabannya adalah ya. Esensi dari suatu perjanjian adalah adanya kehendak untuk menciptakan hubungan hukum yang mengikat. Sebagaimana dinyatakan oleh Subekti, perjanjian menerbitkan perikatan.  

Kemudian, apakah "perikatan" hanya timbul dari "perjanjian"? Jawabannya adalah tidak. Pasal 1233 KUHPerdata secara jelas menyatakan bahwa "perikatan" juga dapat lahir karena undang-undang ("undang-undang"). Contohnya adalah kewajiban hukum antara anggota keluarga atau kewajiban yang timbul akibat perbuatan melawan hukum. Meskipun beberapa ahli berpendapat bahwa dasar dari semua perikatan, termasuk yang timbul dari perjanjian, pada akhirnya adalah undang-undang karena undang-undanglah yang mengakui kekuatan mengikat dari perjanjian , KUHPerdata secara eksplisit membedakan kedua sumber ini.  

8. Perbedaan-Perbedaan Mendasar antara Konsep "Perikatan" dan "Perjanjian"

Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara konsep "perikatan" dan "perjanjian" :  

  • Ruang Lingkup: "Perikatan" memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan "perjanjian". "Perikatan" mencakup semua hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban, baik yang bersumber dari perjanjian maupun dari undang-undang. Sementara itu, "perjanjian" secara spesifik merupakan salah satu sumber timbulnya "perikatan".  
  • Sumber: "Perikatan" dapat bersumber dari dua hal utama: "perjanjian" dan "undang-undang" (hukum). Di sisi lain, "perjanjian" timbul dari adanya kesepakatan atau persetujuan kehendak antara para pihak.  
  • Abstrak vs. Konkret: "Perikatan" sering dianggap sebagai konsep hukum yang abstrak, merepresentasikan ikatan hukum itu sendiri. Sementara itu, "perjanjian" adalah tindakan atau peristiwa hukum yang konkret yang menciptakan ikatan tersebut. Kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian, namun kita tidak dapat secara fisik melihat suatu perikatan.  
  • Fokus: "Perikatan" menekankan pada adanya hubungan hukum, hak, dan kewajiban antara para pihak. "Perjanjian" menekankan pada tindakan kesepakatan atau pertemuan kehendak yang melahirkan hak dan kewajiban tersebut.  

9. Contoh-Contoh Konkret yang Mengilustrasikan Perbedaan antara "Perikatan" dan "Perjanjian" dalam Praktik Hukum

Untuk lebih memperjelas perbedaan antara "perikatan" dan "perjanjian", berikut adalah beberapa contoh konkret :  

  • Contoh "Perjanjian" yang Menimbulkan "Perikatan": Seseorang (A) membuat perjanjian jual beli mobil dengan orang lain (B). Perjanjian ini menciptakan "perikatan". A memiliki hak untuk menerima mobil dan kewajiban untuk membayar harga, sedangkan B memiliki hak untuk menerima pembayaran dan kewajiban untuk menyerahkan mobil.  
  • Contoh "Perikatan" yang Timbul Langsung dari Undang-Undang: Orang tua memiliki kewajiban hukum ("perikatan") untuk merawat dan mendidik anak-anak mereka. Kewajiban ini timbul langsung dari undang-undang (Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menggantikan Pasal 104 KUHPerdata ) tanpa memerlukan adanya perjanjian khusus dengan anak-anak mereka. Contoh lain adalah kewajiban seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum ("onrechtmatige daad") untuk mengganti kerugian korban (Pasal 1365 KUHPerdata ). Kewajiban ini timbul langsung dari undang-undang karena adanya perbuatan tersebut, bukan dari perjanjian antara pelaku dan korban. Demikian pula, kewajiban antara pemilik tanah yang berbatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 625 KUHPerdata juga merupakan contoh perikatan yang lahir dari undang-undang.  

10. Kesimpulan

Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa "perikatan" dan "perjanjian" merupakan dua konsep yang saling terkait namun memiliki perbedaan mendasar dalam hukum perdata Indonesia. "Perikatan" adalah hubungan hukum yang lebih luas, mencakup kewajiban yang timbul baik dari perjanjian maupun dari undang-undang. Sementara itu, "perjanjian" adalah salah satu sumber utama timbulnya "perikatan", yang lahir dari kesepakatan antara para pihak. Meskipun setiap perjanjian yang sah pasti menciptakan perikatan, tidak semua perikatan berasal dari perjanjian, karena undang-undang juga merupakan sumber penting dari kewajiban hukum. Pemahaman yang jelas mengenai perbedaan dan hubungan antara kedua konsep ini sangat penting untuk ketelitian hukum dan praktik hukum yang efektif di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...