I.
Pendahuluan
Konsep
perbuatan melawan hukum (PMH) merupakan salah satu pilar penting dalam sistem
hukum perdata Indonesia. Berakar dari doktrin onrechtmatige daad dalam
hukum Belanda, PMH berfungsi sebagai mekanisme hukum untuk mengatur tanggung
jawab atas kerugian yang timbul di luar hubungan kontraktual. Ketentuan
mendasar mengenai PMH tertuang dalam Pasal 1365 hingga Pasal 1377 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia . Pasal-pasal ini membentuk
kerangka kerja bagi individu dan badan hukum untuk menuntut ganti rugi atas
kerugian yang disebabkan oleh tindakan melawan hukum pihak lain. Pemahaman yang
mendalam terhadap konsep ini sangat krusial bagi para praktisi hukum,
akademisi, dan siapa pun yang ingin memahami dinamika hak dan kewajiban dalam
ranah hukum perdata di Indonesia.
II.
Definisi "Perbuatan Melawan Hukum" dalam KUHPerdata
- Pasal
1365 KUHPerdata: Definisi Mendasar
Inti
dari konsep PMH di Indonesia terletak pada Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:
"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut" . Dari rumusan ini, dapat diidentifikasi
beberapa elemen kunci. Pertama, adanya "perbuatan" yang dapat berupa
tindakan positif (melakukan sesuatu) maupun negatif (tidak melakukan sesuatu
padahal wajib). Kedua, perbuatan tersebut harus "melanggar hukum,"
yang interpretasinya telah mengalami perkembangan seiring waktu. Ketiga,
perbuatan yang melanggar hukum itu harus "membawa kerugian" kepada
"orang lain," baik kerugian materiil yang dapat dihitung secara
finansial maupun kerugian immateriil yang bersifat abstrak. Keempat, kerugian
tersebut harus timbul "karena kesalahannya" dari pihak yang melakukan
perbuatan. Terakhir, pihak yang menimbulkan kerugian memiliki kewajiban untuk
"menggantikan kerugian" tersebut.
- Interpretasi
"Melanggar Hukum" yang Berkembang
Pada
awalnya, interpretasi terhadap frasa "melanggar hukum" dalam Pasal
1365 KUHPerdata cenderung sempit, yaitu hanya terbatas pada pelanggaran
terhadap undang-undang tertulis . Namun, seiring perkembangan yurisprudensi,
terutama setelah putusan penting dari Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) dalam
kasus Lindenbaum-Cohen pada tahun 1919, interpretasi ini meluas secara
signifikan . Putusan ini memberikan pandangan bahwa "melanggar hukum"
tidak hanya mencakup pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, tetapi
juga perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif orang lain, kewajiban
hukum si pelaku, kesusilaan, serta kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian
yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan
terhadap harta benda orang lain . Perluasan makna ini mengakui bahwa kerugian
dapat timbul dari perilaku yang tidak secara eksplisit dilarang oleh
undang-undang, namun melanggar norma-norma hukum tidak tertulis dan
prinsip-prinsip keadilan yang berlaku dalam masyarakat.
- Peran
Kesalahan ("Kesalahan")
Pasal
1365 KUHPerdata secara eksplisit mensyaratkan adanya unsur kesalahan
("karena kesalahannya") sebagai dasar untuk timbulnya tanggung jawab
hukum atas perbuatan melawan hukum . Dalam konteks ini, kesalahan dapat
dibedakan menjadi dua bentuk utama: kesalahan yang disengaja
("kesengajaan") dan kesalahan karena kelalaian atau kurang hati-hati
("kealpaan" atau "kurang hati-hatian") . Kesengajaan
merujuk pada keadaan di mana seseorang dengan sadar melakukan perbuatan yang
diketahui akan menimbulkan kerugian. Sementara itu, kelalaian terjadi ketika
seseorang tidak bertindak dengan hati-hati sebagaimana mestinya sehingga
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Hukum perdata Indonesia mengakui bahwa
baik perbuatan yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalaian dapat
menjadi dasar gugatan perbuatan melawan hukum .
III.
Unsur-Unsur Penting "Perbuatan Melawan Hukum"
- Empat
Unsur Esensial
Berdasarkan
analisis berbagai sumber, terdapat empat unsur penting yang harus dipenuhi agar
suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum di
Indonesia : * Adanya Perbuatan Melawan Hukum: Unsur ini menekankan pada
adanya suatu tindakan atau tidak bertindak yang melanggar hukum, baik hukum
tertulis maupun prinsip-prinsip hukum dan norma sosial yang berlaku . * Adanya
Kerugian: Harus terdapat kerugian nyata yang diderita oleh pihak penggugat
sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut. Kerugian ini dapat berupa
kerugian materiil maupun immateriil . * Adanya Hubungan Kausalitas:
Harus ada hubungan sebab akibat yang jelas antara perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh tergugat dengan kerugian yang diderita oleh penggugat . * Adanya
Kesalahan: Pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat
dipersalahkan atas perbuatannya, baik karena kesengajaan maupun kelalaian .
Beberapa
ahli hukum juga menekankan bahwa unsur kesalahan merupakan elemen terpisah yang
harus dibuktikan selain unsur melawan hukum itu sendiri .
- Beban
Pembuktian
Dalam
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, pihak penggugat memiliki kewajiban
untuk membuktikan keberadaan keempat unsur tersebut di atas . Jika salah satu
unsur tidak dapat dibuktikan, maka gugatan tersebut dapat ditolak oleh hakim .
IV.
Pasal-Pasal dalam KUHPerdata yang Mengatur "Perbuatan Melawan Hukum"
- Pasal
1365: Ketentuan Umum
Sebagaimana
telah dijelaskan, Pasal 1365 merupakan landasan utama pengaturan PMH dalam
KUHPerdata. Pasal ini menetapkan prinsip umum tanggung jawab atas kerugian yang
timbul akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kesalahan .
- Pasal
1366: Tanggung Jawab karena Kelalaian
Pasal
1366 KUHPerdata memperluas cakupan tanggung jawab tidak hanya atas perbuatan
aktif, tetapi juga atas kerugian yang timbul akibat kelalaian atau kurang
hati-hati . Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang wajib bertindak hati-hati
agar tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
- Pasal
1367: Tanggung Jawab atas Perbuatan Orang Lain dan Benda
Pasal
1367 KUHPerdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang tidak hanya atas
perbuatannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya atau barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya . Ini mencakup tanggung jawab orang tua terhadap anak di bawah
umur, majikan terhadap bawahan, guru terhadap murid, kepala tukang terhadap
tukangnya, pemilik binatang terhadap binatangnya, dan pemilik gedung terhadap
kerusakan akibat robohnya gedung. Namun, tanggung jawab ini dapat gugur jika
pihak yang bertanggung jawab dapat membuktikan bahwa mereka tidak dapat
mencegah perbuatan yang menimbulkan kerugian tersebut .
- Pasal
1368: Tanggung Jawab Pemilik Binatang
Pasal
1368 KUHPerdata secara khusus mengatur tanggung jawab pemilik binatang atau
siapa pun yang menggunakannya atas kerugian yang disebabkan oleh binatang
tersebut, tanpa melihat apakah binatang itu berada di bawah pengawasannya atau
tidak . Pasal ini menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
di mana pemilik atau pengguna binatang bertanggung jawab atas kerugian yang
timbul dari tindakan binatangnya .
- Pasal
1369: Tanggung Jawab Pemilik Gedung yang Roboh
Pasal
1369 KUHPerdata menetapkan tanggung jawab pemilik gedung atas kerugian yang
disebabkan oleh robohnya gedung, baik sebagian maupun seluruhnya, jika
kerobohan tersebut disebabkan oleh kelalaian dalam pemeliharaan atau karena
kekurangan dalam pembangunan maupun penataannya .
- Pasal
1370-1377: Kasus-Kasus Khusus Kerugian
Pasal-pasal
selanjutnya, yaitu Pasal 1370 hingga Pasal 1377, mengatur tentang kasus-kasus
khusus kerugian yang timbul akibat perbuatan melawan hukum, seperti kematian
seseorang , luka atau cacat badan , dan penghinaan . Pasal-pasal ini memberikan
pedoman lebih spesifik mengenai hak untuk menuntut ganti rugi dalam
situasi-situasi tertentu.
V.
Contoh-Contoh Kasus "Perbuatan Melawan Hukum" di Indonesia
- Kasus
Kerugian Materiil
Berbagai
kasus di Indonesia telah mengilustrasikan penerapan konsep PMH dalam konteks
kerugian materiil . Sengketa kepemilikan tanah sering kali melibatkan PMH,
misalnya ketika seseorang tanpa hak mengambil alih atau menggunakan tanah milik
orang lain, menyebabkan kerugian berupa kehilangan hak kepemilikan, potensi
pendapatan, atau biaya hukum . Kecelakaan lalu lintas akibat kelalaian
pengemudi yang menyebabkan kerusakan kendaraan dan luka pada pihak lain juga
merupakan contoh PMH yang menimbulkan kerugian materiil berupa biaya perbaikan,
biaya pengobatan, dan kehilangan pendapatan . Dalam dunia bisnis, tindakan
penipuan, penggelapan dana, atau pelanggaran hak kekayaan intelektual dapat
dikategorikan sebagai PMH yang mengakibatkan kerugian finansial bagi pihak yang
dirugikan . Pencemaran lingkungan oleh limbah industri yang merusak ekosistem
dan menyebabkan kerugian ekonomi bagi masyarakat sekitar juga merupakan contoh
PMH dengan dampak kerugian materiil yang signifikan .
- Kasus
Kerugian Immateriil
PMH
juga dapat menimbulkan kerugian immateriil yang lebih sulit diukur dengan uang
. Kasus pencemaran nama baik atau penghinaan, baik melalui lisan maupun
tulisan, dapat menjadi dasar gugatan PMH untuk menuntut ganti rugi atas
kerusakan reputasi dan kehormatan . Meskipun dahulu sulit untuk dikabulkan,
perkembangan yurisprudensi menunjukkan adanya pengakuan terhadap kerugian
immateriil akibat ingkar janji untuk menikah, terutama jika telah ada persiapan
yang signifikan dan pengumuman rencana pernikahan . Kasus kelalaian yang
menyebabkan luka fisik juga dapat menimbulkan kerugian immateriil berupa rasa
sakit, penderitaan, dan hilangnya kenyamanan hidup . Tindakan-tindakan lain
yang melanggar hukum juga dapat menyebabkan tekanan emosional dan kerugian
psikologis yang dapat dikompensasi sebagai kerugian immateriil .
VI.
Perbedaan "Perbuatan Melawan Hukum" dengan Wanprestasi (Ingkar Janji)
- Perbedaan
Mendasar
Meskipun
keduanya merupakan konsep hukum perdata yang berkaitan dengan tanggung jawab
atas kerugian, "perbuatan melawan hukum" (PMH) dan
"wanprestasi" (ingkar janji) memiliki perbedaan mendasar. PMH timbul
dari pelanggaran terhadap kewajiban hukum umum yang berlaku bagi setiap orang,
tanpa adanya hubungan kontraktual sebelumnya antara pihak-pihak yang terlibat .
Sebaliknya, wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak dalam suatu perjanjian
gagal memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah disepakati dalam kontrak tersebut
.
- Faktor-Faktor
Pembeda Utama
|
Fitur |
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) |
Wanprestasi (Ingkar Janji) |
|
Keberadaan Kontrak |
Tidak
memerlukan adanya kontrak sebelumnya antara pihak-pihak yang terlibat . |
Memerlukan
adanya perjanjian yang sah antara pihak-pihak yang terlibat . |
|
Sumber Kewajiban |
Kewajiban
berasal dari hukum umum, norma-norma masyarakat, atau hak subjektif orang
lain . |
Kewajiban
berasal dari ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian
(memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu - Pasal
1234 KUHPerdata) . |
|
Persyaratan Pemberitahuan (Somasi) |
Umumnya
tidak memerlukan pemberitahuan formal (somasi) kepada pihak yang
melakukan perbuatan melawan hukum . |
Umumnya
memerlukan pemberitahuan formal (somasi) untuk menyatakan pihak yang
gagal memenuhi kewajiban berada dalam keadaan lalai (in gebreke)
(Pasal 1238 KUHPerdata) . |
|
Cakupan Ganti Rugi |
Dapat
mencakup kerugian materiil dan immateriil yang lebih luas, termasuk restitusi
ke keadaan semula . |
Ganti
rugi umumnya terbatas pada kerugian yang timbul secara langsung dari
pelanggaran kontrak (biaya, kerugian, dan bunga - Pasal 1243 KUHPerdata) . |
|
Restitusi ke Keadaan Semula |
Lebih
sering dikaitkan dengan gugatan perbuatan melawan hukum . |
Kurang
umum dalam gugatan wanprestasi . |
VII.
Jenis-Jenis Ganti Rugi dalam Kasus "Perbuatan Melawan Hukum"
- Prinsip
Umum Ganti Rugi
Tujuan
utama dari pemberian ganti rugi dalam kasus perbuatan melawan hukum adalah
untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan ke keadaan
sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum . Kewajiban untuk mengganti rugi
timbul karena adanya kesalahan dari pihak yang melakukan perbuatan melawan
hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) .
- Jenis-Jenis
Ganti Rugi
- Kerugian
Materiil ("Kerugian Materiil"): Merupakan kerugian yang bersifat
nyata dan dapat dihitung secara finansial, seperti biaya pengobatan,
kehilangan pendapatan, kerusakan properti, dan biaya-biaya hukum . Untuk
menuntut kerugian materiil, pihak penggugat perlu menyediakan bukti dan
dokumentasi yang kuat atas kerugian yang diderita .
- Kerugian
Immateriil ("Kerugian Immateriil"): Merupakan kerugian yang bersifat
abstrak dan sulit diukur secara finansial, seperti rasa sakit dan
penderitaan, tekanan emosional, kerusakan reputasi, dan hilangnya
kenikmatan hidup . Penentuan besaran kerugian immateriil seringkali
diserahkan kepada kebijaksanaan hakim dengan mempertimbangkan prinsip
keadilan dan kepatutan ("ex aequo et bono") . Meskipun pada
awalnya yurisprudensi membatasi ganti rugi immateriil pada kasus-kasus
tertentu seperti kematian, luka berat, dan penghinaan (Pasal 1370-1372
KUHPerdata) , terdapat tren perkembangan yurisprudensi yang semakin
mengakui kerugian immateriil dalam berbagai bentuk penderitaan dan
kerugian non-ekonomi lainnya .
- Ganti
Rugi Nominal ("Ganti Rugi Nominal"): Dapat diberikan dalam kasus di
mana terjadi perbuatan melawan hukum yang serius, tetapi kerugian
finansial yang nyata sulit dibuktikan atau minimal. Ganti rugi ini
berfungsi sebagai pengakuan simbolis atas kesalahan yang telah terjadi .
- Ganti
Rugi Kompensasi ("Ganti Rugi Kompensasi"): Merupakan bentuk ganti rugi utama
yang bertujuan untuk memberikan kompensasi kepada korban atas kerugian
nyata yang diderita, baik materiil maupun immateriil .
- Ganti
Rugi Penghukuman ("Ganti Rugi Penghukuman" atau "Restitusi
sebagai suatu bentuk hukuman"): Diberikan dalam kasus-kasus luar biasa yang
melibatkan perilaku yang disengaja, jahat, atau sangat tercela. Tujuannya
adalah untuk menghukum pelaku dan memberikan efek jera agar tindakan
serupa tidak terulang kembali . Penerapannya dalam hukum perdata Indonesia
mungkin tidak seumum dalam sistem hukum umum.
- Restitutio
in Integrum:
Merupakan upaya untuk mengembalikan keadaan seperti semula sebelum
terjadinya perbuatan melawan hukum. Ini dapat berupa perintah pengadilan
untuk melakukan tindakan tertentu atau mengembalikan barang/hak kepada
pihak yang dirugikan .
- Bentuk
Pemulihan Lain:
Selain ganti rugi dalam bentuk uang atau restitusi, pengadilan juga dapat
memerintahkan pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan
hukum, melarang pelaku mengulangi perbuatannya, atau membatalkan akibat
dari tindakan melawan hukum tersebut .
VIII.
Perkembangan Terkini Terkait Interpretasi dan Penerapan Konsep "Perbuatan
Melawan Hukum" dalam Yurisprudensi di Indonesia
- Perluasan
Makna "Melawan Hukum"
Yurisprudensi
terkini di Indonesia terus menunjukkan kecenderungan untuk memperluas
interpretasi terhadap makna "melawan hukum" dalam Pasal 1365
KUHPerdata . Pengaruh putusan Lindenbaum-Cohen tetap terasa kuat, dengan
pengadilan semakin mengakui bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas
pada pelanggaran undang-undang tertulis, tetapi juga mencakup pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip kepatutan dan keadilan yang tidak tertulis .
- Pengakuan
yang Berkembang terhadap Kerugian Immateriil
Terdapat
perkembangan signifikan dalam pengakuan dan pemberian ganti rugi untuk kerugian
immateriil oleh pengadilan di Indonesia . Meskipun Pasal 1370-1372 secara
spesifik menyebutkan kasus kematian, luka berat, dan penghinaan sebagai dasar
ganti rugi immateriil, yurisprudensi terkini menunjukkan adanya perluasan makna
untuk mencakup berbagai bentuk penderitaan emosional dan kerugian reputasi .
- Peran
Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum
Meskipun
Indonesia menganut sistem hukum perdata (civil law), yurisprudensi dari
Mahkamah Agung semakin memainkan peran penting dalam menafsirkan dan menerapkan
prinsip-prinsip hukum, termasuk yang berkaitan dengan PMH . Konsep
"yurisprudensi tetap" di mana putusan-putusan yang konsisten mengenai
isu serupa dapat menjadi pedoman yang persuasif bagi hakim di tingkat bawah .
- Perkembangan
dalam Bidang Tertentu
Yurisprudensi
juga terus berkembang dalam bidang-bidang spesifik terkait PMH, seperti dalam
kasus pencemaran lingkungan dan sengketa bisnis . Pengadilan berupaya untuk
menerapkan prinsip-prinsip PMH secara adaptif terhadap isu-isu kontemporer dan
perkembangan masyarakat.
IX.
Perbandingan Konsep "Perbuatan Melawan Hukum" dengan Konsep Serupa
dalam Sistem Hukum Lain (Misalnya, Tort Law dalam Common Law)
- Persamaan
antara "Perbuatan Melawan Hukum" dan Tort Law
Konsep
"perbuatan melawan hukum" dalam sistem hukum Indonesia memiliki
kemiripan dengan konsep tort law dalam sistem hukum common law
(seperti di Inggris dan Amerika Serikat) . Keduanya sama-sama mengatur tentang
kesalahan perdata yang menyebabkan kerugian pada pihak lain, dan memberikan
dasar bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi . Dalam kedua sistem,
pihak yang mengajukan tuntutan (penggugat atau claimant) umumnya
memiliki beban pembuktian .
- Perbedaan
Utama
|
Fitur |
Indonesia (Perbuatan Melawan Hukum) |
Sistem Hukum Umum (Common Law - Tort Law) |
|
Asal Sistem Hukum |
Tradisi
hukum perdata (civil law), khususnya hukum Belanda . |
Tradisi
hukum umum (common law), terutama hukum Inggris . |
|
Sumber Hukum Utama |
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) . |
Yurisprudensi
(case law) . |
|
Klasifikasi Kesalahan |
Kurang
terstruktur dalam kategori spesifik, meskipun Pasal 1366-1369 mengatur
skenario tertentu . |
Seringkali
mengklasifikasikan kesalahan ke dalam kategori yang lebih spesifik seperti
kelalaian (negligence), kesalahan yang disengaja (intentional torts),
dan tanggung jawab mutlak (strict liability) . |
|
Penekanan pada Niat |
Kesalahan
menjadi syarat, tetapi penekanan dan kategorisasi berdasarkan niat pelaku
mungkin kurang rinci . |
Niat
pelaku seringkali menjadi faktor penting dalam menentukan jenis kesalahan dan
besarnya tanggung jawab, terutama dalam kasus intentional torts . |
|
Ganti Rugi Penghukuman |
Penerapan
mungkin kurang umum atau memiliki nuansa yang berbeda . |
Mungkin
lebih sering diberikan dan memiliki peran yang lebih menonjol dalam beberapa
yurisdiksi common law (seperti di AS) . |
|
Tanggung Jawab Mutlak |
Pasal
1368 mengatur tanggung jawab mutlak untuk pemilik binatang, tetapi konsep ini
mungkin kurang luas . |
Konsep
dan penerapan tanggung jawab mutlak (strict liability) mungkin lebih
luas dan lebih terdefinisi dalam beberapa area hukum tort (misalnya,
tanggung jawab produk) . |
|
Terminologi |
Onrechtmatige daad (Belanda) diterjemahkan menjadi Perbuatan Melawan Hukum
. |
Tort
. |
X.
Kesimpulan
Konsep
perbuatan melawan hukum merupakan fondasi penting dalam hukum perdata
Indonesia, yang memungkinkan individu dan badan hukum untuk mendapatkan ganti
rugi atas kerugian yang timbul akibat tindakan melawan hukum pihak lain di luar
hubungan kontraktual. Definisi mendasar dalam Pasal 1365 KUHPerdata telah
mengalami evolusi interpretasi, terutama terkait makna "melanggar
hukum" yang kini mencakup pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan
prinsip-prinsip keadilan yang tidak tertulis. Unsur-unsur penting seperti
adanya perbuatan melawan hukum, kerugian, hubungan kausalitas, dan kesalahan
harus dibuktikan oleh penggugat untuk berhasil dalam gugatan PMH. KUHPerdata
secara spesifik mengatur berbagai aspek PMH melalui Pasal 1365 hingga Pasal
1377, termasuk tanggung jawab atas kelalaian, perbuatan orang lain, binatang,
dan bangunan yang roboh, serta kasus-kasus khusus kerugian seperti kematian,
luka, dan penghinaan.
Berbagai
contoh kasus di Indonesia menunjukkan penerapan konsep PMH dalam konteks
kerugian materiil dan immateriil. Perbedaan mendasar antara PMH dan wanprestasi
terletak pada tidak adanya hubungan kontraktual sebelumnya dalam kasus PMH,
yang membedakannya dari wanprestasi yang timbul dari pelanggaran kontrak.
Jenis-jenis ganti rugi yang dapat dituntut dalam kasus PMH meliputi kerugian
materiil, kerugian immateriil, ganti rugi nominal, ganti rugi kompensasi, dan
dalam kasus tertentu, ganti rugi penghukuman, serta restitusi ke keadaan
semula. Perkembangan yurisprudensi terkini menunjukkan kecenderungan untuk
memperluas makna "melawan hukum" dan semakin mengakui kerugian
immateriil.
Meskipun
memiliki tujuan yang serupa dengan tort law dalam sistem hukum common
law, PMH memiliki perbedaan signifikan dalam asal sistem hukum, sumber
hukum utama, klasifikasi kesalahan, penekanan pada niat, peran ganti rugi
penghukuman, dan ruang lingkup tanggung jawab mutlak. Pemahaman yang
komprehensif terhadap konsep perbuatan melawan hukum sangat penting untuk
menegakkan keadilan dan memberikan perlindungan hukum yang efektif bagi
pihak-pihak yang dirugikan dalam sistem hukum Indonesia. Perkembangan
yurisprudensi di masa depan kemungkinan akan terus membentuk interpretasi dan
penerapan konsep ini seiring dengan perubahan sosial dan kebutuhan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar