1.
Pendahuluan tentang Sistem Hukum Indonesia
Sistem
hukum Indonesia merupakan entitas yang kompleks, terbentuk melalui interaksi
berbagai pengaruh historis dan filosofis. Sebelum kedatangan kekuatan kolonial,
masyarakat di kepulauan Indonesia telah memiliki sistem hukum yang berakar pada
adat istiadat lokal (hukum Adat) dan keyakinan agama, termasuk pengaruh dari
Hindu, Buddha, dan Islam . Hukum Adat, yang bersifat tidak tertulis dan beragam
antar komunitas, mengatur berbagai aspek kehidupan sosial. Seiring dengan
penyebaran Islam, prinsip-prinsip hukum Islam juga mulai diterapkan di berbagai
kerajaan dan komunitas Muslim di Indonesia .
Kedatangan
dan penjajahan Belanda (dikenal sebagai Hindia Belanda) membawa perubahan
signifikan dalam lanskap hukum. Belanda memperkenalkan model hukum
Romawi-Belanda, yang menjadi fondasi bagi sistem hukum Indonesia modern.
Berbagai kodifikasi hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) diberlakukan, yang sebagian
besar masih relevan hingga saat ini . Periode kolonial ini menciptakan lapisan
hukum baru yang berinteraksi dengan sistem hukum Adat dan Islam yang telah ada.
Setelah
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, bangsa ini mulai membangun sistem hukum
nasionalnya sendiri. Upaya ini melibatkan modifikasi prinsip-prinsip hukum
Belanda yang ada dan pengakuan serta integrasi hukum Adat dan hukum Islam ke
dalam kerangka negara . Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin persamaan
semua warga negara di hadapan hukum, menandakan berakhirnya diferensiasi
kelompok penduduk berdasarkan kelas sosial dan etnis yang berlaku pada masa
kolonial . Hukum Indonesia modern merupakan hasil perpaduan antara hukum
Belanda yang masih berlaku, hukum Adat, dan hukum Islam .
Secara
klasifikasi, sistem hukum Indonesia termasuk dalam keluarga sistem hukum Civil
Law atau kontinental, yang berbeda dengan sistem Common Law atau Anglo-Saxon .
Karakteristik utama sistem Civil Law adalah penekanan pada undang-undang
tertulis sebagai sumber hukum utama. Meskipun demikian, praktik peradilan di
Indonesia juga menunjukkan peningkatan peran yurisprudensi atau putusan
pengadilan sebagai sumber hukum yang memiliki daya persuasif .
Landasan
konstitusional sistem hukum Indonesia terletak pada Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa "Negara
Indonesia adalah negara hukum" . Ketentuan ini menegaskan supremasi hukum
dalam penyelenggaraan negara. Selain itu, kedaulatan negara berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) , yang
mencerminkan prinsip demokrasi dalam sistem hukum.
Keunikan
sistem hukum Indonesia juga terletak pada pengakuan dan peran hukum Adat dan
hukum Islam di samping hukum positif yang bersumber dari tradisi Eropa . Hukum
Adat, yang berasal dari praktik dan kebiasaan masyarakat tradisional, masih
relevan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan komunal. Hukum Islam, yang
bersumber dari ajaran agama Islam, memiliki peran penting terutama dalam bidang
hukum keluarga dan waris bagi penduduk Muslim. Interaksi dan pengakuan terhadap
ketiga elemen hukum ini menjadikan sistem hukum Indonesia sangat khas dan
mencerminkan keragaman budaya dan agama bangsa.
2.
Sumber-Sumber Hukum di Indonesia
Sistem
hukum Indonesia memiliki berbagai sumber hukum, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis. Sumber-sumber ini menentukan norma dan aturan yang berlaku dalam
masyarakat.
2.1.
Sumber Hukum Tertulis
Sumber
hukum tertulis merupakan sumber hukum yang telah dikodifikasikan atau dibukukan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hierarki dan jenis peraturan
perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta perubahannya .
- Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945): Merupakan sumber hukum tertinggi
di Indonesia . UUD 1945 menjadi landasan bagi seluruh peraturan
perundang-undangan lainnya. Amandemen yang dilakukan sebanyak empat kali
antara tahun 1999 dan 2002 mencerminkan dinamika politik dan hukum
pasca-Orde Baru, termasuk penguatan lembaga-lembaga demokrasi .
- Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR): Meskipun peran legislatif
langsungnya telah mengalami evolusi, Tap MPR masih menempati posisi yang
tinggi dalam hierarki hukum, sebagaimana didefinisikan pada tahun 2000 .
Keberadaannya menunjukkan signifikansi historis MPR sebagai lembaga
tertinggi negara.
- Undang-Undang
(UU) / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu): Undang-undang dibentuk melalui
proses legislasi bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden
. Perppu dikeluarkan oleh Presiden dalam keadaan kegentingan yang memaksa
dan memerlukan persetujuan DPR dalam sidang berikutnya . Mekanisme ini menunjukkan
adanya pembagian kekuasaan dalam pembentukan hukum, dengan peran serta
legislatif dan eksekutif, serta adanya mekanisme tindakan cepat oleh
eksekutif dalam situasi darurat dengan pengawasan legislatif.
- Peraturan
Pemerintah (PP): Dikeluarkan
oleh Presiden untuk melaksanakan ketentuan dalam undang-undang . PP
berfungsi sebagai penjabaran lebih lanjut dari undang-undang agar dapat
diimplementasikan secara efektif.
- Peraturan
Presiden (Perpres):
Dikeluarkan oleh Presiden untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan . Perpres memberikan landasan hukum
bagi tindakan dan kebijakan eksekutif dalam berbagai bidang.
- Peraturan
Daerah (Perda):
Merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi (Perda Provinsi) dan DPRD Kabupaten/Kota
(Perda Kabupaten/Kota) bersama dengan kepala daerah masing-masing . Perda
mencerminkan otonomi daerah dalam mengatur urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat.
- Perjanjian
Internasional (Treaties):
Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi
bagian dari hukum nasional . Ratifikasi ini menunjukkan kesediaan
Indonesia untuk tunduk pada norma-norma hukum internasional. Meskipun
demikian, posisi pasti perjanjian internasional dalam hierarki hukum
nasional tidak secara eksplisit diatur, yang terkadang menimbulkan
perdebatan mengenai kepatuhan .
2.2.
Sumber Hukum Tidak Tertulis
Sumber
hukum tidak tertulis meliputi norma dan aturan yang tidak dikodifikasikan namun
tetap diakui dan berlaku dalam masyarakat.
- Hukum
Adat (Customary Law):
Berasal dari kebiasaan dan tradisi yang dipraktikkan oleh masyarakat adat
di berbagai wilayah Indonesia . Hukum Adat bersifat tidak tertulis dan
mengatur berbagai aspek kehidupan komunal, termasuk perkawinan, waris, dan
sengketa tanah. Untuk diakui sebagai hukum, suatu kebiasaan harus
dilakukan berulang kali dan diyakini oleh masyarakat sebagai aturan yang
mengikat . Hukum Adat memiliki keragaman yang signifikan antar daerah dan
masih berperan penting dalam penyelesaian sengketa di tingkat lokal, terutama
di pedesaan .
- Hukum
Islam (Islamic Law/Syaria):
Bersumber dari ajaran agama Islam, hukum Islam memiliki peran penting
dalam sistem hukum Indonesia, terutama di wilayah dengan mayoritas
penduduk Muslim . Hukum Islam secara formal diterapkan dalam penyelesaian
sengketa di antara umat Islam dalam bidang hukum keluarga (perkawinan,
perceraian, waris) melalui Peradilan Agama . Di Provinsi Aceh, hukum
Syaria berlaku lebih luas, termasuk dalam bidang hukum pidana . Terdapat
juga fenomena percampuran antara hukum Islam dan hukum Adat di beberapa
daerah, seperti prinsip 'Adat bersendi syara', syara' bersendi Kitabullah'
.
- Doktrin
Hukum (Legal Doctrines):
Pendapat para ahli hukum dan sarjana hukum terkemuka memiliki pengaruh
persuasif dalam interpretasi dan penerapan hukum . Hakim seringkali
menggunakan doktrin hukum sebagai pertimbangan dalam membuat putusan .
- Yurisprudensi
(Jurisprudence):
Meskipun Indonesia menganut sistem Civil Law yang menekankan pada
undang-undang, putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap, terutama putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, memiliki
daya persuasif dan sering dijadikan pedoman oleh hakim dalam menangani
kasus-kasus serupa . Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
peran putusan pengadilan sebagai sumber hukum dalam praktik.
- Prinsip-Prinsip
Hukum dan Konvensi Ketatanegaraan: Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui dalam sistem
hukum Indonesia (meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam
cuplikan) menjadi landasan dalam interpretasi dan penerapan hukum. Selain
itu, terdapat konvensi ketatanegaraan (Konvensi Ketatanegaraan), yaitu
praktik-praktik ketatanegaraan yang berulang kali dilakukan dan diterima
sebagai suatu keharusan dalam penyelenggaraan negara . Beberapa konvensi
ketatanegaraan di Indonesia telah diformalkan menjadi undang-undang .
3.
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2019 . Hierarki ini menetapkan urutan kedudukan peraturan perundang-undangan
dan menjadi pedoman dalam penerapan hukum, di mana peraturan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superiori
derogat legi inferiori) .
Berikut
adalah hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dari yang tertinggi
hingga terendah:
- Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) .
- Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) .
- Undang-Undang
(UU) / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) .
- Peraturan
Pemerintah (PP) .
- Peraturan
Presiden (Perpres)
.
- Peraturan
Daerah Provinsi (Perda Provinsi)
.
- Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota) .
- Peraturan
Desa (Perdes) / Peraturan Adat
(diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan mengikat) .
Hierarki
ini memastikan adanya kepastian hukum dan mencegah adanya peraturan yang saling
bertentangan. Selain prinsip lex superiori derogat legi inferiori,
terdapat prinsip lain yang berlaku dalam hierarki ini :
- Lex
specialis derogat legi generali: Peraturan yang lebih khusus mengesampingkan
peraturan yang lebih umum pada tingkat yang sama.
- Lex
posteriori derogat legi priori: Peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan
yang lebih lama pada tingkat yang sama untuk mencegah ketidakpastian
hukum.
- Peraturan
hanya dapat dicabut atau diubah oleh peraturan yang sederajat atau lebih
tinggi.
Perlu
dicatat bahwa peraturan lain yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga negara
(misalnya, Peraturan Mahkamah Agung, Keputusan Menteri) memiliki kekuatan
mengikat sepanjang diamanatkan oleh atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi . Ketidakadaan Keputusan Menteri dalam
hierarki formal telah menjadi isu yang diperdebatkan .
Tabel:
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Tingkat |
Jenis Peraturan Perundang-Undangan |
1 |
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 |
2 |
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat |
3 |
Undang-Undang
/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang |
4 |
Peraturan
Pemerintah |
5 |
Peraturan
Presiden |
6 |
Peraturan
Daerah Provinsi |
7 |
Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota |
8 |
Peraturan
Desa / Peraturan Adat |
Ekspor
ke Spreadsheet
4.
Peran Lembaga-Lembaga Negara Utama dalam Sistem Hukum Indonesia
Sistem
hukum Indonesia melibatkan peran aktif dari tiga cabang kekuasaan negara:
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan ini diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan bertujuan untuk menciptakan mekanisme checks
and balances antar lembaga negara .
4.1.
Lembaga Eksekutif
Kekuasaan
eksekutif di Indonesia dipegang oleh Presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan . Presiden memiliki kewenangan untuk menjalankan pemerintahan
(Pasal 4 ayat (1) UUD 1945) , mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada
DPR , mengangkat menteri-menteri kabinet , mengesahkan undang-undang yang telah
disetujui oleh DPR , serta mengeluarkan berbagai peraturan seperti Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) . Presiden juga memiliki kewenangan untuk
memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi, meskipun beberapa di
antaranya memerlukan pertimbangan atau persetujuan dari lembaga legislatif dan
yudikatif .
Kementerian
dan lembaga pemerintah non-kementerian, yang dipimpin oleh menteri-menteri yang
diangkat oleh Presiden , memainkan peran penting dalam implementasi
undang-undang dan kebijakan pemerintah. Mereka bertanggung jawab untuk
menyiapkan rancangan undang-undang yang diinisiasi oleh Presiden dan
mengeluarkan peraturan tingkat menteri (Peraturan Menteri - Permen) serta
keputusan menteri (Keputusan Menteri - Kepmen) untuk merinci dan menegakkan
ketentuan hukum .
4.2.
Lembaga Legislatif
Kekuasaan
legislatif di Indonesia dipegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
yang merupakan lembaga bikameral terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) . MPR memegang kedaulatan negara dan
memiliki kewenangan untuk mengubah Undang-Undang Dasar serta memberhentikan
presiden dan/atau wakil presiden .
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan badan legislatif utama yang memiliki
kewenangan untuk membentuk undang-undang bersama dengan Presiden . DPR juga
memiliki kewenangan atas anggaran negara dan mewakili rakyat dalam mengawasi
serta mengontrol kekuasaan eksekutif, termasuk hak untuk melakukan interpelasi
(bertanya kepada pemerintah) . Persetujuan DPR juga diperlukan bagi Presiden
untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian internasional
lainnya .
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), sering disebut sebagai Senat, memiliki peran yang
lebih terbatas, terutama dalam menyiapkan rancangan undang-undang dan
memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan fungsi-fungsi daerah dan
pengelolaan sumber daya ekonomi. DPD tidak memiliki hak suara dalam pengambilan
keputusan legislatif .
4.3.
Lembaga Yudikatif
Kekuasaan
kehakiman di Indonesia bersifat merdeka dan dilaksanakan oleh Mahkamah Agung
(MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) . Mahkamah Agung merupakan pengadilan
tertinggi yang bertugas mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan
pengadilan-pengadilan di bawahnya dalam semua lingkungan peradilan (umum,
agama, militer, tata usaha negara) . MA juga memiliki kewenangan untuk
melakukan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang .
Mahkamah
Konstitusi memiliki kewenangan khusus untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus
pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilihan umum, serta memutus
dugaan pelanggaran terhadap konstitusi oleh presiden dan/atau wakil presiden .
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat .
5.
Struktur dan Tingkatan Pengadilan di Indonesia
Sistem
peradilan di Indonesia memiliki struktur hierarkis yang terpusat dalam negara
kesatuan, tanpa adanya pemisahan antara peradilan pusat dan daerah . Struktur
dasar peradilan terdiri dari tiga tingkatan :
- Pengadilan
Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri): Berkedudukan di tingkat kabupaten/kota dan memiliki
yurisdiksi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pada tingkat
pertama . Di dalam sistem peradilan umum pada tingkat ini terdapat juga
pengadilan khusus seperti Pengadilan Anak, Pengadilan Hak Asasi Manusia,
Pengadilan Hubungan Industrial, dan Pengadilan Niaga .
- Pengadilan
Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi): Berkedudukan di tingkat provinsi dan memiliki
yurisdiksi untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan banding dari
pengadilan tingkat pertama .
- Pengadilan
Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung):
Berkedudukan di tingkat nasional (Jakarta) dan merupakan pengadilan
tingkat terakhir untuk semua perkara, meskipun memiliki juga yurisdiksi
tingkat pertama dalam beberapa hal .
Selain
tingkatan tersebut, terdapat empat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
:
- Peradilan
Umum: Mengadili
perkara pidana dan perdata secara umum .
- Peradilan
Agama: Mengadili
perkara perdata tertentu bagi masyarakat Muslim, seperti perkawinan,
perceraian, dan waris .
- Peradilan
Tata Usaha Negara:
Mengadili sengketa antara warga negara atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha negara .
- Peradilan
Militer: Mengadili
perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer .
Mahkamah
Konstitusi berkedudukan sejajar dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif
tertinggi, namun memiliki yurisdiksi khusus dalam perkara-perkara
konstitusional dan tidak memiliki fungsi banding atas putusan pengadilan di
bawahnya . Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat .
6.
Cabang-Cabang Hukum Utama di Indonesia
Sistem
hukum Indonesia mencakup berbagai cabang hukum utama yang mengatur berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara .
- Hukum
Perdata (Civil Law):
Bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang
diwariskan dari hukum Belanda tahun 1847, hukum perdata mengatur hubungan
hukum antara individu atau badan hukum dalam lingkup privat. Ini mencakup
hukum keluarga, hukum benda, hukum perikatan, dan hukum waris .
- Hukum
Dagang (Commercial Law):
Diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) tahun 1847 dan
berbagai peraturan perundang-undangan lain yang lebih baru seperti
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hukum dagang
mengatur hubungan hukum dalam kegiatan perdagangan dan bisnis .
- Hukum
Pidana (Criminal Law):
Didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 1982 (dengan
pengecualian Provinsi Aceh yang menerapkan hukum Syaria secara penuh).
Hukum pidana mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang dan sanksi pidana
yang dapat dikenakan atas pelanggaran tersebut . Indonesia juga memiliki
undang-undang khusus terkait tindak pidana tertentu, seperti Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru telah disahkan dan bertujuan
untuk menggantikan KUHP lama .
- Hukum
Tata Negara (Constitutional Law):
Mengatur prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara, struktur dan
kewenangan lembaga-lembaga negara, serta hubungan antara negara dan warga
negara, yang bersumber utama dari Undang-Undang Dasar 1945 .
- Hukum
Administrasi Negara (Administrative Law): Mengatur tindakan dan kegiatan
badan-badan atau pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsi
pemerintahan serta penyelesaian sengketa antara warga negara dengan
pemerintah melalui Peradilan Tata Usaha Negara .
- Hukum
Agama (Religious Law):
Di Indonesia, ini terutama merujuk pada hukum Islam (Syaria) yang secara
khusus berlaku bagi warga negara Muslim dalam bidang hukum keluarga dan
waris melalui Peradilan Agama .
- Hukum
Adat (Customary Law):
Merupakan sistem hukum tradisional yang beragam dan berlaku dalam berbagai
komunitas etnis di Indonesia. Hukum adat masih mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan masyarakat, terutama dalam bidang hukum keluarga, waris, dan
agraria .
Selain
cabang-cabang hukum utama tersebut, terdapat juga cabang hukum lain yang lebih
spesifik seperti Hukum Militer, Hukum Pajak, Hukum Ketenagakerjaan, Hukum Hak
Asasi Manusia, Hukum Lingkungan, Hukum Agraria, dan lain-lain .
7.
Pengakuan dan Peran Hukum Adat dan Hukum Agama dalam Sistem Hukum Nasional
Indonesia
Hukum
Adat dan hukum agama memiliki akar sejarah yang panjang di Indonesia, jauh
sebelum terbentuknya negara modern . Hukum Adat mengatur tatanan kehidupan
masyarakat tradisional, sedangkan hukum agama, terutama Islam, telah
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial dan politik.
Undang-Undang
Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan mengakui keberadaan dan
peran hukum Adat dan hukum agama. Pasal 29 UUD 1945 menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu . Setelah kemerdekaan, hukum Adat
diakui keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan masih dibutuhkan oleh masyarakat (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960)
. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
bahkan mendasarkan sebagian besar ketentuannya pada hukum tanah adat .
Hukum
Islam secara formal diakui dan diterapkan melalui pembentukan Peradilan Agama
yang memiliki yurisdiksi dalam perkara-perkara perdata tertentu bagi umat
Islam, terutama dalam bidang perkawinan, perceraian, rujuk, waris, wasiat,
hibah, wakaf, dan shadaqah (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama). Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diterbitkan melalui
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 juga menjadi pedoman dalam praktik
peradilan agama . Provinsi Aceh memiliki otonomi khusus untuk menerapkan hukum
Syaria secara lebih komprehensif, termasuk dalam bidang hukum pidana melalui
Mahkamah Syar'iyah .
Meskipun
demikian, interaksi antara hukum nasional (yang sebagian besar bersumber dari
tradisi Eropa), hukum Adat, dan hukum agama tidak selalu mulus. Terkadang
terdapat potensi konflik atau ketidaksesuaian antara norma-norma yang berlaku
dalam sistem hukum yang berbeda. Pemerintah dan lembaga peradilan terus
berupaya untuk mencari titik temu dan harmonisasi antara ketiga sistem hukum
ini agar tercipta kepastian dan keadilan hukum bagi seluruh warga negara.
Pengakuan dan penerapan hukum Adat dan hukum agama di Indonesia mencerminkan
pluralisme hukum yang menjadi ciri khas bangsa ini, di mana berbagai sistem
hukum dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi dalam kerangka negara
kesatuan .
8.
Prinsip-Prinsip Dasar yang Mendasari Sistem Hukum di Indonesia
Sistem
hukum Indonesia didasarkan pada beberapa prinsip fundamental yang menjadi
landasan bagi pembentukan dan penerapan hukum .
- Asas
Legalitas: Prinsip
ini, terutama dalam hukum pidana, menyatakan bahwa tidak ada suatu
perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam
peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu
dilakukan (Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) . Asas ini
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi warga negara
dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum . Asas legalitas
melarang penggunaan analogi dalam menentukan tindak pidana dan umumnya
melarang pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif . Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru mengadopsi
perluasan asas legalitas yang memungkinkan pertimbangan hukum yang hidup
dalam masyarakat (hukum adat) dalam menentukan pidana .
- Asas
Persamaan di Hadapan Hukum:
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya .
Prinsip ini menjamin bahwa setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum
tanpa adanya diskriminasi berdasarkan latar belakang apapun.
- Asas
Praduga Tak Bersalah:
Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap . Beban pembuktian
terletak pada jaksa penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa .
Tersangka atau terdakwa harus diperlakukan sebagai subjek hukum yang
memiliki harkat dan martabat manusia . Meskipun demikian, dalam
kasus-kasus tertentu seperti korupsi dan pencucian uang, berlaku asas
pembuktian terbalik secara terbatas .
- Asas
Negara Hukum:
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum . Prinsip ini mengandung makna bahwa
penyelenggaraan kekuasaan negara harus didasarkan pada hukum yang berlaku,
dan semua warga negara serta badan hukum tunduk pada hukum.
- Asas
Pemisahan Kekuasaan:
Sistem hukum Indonesia menganut prinsip pemisahan kekuasaan (trias
politica) antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif .
Pemisahan ini bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan pada satu
lembaga dan menciptakan mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks
and balances).
- Falsafah
Pancasila:
Pancasila merupakan dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia yang juga
menjadi landasan filosofis bagi sistem hukum. Nilai-nilai Pancasila, yang
meliputi Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, menjadi pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum .
Pancasila dianggap sebagai grundnorm (norma dasar) dan rechtsidee
(cita hukum) bagi hukum Indonesia .
9.
Perkembangan atau Reformasi Terkini dalam Sistem Hukum di Indonesia
Sistem
hukum Indonesia terus mengalami perkembangan dan reformasi seiring dengan
dinamika masyarakat dan tuntutan zaman. Beberapa perkembangan dan reformasi
terkini yang signifikan meliputi:
- Pengesahan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disahkan pada akhir tahun 2022
dan mulai berlaku pada tahun 2023. KUHP baru ini bertujuan untuk
menggantikan KUHP lama yang merupakan warisan kolonial Belanda dan
diharapkan lebih mencerminkan nilai-nilai Indonesia serta kebutuhan hukum
modern . Meskipun demikian, beberapa ketentuan dalam KUHP baru ini menuai
kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan, terutama terkait dengan
isu-isu kebebasan berpendapat, hak-hak kelompok minoritas, dan moralitas .
KUHP baru ini memiliki masa transisi selama tiga tahun sebelum berlaku
efektif .
- Revisi
Undang-Undang tentang TNI:
Pada Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Revisi ini memungkinkan perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan
sipil di lebih banyak kementerian dan lembaga negara tanpa harus
mengundurkan diri dari dinas militer . Revisi ini menuai kritik dari
kelompok pro-demokrasi dan pegiat hak asasi manusia yang khawatir akan
potensi kembalinya dwifungsi ABRI (TNI) seperti pada masa Orde Baru .
- Implementasi
Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law): Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Omnibus Law) beserta peraturan pelaksananya bertujuan untuk mendorong
investasi dan menciptakan lapangan kerja melalui penyederhanaan perizinan
berusaha dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan .
Implementasi undang-undang ini juga menimbulkan berbagai perdebatan dan
tantangan, terutama terkait dengan isu-isu lingkungan dan hak-hak pekerja.
- Upaya
Reformasi Sistem Peradilan Pidana: Pemerintah dan berbagai pihak terus berupaya untuk
melakukan reformasi dalam sistem peradilan pidana, termasuk melalui
promosi program keadilan restoratif yang menekankan pada pemulihan
kerugian korban dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat . Berbagai
peraturan dan kerja sama dengan organisasi internasional seperti UNODC
dilakukan untuk memajukan prinsip-prinsip keadilan restoratif dalam sistem
hukum Indonesia .
10.
Kesimpulan
Sistem
hukum di Indonesia merupakan sistem yang unik dan kompleks, dibentuk oleh
perpaduan antara tradisi hukum Eropa kontinental yang diwariskan dari Belanda,
hukum Adat yang beragam, dan hukum Islam yang berpengaruh. Undang-Undang Dasar
1945 menjadi landasan tertinggi yang menegaskan prinsip negara hukum dan
pemisahan kekuasaan. Hierarki peraturan perundang-undangan yang jelas
memberikan kepastian hukum, meskipun interaksi antara hukum nasional dan
norma-norma hukum Adat serta agama terus menjadi dinamika tersendiri.
Lembaga-lembaga negara utama, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif,
memainkan peran penting dalam pembentukan dan penegakan hukum. Struktur
peradilan yang bertingkat dan beragam lingkungan peradilan mencerminkan upaya
untuk mengakomodasi berbagai jenis perkara dan kebutuhan hukum masyarakat.
Prinsip-prinsip dasar seperti legalitas, persamaan di hadapan hukum, dan praduga tak bersalah menjadi fondasi dalam penyelenggaraan sistem hukum. Perkembangan dan reformasi terkini, seperti pengesahan KUHP baru dan revisi undang-undang lainnya, menunjukkan adanya upaya untuk memodernisasi dan menyesuaikan sistem hukum dengan tantangan zaman, meskipun berbagai isu dan perdebatan masih mewarnai proses ini. Keunikan sistem hukum Indonesia terletak pada kemampuannya untuk mengakomodasi berbagai tradisi hukum dalam kerangka negara kesatuan, meskipun tantangan dalam menciptakan harmonisasi dan keadilan bagi seluruh warga negara tetap menjadi agenda penting di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar