I. Pendahuluan
Sistem hukum di Indonesia,
seperti banyak sistem hukum lainnya, menggunakan prinsip-prinsip hukum
fundamental yang berfungsi sebagai landasan untuk interpretasi dan penerapan
peraturan perundang-undangan. Prinsip-prinsip ini seringkali diungkapkan dalam bentuk
adagium atau maksim hukum, yang banyak di antaranya berasal dari tradisi hukum
Romawi. Istilah-istilah seperti asas hukum, adagium, old maxim,
dan postulat sering digunakan untuk merujuk pada konsep-konsep dasar
ini. Dalam konteks ini, "Asas Accesorium Sequitor Principale"
merupakan salah satu maksim hukum yang memiliki relevansi signifikan dalam
sistem hukum Indonesia. Kata "asas" sendiri dalam bahasa Indonesia
berarti dasar, yang diterjemahkan dari kata Belanda "beginsel" atau
bahasa Inggris "principle", menekankan sifat fundamentalnya yang
mendasari hukum positif.
Tulisan ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai "Asas Accesorium Sequitor
Principale" dalam konteks hukum Indonesia. Pembahasan akan mencakup
definisi dan arti dari maksim ini, contoh-contoh penerapannya dalam kasus hukum
atau peraturan perundang-undangan, identifikasi implikasi dan signifikansinya
dalam sistem hukum, serta eksplorasi pengecualian atau batasan terhadap
penerapannya. Fokus utama akan diberikan pada penerapannya dalam hukum pidana,
namun potensi relevansinya dalam bidang hukum lain juga akan dipertimbangkan.
II. Definisi Asas Accesorium
Sequitor Principale
Secara harfiah, frasa Latin
"Accessorium Sequitor Principale" diterjemahkan menjadi "aksesoris
mengikuti pokoknya". Maksim ini merupakan bentuk ringkas dari
"Accessorium non ducit, sed sequitur principalem", atau dalam bentuk
lengkapnya "Accessorium non ducit, sed sequitur, suum principale".
Terjemahan yang lebih lengkap dan sering digunakan adalah "aksesoris
tidak memimpin, melainkan mengikuti pokoknya". Makna inti dari maksim
ini dalam konteks hukum adalah bahwa suatu tindakan atau pihak yang bersifat
aksesori (tambahan atau membantu) bergantung pada dan tunduk kepada tindakan
atau pihak yang bersifat principal (utama atau pokok). Dengan kata lain, unsur
aksesori tidak berdiri sendiri, melainkan keberadaannya ditentukan oleh
keberadaan unsur principal.
Dalam sistem hukum Indonesia,
asas ini terutama relevan dalam hukum pidana, khususnya dalam konsep penyertaan
atau turut serta melakukan tindak pidana. Dalam konteks ini, maksim
"Accessorium non ducit, sed sequitur, suum principale" diartikan
bahwa peserta pembantu tidak memimpin, melainkan membantu pelaku utamanya
. Asas ini menjadi landasan penting untuk menentukan tanggung jawab pidana
seseorang yang terlibat dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih
dari satu orang.
III. Penerapan Asas Accesorium
Sequitor Principale dalam Hukum Indonesia
A.
Hukum Pidana (Hukum Pidana):
Dalam hukum pidana Indonesia,
asas "Accessorium Sequitor Principale" mendasari doktrin deelneming
atau penyertaan . Doktrin ini mengatur tentang pertanggungjawaban pidana bagi
seseorang yang turut serta dalam melakukan suatu tindak pidana. Asas ini
membedakan antara pleger (pelaku utama) dan medeplichtige
(peserta pembantu atau yang membantu melakukan). Asas ini menyatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana bagi medeplichtige bergantung pada adanya
tindak pidana pokok yang dilakukan oleh pleger . Tanpa adanya tindak
pidana utama, tidak mungkin ada pertanggungjawaban bagi pihak yang hanya
membantu .
Penerapan asas ini dapat
dilihat dalam berbagai contoh kasus pidana. Misalnya, dalam kasus pencurian
dengan pemberatan (Pencurian dengan Pemberatan), jika terdapat dua orang
pelaku, di mana satu orang merencanakan dan melakukan tindakan pencurian di
dalam rumah (pelaku utama), sementara orang lain berjaga di luar untuk
mengawasi situasi dan membantu melarikan diri (peserta pembantu), maka
pertanggungjawaban orang kedua akan mengikuti pertanggungjawaban orang pertama
. Meskipun keduanya dapat dijerat hukum, peran dan tingkat kesalahan mereka
akan dibedakan berdasarkan asas ini. Pelaku utama yang melakukan tindakan inti
kejahatan cenderung akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dibandingkan
dengan peserta pembantu yang perannya hanya sebatas membantu.
Contoh lain dapat ditemukan
dalam kasus penghasutan atau uitlokking. Dalam konteks tindak pidana
perikanan, misalnya, seorang ahli penangkapan ikan (fishing master)
dapat dianggap sebagai uitlokker yang menggerakkan nakhkoda dan anak
buah kapal (ABK) untuk melakukan tindak pidana. Dalam hal ini, tindakan
nakhkoda dan ABK sebagai pihak yang melakukan perbuatan pidana secara langsung
dapat dianggap sebagai tindakan principal, sedangkan tindakan fishing master
sebagai uitlokker adalah aksesori yang mengikuti tindakan principal
tersebut. Pertanggungjawaban fishing master akan bergantung pada
terbuktinya tindak pidana yang dilakukan oleh nakhkoda dan ABK.
Dalam kasus korupsi yang
melibatkan banyak pihak, asas ini juga relevan untuk mengidentifikasi siapa
pelaku utama yang menginisiasi dan mendapatkan keuntungan utama dari tindak
pidana tersebut, serta siapa saja pihak-pihak lain yang mungkin hanya membantu
atau mengikuti perintah pelaku utama. Asas ini membantu pengadilan dalam
menentukan peran masing-masing terdakwa dan menjatuhkan hukuman yang sesuai
dengan tingkat keterlibatan mereka dalam tindak pidana. Secara historis,
terdapat pandangan dalam hukum Romawi yang menyatakan bahwa seorang aksesori
tidak dapat dihukum sebelum pelaku utama terbukti bersalah . Meskipun praktik
modern mungkin tidak selalu mengikuti urutan yang ketat, prinsipnya adalah
bahwa keterlibatan pihak yang membantu dinilai dalam konteks perbuatan utama
yang dilakukan.
B.
Hukum Kontrak (Hukum Kontrak):
Meskipun asas
"Accessorium Sequitor Principale" lebih sering dikaitkan dengan hukum
pidana, prinsip ketergantungan yang mendasarinya juga dapat ditemukan dalam
bidang hukum kontrak, terutama dalam konteks perjanjian tambahan (perjanjian
tambahan) yang keberadaannya bergantung pada perjanjian pokok (perjanjian
pokok) . Dalam hukum kontrak, perjanjian tambahan adalah perjanjian
yang dibuat untuk melengkapi atau memperkuat perjanjian pokok. Keberlakuan dan
berakhirnya perjanjian tambahan seringkali mengikuti keberlakuan dan
berakhirnya perjanjian pokok.
Sebagai contoh, dalam
perjanjian hutang-piutang (perjanjian hutang-piutang), seringkali dibuat
juga perjanjian jaminan (perjanjian jaminan) sebagai perjanjian tambahan
yang berfungsi untuk memberikan kepastian kepada kreditur bahwa hutang debitur
akan dilunasi. Perjanjian jaminan, seperti perjanjian gadai atau hak
tanggungan, tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pokok yaitu perjanjian
hutang-piutang . Jika perjanjian hutang-piutang berakhir karena pelunasan
hutang, maka secara otomatis perjanjian jaminan juga akan berakhir karena
sifatnya yang aksesori. Contoh lain adalah perjanjian hipotek yang merupakan
perjanjian tambahan atas perjanjian pinjaman . Jika pinjaman dilunasi, maka hak
atas hipotek juga akan hilang.
C.
Bidang Hukum Lain (Bidang Hukum Lain):
Prinsip bahwa unsur aksesori
mengikuti unsur principal memiliki potensi relevansi di berbagai bidang hukum
lain di mana terdapat hak atau kewajiban utama yang diikuti oleh hak atau
kewajiban sekunder yang bergantung padanya. Sebagai contoh, dalam kasus hukum
di India, Mahkamah Agung pernah merujuk pada maksim ini dalam perkara yang
berkaitan dengan hak pokok dan hak aksesori, di mana dinyatakan bahwa ketika
hak pokok telah berakhir secara sah, maka hak aksesori yang bergantung padanya
juga tidak dapat bertahan. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip ini dapat
diterapkan secara lebih luas dalam penalaran hukum untuk memahami hubungan
ketergantungan antar berbagai elemen hukum.
IV. Implikasi dan Signifikansi
dalam Sistem Hukum Indonesia
A.
Menetapkan Tanggung Jawab Hukum:
Asas "Accessorium
Sequitor Principale" memiliki signifikansi yang sangat besar dalam
menetapkan tingkat kesalahan dan tanggung jawab hukum, terutama dalam
kasus-kasus pidana yang melibatkan banyak pelaku . Asas ini memungkinkan hakim
dan praktisi hukum untuk membedakan antara peran pelaku utama yang
menginisiasi dan melaksanakan tindak pidana dengan pelaku lain yang hanya
membantu atau mengikuti. Dengan demikian, asas ini berkontribusi pada
penegakan keadilan dengan memastikan bahwa setiap individu dimintai
pertanggungjawaban sesuai dengan tingkat keterlibatannya dalam suatu
pelanggaran hukum.
B.
Menstrukturkan Hubungan Hukum yang Bergantung:
Dalam konteks hukum kontrak
dan mungkin juga dalam bidang hukum lainnya, asas ini membantu dalam memahami
dan menata hubungan hukum di mana satu aspek bergantung pada aspek lain .
Pengakuan terhadap prinsip ini memungkinkan para pihak untuk memahami hak dan
kewajiban mereka secara lebih jelas dalam perjanjian yang melibatkan unsur
pokok dan unsur tambahan. Hal ini juga membantu dalam menginterpretasikan
konsekuensi hukum yang mungkin timbul jika terjadi perubahan atau pengakhiran
pada unsur pokok.
C.
Memandu Interpretasi Hukum:
Sebagai salah satu prinsip
hukum yang mendasar, "Asas Accesorium Sequitor Principale"
kemungkinan besar memengaruhi interpretasi berbagai peraturan
perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan konsep penyertaan dalam
hukum pidana atau hubungan ketergantungan dalam hukum kontrak dan bidang hukum
lainnya . Meskipun asas ini mungkin tidak selalu disebutkan secara eksplisit
dalam undang-undang, pemahaman terhadap prinsip ini dapat membantu para hakim
dan praktisi hukum dalam menafsirkan dan menerapkan hukum secara lebih
konsisten dan sesuai dengan logika hukum yang mendasarinya.
V. Pengecualian dan Batasan
terhadap Penerapan Asas Accesorium Sequitor Principale
A.
Hukum Pidana
Dalam hukum pidana, meskipun
asas "Accessorium Sequitor Principale" merupakan prinsip dasar dalam deelneming,
terdapat beberapa nuansa dan potensi batasan dalam penerapannya. Salah satu
konsep yang relevan adalah gagasan mengenai zelfstandige deelneming
(penyertaan yang berdiri sendiri) yang pernah diusulkan oleh D. Simons.
Meskipun pandangan ini diperdebatkan, ide dasarnya adalah bahwa dalam kondisi
tertentu, pertanggungjawaban peserta pembantu mungkin tidak sepenuhnya
bergantung pada pertanggungjawaban pelaku utama. Hal ini dapat terjadi jika
tindakan atau niat dari peserta pembantu dianggap cukup signifikan dan dapat
dipertanggungjawabkan secara terpisah.
Selain itu, perbedaan dalam mens
rea (niat jahat) antara pelaku utama dan peserta pembantu juga dapat
menjadi batasan dalam penerapan asas ini secara kaku. Jika peserta pembantu
memiliki niat atau pengetahuan yang berbeda secara signifikan dari pelaku utama
terkait dengan tindak pidana yang dilakukan, maka pertanggungjawaban mereka
mungkin perlu dinilai berdasarkan niat dan pengetahuan mereka sendiri, tidak
hanya mengikuti niat pelaku utama.
B.
Hukum Kontrak
Dalam hukum kontrak, meskipun
perjanjian tambahan umumnya mengikuti perjanjian pokok, mungkin terdapat
situasi di mana perjanjian tambahan dapat tetap berlaku meskipun perjanjian
pokoknya batal atau berakhir. Misalnya, dalam perjanjian jaminan, meskipun perjanjian
hutang pokok telah lunas, mungkin terdapat ketentuan dalam perjanjian jaminan
yang mengatur tentang kewajiban penjamin untuk periode waktu tertentu atau
dalam kondisi tertentu. Namun, secara umum, asas ketergantungan tetap menjadi
prinsip utama dalam hubungan antara perjanjian pokok dan perjanjian tambahan.
VI. Kesimpulan
Asas "Accessorium
Sequitor Principale" merupakan prinsip hukum fundamental yang menyatakan
bahwa unsur aksesori mengikuti unsur pokok. Dalam konteks hukum
Indonesia, asas ini memiliki peran yang sangat penting, terutama dalam hukum
pidana sebagai landasan bagi doktrin deelneming yang mengatur tentang pertanggungjawaban
pidana bagi pihak yang turut serta dalam tindak pidana. Asas ini membantu
membedakan antara pelaku utama dan peserta pembantu, serta menentukan tingkat
tanggung jawab masing-masing.
Selain dalam hukum pidana,
prinsip ketergantungan yang mendasari asas ini juga relevan dalam bidang hukum
lain, seperti hukum kontrak, di mana perjanjian tambahan bergantung pada
perjanjian pokok. Meskipun terdapat beberapa nuansa dan potensi batasan dalam
penerapannya, seperti konsep zelfstandige deelneming dalam hukum pidana
atau kemungkinan keberlangsungan perjanjian tambahan dalam kondisi tertentu,
asas "Accessorium Sequitor Principale" tetap menjadi prinsip yang
penting dalam memahami dan menerapkan hukum di Indonesia, terutama dalam
kasus-kasus yang melibatkan banyak pihak atau hubungan hukum yang bersifat
hierarkis dan bergantung. Pemahaman yang mendalam terhadap asas ini membantu
memastikan penegakan hukum yang adil dan proporsional sesuai dengan peran dan
tingkat keterlibatan masing-masing pihak dalam suatu peristiwa hukum.
Tabel 1: Aspek Inti Asas
Accesorium Sequitor Principale
Aspek |
Deskripsi/Detail |
Terjemahan Literal |
"Aksesoris mengikuti
pokoknya." (dan variasinya) |
Makna Hukum Inti |
Suatu tindakan atau pihak
yang bersifat aksesori bergantung pada dan tunduk kepada tindakan atau pihak
yang bersifat principal, tidak memimpin melainkan mengikuti. |
Istilah Hukum Pidana
Indonesia |
Penyertaan
(Complicity) |
Domain Hukum Utama |
Hukum Pidana (Hukum Pidana) |
Potensi Domain Hukum Lain |
Hukum Kontrak (Hukum
Kontrak), berpotensi bidang lain dengan hubungan hukum yang bergantung. |
Tabel 2: Implikasi dan Batasan
Asas Accesorium Sequitor Principale dalam Hukum Indonesia
Area Hukum |
Implikasi Kunci |
Batasan/Pengecualian Penting |
Hukum Pidana |
Landasan bagi tanggung jawab
aksesori (deelneming), memengaruhi beban pembuktian dan hukuman bagi
aksesori. |
Konsep penyertaan yang
berdiri sendiri (zelfstandige deelneming), perbedaan mens rea
antara aksesori dan principal. |
Hukum Kontrak |
Kerangka untuk memahami
perjanjian yang bergantung (perjanjian tambahan), keabsahan seringkali
terikat pada perjanjian pokok. |
Potensi perjanjian tambahan
untuk tetap berlaku meskipun perjanjian pokok berakhir dalam kondisi
tertentu. |
Bidang Hukum Lain |
Prinsip ketergantungan yang
mendasari dapat memandu interpretasi di area lain dengan elemen hukum primer
dan sekunder. |
Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengidentifikasi batasan spesifik dalam domain hukum lain di
Indonesia. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar