Selasa, 25 Maret 2025

Sistem Hukum di Indonesia

1. Pendahuluan tentang Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum Indonesia merupakan entitas yang kompleks, terbentuk melalui interaksi berbagai pengaruh historis dan filosofis. Sebelum kedatangan kekuatan kolonial, masyarakat di kepulauan Indonesia telah memiliki sistem hukum yang berakar pada adat istiadat lokal (hukum Adat) dan keyakinan agama, termasuk pengaruh dari Hindu, Buddha, dan Islam . Hukum Adat, yang bersifat tidak tertulis dan beragam antar komunitas, mengatur berbagai aspek kehidupan sosial. Seiring dengan penyebaran Islam, prinsip-prinsip hukum Islam juga mulai diterapkan di berbagai kerajaan dan komunitas Muslim di Indonesia .  

Kedatangan dan penjajahan Belanda (dikenal sebagai Hindia Belanda) membawa perubahan signifikan dalam lanskap hukum. Belanda memperkenalkan model hukum Romawi-Belanda, yang menjadi fondasi bagi sistem hukum Indonesia modern. Berbagai kodifikasi hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) diberlakukan, yang sebagian besar masih relevan hingga saat ini . Periode kolonial ini menciptakan lapisan hukum baru yang berinteraksi dengan sistem hukum Adat dan Islam yang telah ada.  

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, bangsa ini mulai membangun sistem hukum nasionalnya sendiri. Upaya ini melibatkan modifikasi prinsip-prinsip hukum Belanda yang ada dan pengakuan serta integrasi hukum Adat dan hukum Islam ke dalam kerangka negara . Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin persamaan semua warga negara di hadapan hukum, menandakan berakhirnya diferensiasi kelompok penduduk berdasarkan kelas sosial dan etnis yang berlaku pada masa kolonial . Hukum Indonesia modern merupakan hasil perpaduan antara hukum Belanda yang masih berlaku, hukum Adat, dan hukum Islam .  

Secara klasifikasi, sistem hukum Indonesia termasuk dalam keluarga sistem hukum Civil Law atau kontinental, yang berbeda dengan sistem Common Law atau Anglo-Saxon . Karakteristik utama sistem Civil Law adalah penekanan pada undang-undang tertulis sebagai sumber hukum utama. Meskipun demikian, praktik peradilan di Indonesia juga menunjukkan peningkatan peran yurisprudensi atau putusan pengadilan sebagai sumber hukum yang memiliki daya persuasif .  

Landasan konstitusional sistem hukum Indonesia terletak pada Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum" . Ketentuan ini menegaskan supremasi hukum dalam penyelenggaraan negara. Selain itu, kedaulatan negara berada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) , yang mencerminkan prinsip demokrasi dalam sistem hukum.  

Keunikan sistem hukum Indonesia juga terletak pada pengakuan dan peran hukum Adat dan hukum Islam di samping hukum positif yang bersumber dari tradisi Eropa . Hukum Adat, yang berasal dari praktik dan kebiasaan masyarakat tradisional, masih relevan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan komunal. Hukum Islam, yang bersumber dari ajaran agama Islam, memiliki peran penting terutama dalam bidang hukum keluarga dan waris bagi penduduk Muslim. Interaksi dan pengakuan terhadap ketiga elemen hukum ini menjadikan sistem hukum Indonesia sangat khas dan mencerminkan keragaman budaya dan agama bangsa.  

2. Sumber-Sumber Hukum di Indonesia

Sistem hukum Indonesia memiliki berbagai sumber hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Sumber-sumber ini menentukan norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat.

2.1. Sumber Hukum Tertulis

Sumber hukum tertulis merupakan sumber hukum yang telah dikodifikasikan atau dibukukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hierarki dan jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta perubahannya .  

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945): Merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia . UUD 1945 menjadi landasan bagi seluruh peraturan perundang-undangan lainnya. Amandemen yang dilakukan sebanyak empat kali antara tahun 1999 dan 2002 mencerminkan dinamika politik dan hukum pasca-Orde Baru, termasuk penguatan lembaga-lembaga demokrasi .  
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR): Meskipun peran legislatif langsungnya telah mengalami evolusi, Tap MPR masih menempati posisi yang tinggi dalam hierarki hukum, sebagaimana didefinisikan pada tahun 2000 . Keberadaannya menunjukkan signifikansi historis MPR sebagai lembaga tertinggi negara.  
  • Undang-Undang (UU) / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu): Undang-undang dibentuk melalui proses legislasi bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden . Perppu dikeluarkan oleh Presiden dalam keadaan kegentingan yang memaksa dan memerlukan persetujuan DPR dalam sidang berikutnya . Mekanisme ini menunjukkan adanya pembagian kekuasaan dalam pembentukan hukum, dengan peran serta legislatif dan eksekutif, serta adanya mekanisme tindakan cepat oleh eksekutif dalam situasi darurat dengan pengawasan legislatif.  
  • Peraturan Pemerintah (PP): Dikeluarkan oleh Presiden untuk melaksanakan ketentuan dalam undang-undang . PP berfungsi sebagai penjabaran lebih lanjut dari undang-undang agar dapat diimplementasikan secara efektif.  
  • Peraturan Presiden (Perpres): Dikeluarkan oleh Presiden untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan . Perpres memberikan landasan hukum bagi tindakan dan kebijakan eksekutif dalam berbagai bidang.  
  • Peraturan Daerah (Perda): Merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi (Perda Provinsi) dan DPRD Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota) bersama dengan kepala daerah masing-masing . Perda mencerminkan otonomi daerah dalam mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.  
  • Perjanjian Internasional (Treaties): Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari hukum nasional . Ratifikasi ini menunjukkan kesediaan Indonesia untuk tunduk pada norma-norma hukum internasional. Meskipun demikian, posisi pasti perjanjian internasional dalam hierarki hukum nasional tidak secara eksplisit diatur, yang terkadang menimbulkan perdebatan mengenai kepatuhan .  

2.2. Sumber Hukum Tidak Tertulis

Sumber hukum tidak tertulis meliputi norma dan aturan yang tidak dikodifikasikan namun tetap diakui dan berlaku dalam masyarakat.

  • Hukum Adat (Customary Law): Berasal dari kebiasaan dan tradisi yang dipraktikkan oleh masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia . Hukum Adat bersifat tidak tertulis dan mengatur berbagai aspek kehidupan komunal, termasuk perkawinan, waris, dan sengketa tanah. Untuk diakui sebagai hukum, suatu kebiasaan harus dilakukan berulang kali dan diyakini oleh masyarakat sebagai aturan yang mengikat . Hukum Adat memiliki keragaman yang signifikan antar daerah dan masih berperan penting dalam penyelesaian sengketa di tingkat lokal, terutama di pedesaan .  
  • Hukum Islam (Islamic Law/Syaria): Bersumber dari ajaran agama Islam, hukum Islam memiliki peran penting dalam sistem hukum Indonesia, terutama di wilayah dengan mayoritas penduduk Muslim . Hukum Islam secara formal diterapkan dalam penyelesaian sengketa di antara umat Islam dalam bidang hukum keluarga (perkawinan, perceraian, waris) melalui Peradilan Agama . Di Provinsi Aceh, hukum Syaria berlaku lebih luas, termasuk dalam bidang hukum pidana . Terdapat juga fenomena percampuran antara hukum Islam dan hukum Adat di beberapa daerah, seperti prinsip 'Adat bersendi syara', syara' bersendi Kitabullah' .  
  • Doktrin Hukum (Legal Doctrines): Pendapat para ahli hukum dan sarjana hukum terkemuka memiliki pengaruh persuasif dalam interpretasi dan penerapan hukum . Hakim seringkali menggunakan doktrin hukum sebagai pertimbangan dalam membuat putusan .  
  • Yurisprudensi (Jurisprudence): Meskipun Indonesia menganut sistem Civil Law yang menekankan pada undang-undang, putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, terutama putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, memiliki daya persuasif dan sering dijadikan pedoman oleh hakim dalam menangani kasus-kasus serupa . Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan peran putusan pengadilan sebagai sumber hukum dalam praktik.  
  • Prinsip-Prinsip Hukum dan Konvensi Ketatanegaraan: Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui dalam sistem hukum Indonesia (meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam cuplikan) menjadi landasan dalam interpretasi dan penerapan hukum. Selain itu, terdapat konvensi ketatanegaraan (Konvensi Ketatanegaraan), yaitu praktik-praktik ketatanegaraan yang berulang kali dilakukan dan diterima sebagai suatu keharusan dalam penyelenggaraan negara . Beberapa konvensi ketatanegaraan di Indonesia telah diformalkan menjadi undang-undang .  

3. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 . Hierarki ini menetapkan urutan kedudukan peraturan perundang-undangan dan menjadi pedoman dalam penerapan hukum, di mana peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superiori derogat legi inferiori) .  

Berikut adalah hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dari yang tertinggi hingga terendah:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) .  
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) .  
  3. Undang-Undang (UU) / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) .  
  4. Peraturan Pemerintah (PP) .  
  5. Peraturan Presiden (Perpres) .  
  6. Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi) .  
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota) .  
  8. Peraturan Desa (Perdes) / Peraturan Adat (diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan mengikat) .  

Hierarki ini memastikan adanya kepastian hukum dan mencegah adanya peraturan yang saling bertentangan. Selain prinsip lex superiori derogat legi inferiori, terdapat prinsip lain yang berlaku dalam hierarki ini :  

  • Lex specialis derogat legi generali: Peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum pada tingkat yang sama.
  • Lex posteriori derogat legi priori: Peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang lebih lama pada tingkat yang sama untuk mencegah ketidakpastian hukum.
  • Peraturan hanya dapat dicabut atau diubah oleh peraturan yang sederajat atau lebih tinggi.

Perlu dicatat bahwa peraturan lain yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga negara (misalnya, Peraturan Mahkamah Agung, Keputusan Menteri) memiliki kekuatan mengikat sepanjang diamanatkan oleh atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi . Ketidakadaan Keputusan Menteri dalam hierarki formal telah menjadi isu yang diperdebatkan .  

Tabel: Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Tingkat

Jenis Peraturan Perundang-Undangan

1

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3

Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4

Peraturan Pemerintah

5

Peraturan Presiden

6

Peraturan Daerah Provinsi

7

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

8

Peraturan Desa / Peraturan Adat

Ekspor ke Spreadsheet

4. Peran Lembaga-Lembaga Negara Utama dalam Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum Indonesia melibatkan peran aktif dari tiga cabang kekuasaan negara: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan ini diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan bertujuan untuk menciptakan mekanisme checks and balances antar lembaga negara .  

4.1. Lembaga Eksekutif

Kekuasaan eksekutif di Indonesia dipegang oleh Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan . Presiden memiliki kewenangan untuk menjalankan pemerintahan (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945) , mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR , mengangkat menteri-menteri kabinet , mengesahkan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR , serta mengeluarkan berbagai peraturan seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) . Presiden juga memiliki kewenangan untuk memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi, meskipun beberapa di antaranya memerlukan pertimbangan atau persetujuan dari lembaga legislatif dan yudikatif .  

Kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian, yang dipimpin oleh menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden , memainkan peran penting dalam implementasi undang-undang dan kebijakan pemerintah. Mereka bertanggung jawab untuk menyiapkan rancangan undang-undang yang diinisiasi oleh Presiden dan mengeluarkan peraturan tingkat menteri (Peraturan Menteri - Permen) serta keputusan menteri (Keputusan Menteri - Kepmen) untuk merinci dan menegakkan ketentuan hukum .  

4.2. Lembaga Legislatif

Kekuasaan legislatif di Indonesia dipegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang merupakan lembaga bikameral terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) . MPR memegang kedaulatan negara dan memiliki kewenangan untuk mengubah Undang-Undang Dasar serta memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden .  

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan badan legislatif utama yang memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang bersama dengan Presiden . DPR juga memiliki kewenangan atas anggaran negara dan mewakili rakyat dalam mengawasi serta mengontrol kekuasaan eksekutif, termasuk hak untuk melakukan interpelasi (bertanya kepada pemerintah) . Persetujuan DPR juga diperlukan bagi Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian internasional lainnya .  

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sering disebut sebagai Senat, memiliki peran yang lebih terbatas, terutama dalam menyiapkan rancangan undang-undang dan memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan fungsi-fungsi daerah dan pengelolaan sumber daya ekonomi. DPD tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan legislatif .  

4.3. Lembaga Yudikatif

Kekuasaan kehakiman di Indonesia bersifat merdeka dan dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) . Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi yang bertugas mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan pengadilan-pengadilan di bawahnya dalam semua lingkungan peradilan (umum, agama, militer, tata usaha negara) . MA juga memiliki kewenangan untuk melakukan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang .  

Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan khusus untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilihan umum, serta memutus dugaan pelanggaran terhadap konstitusi oleh presiden dan/atau wakil presiden . Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat .  

5. Struktur dan Tingkatan Pengadilan di Indonesia

Sistem peradilan di Indonesia memiliki struktur hierarkis yang terpusat dalam negara kesatuan, tanpa adanya pemisahan antara peradilan pusat dan daerah . Struktur dasar peradilan terdiri dari tiga tingkatan :  

  • Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri): Berkedudukan di tingkat kabupaten/kota dan memiliki yurisdiksi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pada tingkat pertama . Di dalam sistem peradilan umum pada tingkat ini terdapat juga pengadilan khusus seperti Pengadilan Anak, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hubungan Industrial, dan Pengadilan Niaga .  
  • Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi): Berkedudukan di tingkat provinsi dan memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan banding dari pengadilan tingkat pertama .  
  • Pengadilan Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung): Berkedudukan di tingkat nasional (Jakarta) dan merupakan pengadilan tingkat terakhir untuk semua perkara, meskipun memiliki juga yurisdiksi tingkat pertama dalam beberapa hal .  

Selain tingkatan tersebut, terdapat empat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung :  

  • Peradilan Umum: Mengadili perkara pidana dan perdata secara umum .  
  • Peradilan Agama: Mengadili perkara perdata tertentu bagi masyarakat Muslim, seperti perkawinan, perceraian, dan waris .  
  • Peradilan Tata Usaha Negara: Mengadili sengketa antara warga negara atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara .  
  • Peradilan Militer: Mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer .  

Mahkamah Konstitusi berkedudukan sejajar dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi, namun memiliki yurisdiksi khusus dalam perkara-perkara konstitusional dan tidak memiliki fungsi banding atas putusan pengadilan di bawahnya . Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat .  

6. Cabang-Cabang Hukum Utama di Indonesia

Sistem hukum Indonesia mencakup berbagai cabang hukum utama yang mengatur berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara .  

  • Hukum Perdata (Civil Law): Bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang diwariskan dari hukum Belanda tahun 1847, hukum perdata mengatur hubungan hukum antara individu atau badan hukum dalam lingkup privat. Ini mencakup hukum keluarga, hukum benda, hukum perikatan, dan hukum waris .  
  • Hukum Dagang (Commercial Law): Diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) tahun 1847 dan berbagai peraturan perundang-undangan lain yang lebih baru seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hukum dagang mengatur hubungan hukum dalam kegiatan perdagangan dan bisnis .  
  • Hukum Pidana (Criminal Law): Didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 1982 (dengan pengecualian Provinsi Aceh yang menerapkan hukum Syaria secara penuh). Hukum pidana mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang dan sanksi pidana yang dapat dikenakan atas pelanggaran tersebut . Indonesia juga memiliki undang-undang khusus terkait tindak pidana tertentu, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru telah disahkan dan bertujuan untuk menggantikan KUHP lama .  
  • Hukum Tata Negara (Constitutional Law): Mengatur prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara, struktur dan kewenangan lembaga-lembaga negara, serta hubungan antara negara dan warga negara, yang bersumber utama dari Undang-Undang Dasar 1945 .  
  • Hukum Administrasi Negara (Administrative Law): Mengatur tindakan dan kegiatan badan-badan atau pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan serta penyelesaian sengketa antara warga negara dengan pemerintah melalui Peradilan Tata Usaha Negara .  
  • Hukum Agama (Religious Law): Di Indonesia, ini terutama merujuk pada hukum Islam (Syaria) yang secara khusus berlaku bagi warga negara Muslim dalam bidang hukum keluarga dan waris melalui Peradilan Agama .  
  • Hukum Adat (Customary Law): Merupakan sistem hukum tradisional yang beragam dan berlaku dalam berbagai komunitas etnis di Indonesia. Hukum adat masih mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama dalam bidang hukum keluarga, waris, dan agraria .  

Selain cabang-cabang hukum utama tersebut, terdapat juga cabang hukum lain yang lebih spesifik seperti Hukum Militer, Hukum Pajak, Hukum Ketenagakerjaan, Hukum Hak Asasi Manusia, Hukum Lingkungan, Hukum Agraria, dan lain-lain .  

7. Pengakuan dan Peran Hukum Adat dan Hukum Agama dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia

Hukum Adat dan hukum agama memiliki akar sejarah yang panjang di Indonesia, jauh sebelum terbentuknya negara modern . Hukum Adat mengatur tatanan kehidupan masyarakat tradisional, sedangkan hukum agama, terutama Islam, telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial dan politik.  

Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan mengakui keberadaan dan peran hukum Adat dan hukum agama. Pasal 29 UUD 1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu . Setelah kemerdekaan, hukum Adat diakui keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan masih dibutuhkan oleh masyarakat (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960) . Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahkan mendasarkan sebagian besar ketentuannya pada hukum tanah adat .  

Hukum Islam secara formal diakui dan diterapkan melalui pembentukan Peradilan Agama yang memiliki yurisdiksi dalam perkara-perkara perdata tertentu bagi umat Islam, terutama dalam bidang perkawinan, perceraian, rujuk, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama). Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diterbitkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 juga menjadi pedoman dalam praktik peradilan agama . Provinsi Aceh memiliki otonomi khusus untuk menerapkan hukum Syaria secara lebih komprehensif, termasuk dalam bidang hukum pidana melalui Mahkamah Syar'iyah .  

Meskipun demikian, interaksi antara hukum nasional (yang sebagian besar bersumber dari tradisi Eropa), hukum Adat, dan hukum agama tidak selalu mulus. Terkadang terdapat potensi konflik atau ketidaksesuaian antara norma-norma yang berlaku dalam sistem hukum yang berbeda. Pemerintah dan lembaga peradilan terus berupaya untuk mencari titik temu dan harmonisasi antara ketiga sistem hukum ini agar tercipta kepastian dan keadilan hukum bagi seluruh warga negara. Pengakuan dan penerapan hukum Adat dan hukum agama di Indonesia mencerminkan pluralisme hukum yang menjadi ciri khas bangsa ini, di mana berbagai sistem hukum dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi dalam kerangka negara kesatuan .  

8. Prinsip-Prinsip Dasar yang Mendasari Sistem Hukum di Indonesia

Sistem hukum Indonesia didasarkan pada beberapa prinsip fundamental yang menjadi landasan bagi pembentukan dan penerapan hukum .  

  • Asas Legalitas: Prinsip ini, terutama dalam hukum pidana, menyatakan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) . Asas ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi warga negara dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum . Asas legalitas melarang penggunaan analogi dalam menentukan tindak pidana dan umumnya melarang pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif . Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru mengadopsi perluasan asas legalitas yang memungkinkan pertimbangan hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) dalam menentukan pidana .  
  • Asas Persamaan di Hadapan Hukum: Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya . Prinsip ini menjamin bahwa setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum tanpa adanya diskriminasi berdasarkan latar belakang apapun.  
  • Asas Praduga Tak Bersalah: Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap . Beban pembuktian terletak pada jaksa penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa . Tersangka atau terdakwa harus diperlakukan sebagai subjek hukum yang memiliki harkat dan martabat manusia . Meskipun demikian, dalam kasus-kasus tertentu seperti korupsi dan pencucian uang, berlaku asas pembuktian terbalik secara terbatas .  
  • Asas Negara Hukum: Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum . Prinsip ini mengandung makna bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara harus didasarkan pada hukum yang berlaku, dan semua warga negara serta badan hukum tunduk pada hukum.  
  • Asas Pemisahan Kekuasaan: Sistem hukum Indonesia menganut prinsip pemisahan kekuasaan (trias politica) antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif . Pemisahan ini bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan pada satu lembaga dan menciptakan mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances).  
  • Falsafah Pancasila: Pancasila merupakan dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia yang juga menjadi landasan filosofis bagi sistem hukum. Nilai-nilai Pancasila, yang meliputi Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menjadi pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum . Pancasila dianggap sebagai grundnorm (norma dasar) dan rechtsidee (cita hukum) bagi hukum Indonesia .  

9. Perkembangan atau Reformasi Terkini dalam Sistem Hukum di Indonesia

Sistem hukum Indonesia terus mengalami perkembangan dan reformasi seiring dengan dinamika masyarakat dan tuntutan zaman. Beberapa perkembangan dan reformasi terkini yang signifikan meliputi:

  • Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disahkan pada akhir tahun 2022 dan mulai berlaku pada tahun 2023. KUHP baru ini bertujuan untuk menggantikan KUHP lama yang merupakan warisan kolonial Belanda dan diharapkan lebih mencerminkan nilai-nilai Indonesia serta kebutuhan hukum modern . Meskipun demikian, beberapa ketentuan dalam KUHP baru ini menuai kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan, terutama terkait dengan isu-isu kebebasan berpendapat, hak-hak kelompok minoritas, dan moralitas . KUHP baru ini memiliki masa transisi selama tiga tahun sebelum berlaku efektif .  
  • Revisi Undang-Undang tentang TNI: Pada Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Revisi ini memungkinkan perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil di lebih banyak kementerian dan lembaga negara tanpa harus mengundurkan diri dari dinas militer . Revisi ini menuai kritik dari kelompok pro-demokrasi dan pegiat hak asasi manusia yang khawatir akan potensi kembalinya dwifungsi ABRI (TNI) seperti pada masa Orde Baru .  
  • Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law): Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) beserta peraturan pelaksananya bertujuan untuk mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja melalui penyederhanaan perizinan berusaha dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan . Implementasi undang-undang ini juga menimbulkan berbagai perdebatan dan tantangan, terutama terkait dengan isu-isu lingkungan dan hak-hak pekerja.  
  • Upaya Reformasi Sistem Peradilan Pidana: Pemerintah dan berbagai pihak terus berupaya untuk melakukan reformasi dalam sistem peradilan pidana, termasuk melalui promosi program keadilan restoratif yang menekankan pada pemulihan kerugian korban dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat . Berbagai peraturan dan kerja sama dengan organisasi internasional seperti UNODC dilakukan untuk memajukan prinsip-prinsip keadilan restoratif dalam sistem hukum Indonesia .  

10. Kesimpulan

Sistem hukum di Indonesia merupakan sistem yang unik dan kompleks, dibentuk oleh perpaduan antara tradisi hukum Eropa kontinental yang diwariskan dari Belanda, hukum Adat yang beragam, dan hukum Islam yang berpengaruh. Undang-Undang Dasar 1945 menjadi landasan tertinggi yang menegaskan prinsip negara hukum dan pemisahan kekuasaan. Hierarki peraturan perundang-undangan yang jelas memberikan kepastian hukum, meskipun interaksi antara hukum nasional dan norma-norma hukum Adat serta agama terus menjadi dinamika tersendiri. Lembaga-lembaga negara utama, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, memainkan peran penting dalam pembentukan dan penegakan hukum. Struktur peradilan yang bertingkat dan beragam lingkungan peradilan mencerminkan upaya untuk mengakomodasi berbagai jenis perkara dan kebutuhan hukum masyarakat.

Prinsip-prinsip dasar seperti legalitas, persamaan di hadapan hukum, dan praduga tak bersalah menjadi fondasi dalam penyelenggaraan sistem hukum. Perkembangan dan reformasi terkini, seperti pengesahan KUHP baru dan revisi undang-undang lainnya, menunjukkan adanya upaya untuk memodernisasi dan menyesuaikan sistem hukum dengan tantangan zaman, meskipun berbagai isu dan perdebatan masih mewarnai proses ini. Keunikan sistem hukum Indonesia terletak pada kemampuannya untuk mengakomodasi berbagai tradisi hukum dalam kerangka negara kesatuan, meskipun tantangan dalam menciptakan harmonisasi dan keadilan bagi seluruh warga negara tetap menjadi agenda penting di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...