Selasa, 25 Maret 2025

Konsep Perbuatan Melawan Hukum dalam Sistem Hukum di Indonesia

 

I. Pendahuluan

Konsep perbuatan melawan hukum (PMH) merupakan salah satu pilar penting dalam sistem hukum perdata Indonesia. Berakar dari doktrin onrechtmatige daad dalam hukum Belanda, PMH berfungsi sebagai mekanisme hukum untuk mengatur tanggung jawab atas kerugian yang timbul di luar hubungan kontraktual. Ketentuan mendasar mengenai PMH tertuang dalam Pasal 1365 hingga Pasal 1377 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia . Pasal-pasal ini membentuk kerangka kerja bagi individu dan badan hukum untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh tindakan melawan hukum pihak lain. Pemahaman yang mendalam terhadap konsep ini sangat krusial bagi para praktisi hukum, akademisi, dan siapa pun yang ingin memahami dinamika hak dan kewajiban dalam ranah hukum perdata di Indonesia.  

II. Definisi "Perbuatan Melawan Hukum" dalam KUHPerdata

  • Pasal 1365 KUHPerdata: Definisi Mendasar

Inti dari konsep PMH di Indonesia terletak pada Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi: "Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut" . Dari rumusan ini, dapat diidentifikasi beberapa elemen kunci. Pertama, adanya "perbuatan" yang dapat berupa tindakan positif (melakukan sesuatu) maupun negatif (tidak melakukan sesuatu padahal wajib). Kedua, perbuatan tersebut harus "melanggar hukum," yang interpretasinya telah mengalami perkembangan seiring waktu. Ketiga, perbuatan yang melanggar hukum itu harus "membawa kerugian" kepada "orang lain," baik kerugian materiil yang dapat dihitung secara finansial maupun kerugian immateriil yang bersifat abstrak. Keempat, kerugian tersebut harus timbul "karena kesalahannya" dari pihak yang melakukan perbuatan. Terakhir, pihak yang menimbulkan kerugian memiliki kewajiban untuk "menggantikan kerugian" tersebut.  

  • Interpretasi "Melanggar Hukum" yang Berkembang

Pada awalnya, interpretasi terhadap frasa "melanggar hukum" dalam Pasal 1365 KUHPerdata cenderung sempit, yaitu hanya terbatas pada pelanggaran terhadap undang-undang tertulis . Namun, seiring perkembangan yurisprudensi, terutama setelah putusan penting dari Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) dalam kasus Lindenbaum-Cohen pada tahun 1919, interpretasi ini meluas secara signifikan . Putusan ini memberikan pandangan bahwa "melanggar hukum" tidak hanya mencakup pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif orang lain, kewajiban hukum si pelaku, kesusilaan, serta kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan terhadap harta benda orang lain . Perluasan makna ini mengakui bahwa kerugian dapat timbul dari perilaku yang tidak secara eksplisit dilarang oleh undang-undang, namun melanggar norma-norma hukum tidak tertulis dan prinsip-prinsip keadilan yang berlaku dalam masyarakat.  

  • Peran Kesalahan ("Kesalahan")

Pasal 1365 KUHPerdata secara eksplisit mensyaratkan adanya unsur kesalahan ("karena kesalahannya") sebagai dasar untuk timbulnya tanggung jawab hukum atas perbuatan melawan hukum . Dalam konteks ini, kesalahan dapat dibedakan menjadi dua bentuk utama: kesalahan yang disengaja ("kesengajaan") dan kesalahan karena kelalaian atau kurang hati-hati ("kealpaan" atau "kurang hati-hatian") . Kesengajaan merujuk pada keadaan di mana seseorang dengan sadar melakukan perbuatan yang diketahui akan menimbulkan kerugian. Sementara itu, kelalaian terjadi ketika seseorang tidak bertindak dengan hati-hati sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain. Hukum perdata Indonesia mengakui bahwa baik perbuatan yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalaian dapat menjadi dasar gugatan perbuatan melawan hukum .  

III. Unsur-Unsur Penting "Perbuatan Melawan Hukum"

  • Empat Unsur Esensial

Berdasarkan analisis berbagai sumber, terdapat empat unsur penting yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum di Indonesia : * Adanya Perbuatan Melawan Hukum: Unsur ini menekankan pada adanya suatu tindakan atau tidak bertindak yang melanggar hukum, baik hukum tertulis maupun prinsip-prinsip hukum dan norma sosial yang berlaku . * Adanya Kerugian: Harus terdapat kerugian nyata yang diderita oleh pihak penggugat sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut. Kerugian ini dapat berupa kerugian materiil maupun immateriil . * Adanya Hubungan Kausalitas: Harus ada hubungan sebab akibat yang jelas antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat dengan kerugian yang diderita oleh penggugat . * Adanya Kesalahan: Pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipersalahkan atas perbuatannya, baik karena kesengajaan maupun kelalaian .  

Beberapa ahli hukum juga menekankan bahwa unsur kesalahan merupakan elemen terpisah yang harus dibuktikan selain unsur melawan hukum itu sendiri .  

  • Beban Pembuktian

Dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, pihak penggugat memiliki kewajiban untuk membuktikan keberadaan keempat unsur tersebut di atas . Jika salah satu unsur tidak dapat dibuktikan, maka gugatan tersebut dapat ditolak oleh hakim .  

IV. Pasal-Pasal dalam KUHPerdata yang Mengatur "Perbuatan Melawan Hukum"

  • Pasal 1365: Ketentuan Umum

Sebagaimana telah dijelaskan, Pasal 1365 merupakan landasan utama pengaturan PMH dalam KUHPerdata. Pasal ini menetapkan prinsip umum tanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kesalahan .  

  • Pasal 1366: Tanggung Jawab karena Kelalaian

Pasal 1366 KUHPerdata memperluas cakupan tanggung jawab tidak hanya atas perbuatan aktif, tetapi juga atas kerugian yang timbul akibat kelalaian atau kurang hati-hati . Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang wajib bertindak hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.  

  • Pasal 1367: Tanggung Jawab atas Perbuatan Orang Lain dan Benda

Pasal 1367 KUHPerdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang tidak hanya atas perbuatannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau barang-barang yang berada di bawah pengawasannya . Ini mencakup tanggung jawab orang tua terhadap anak di bawah umur, majikan terhadap bawahan, guru terhadap murid, kepala tukang terhadap tukangnya, pemilik binatang terhadap binatangnya, dan pemilik gedung terhadap kerusakan akibat robohnya gedung. Namun, tanggung jawab ini dapat gugur jika pihak yang bertanggung jawab dapat membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan yang menimbulkan kerugian tersebut .  

  • Pasal 1368: Tanggung Jawab Pemilik Binatang

Pasal 1368 KUHPerdata secara khusus mengatur tanggung jawab pemilik binatang atau siapa pun yang menggunakannya atas kerugian yang disebabkan oleh binatang tersebut, tanpa melihat apakah binatang itu berada di bawah pengawasannya atau tidak . Pasal ini menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) di mana pemilik atau pengguna binatang bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari tindakan binatangnya .  

  • Pasal 1369: Tanggung Jawab Pemilik Gedung yang Roboh

Pasal 1369 KUHPerdata menetapkan tanggung jawab pemilik gedung atas kerugian yang disebabkan oleh robohnya gedung, baik sebagian maupun seluruhnya, jika kerobohan tersebut disebabkan oleh kelalaian dalam pemeliharaan atau karena kekurangan dalam pembangunan maupun penataannya .  

  • Pasal 1370-1377: Kasus-Kasus Khusus Kerugian

Pasal-pasal selanjutnya, yaitu Pasal 1370 hingga Pasal 1377, mengatur tentang kasus-kasus khusus kerugian yang timbul akibat perbuatan melawan hukum, seperti kematian seseorang , luka atau cacat badan , dan penghinaan . Pasal-pasal ini memberikan pedoman lebih spesifik mengenai hak untuk menuntut ganti rugi dalam situasi-situasi tertentu.  

V. Contoh-Contoh Kasus "Perbuatan Melawan Hukum" di Indonesia

  • Kasus Kerugian Materiil

Berbagai kasus di Indonesia telah mengilustrasikan penerapan konsep PMH dalam konteks kerugian materiil . Sengketa kepemilikan tanah sering kali melibatkan PMH, misalnya ketika seseorang tanpa hak mengambil alih atau menggunakan tanah milik orang lain, menyebabkan kerugian berupa kehilangan hak kepemilikan, potensi pendapatan, atau biaya hukum . Kecelakaan lalu lintas akibat kelalaian pengemudi yang menyebabkan kerusakan kendaraan dan luka pada pihak lain juga merupakan contoh PMH yang menimbulkan kerugian materiil berupa biaya perbaikan, biaya pengobatan, dan kehilangan pendapatan . Dalam dunia bisnis, tindakan penipuan, penggelapan dana, atau pelanggaran hak kekayaan intelektual dapat dikategorikan sebagai PMH yang mengakibatkan kerugian finansial bagi pihak yang dirugikan . Pencemaran lingkungan oleh limbah industri yang merusak ekosistem dan menyebabkan kerugian ekonomi bagi masyarakat sekitar juga merupakan contoh PMH dengan dampak kerugian materiil yang signifikan .  

  • Kasus Kerugian Immateriil

PMH juga dapat menimbulkan kerugian immateriil yang lebih sulit diukur dengan uang . Kasus pencemaran nama baik atau penghinaan, baik melalui lisan maupun tulisan, dapat menjadi dasar gugatan PMH untuk menuntut ganti rugi atas kerusakan reputasi dan kehormatan . Meskipun dahulu sulit untuk dikabulkan, perkembangan yurisprudensi menunjukkan adanya pengakuan terhadap kerugian immateriil akibat ingkar janji untuk menikah, terutama jika telah ada persiapan yang signifikan dan pengumuman rencana pernikahan . Kasus kelalaian yang menyebabkan luka fisik juga dapat menimbulkan kerugian immateriil berupa rasa sakit, penderitaan, dan hilangnya kenyamanan hidup . Tindakan-tindakan lain yang melanggar hukum juga dapat menyebabkan tekanan emosional dan kerugian psikologis yang dapat dikompensasi sebagai kerugian immateriil .  

VI. Perbedaan "Perbuatan Melawan Hukum" dengan Wanprestasi (Ingkar Janji)

  • Perbedaan Mendasar

Meskipun keduanya merupakan konsep hukum perdata yang berkaitan dengan tanggung jawab atas kerugian, "perbuatan melawan hukum" (PMH) dan "wanprestasi" (ingkar janji) memiliki perbedaan mendasar. PMH timbul dari pelanggaran terhadap kewajiban hukum umum yang berlaku bagi setiap orang, tanpa adanya hubungan kontraktual sebelumnya antara pihak-pihak yang terlibat . Sebaliknya, wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak dalam suatu perjanjian gagal memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah disepakati dalam kontrak tersebut .  

  • Faktor-Faktor Pembeda Utama

Fitur

Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Wanprestasi (Ingkar Janji)

Keberadaan Kontrak

Tidak memerlukan adanya kontrak sebelumnya antara pihak-pihak yang terlibat .

Memerlukan adanya perjanjian yang sah antara pihak-pihak yang terlibat .

Sumber Kewajiban

Kewajiban berasal dari hukum umum, norma-norma masyarakat, atau hak subjektif orang lain .

Kewajiban berasal dari ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian (memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu - Pasal 1234 KUHPerdata) .

Persyaratan Pemberitahuan (Somasi)

Umumnya tidak memerlukan pemberitahuan formal (somasi) kepada pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum .

Umumnya memerlukan pemberitahuan formal (somasi) untuk menyatakan pihak yang gagal memenuhi kewajiban berada dalam keadaan lalai (in gebreke) (Pasal 1238 KUHPerdata) .

Cakupan Ganti Rugi

Dapat mencakup kerugian materiil dan immateriil yang lebih luas, termasuk restitusi ke keadaan semula .

Ganti rugi umumnya terbatas pada kerugian yang timbul secara langsung dari pelanggaran kontrak (biaya, kerugian, dan bunga - Pasal 1243 KUHPerdata) .

Restitusi ke Keadaan Semula

Lebih sering dikaitkan dengan gugatan perbuatan melawan hukum .

Kurang umum dalam gugatan wanprestasi .

 

VII. Jenis-Jenis Ganti Rugi dalam Kasus "Perbuatan Melawan Hukum"

  • Prinsip Umum Ganti Rugi

Tujuan utama dari pemberian ganti rugi dalam kasus perbuatan melawan hukum adalah untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan ke keadaan sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum . Kewajiban untuk mengganti rugi timbul karena adanya kesalahan dari pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) .  

  • Jenis-Jenis Ganti Rugi
    • Kerugian Materiil ("Kerugian Materiil"): Merupakan kerugian yang bersifat nyata dan dapat dihitung secara finansial, seperti biaya pengobatan, kehilangan pendapatan, kerusakan properti, dan biaya-biaya hukum . Untuk menuntut kerugian materiil, pihak penggugat perlu menyediakan bukti dan dokumentasi yang kuat atas kerugian yang diderita .  
    • Kerugian Immateriil ("Kerugian Immateriil"): Merupakan kerugian yang bersifat abstrak dan sulit diukur secara finansial, seperti rasa sakit dan penderitaan, tekanan emosional, kerusakan reputasi, dan hilangnya kenikmatan hidup . Penentuan besaran kerugian immateriil seringkali diserahkan kepada kebijaksanaan hakim dengan mempertimbangkan prinsip keadilan dan kepatutan ("ex aequo et bono") . Meskipun pada awalnya yurisprudensi membatasi ganti rugi immateriil pada kasus-kasus tertentu seperti kematian, luka berat, dan penghinaan (Pasal 1370-1372 KUHPerdata) , terdapat tren perkembangan yurisprudensi yang semakin mengakui kerugian immateriil dalam berbagai bentuk penderitaan dan kerugian non-ekonomi lainnya .  
    • Ganti Rugi Nominal ("Ganti Rugi Nominal"): Dapat diberikan dalam kasus di mana terjadi perbuatan melawan hukum yang serius, tetapi kerugian finansial yang nyata sulit dibuktikan atau minimal. Ganti rugi ini berfungsi sebagai pengakuan simbolis atas kesalahan yang telah terjadi .  
    • Ganti Rugi Kompensasi ("Ganti Rugi Kompensasi"): Merupakan bentuk ganti rugi utama yang bertujuan untuk memberikan kompensasi kepada korban atas kerugian nyata yang diderita, baik materiil maupun immateriil .  
    • Ganti Rugi Penghukuman ("Ganti Rugi Penghukuman" atau "Restitusi sebagai suatu bentuk hukuman"): Diberikan dalam kasus-kasus luar biasa yang melibatkan perilaku yang disengaja, jahat, atau sangat tercela. Tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dan memberikan efek jera agar tindakan serupa tidak terulang kembali . Penerapannya dalam hukum perdata Indonesia mungkin tidak seumum dalam sistem hukum umum.  
    • Restitutio in Integrum: Merupakan upaya untuk mengembalikan keadaan seperti semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum. Ini dapat berupa perintah pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu atau mengembalikan barang/hak kepada pihak yang dirugikan .  
    • Bentuk Pemulihan Lain: Selain ganti rugi dalam bentuk uang atau restitusi, pengadilan juga dapat memerintahkan pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum, melarang pelaku mengulangi perbuatannya, atau membatalkan akibat dari tindakan melawan hukum tersebut .  

VIII. Perkembangan Terkini Terkait Interpretasi dan Penerapan Konsep "Perbuatan Melawan Hukum" dalam Yurisprudensi di Indonesia

  • Perluasan Makna "Melawan Hukum"

Yurisprudensi terkini di Indonesia terus menunjukkan kecenderungan untuk memperluas interpretasi terhadap makna "melawan hukum" dalam Pasal 1365 KUHPerdata . Pengaruh putusan Lindenbaum-Cohen tetap terasa kuat, dengan pengadilan semakin mengakui bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas pada pelanggaran undang-undang tertulis, tetapi juga mencakup pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kepatutan dan keadilan yang tidak tertulis .  

  • Pengakuan yang Berkembang terhadap Kerugian Immateriil

Terdapat perkembangan signifikan dalam pengakuan dan pemberian ganti rugi untuk kerugian immateriil oleh pengadilan di Indonesia . Meskipun Pasal 1370-1372 secara spesifik menyebutkan kasus kematian, luka berat, dan penghinaan sebagai dasar ganti rugi immateriil, yurisprudensi terkini menunjukkan adanya perluasan makna untuk mencakup berbagai bentuk penderitaan emosional dan kerugian reputasi .  

  • Peran Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum

Meskipun Indonesia menganut sistem hukum perdata (civil law), yurisprudensi dari Mahkamah Agung semakin memainkan peran penting dalam menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsip hukum, termasuk yang berkaitan dengan PMH . Konsep "yurisprudensi tetap" di mana putusan-putusan yang konsisten mengenai isu serupa dapat menjadi pedoman yang persuasif bagi hakim di tingkat bawah .  

  • Perkembangan dalam Bidang Tertentu

Yurisprudensi juga terus berkembang dalam bidang-bidang spesifik terkait PMH, seperti dalam kasus pencemaran lingkungan dan sengketa bisnis . Pengadilan berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip PMH secara adaptif terhadap isu-isu kontemporer dan perkembangan masyarakat.  

IX. Perbandingan Konsep "Perbuatan Melawan Hukum" dengan Konsep Serupa dalam Sistem Hukum Lain (Misalnya, Tort Law dalam Common Law)

  • Persamaan antara "Perbuatan Melawan Hukum" dan Tort Law

Konsep "perbuatan melawan hukum" dalam sistem hukum Indonesia memiliki kemiripan dengan konsep tort law dalam sistem hukum common law (seperti di Inggris dan Amerika Serikat) . Keduanya sama-sama mengatur tentang kesalahan perdata yang menyebabkan kerugian pada pihak lain, dan memberikan dasar bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi . Dalam kedua sistem, pihak yang mengajukan tuntutan (penggugat atau claimant) umumnya memiliki beban pembuktian .  

  • Perbedaan Utama

Fitur

Indonesia (Perbuatan Melawan Hukum)

Sistem Hukum Umum (Common Law - Tort Law)

Asal Sistem Hukum

Tradisi hukum perdata (civil law), khususnya hukum Belanda .

Tradisi hukum umum (common law), terutama hukum Inggris .

Sumber Hukum Utama

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) .

Yurisprudensi (case law) .

Klasifikasi Kesalahan

Kurang terstruktur dalam kategori spesifik, meskipun Pasal 1366-1369 mengatur skenario tertentu .

Seringkali mengklasifikasikan kesalahan ke dalam kategori yang lebih spesifik seperti kelalaian (negligence), kesalahan yang disengaja (intentional torts), dan tanggung jawab mutlak (strict liability) .

Penekanan pada Niat

Kesalahan menjadi syarat, tetapi penekanan dan kategorisasi berdasarkan niat pelaku mungkin kurang rinci .

Niat pelaku seringkali menjadi faktor penting dalam menentukan jenis kesalahan dan besarnya tanggung jawab, terutama dalam kasus intentional torts .

Ganti Rugi Penghukuman

Penerapan mungkin kurang umum atau memiliki nuansa yang berbeda .

Mungkin lebih sering diberikan dan memiliki peran yang lebih menonjol dalam beberapa yurisdiksi common law (seperti di AS) .

Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 1368 mengatur tanggung jawab mutlak untuk pemilik binatang, tetapi konsep ini mungkin kurang luas .

Konsep dan penerapan tanggung jawab mutlak (strict liability) mungkin lebih luas dan lebih terdefinisi dalam beberapa area hukum tort (misalnya, tanggung jawab produk) .

Terminologi

Onrechtmatige daad (Belanda) diterjemahkan menjadi Perbuatan Melawan Hukum .

Tort .

 

X. Kesimpulan

Konsep perbuatan melawan hukum merupakan fondasi penting dalam hukum perdata Indonesia, yang memungkinkan individu dan badan hukum untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat tindakan melawan hukum pihak lain di luar hubungan kontraktual. Definisi mendasar dalam Pasal 1365 KUHPerdata telah mengalami evolusi interpretasi, terutama terkait makna "melanggar hukum" yang kini mencakup pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan prinsip-prinsip keadilan yang tidak tertulis. Unsur-unsur penting seperti adanya perbuatan melawan hukum, kerugian, hubungan kausalitas, dan kesalahan harus dibuktikan oleh penggugat untuk berhasil dalam gugatan PMH. KUHPerdata secara spesifik mengatur berbagai aspek PMH melalui Pasal 1365 hingga Pasal 1377, termasuk tanggung jawab atas kelalaian, perbuatan orang lain, binatang, dan bangunan yang roboh, serta kasus-kasus khusus kerugian seperti kematian, luka, dan penghinaan.

Berbagai contoh kasus di Indonesia menunjukkan penerapan konsep PMH dalam konteks kerugian materiil dan immateriil. Perbedaan mendasar antara PMH dan wanprestasi terletak pada tidak adanya hubungan kontraktual sebelumnya dalam kasus PMH, yang membedakannya dari wanprestasi yang timbul dari pelanggaran kontrak. Jenis-jenis ganti rugi yang dapat dituntut dalam kasus PMH meliputi kerugian materiil, kerugian immateriil, ganti rugi nominal, ganti rugi kompensasi, dan dalam kasus tertentu, ganti rugi penghukuman, serta restitusi ke keadaan semula. Perkembangan yurisprudensi terkini menunjukkan kecenderungan untuk memperluas makna "melawan hukum" dan semakin mengakui kerugian immateriil.

Meskipun memiliki tujuan yang serupa dengan tort law dalam sistem hukum common law, PMH memiliki perbedaan signifikan dalam asal sistem hukum, sumber hukum utama, klasifikasi kesalahan, penekanan pada niat, peran ganti rugi penghukuman, dan ruang lingkup tanggung jawab mutlak. Pemahaman yang komprehensif terhadap konsep perbuatan melawan hukum sangat penting untuk menegakkan keadilan dan memberikan perlindungan hukum yang efektif bagi pihak-pihak yang dirugikan dalam sistem hukum Indonesia. Perkembangan yurisprudensi di masa depan kemungkinan akan terus membentuk interpretasi dan penerapan konsep ini seiring dengan perubahan sosial dan kebutuhan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...