1. Pendahuluan
Dalam ranah hukum perdata
Indonesia, konsep "perikatan" (obligation) dan "perjanjian"
(agreement/contract) memegang peranan sentral, terutama dalam konteks hukum
harta kekayaan ("hukum harta kekayaan"). Pemahaman yang mendalam
mengenai perbedaan dan hubungan antara kedua istilah ini sangat krusial bagi
para praktisi hukum, akademisi, serta individu yang terlibat dalam aktivitas
hukum atau komersial di Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk
menyajikan penjelasan komprehensif mengenai masing-masing konsep, mengupas
tuntas relasi di antara keduanya, dan secara jelas menguraikan perbedaan
mendasar yang ada berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata Indonesia yang
terkodifikasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta
interpretasi dari para ahli hukum.
2. Definisi
"Perikatan" (Obligation) dalam Hukum Perdata Indonesia
Istilah "perikatan"
merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda "verbintenis" yang
merupakan akar dari KUHPerdata. Secara harfiah, "verbintenis"
mengandung makna ikatan atau hubungan, dan dalam konteks hukum, merujuk pada
hubungan hukum yang mengikat antara dua pihak atau lebih. Berbagai definisi
mengenai "perikatan" telah dikemukakan oleh para sarjana hukum
terkemuka di Indonesia.
Subekti mendefinisikan "perikatan" sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Definisi ini menyoroti adanya hak dan kewajiban sebagai inti dari sebuah perikatan. Pitlo menggambarkan "perikatan" sebagai suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu memiliki hak (kreditur) dan pihak yang lain memiliki kewajiban (debitur) atas suatu prestasi. Penjelasan ini secara eksplisit menempatkan "perikatan" dalam ranah hukum harta kekayaan. Hofmann memberikan definisi "perikatan" atau "verbintenis" sebagai suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek hukum, di mana seseorang mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian. Definisi ini menekankan sifat mengikat dan subjek hukum yang terlibat dalam perikatan.
Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa "perikatan" berarti hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain, yang timbul dari suatu peristiwa hukum. Definisi ini menyoroti aspek mengikat dan asal mula perikatan dari suatu kejadian yang memiliki konsekuensi hukum. R. Setiawan mendefinisikan "perikatan" sebagai suatu hubungan hukum yang diatur dan diakui oleh hukum. Definisi ini menggarisbawahi dasar hukum dan pengakuan formal terhadap perikatan. Riduan Syahrani juga mendefinisikan "perikatan" sebagai hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lain berkewajiban memenuhi prestasi itu. J. Satrio berpendapat bahwa "perikatan" adalah perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan. Willa Wahyuni mendefinisikan "perikatan" sebagai hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak kreditur berhak atas suatu prestasi dan pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi tersebut.
Dari berbagai definisi
tersebut, dapat diidentifikasi beberapa karakteristik utama dari
"perikatan" dalam hukum perdata Indonesia. Pertama, adanya hubungan
hukum, yang berarti hubungan tersebut diatur dan diakui oleh sistem hukum,
sehingga memiliki konsekuensi yuridis jika tidak dipenuhi. Hal ini membedakan
perikatan dari sekadar hubungan sosial atau moral. Kedua, perikatan
berada dalam lapangan hukum harta kekayaan, yang berkaitan dengan hak
dan kewajiban yang memiliki nilai ekonomis. Meskipun pada awalnya terdapat
perdebatan mengenai batasan ini, hukum perikatan secara umum dianggap sebagai
bagian dari hukum harta kekayaan. Ketiga, perikatan melibatkan dua
pihak atau lebih, yaitu pihak yang berhak menuntut pemenuhan (kreditur) dan
pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan (debitur). Jumlah kreditur dan
debitur dalam suatu perikatan dapat lebih dari satu. Keempat, adanya objek
perikatan (prestasi), yaitu sesuatu yang menjadi hak kreditur dan kewajiban
debitur. Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa prestasi dapat berupa
memberikan sesuatu ("memberikan sesuatu"), berbuat sesuatu
("berbuat sesuatu"), atau tidak berbuat sesuatu ("tidak berbuat
sesuatu"). Prestasi ini harus memenuhi syarat tertentu, yaitu tertentu
atau dapat ditentukan, diperbolehkan oleh hukum, dan mungkin untuk
dilaksanakan.
3. Sumber-Sumber
"Perikatan" Menurut Hukum Perdata Indonesia
Pasal 1233 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) merupakan landasan utama yang mengatur sumber-sumber
"perikatan" dalam hukum perdata Indonesia. Pasal ini menyatakan bahwa
"Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang."
Berdasarkan ketentuan ini, terdapat dua sumber utama timbulnya perikatan.
3.1. Perikatan yang Bersumber
dari Perjanjian ("Persetujuan")
"Perjanjian"
didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih berdasarkan kata sepakat.
Ini merupakan sumber perikatan yang paling umum. Hukum perdata Indonesia menganut
prinsip kebebasan berkontrak ("kebebasan berkontrak") yang
diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Prinsip ini memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk menentukan isi perjanjian yang mereka adakan, sepanjang
memenuhi persyaratan sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Berbagai jenis perjanjian dapat melahirkan perikatan, seperti perjanjian jual
beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian pinjam meminjam, perjanjian kerja,
dan lain-lain.
3.2. Perikatan yang Bersumber
dari Undang-Undang ("Undang-Undang")
Selain dari perjanjian,
"perikatan" juga dapat timbul langsung dari ketentuan undang-undang,
tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu antara pihak-pihak yang terlibat.
Perikatan yang bersumber dari undang-undang dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu:
- Perikatan yang timbul dari undang-undang
saja: Jenis perikatan ini lahir secara otomatis berdasarkan
ketentuan undang-undang karena adanya status hukum atau hubungan tertentu.
Contohnya adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik
anak-anaknya (sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menggantikan Pasal 104
KUHPerdata) dan kewajiban antara pemilik pekarangan yang bertetangga (seperti
yang diatur dalam Pasal 625 KUHPerdata).
- Perikatan yang timbul dari undang-undang
karena perbuatan manusia: Jenis perikatan ini
timbul karena adanya perbuatan manusia yang diatur oleh undang-undang,
sehingga undang-undang secara langsung mengaitkan perbuatan tersebut
dengan timbulnya suatu perikatan. Kategori ini dibagi lagi menjadi:
- Perbuatan menurut hukum
("rechtmatige daad"): Perbuatan yang sesuai
dengan hukum tetapi tetap menimbulkan kewajiban. Contohnya adalah zaakwaarneming
(pengurusan kepentingan orang lain secara sukarela) (diatur dalam Pasal
1354 KUHPerdata) dan onverschuldigde betaling (pembayaran yang
tidak terutang) (diatur dalam Pasal 1359 KUHPerdata).
- Perbuatan melawan hukum
("onrechtmatige daad"): Perbuatan yang
melanggar hukum dan menimbulkan kerugian bagi orang lain, sehingga
menimbulkan kewajiban untuk mengganti kerugian tersebut (diatur dalam
Pasal 1365 KUHPerdata).
4. Unsur-Unsur Penting yang
Membentuk Suatu "Perikatan"
Berdasarkan definisi dan
sumber-sumber "perikatan" yang telah dibahas, dapat diidentifikasi
unsur-unsur penting yang membentuk suatu perikatan :
- Hubungan Hukum. Adanya
hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum antara pihak-pihak yang
terlibat, yang melahirkan hak dan kewajiban. Unsur ini membedakan
perikatan dari hubungan sosial atau moral yang tidak memiliki konsekuensi
hukum yang mengikat.
- Pihak-Pihak.
Dalam setiap perikatan minimal terdapat dua pihak, yaitu kreditur (pihak
yang memiliki hak untuk menuntut) dan debitur (pihak yang memiliki
kewajiban untuk memenuhi tuntutan).
- Objek Perikatan ("Prestasi").
Sesuatu yang menjadi inti dari perikatan, yaitu apa yang harus diberikan,
dilakukan, atau tidak dilakukan oleh debitur kepada kreditur. Pasal 1234
KUHPerdata secara eksplisit menyebutkan tiga bentuk prestasi, yaitu
memberikan sesuatu ("memberikan sesuatu"), berbuat sesuatu
("berbuat sesuatu"), dan tidak berbuat sesuatu ("tidak
berbuat sesuatu").
- Lapangan Harta Kekayaan ("Lapangan
Harta Kekayaan"): Perikatan harus berkaitan dengan hak
dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, meskipun objek awalnya
mungkin tidak berupa uang secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa
perikatan berada dalam ranah hukum yang mengatur nilai-nilai ekonomi.
5. Berbagai Jenis-Jenis Perikatan
yang Diakui dalam Hukum Perdata
Hukum perdata Indonesia
mengakui berbagai jenis "perikatan" yang diklasifikasikan berdasarkan
karakteristiknya :
- Perikatan Bersyarat (Pasal 1253-1267
KUHPerdata): Perikatan yang keberadaan atau
berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang belum terjadi dan belum
pasti akan terjadi.
- Perikatan dengan Ketetapan Waktu (Pasal
1268-1271 KUHPerdata): Perikatan yang pelaksanaannya
ditangguhkan sampai pada suatu waktu tertentu yang pasti akan datang.
- Perikatan Alternatif atau Manasuka (Pasal
1272-1277 KUHPerdata): Perikatan di mana debitur dapat
memilih untuk melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang telah
ditentukan.
- Perikatan Tanggung-Menanggung atau Solider
(Pasal 1278-1295 KUHPerdata): Perikatan yang
melibatkan beberapa kreditur atau debitur, di mana setiap kreditur berhak
menuntut pemenuhan seluruh utang, atau setiap debitur bertanggung jawab
untuk seluruh utang.
- Perikatan yang Dapat Dibagi dan Tak Dapat
Dibagi (Pasal 1296-1303 KUHPerdata): Perikatan yang
prestasinya dapat atau tidak dapat dibagi secara fisik atau perhitungan
tanpa mengurangi hakikat prestasi itu.
- Perikatan dengan Ancaman Hukuman (Pasal
1304-1312 KUHPerdata): Perikatan di mana ditentukan bahwa
debitur, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan
sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi.
- Perikatan Pokok dan Tambahan:
Perikatan pokok adalah perikatan utama, sedangkan perikatan tambahan
adalah perikatan yang keberadaannya bergantung pada perikatan pokok
(misalnya, perjanjian garansi atau hipotik).
- Perikatan Sepintas Lalu dan Berkelanjutan:
Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang pemenuhannya cukup dengan
satu perbuatan saja, sedangkan perikatan berkelanjutan memerlukan
pemenuhan prestasi secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu
(misalnya, perjanjian sewa menyewa).
- Perikatan Positif dan Negatif:
Perikatan positif adalah perikatan yang prestasinya berupa perbuatan aktif
(memberikan sesuatu atau berbuat sesuatu), sedangkan perikatan negatif
adalah perikatan yang prestasinya berupa perbuatan pasif (tidak berbuat
sesuatu).
- Perikatan Generik dan Spesifik:
Perikatan generik adalah perikatan yang objeknya ditentukan menurut jenis
dan jumlahnya, sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan yang objeknya
ditentukan secara terperinci.
6. Definisi
"Perjanjian" (Agreement/Contract) dalam Hukum Perdata Indonesia
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) mendefinisikan "perjanjian" sebagai
"suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih". Definisi ini telah menjadi subjek
interpretasi dan kritik di kalangan ahli hukum. Beberapa ahli berpendapat bahwa
definisi ini terlalu luas karena istilah "perbuatan" dapat mencakup
tindakan melawan hukum atau tindakan sepihak yang tidak selalu dianggap sebagai
perjanjian dalam pengertian kontraktual. Selain itu, ada yang menyoroti bahwa
definisi ini seolah-olah hanya menekankan pada satu pihak yang mengikatkan
diri, padahal dalam banyak perjanjian terdapat sifat resiprokal di mana kedua
belah pihak memiliki kewajiban. Meskipun demikian, Pasal 1313 tetap memberikan
pemahaman dasar bahwa "perjanjian" adalah suatu tindakan hukum yang
mengikat antara para pihak.
Agar suatu perjanjian dianggap
sah dan dapat menimbulkan akibat hukum, Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat
syarat kumulatif yang harus dipenuhi :
- Kesepakatan. Adanya
persesuaian kehendak antara para pihak untuk saling mengikatkan diri
terhadap isi perjanjian. Kesepakatan harus diberikan secara bebas tanpa
adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan.
- Kecakapan. Para
pihak yang membuat perjanjian harus memiliki kemampuan hukum untuk
bertindak sendiri. Umumnya, ini berarti telah dewasa (berusia 21 tahun
atau sudah menikah dan tidak di bawah pengampuan ) dan sehat akal
pikirannya.
- Suatu Hal Tertentu.
Objek perjanjian harus jelas atau setidaknya dapat ditentukan jenisnya.
- Sebab yang Halal. Alasan
atau tujuan dari pembuatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, atau kesusilaan.
7. Analisis Hubungan antara
"Perikatan" dan "Perjanjian"
"Perjanjian"
merupakan salah satu sumber utama timbulnya "perikatan". Ketika dua
pihak atau lebih membuat perjanjian yang sah, mereka menciptakan suatu
"perikatan" yang mengikat mereka untuk melaksanakan kewajiban
tertentu.
Pertanyaan selanjutnya adalah,
apakah setiap "perjanjian" pasti menimbulkan "perikatan"?
Jawabannya adalah ya. Esensi dari suatu perjanjian adalah adanya kehendak untuk
menciptakan hubungan hukum yang mengikat. Sebagaimana dinyatakan oleh Subekti,
perjanjian menerbitkan perikatan.
Kemudian, apakah
"perikatan" hanya timbul dari "perjanjian"? Jawabannya
adalah tidak. Pasal 1233 KUHPerdata secara jelas menyatakan bahwa
"perikatan" juga dapat lahir karena undang-undang
("undang-undang"). Contohnya adalah kewajiban hukum antara anggota
keluarga atau kewajiban yang timbul akibat perbuatan melawan hukum. Meskipun
beberapa ahli berpendapat bahwa dasar dari semua perikatan, termasuk yang
timbul dari perjanjian, pada akhirnya adalah undang-undang karena
undang-undanglah yang mengakui kekuatan mengikat dari perjanjian , KUHPerdata
secara eksplisit membedakan kedua sumber ini.
8. Perbedaan-Perbedaan
Mendasar antara Konsep "Perikatan" dan "Perjanjian"
Terdapat beberapa perbedaan
mendasar antara konsep "perikatan" dan "perjanjian" :
- Ruang Lingkup:
"Perikatan" memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan
dengan "perjanjian". "Perikatan" mencakup semua
hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban, baik yang bersumber
dari perjanjian maupun dari undang-undang. Sementara itu,
"perjanjian" secara spesifik merupakan salah satu sumber
timbulnya "perikatan".
- Sumber:
"Perikatan" dapat bersumber dari dua hal utama:
"perjanjian" dan "undang-undang" (hukum). Di sisi
lain, "perjanjian" timbul dari adanya kesepakatan atau
persetujuan kehendak antara para pihak.
- Abstrak vs. Konkret:
"Perikatan" sering dianggap sebagai konsep hukum yang abstrak,
merepresentasikan ikatan hukum itu sendiri. Sementara itu,
"perjanjian" adalah tindakan atau peristiwa hukum yang konkret
yang menciptakan ikatan tersebut. Kita dapat melihat atau membaca suatu
perjanjian, namun kita tidak dapat secara fisik melihat suatu perikatan.
- Fokus:
"Perikatan" menekankan pada adanya hubungan hukum, hak, dan
kewajiban antara para pihak. "Perjanjian" menekankan pada
tindakan kesepakatan atau pertemuan kehendak yang melahirkan hak dan
kewajiban tersebut.
9. Contoh-Contoh Konkret yang
Mengilustrasikan Perbedaan antara "Perikatan" dan
"Perjanjian" dalam Praktik Hukum
Untuk lebih memperjelas
perbedaan antara "perikatan" dan "perjanjian", berikut
adalah beberapa contoh konkret :
- Contoh "Perjanjian" yang
Menimbulkan "Perikatan": Seseorang (A) membuat
perjanjian jual beli mobil dengan orang lain (B). Perjanjian ini
menciptakan "perikatan". A memiliki hak untuk menerima mobil dan
kewajiban untuk membayar harga, sedangkan B memiliki hak untuk menerima
pembayaran dan kewajiban untuk menyerahkan mobil.
- Contoh "Perikatan" yang Timbul
Langsung dari Undang-Undang: Orang tua memiliki
kewajiban hukum ("perikatan") untuk merawat dan mendidik
anak-anak mereka. Kewajiban ini timbul langsung dari undang-undang (Pasal
45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menggantikan Pasal 104
KUHPerdata ) tanpa memerlukan adanya perjanjian khusus dengan anak-anak
mereka. Contoh lain adalah kewajiban seseorang yang melakukan perbuatan
melawan hukum ("onrechtmatige daad") untuk mengganti kerugian
korban (Pasal 1365 KUHPerdata ). Kewajiban ini timbul langsung dari
undang-undang karena adanya perbuatan tersebut, bukan dari perjanjian
antara pelaku dan korban. Demikian pula, kewajiban antara pemilik tanah
yang berbatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 625 KUHPerdata juga
merupakan contoh perikatan yang lahir dari undang-undang.
10. Kesimpulan
Sebagai penutup, dapat
disimpulkan bahwa "perikatan" dan "perjanjian" merupakan
dua konsep yang saling terkait namun memiliki perbedaan mendasar dalam hukum
perdata Indonesia. "Perikatan" adalah hubungan hukum yang lebih luas,
mencakup kewajiban yang timbul baik dari perjanjian maupun dari undang-undang.
Sementara itu, "perjanjian" adalah salah satu sumber utama timbulnya
"perikatan", yang lahir dari kesepakatan antara para pihak. Meskipun
setiap perjanjian yang sah pasti menciptakan perikatan, tidak semua perikatan
berasal dari perjanjian, karena undang-undang juga merupakan sumber penting
dari kewajiban hukum. Pemahaman yang jelas mengenai perbedaan dan hubungan
antara kedua konsep ini sangat penting untuk ketelitian hukum dan praktik hukum
yang efektif di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar