Pendahuluan
Pemahaman mendalam mengenai
konsep State of the Art (SOTA), Research Gap (Kesenjangan
Penelitian), dan Novelty (Kebaruan) merupakan pilar fundamental dalam
menghasilkan penelitian hukum yuridis normatif yang berkualitas tinggi,
relevan, dan memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan ilmu hukum. Ketiga elemen ini saling terkait dan membentuk kerangka kerja
logis yang memandu peneliti dari tahap pemetaan pengetahuan hingga penemuan
kontribusi orisinal. Tanpa pemahaman dan penerapan yang tepat terhadap
konsep-konsep ini, sebuah penelitian hukum berisiko menjadi sekadar pengulangan
dari karya-karya sebelumnya, kurang memiliki dampak akademis maupun praktis,
atau bahkan dianggap tidak layak untuk dilakukan. Kegagalan dalam menunjukkan
SOTA, mengidentifikasi research gap yang jelas, atau menghadirkan novelty
yang meyakinkan seringkali menjadi penyebab utama ditolaknya proposal
penelitian atau artikel ilmiah.
Tulisan ini bertujuan untuk
mengurai secara sistematis definisi, karakteristik, cara identifikasi, dan
manifestasi dari SOTA, Research Gap, dan Novelty secara spesifik
dalam konteks metodologi penelitian hukum yuridis normatif di Indonesia. Fokus
pada konteks Indonesia menjadi penting mengingat karakteristik sistem hukum dan
tradisi penelitian hukum yang berkembang di negara ini. Dengan mensintesis informasi
dari berbagai sumber akademis dan praktis, laporan ini diharapkan dapat
memberikan panduan yang komprehensif dan operasional bagi para mahasiswa hukum,
peneliti, akademisi, maupun praktisi hukum yang hendak melakukan atau
mengevaluasi penelitian hukum yuridis normatif. Ruang lingkup pembahasan akan
mencakup definisi dan karakteristik penelitian hukum yuridis normatif itu
sendiri, diikuti dengan pembahasan mendalam mengenai SOTA, Research Gap,
dan Novelty, serta sintesis keterkaitan antara ketiganya, sebagaimana
diamanatkan dalam permintaan pengguna.
I. Memahami Penelitian Hukum
Yuridis Normatif
Penelitian hukum yuridis normatif
merupakan salah satu pendekatan utama dalam studi hukum di Indonesia. Memahami
definisi, esensi, dan karakteristiknya adalah langkah awal yang krusial sebelum
membahas konsep SOTA, research gap, dan novelty dalam kerangka
metodologi ini.
A. Definisi dan Esensi
Secara mendasar, penelitian hukum yuridis normatif didefinisikan sebagai
metode penelitian hukum kepustakaan (library research). Fokus
utamanya adalah melakukan penelitian dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka
atau data sekunder semata. Penelitian jenis ini sering juga disebut sebagai penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum
perpustakaan. Esensinya terletak pada pengkajian hukum sebagai sebuah bangunan
sistem norma. Dalam pendekatan ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau sebagai kaidah
atau norma yang merupakan patokan bagi perilaku manusia yang dianggap pantas.
Pandangan ini seringkali merupakan konsekuensi dari pemahaman bahwa hukum adalah sebuah lembaga yang otonom, terpisah dari
pengaruh sosial eksternal.
Tujuan utama dari penelitian
hukum normatif, sebagaimana dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki, adalah
sebagai suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Selain itu,
penelitian ini juga dapat bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah hukum
konkret, seperti adanya kekosongan hukum (normative vacuum) atau konflik
antar norma hukum (normative conflict).
B. Karakteristik Khas
Penelitian hukum yuridis normatif
memiliki sejumlah karakteristik khas yang membedakannya dari pendekatan
penelitian hukum lainnya, terutama penelitian hukum empiris atau sosiologis.
- Sumber Data: Karakteristik paling menonjol
adalah ketergantungannya pada data sekunder yang bersumber
dari bahan-bahan kepustakaan. Bahan hukum ini diklasifikasikan
menjadi tiga tingkatan:
- Bahan Hukum Primer: Merupakan bahan hukum
yang bersifat otoritatif dan mengikat. Ini mencakup peraturan perundang-undangan dalam hierarkinya
(mulai dari UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, hingga
peraturan di bawahnya), putusan-putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (yurisprudensi), dan
traktat atau perjanjian internasional.
Sumber primer ini menjadi fokus utama analisis.
- Bahan Hukum Sekunder: Memberikan penjelasan
atau analisis terhadap bahan hukum primer. Ini meliputi buku-buku teks hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana hukum terkemuka (doktrin), hasil-hasil penelitian hukum
sebelumnya, rancangan undang-undang (RUU), dan komentar atas putusan
pengadilan. Bahan sekunder membantu peneliti memahami konteks dan
interpretasi bahan primer.
- Bahan Hukum Tersier: Memberikan petunjuk
atau informasi pelengkap mengenai bahan hukum primer dan sekunder.
Contohnya termasuk kamus hukum, ensiklopedia
hukum, indeks artikel hukum, bibliografi, dan sumber informasi dari
internet yang relevan. Sumber ini berfungsi sebagai alat bantu
penelusuran.
- Metode Pendekatan: Beberapa pendekatan lazim digunakan dalam penelitian hukum
normatif:
- Pendekatan Perundang-undangan (Statute
Approach): Pendekatan ini merupakan ciri khas utama dan dianggap mutlak dalam kajian doktrinal. Peneliti
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum
yang sedang dibahas. Fokusnya adalah pada norma hukum tertulis itu
sendiri.
- Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach):
Digunakan untuk menganalisis dan membangun argumentasi berdasarkan
konsep-konsep hukum yang relevan. Pendekatan ini sering digunakan ketika berangkat dari adanya kekosongan norma atau
untuk memberikan landasan filosofis terhadap suatu isu.
- Pendekatan Kasus (Case Approach):
Melibatkan telaah terhadap kasus-kasus hukum, terutama putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap (yurisprudensi), untuk memahami bagaimana norma hukum diterapkan dalam
praktik peradilan atau untuk menemukan hukum (rechtsvinding) dalam
kasus konkret. Pendekatan ini penting untuk melihat interpretasi hakim
terhadap hukum.
- Pendekatan Lain: Pendekatan Sejarah (Historical
Approach) untuk menelusuri perkembangan suatu
aturan atau lembaga hukum, dan Pendekatan Perbandingan (Comparative
Approach) untuk membandingkan sistem hukum atau aturan hukum di
negara lain, juga sering digunakan untuk memperkaya analisis.
- Sifat Penelitian: Penelitian hukum normatif
bersifat preskriptif, artinya ia berfokus
pada apa yang seharusnya (das Sollen) menurut norma hukum
yang berlaku. Selain itu, seringkali juga bersifat deskriptif-analitis,
di mana peneliti menggambarkan aturan atau fenomena hukum yang relevan,
kemudian menganalisisnya berdasarkan norma dan teori hukum yang ada.
- Metode Analisis: Analisis data dalam
penelitian hukum normatif menggunakan metode kualitatif , di mana
data dijelaskan melalui argumentasi dan
interpretasi, bukan angka. Logika berpikir yang dominan adalah deduktif,
yaitu menarik kesimpulan spesifik dari premis-premis umum (norma hukum).
Teknik analisis utama meliputi interpretasi hukum (penafsiran),
seperti interpretasi gramatikal (berdasarkan tata bahasa), sistematis
(menghubungkan antar pasal/aturan), historis (melihat sejarah
pembentukan), teleologis/sosiologis (melihat tujuan), dan komparatif.
Selain interpretasi, konstruksi hukum (seperti argumentum per
analogiam, argumentum a contrario) juga dapat digunakan. Landasan
analisisnya secara hierarkis adalah Norma Hukum Positif, diikuti
Yurisprudensi, dan kemudian Doktrin.
- Objek Kajian: Ruang lingkup penelitian hukum
normatif dapat mencakup berbagai aspek internal sistem hukum, seperti
penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi
hukum (baik vertikal maupun horizontal), perbandingan hukum, sejarah
hukum, penemuan hukum dalam perkara konkret (in concreto), dan
inventarisasi hukum positif.
C. Implikasi Karakteristik
Penelitian Hukum Normatif
Karakteristik-karakteristik yang
telah diuraikan membawa beberapa implikasi penting dalam memahami praktik
penelitian hukum normatif di Indonesia.
Pertama, terlihat jelas adanya dominasi
pendekatan formalistik dalam tradisi penelitian hukum normatif di
Indonesia. Penekanan yang kuat pada sumber data
sekunder (terutama peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan),
konseptualisasi hukum sebagai law in books, prioritas pada pendekatan perundang-undangan,
serta penggunaan logika deduktif secara kolektif menunjukkan fokus utama pada
analisis internal sistem hukum. Penelitian ini cenderung memandang hukum
sebagai entitas otonom dan menganalisis konsistensi logis serta validitas
norma-norma di dalamnya, yang merupakan ciri khas dari
positivisme hukum dan formalisme hukum. Meskipun tidak selalu eksplisit,
pendekatan ini terkadang dikritik karena potensinya
mengabaikan interaksi kompleks antara hukum dan konteks sosial, politik, serta
ekonomi di mana hukum itu beroperasi.
Kedua, fokus
pada analisis internal sistem hukum (law in books) secara inheren
mengarahkan jenis research gap dan novelty yang dicari.
Ketika objek utama kajian adalah norma tertulis, asas hukum, dan doktrin , maka
'masalah' atau 'kesenjangan' (gap) yang paling alami untuk
diidentifikasi adalah persoalan-persoalan internal dalam sistem norma itu
sendiri. Ini bisa berupa adanya kekosongan hukum (area yang belum diatur),
konflik antar norma (pertentangan aturan), atau ambiguitas norma (ketidakjelasan
makna). Konsekuensinya, 'kebaruan' (novelty) yang dihasilkan pun
cenderung bersifat interpretatif (penafsiran baru terhadap norma), konseptual
(pengembangan atau kritik terhadap doktrin), komparatif (perbandingan dengan
sistem lain), atau konstruktif (usulan norma baru untuk mengisi kekosongan). Kebaruan
lebih sering muncul dari cara baru dalam memahami, menafsirkan, atau menyusun
ulang elemen-elemen yang sudah ada dalam sistem hukum, daripada penemuan fakta
empiris baru.
Ketiga, meskipun dominan dan
memiliki metodologi yang mapan, terdapat pengakuan bahwa pendekatan normatif
murni memiliki potensi keterbatasan dan membuka peluang evolusi.
Kompleksitas isu-isu hukum dalam masyarakat modern, yang seringkali bersifat
multidimensional dan tumpang tindih dengan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan
teknologi, terkadang sulit dipetakan secara memadai hanya dengan menggunakan
kacamata normatif murni. Ketidakpuasan terhadap keterbatasan ini, sebagaimana
diungkapkan dalam beberapa literatur , mulai mendorong tumbuhnya minat terhadap
pendekatan penelitian hukum yang lebih interdisipliner atau multidisipliner di
kalangan sarjana hukum Indonesia. Ini menandakan adanya kesadaran akan perlunya
melengkapi analisis normatif dengan perspektif dari ilmu-ilmu sosial lain untuk
mendapatkan pemahaman hukum yang lebih holistik dan kontekstual, meskipun
pendekatan normatif tetap menjadi fondasi penting dalam ilmu hukum.
II. State of the Art:
Memetakan Pengetahuan Terkini dalam Hukum Normatif
Setelah memahami kerangka dasar
penelitian hukum yuridis normatif, langkah selanjutnya adalah memahami konsep State
of the Art (SOTA). SOTA berfungsi sebagai peta yang menunjukkan posisi
pengetahuan terkini dalam suatu bidang kajian hukum.
A. Definisi Konseptual SOTA
Secara umum, State of the Art
merujuk pada tingkat perkembangan tertinggi yang telah
dicapai dalam suatu bidang—baik itu perangkat, teknik, maupun bidang
ilmiah—pada suatu waktu tertentu. Ini mencakup semua
penemuan, teori, metode, dan praktik terbaru yang relevan dengan topik
penelitian atau disiplin ilmu tertentu. Istilah ini berasal dari awal abad
ke-20 dalam konteks teknik, di mana 'art' merujuk pada technics atau
keahlian teknis.
Dalam konteks penelitian ilmiah,
SOTA secara spesifik merujuk pada pemahaman peneliti mengenai apa yang sudah
diketahui tentang suatu topik penelitian. Pemahaman ini dibangun terutama
melalui tinjauan literatur (literature review) yang komprehensif. SOTA
dapat diartikan sebagai rancangan penelitian yang terperinci dan menunjukkan
keunikan atau posisi penelitian tersebut dibandingkan dengan
penelitian-penelitian terdahulu. Dengan demikian, SOTA
menjadi landasan atau dasar pijakan bagi sebuah penelitian baru.
B. Identifikasi SOTA dalam
Penelitian Hukum Normatif
Mengidentifikasi SOTA dalam
penelitian hukum normatif adalah proses krusial yang bergantung sepenuhnya pada
studi kepustakaan atau tinjauan literatur yang cermat dan mendalam. Ini
bukan sekadar daftar pustaka, melainkan sebuah analisis
kritis terhadap perkembangan pengetahuan hukum terkait isu yang diteliti.
Sumber-sumber utama yang perlu
ditelaah untuk membangun SOTA dalam penelitian hukum normatif meliputi:
- Peraturan Perundang-undangan Terkini:
Mencakup undang-undang terbaru, peraturan pelaksana, amandemen, dan
peraturan daerah yang relevan dengan topik penelitian. Peneliti harus
memastikan menggunakan versi peraturan yang paling mutakhir.
- Putusan Pengadilan Terbaru (Yurisprudensi):
Terutama putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang membentuk
atau mengubah interpretasi hukum terhadap suatu norma atau isu. Putusan
ini menunjukkan bagaimana hukum diterapkan dan ditafsirkan oleh lembaga
yudikatif.
- Doktrin Hukum Mutakhir: Merujuk pada
pandangan, teori, dan analisis dari para sarjana hukum terkemuka yang
dipublikasikan dalam buku-buku teks terbaru, artikel dalam jurnal hukum
bereputasi (baik nasional maupun internasional ), dan makalah seminar atau
konferensi. Doktrin memberikan kerangka teoretis dan konseptual untuk
memahami isu hukum.
- Hasil Penelitian Hukum Normatif Sebelumnya:
Menelaah skripsi, tesis, disertasi, dan artikel jurnal hasil penelitian
sebelumnya yang memiliki topik serupa atau relevan. Ini membantu peneliti
memahami apa yang telah dikaji, metode apa yang digunakan, dan temuan apa
yang dihasilkan oleh peneliti lain.
Tujuan
utama dari tinjauan pustaka dalam rangka membangun SOTA adalah untuk
mengidentifikasi:
- Perkembangan legislasi dan yurisprudensi terbaru.
- Teori-teori hukum atau doktrin yang dominan dan
relevan.
- Interpretasi hukum yang berlaku saat ini.
- Perdebatan atau diskursus akademis yang sedang
berlangsung terkait isu hukum.
- Posisi hukum (legal standing) saat ini
mengenai permasalahan yang diteliti.
Dengan melakukan tinjauan pustaka
yang komprehensif ini, peneliti dapat memastikan bahwa penelitian yang akan
dilakukannya tidak bersifat duplikatif, menghindari plagiarisme ide, dan tidak
redundan.
C. Fungsi SOTA dalam
Penelitian Hukum Normatif
Membangun SOTA yang solid
memiliki beberapa fungsi penting dalam alur penelitian hukum normatif:
- Menyajikan Perkembangan Terkini: SOTA
memberikan gambaran kepada pembaca (dan peneliti itu sendiri) mengenai kemajuan terbaru dalam bidang hukum yang dikaji.
- Menjadi Dasar Perumusan Masalah: Pemetaan
pengetahuan terkini (SOTA) adalah fondasi esensial untuk dapat mengidentifikasi adanya celah atau masalah (research
gap) yang perlu diteliti lebih lanjut.
- Memposisikan
Penelitian: SOTA membantu
peneliti menempatkan penelitiannya secara tepat dalam konstelasi
pengetahuan hukum yang lebih luas, menunjukkan bagaimana penelitian
tersebut berhubungan dengan karya-karya sebelumnya.
- Menunjukkan Penguasaan Bidang Kajian: Kemampuan
menyajikan SOTA yang komprehensif dan kritis menunjukkan kedalaman
pemahaman peneliti terhadap bidang hukum yang ditekuninya.
- Membangun
Argumentasi Urgensi dan Kebaruan:
Dengan menunjukkan apa yang sudah ada (SOTA) dan apa yang masih kurang
atau belum terjawab (gap), peneliti dapat membangun
argumentasi yang kuat mengenai mengapa penelitiannya penting dan apa
kontribusi baru (novelty) yang ditawarkannya.
D. Implikasi Pemahaman SOTA
dalam Konteks Hukum Normatif
Pemahaman tentang SOTA dalam
penelitian hukum normatif membawa beberapa implikasi yang perlu diperhatikan.
Pertama, SOTA dalam hukum
normatif bersifat dinamis, namun memiliki ritme perubahan yang khas.
Berbeda dengan bidang ilmu eksperimental di mana penemuan baru dapat mengubah
SOTA secara drastis dalam waktu singkat, SOTA dalam
hukum normatif lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan dalam sumber hukum
primernya: legislasi (undang-undang baru atau amandemen) dan putusan
pengadilan penting (terutama yang menciptakan yurisprudensi baru atau mengubah
interpretasi konstitusional). Proses legislasi dan pembentukan yurisprudensi
seringkali membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan siklus publikasi
ilmiah di bidang lain. Meskipun demikian, SOTA hukum tetap dinamis karena
doktrin hukum terus berkembang melalui publikasi akademis dan diskursus para
ahli. Oleh karena itu, meskipun ritmenya mungkin berbeda, pembaruan SOTA melalui tinjauan literatur secara berkala
tetap menjadi keharusan bagi peneliti hukum untuk memastikan relevansi dan
akurasi analisisnya.
Kedua, menetapkan SOTA dalam
hukum normatif membutuhkan kedalaman analisis historis dan doktrinal, tidak
sekadar inventarisasi aturan terbaru. Sekadar mengutip pasal undang-undang
atau putusan pengadilan termutakhir tidaklah cukup untuk membangun SOTA yang
bermakna. Penelitian hukum normatif yang baik melibatkan pemahaman tentang sejarah
perkembangan norma atau lembaga hukum tersebut (menggunakan pendekatan
historis ) dan evolusi pemikiran doktrinal yang melatarbelakanginya.
Mengapa suatu aturan hukum dibuat? Bagaimana konsep hukum tersebut dipahami
oleh para ahli dari waktu ke waktu? Bagaimana interpretasinya berubah dalam
yurisprudensi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini memberikan konteks yang
kaya dan pemahaman yang mendalam, yang menjadi kunci untuk mengidentifikasi research
gap yang signifikan dan merumuskan novelty yang berbobot. Tanpa
kedalaman historis dan doktrinal, pemetaan SOTA akan cenderung dangkal.
III. Research Gap: Menemukan
Celah dalam Bangunan Hukum Normatif
Setelah memetakan SOTA, langkah
logis berikutnya dalam penelitian adalah mengidentifikasi Research Gap
atau kesenjangan penelitian. Research gap inilah yang menjadi
justifikasi atau alasan mengapa sebuah penelitian baru perlu dilakukan.
A. Definisi dan Fungsi
Research Gap
Secara umum, research gap
dapat didefinisikan sebagai celah kosong,
inkonsistensi, kekurangan, area yang belum terjawab, atau pertanyaan yang belum
terpecahkan dalam literatur atau pengetahuan yang ada pada suatu bidang.
Ini merupakan suatu kondisi di mana terdapat perbedaan atau kesenjangan, baik
antara hasil penelitian sebelumnya, antara teori dengan praktik, maupun antara
kondisi ideal yang diharapkan (das Sollen) dengan kenyataan yang terjadi
(das Sein). Dalam konteks penelitian hukum normatif, fokus utama
seringkali pada kesenjangan internal dalam sistem hukum itu sendiri, seperti
antara norma yang satu dengan yang lain, atau antara norma dengan asas hukum
yang melandasinya.
Fungsi utama dari research gap
adalah menjadi titik tolak atau justifikasi fundamental dilakukannya
sebuah penelitian baru. Dengan mengidentifikasi gap, peneliti
menunjukkan bahwa ada 'ruang kosong' dalam pengetahuan atau penyelesaian
masalah hukum yang perlu diisi. Gap ini kemudian mengarahkan peneliti
pada area spesifik di mana kontribusi orisinal (novelty) dapat
dibuat. Menemukan dan merumuskan research gap secara eksplisit juga
penting untuk mencegah penelitian yang bersifat redundan atau sekadar
mengulang apa yang sudah diketahui atau diteliti sebelumnya.
B. Teknik Identifikasi
Kesenjangan dalam Penelitian Hukum Normatif
Identifikasi research gap
dalam penelitian hukum normatif dapat dilakukan melalui beberapa teknik
analisis, yang sebagian besar berfokus pada analisis internal sistem hukum (das
Sollen vs. das Sollen) atau analisis teoritis/doktrinal:
- Analisis Internal Sistem Hukum (Das Sollen
vs. Das Sollen):
- Mengidentifikasi Kekosongan Norma (Normative
Vacuum): Teknik ini melibatkan pencarian terhadap situasi,
perbuatan, atau hubungan hukum yang relevan secara sosial atau faktual, namun belum diatur secara eksplisit atau memadai oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kekosongan ini sering
muncul akibat perkembangan teknologi, sosial, atau ekonomi yang lebih
cepat daripada adaptasi hukum. Contohnya adalah munculnya isu hukum
terkait kecerdasan buatan (AI) atau transaksi aset kripto yang mungkin
belum sepenuhnya tercakup oleh legislasi yang ada.
- Menemukan Konflik Norma (Normative
Conflict/Antinomy): Teknik ini fokus pada identifikasi adanya pertentangan antara dua atau lebih aturan hukum
yang mengatur objek atau isu yang sama. Konflik bisa bersifat
vertikal (misalnya, Peraturan Menteri bertentangan dengan Undang-Undang)
atau horizontal (misalnya, dua Undang-Undang yang setingkat mengatur hal
yang sama secara berbeda). Peneliti kemudian dapat menganalisis konflik
ini menggunakan asas-asas penyelesaian konflik norma (seperti lex
superior derogat legi inferiori, lex specialis derogat legi
generali, lex posterior derogat legi priori).
- Mendeteksi Ambiguitas Norma (Normative
Ambiguity/Vagueness): Teknik ini bertujuan menemukan norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan yang redaksinya tidak jelas, kabur, multitafsir, atau
menggunakan konsep terbuka (open norm) yang memerlukan
penafsiran lebih lanjut. Ambiguitas ini dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum dalam implementasinya dan menjadi celah penelitian untuk menawarkan
interpretasi yang lebih jelas atau konsisten. Contoh klasik adalah makna
frasa seperti "kepentingan umum", "ketertiban umum",
atau "itikad baik".
- Analisis Kesenjangan Implementasi (Implikasi
Normatif): Meskipun berakar pada perbandingan antara aturan (das
Sollen) dan praktik (das Sein) , yang cenderung empiris ,
kesenjangan implementasi dapat memicu penelitian normatif. Pertanyaannya
bergeser dari apa yang terjadi di lapangan menjadi mengapa
aturan tersebut tidak efektif dari sudut pandang norma itu sendiri. Apakah
formulasi normanya lemah? Apakah sanksinya tidak memadai? Apakah aturan
tersebut bertentangan dengan asas hukum lain atau nilai-nilai dalam
masyarakat sehingga sulit ditegakkan? Analisis normatif dapat mengkaji
kelemahan internal aturan yang menyebabkan kesenjangan implementasi.
- Analisis Kesenjangan Teoritis/Doktrinal (Theoretical/Doctrinal
Gap): Fokus pada teori atau doktrin hukum yang ada. Peneliti
mencari adanya kekurangan dalam teori yang ada untuk menjelaskan fenomena
hukum baru, inkonsistensi antar teori atau doktrin, perdebatan akademis
yang belum terselesaikan, atau area di mana teori yang ada belum pernah
diterapkan atau diuji dalam konteks hukum tertentu.
- Analisis Kesenjangan Pengetahuan (Knowledge
Gap): Mengidentifikasi area atau topik hukum tertentu yang secara
umum masih kurang mendapat perhatian penelitian dari perspektif normatif.
Ini bisa berupa bidang hukum yang relatif baru, hukum adat yang jarang
dikaji secara sistematis, atau aspek-aspek spesifik dari suatu regulasi
yang belum pernah dianalisis secara mendalam.
- Analisis Kesenjangan Komparatif: Menemukan
bahwa pendekatan, solusi, atau pengaturan hukum yang diterapkan di negara
lain untuk mengatasi masalah hukum yang serupa belum pernah dikaji
relevansinya, potensi adopsinya, atau perbandingannya dengan konteks hukum
Indonesia. Ini membuka celah untuk melakukan studi perbandingan hukum yang
dapat memberikan wawasan baru bagi sistem hukum nasional.
C. Implikasi Identifikasi
Research Gap
Proses identifikasi research
gap dalam penelitian hukum normatif memiliki beberapa implikasi penting.
Pertama, fokus utama cenderung
pada gap internal sistem hukum. Sejalan dengan karakteristik metodologinya
yang berpusat pada law in books, identifikasi gap dalam
penelitian hukum normatif murni secara alami akan lebih
banyak tertuju pada isu-isu internal sistem hukum itu sendiri, yaitu
kekosongan, konflik, dan ambiguitas norma. Ini merupakan konsekuensi
logis dari penggunaan peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan doktrin
sebagai objek analisis utama. Kesenjangan antara aturan dan praktik (das
Sollen vs das Sein) memang bisa menjadi pemicu, namun analisis
normatifnya akan berkutat pada kelemahan internal aturan tersebut, bukan pada
faktor-faktor sosial penyebab kesenjangan itu sendiri.
Kedua, penemuan gap yang valid
sangat bergantung pada pemetaan SOTA yang akurat. Kemampuan peneliti untuk
mengklaim adanya 'celah' atau 'kekurangan' dalam hukum atau pengetahuan hukum
sangat ditentukan oleh sejauh mana ia telah memahami kondisi pengetahuan
terkini (SOTA). Tanpa pemetaan SOTA yang komprehensif
dan kritis, identifikasi gap bisa jadi keliru, tidak signifikan,
atau bahkan ternyata sudah pernah diteliti oleh orang lain. Oleh karena itu,
kualitas tinjauan literatur menjadi penentu utama kualitas identifikasi research
gap.
Ketiga, research gap
berfungsi sebagai jembatan logis yang vital antara SOTA dan Novelty.
Alur pikir penelitian yang ideal bergerak dari pemetaan kondisi saat ini
(SOTA), kemudian menemukan masalah atau kekurangan dalam kondisi tersebut (Gap),
dan akhirnya menawarkan solusi atau kontribusi baru untuk mengatasi masalah
tersebut (Novelty). Gap adalah justifikasi mengapa novelty
diperlukan; novelty adalah respons terhadap gap yang ditemukan
berdasarkan analisis SOTA. Tanpa gap yang jelas, novelty yang
ditawarkan akan kehilangan konteks dan urgensinya.
IV. Novelty: Menghadirkan
Kebaruan dalam Penelitian Hukum Yuridis Normatif
Setelah SOTA dipetakan dan research
gap diidentifikasi, tujuan akhir dari penelitian ilmiah, termasuk
penelitian hukum yuridis normatif, adalah untuk
menghasilkan Novelty atau kebaruan. Novelty inilah yang
menjadi kontribusi orisinal peneliti terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan hukum.
A. Definisi dan Urgensi
Novelty
Novelty secara harfiah
berarti kebaruan. Dalam konteks penelitian, novelty merujuk pada unsur
keunikan, orisinalitas, atau aspek baru yang membedakan sebuah penelitian dari
karya-karya atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Kebaruan ini tidak
selalu berarti penemuan sesuatu yang sama sekali belum pernah ada, tetapi bisa
juga berupa ide baru, metode analisis yang berbeda, pendekatan yang inovatif,
interpretasi baru terhadap data atau norma yang ada, atau temuan yang menantang
pandangan sebelumnya. Novelty menunjukkan bahwa penelitian tersebut
membawa sesuatu yang belum pernah dijelajahi, dipahami sepenuhnya, atau
disajikan dengan cara demikian sebelumnya.
Urgensi novelty dalam
penelitian sangatlah tinggi. Novelty merupakan salah satu kriteria
utama dalam menilai kualitas, nilai, dan relevansi sebuah penelitian
ilmiah. Penelitian yang memiliki elemen novelty yang kuat dianggap
berpotensi untuk:
- Memajukan batas-batas pengetahuan dalam
bidang hukum.
- Mencegah stagnasi keilmuan dan memastikan
ilmu hukum terus berkembang.
- Memberikan kontribusi orisinal yang
memperkaya khazanah ilmu hukum.
- Memperkuat keandalan pengetahuan baru yang
dihasilkan.
- Menjadi syarat penting untuk publikasi di
jurnal ilmiah bereputasi atau untuk memperoleh pendanaan riset dari
lembaga donor.
Sebaliknya, penelitian yang tidak
memiliki novelty atau kebaruan yang jelas berisiko dianggap tidak
memberikan nilai tambah yang signifikan dan bahkan bisa dianggap sia-sia.
B. Wujud Novelty dalam Kajian
Normatif
Dalam konteks penelitian hukum
yuridis normatif yang fokus pada analisis bahan hukum, novelty dapat
termanifestasi dalam berbagai bentuk, antara lain:
- Interpretasi Baru terhadap Norma: Menawarkan
penafsiran (interpretasi) yang baru, lebih mendalam, atau berbeda terhadap
makna suatu pasal dalam peraturan perundang-undangan, asas hukum, atau
bahkan konsep hukum yang sudah ada. Kebaruan ini muncul dari penggunaan
metode interpretasi hukum (gramatikal, sistematis, historis, teleologis,
komparatif) secara kreatif dan argumentatif, yang menghasilkan pemahaman
baru terhadap teks hukum. Ini bisa berupa penafsiran ulang terhadap suatu
ketentuan berdasarkan perkembangan konteks sosial atau teknologi.
- Pengembangan Konsep Hukum Baru: Merumuskan
atau mengusulkan konsep hukum baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam
sistem hukum, atau memodifikasi dan mengembangkan konsep hukum yang sudah
ada agar lebih sesuai dengan kebutuhan hukum kontemporer. Ini biasanya
didasarkan pada analisis mendalam terhadap asas-asas hukum, teori hukum,
atau kebutuhan praktis yang muncul. Contohnya adalah pengembangan konsep
hukum untuk mengatur fenomena baru seperti smart contracts atau algorithmic
decision-making.
- Kritik terhadap Doktrin atau Yurisprudensi:
Melakukan analisis kritis yang tajam terhadap doktrin hukum yang sudah
mapan (pandangan sarjana dominan) atau terhadap putusan pengadilan
(yurisprudensi) yang dianggap keliru, tidak konsisten, tidak adil, atau
tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Kebaruannya terletak pada
argumentasi kritis yang dibangun dan tawaran alternatif pemikiran atau
solusi yang lebih baik.
- Solusi Hukum Baru untuk Mengisi Kekosongan:
Mengusulkan rumusan norma hukum baru, baik berupa pasal dalam
undang-undang maupun prinsip hukum, untuk mengatasi kekosongan hukum (normative
vacuum) yang telah diidentifikasi sebelumnya. Kebaruannya terletak
pada solusi konkret yang ditawarkan beserta argumentasi yuridis yang
mendukungnya.
- Sistematisasi Hukum yang Baru: Menyusun
ulang atau mengkategorikan suatu bidang hukum atau seperangkat aturan
hukum dengan cara baru yang dianggap lebih logis, koheren, komprehensif,
atau memudahkan pemahaman. Ini bisa melibatkan pengelompokan ulang materi
hukum atau pembuatan kerangka analisis baru.
- Pendekatan Komparatif Inovatif: Menggunakan
metode perbandingan hukum tidak hanya untuk mendeskripsikan perbedaan dan
persamaan antar sistem hukum, tetapi juga untuk secara inovatif memberikan
wawasan baru bagi hukum nasional, mengkritik kelemahan hukum nasional
berdasarkan praktik di negara lain, atau mengusulkan adopsi/adaptasi
solusi hukum asing yang relevan dan sesuai dengan konteks Indonesia.
Kebaruannya terletak pada pemilihan objek perbandingan yang tepat,
kedalaman analisis, dan relevansi kesimpulan bagi hukum Indonesia.
- Aplikasi Teori Hukum pada Konteks Baru:
Menerapkan suatu grand theory atau middle-range theory hukum yang sudah
ada pada bidang hukum spesifik, kasus konkret, atau fenomena hukum baru
yang sebelumnya belum pernah dikaji menggunakan lensa teori tersebut.
Kebaruannya terletak pada kemampuan menunjukkan relevansi dan daya
eksplanasi teori tersebut dalam konteks yang baru.
C. Contoh Ilustratif Novelty
dalam Konteks Hukum Indonesia
Untuk memberikan gambaran yang
lebih konkret, berikut beberapa contoh ilustratif potensi novelty dalam
penelitian hukum yuridis normatif di Indonesia:
- Contoh 1 (Interpretasi Baru): Melakukan
analisis yuridis terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
25/PUU-XIV/2016 yang menghapuskan frasa "dapat" dalam unsur
kerugian negara. Novelty-nya bisa berupa penawaran interpretasi
baru mengenai bagaimana unsur "kerugian negara yang nyata" harus
dibuktikan dalam praktik peradilan pidana korupsi setelah putusan MK
tersebut.
- Contoh 2 (Konsep Baru): Mengembangkan konsep
hukum "tanggung jawab perdata penyelenggara sistem elektronik (platform
provider)" dalam konteks hukum Indonesia. Dengan menganalisis UU
ITE, KUH Perdata (Perikatan dan Perbuatan Melawan Hukum), serta UU
Perlindungan Konsumen, penelitian dapat merumuskan kriteria dan batasan
tanggung jawab platform e-commerce atau media sosial atas kerugian
yang dialami penggunanya, sebuah area yang masih berkembang.
- Contoh 3 (Kritik Doktrin/Yurisprudensi):
Mengkritik penerapan doktrin pembuktian konvensional dalam kasus kekerasan
seksual terhadap anak yang seringkali menyulitkan korban. Novelty-nya
dapat berupa argumentasi yuridis untuk menerapkan standar pembuktian yang
lebih berperspektif korban (misalnya, penguatan nilai keterangan korban
dan saksi anak) berdasarkan analisis terhadap UU Perlindungan Anak, UU
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan prinsip hukum internasional.
- Contoh 4 (Solusi Kekosongan): Menganalisis
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU
PDP) dan mengidentifikasi potensi kekosongan hukum terkait penggunaan data
pribadi oleh sistem Kecerdasan Buatan (AI). Novelty-nya adalah
mengusulkan rumusan norma atau prinsip hukum tambahan (misalnya dalam
bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Lembaga Otoritas PDP) untuk
mengatur transparansi algoritma, akuntabilitas pengambilan keputusan oleh
AI, dan hak individu terkait data pribadi dalam konteks AI.
- Contoh 5 (Komparatif Inovatif): Menganalisis
secara mendalam penerapan prinsip kebaruan (novelty) dalam sengketa
desain industri antara Apple Inc. vs. Samsung Electronics Co. Ltd. di
Amerika Serikat dan membandingkannya dengan ketidakjelasan pengaturan
serta praktik peradilan di Indonesia berdasarkan UU No. 31 Tahun 2000
tentang Desain Industri. Novelty-nya terletak pada identifikasi
standar penilaian kebaruan yang lebih objektif (misalnya, tes ordinary
observer atau significantly different) dan memberikan
rekomendasi konkret untuk amandemen UU Desain Industri Indonesia guna
memberikan kepastian hukum. Contoh lain adalah melakukan analisis
perbandingan mendalam antara sistem hukum waris Islam (Kompilasi Hukum
Islam) dan hukum waris perdata (KUH Perdata) untuk mengidentifikasi
potensi harmonisasi atau solusi atas konflik kewenangan peradilan.
- Contoh 6 (Efektivitas Regulasi - Analisis
Normatif): Melakukan analisis yuridis terhadap Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem
Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Novelty-nya bisa berupa evaluasi
normatif terhadap kekuatan sanksi, kejelasan prosedur pemblokiran,
mekanisme perlindungan data pengguna, dan kesesuaiannya dengan asas-asas
hukum administrasi negara dan hak asasi manusia, untuk menilai efektivitas
potensial peraturan tersebut dari sudut pandang desain normanya,
bukan implementasi faktualnya.
D. Implikasi Pencapaian
Novelty dalam Hukum Normatif
Pencapaian novelty dalam
penelitian hukum normatif membawa implikasi yang signifikan.
Pertama, kebaruan normatif
berakar pada analisis kritis dan kreatif terhadap bahan hukum. Novelty
dalam bidang ini bukanlah sekadar melaporkan isi peraturan atau meringkas
putusan pengadilan. Ia adalah produk dari kemampuan
intelektual peneliti untuk melakukan analisis yang mendalam, kritis, dan
seringkali kreatif terhadap bahan-bahan hukum yang ada. Ini melibatkan
penguasaan teknik interpretasi hukum, kemampuan membangun argumentasi yuridis
yang logis dan koheren, serta kapasitas untuk melakukan sintesis dari berbagai
sumber hukum dan doktrin. Bentuk-bentuk novelty seperti interpretasi
baru, kritik doktrin, atau pengembangan konsep baru, semuanya menuntut proses
berpikir analitis dan evaluatif tingkat tinggi, bukan sekadar deskripsi pasif.
Kedua, validitas novelty
ditentukan oleh kekuatan argumentasi yuridisnya. Klaim kebaruan dalam
penelitian hukum normatif harus selalu didukung dan
dibuktikan melalui argumentasi yuridis yang kokoh, logis, dan berbasis pada
sumber-sumber hukum primer dan sekunder yang diakui dalam disiplin ilmu hukum.
Kebaruan tidak dapat berdiri sendiri hanya sebagai sebuah ide; ia harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam kerangka sistem hukum dan metodologi
hukum normatif. Argumentasi yang merujuk kembali pada pasal-pasal relevan,
putusan pengadilan sebelumnya, asas hukum, dan doktrin yang mapan akan
memberikan bobot dan kredibilitas pada klaim novelty tersebut di mata
komunitas ilmiah hukum. Tanpa landasan argumentasi yuridis yang kuat, sebuah
ide 'baru' mungkin hanya akan dianggap sebagai opini atau spekulasi belaka.
Ketiga, meskipun seringkali
bersifat teoritis atau doktrinal, novelty dalam penelitian hukum
normatif memiliki potensi dampak praktis yang signifikan. Hasil penelitian
normatif yang menawarkan interpretasi baru, kritik yang membangun terhadap
yurisprudensi, atau usulan solusi hukum yang inovatif dapat diadopsi atau
setidaknya mempengaruhi cara berpikir para pembuat kebijakan (legislator),
penegak hukum (hakim, jaksa, polisi), advokat, dan masyarakat hukum pada
umumnya. Jika novelty tersebut berhasil meyakinkan dan dianggap relevan,
ia dapat berkontribusi pada perubahan atau penyempurnaan peraturan
perundang-undangan, evolusi yurisprudensi, atau perbaikan praktik hukum di
lapangan. Contoh analisis normatif terhadap ambiguitas prinsip kebaruan dalam
UU Desain Industri yang berujung pada rekomendasi amandemen UU menunjukkan
potensi hubungan antara kajian normatif dan perubahan hukum positif.
V. Sintesis: Keterkaitan Erat
antara State of the Art, Research Gap, dan Novelty
Ketiga konsep kunci—State of the
Art (SOTA), Research Gap, dan Novelty—tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka membentuk suatu rangkaian logis yang saling terkait erat dan
menjadi tulang punggung dari proses penelitian hukum yuridis normatif yang
sistematis dan berkualitas.
A. Alur Logis Penelitian Hukum
Normatif
Proses penelitian hukum normatif
yang ideal mengikuti alur logis sebagai berikut:
- SOTA sebagai Titik Awal: Setiap penelitian
dimulai dengan pemetaan yang cermat dan komprehensif terhadap pengetahuan
hukum yang sudah ada terkait topik yang dipilih. Ini mencakup penelusuran
dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan
(yurisprudensi), doktrin hukum, dan hasil penelitian sebelumnya yang
relevan. Tahap inilah yang disebut sebagai pembentukan State of the Art
(SOTA). SOTA memberikan gambaran tentang apa yang sudah diketahui, teori
apa yang dominan, dan bagaimana isu hukum tersebut dipahami saat ini.
- Identifikasi Gap dari SOTA: Berdasarkan
pemetaan SOTA yang mendalam, peneliti kemudian melakukan analisis kritis
untuk mengidentifikasi adanya celah, masalah, inkonsistensi, ambiguitas,
kekosongan, atau area yang belum terjamah dalam pengetahuan atau
pengaturan hukum yang ada. Inilah tahap identifikasi Research Gap. Gap
ini muncul karena analisis terhadap SOTA menunjukkan adanya
kekurangan, pertanyaan yang belum terjawab, atau potensi perbaikan dalam
sistem hukum atau pemahaman doktrinal.
- Novelty sebagai Jawaban: Setelah research
gap teridentifikasi dengan jelas, tujuan utama penelitian adalah untuk
mengisi gap tersebut dengan menawarkan suatu kontribusi yang
orisinal dan baru. Inilah yang disebut sebagai Novelty. Novelty
merupakan respons intelektual peneliti terhadap gap yang ditemukan,
yang bertujuan untuk memberikan solusi, klarifikasi, pemahaman baru, atau
pengembangan lebih lanjut berdasarkan analisis yuridis normatif.
B. Bagaimana Novelty Menjawab
Kesenjangan Berdasarkan State of the Art
Keterkaitan fungsional antara
ketiga elemen ini dapat diilustrasikan lebih lanjut:
- Ketika SOTA (misalnya, analisis terhadap berbagai
UU dan yurisprudensi terkait kontrak elektronik) menunjukkan adanya Gap
berupa ambiguitas mengenai syarat sahnya tanda tangan elektronik dalam
konteks tertentu, maka Novelty penelitian dapat berupa tawaran
interpretasi baru terhadap pasal-pasal relevan dalam UU ITE untuk
memberikan kepastian hukum.
- Ketika SOTA (misalnya, tinjauan literatur doktrinal
dan peraturan perundang-undangan) mengungkapkan adanya Gap berupa
kekosongan norma hukum yang mengatur aspek hukum fintech peer-to-peer
lending syariah secara spesifik, maka Novelty dapat berupa
usulan konsep atau kerangka pengaturan hukum baru untuk mengisi kekosongan
tersebut.
- Ketika SOTA (misalnya, analisis terhadap
teori-teori pemidanaan dan yurisprudensi) mengidentifikasi adanya Gap
berupa inkonsistensi atau ketidaksesuaian penerapan teori tujuan
pemidanaan dalam putusan-putusan kasus korupsi, maka Novelty dapat
berupa kritik terhadap doktrin atau praktik yang ada dan usulan pendekatan
pemidanaan yang lebih koheren.
- Ketika SOTA (misalnya, pemetaan hukum nasional
mengenai perlindungan saksi) menunjukkan adanya Gap berupa
kurangnya mekanisme perlindungan yang efektif dibandingkan praktik di
negara lain, maka Novelty dapat berupa hasil studi komparatif yang
inovatif dan rekomendasi adopsi mekanisme perlindungan saksi dari sistem
hukum lain yang relevan.
Dalam setiap contoh, Novelty
secara langsung merespons Gap yang teridentifikasi, dan identifikasi Gap
itu sendiri dimungkinkan oleh pemetaan SOTA yang cermat.
C. Implikasi Keterkaitan SOTA,
Gap, dan Novelty
Pemahaman akan keterkaitan erat
antara SOTA, Gap, dan Novelty membawa beberapa implikasi penting
bagi peneliti hukum normatif.
Pertama, ketiga konsep ini
menunjukkan interdependensi yang ketat dan tidak terpisahkan dalam
menghasilkan penelitian yang berkualitas. SOTA menyediakan fondasi pengetahuan,
Gap memberikan justifikasi dan arah penelitian, sementara Novelty
merupakan kontribusi substantif yang dihasilkan. Sebuah penelitian yang kuat
harus mampu menunjukkan ketiga elemen ini secara jelas dan meyakinkan. Novelty
yang ditawarkan tanpa didasarkan pada pemahaman SOTA yang baik dan tanpa
menjawab research gap yang jelas akan kehilangan signifikansi
akademisnya. Sebaliknya, pemetaan SOTA yang luas tanpa mengarah pada
identifikasi gap dan tawaran novelty hanya akan menjadi sebuah
tinjauan pustaka biasa, bukan penelitian yang utuh.
Kedua, proses
penentuan SOTA, identifikasi Gap, dan perumusan Novelty
seringkali bersifat iteratif, bukan linear kaku. Seorang peneliti
mungkin memulai dengan sebuah ide novelty awal atau ketertarikan pada
suatu topik. Namun, ketika ia mulai melakukan tinjauan literatur untuk
membangun SOTA, ia mungkin menemukan bahwa ide awalnya
tidak sepenuhnya baru, atau gap yang ia duga ada ternyata sudah banyak
dibahas, atau justru ia menemukan gap lain yang lebih menarik dan
signifikan. Temuan ini kemudian dapat mengarahkan peneliti untuk
menyempurnakan, memodifikasi, atau bahkan mengubah fokus novelty dan gap
penelitiannya. Proses bolak-balik antara meninjau SOTA, mengklarifikasi Gap,
dan merumuskan Novelty ini bisa terjadi beberapa kali hingga tercapai
keselarasan logis dan kontribusi orisinal yang benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan. Fleksibilitas dan kemauan untuk merevisi berdasarkan
temuan literatur menjadi kunci dalam proses iteratif ini.
VI. Kesimpulan
Pemahaman yang mendalam dan
penerapan yang tepat terhadap konsep State of the Art (SOTA), Research
Gap, dan Novelty merupakan prasyarat esensial untuk menghasilkan
penelitian hukum yuridis normatif yang berkualitas, relevan, dan berdampak di
Indonesia. Ketiga konsep ini membentuk satu kesatuan logis yang tidak
terpisahkan dalam alur penelitian ilmiah di bidang hukum.
- State of the Art berfungsi sebagai
fondasi, yang dibangun melalui tinjauan pustaka komprehensif terhadap
sumber-sumber hukum primer (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi)
dan sekunder (doktrin, hasil penelitian sebelumnya). SOTA memetakan
pengetahuan hukum terkini, teori dominan, interpretasi yang berlaku, dan
perdebatan akademis yang relevan dengan topik penelitian.
- Research Gap adalah celah, masalah,
inkonsistensi, kekosongan, atau ambiguitas yang teridentifikasi dari
analisis kritis terhadap SOTA. Dalam konteks hukum normatif, gap
ini seringkali berupa persoalan internal sistem hukum (kekosongan,
konflik, ambiguitas norma), kesenjangan teoritis/doktrinal, atau area
pengetahuan hukum yang belum terjamah. Identifikasi gap yang jelas
menjadi justifikasi dilakukannya penelitian baru.
- Novelty merupakan kontribusi orisinal
yang ditawarkan oleh peneliti untuk mengisi research gap yang telah
ditemukan. Dalam penelitian hukum normatif, novelty dapat berwujud
interpretasi baru terhadap norma, pengembangan konsep hukum baru, kritik
terhadap doktrin atau yurisprudensi, usulan solusi hukum untuk mengisi
kekosongan, sistematisasi hukum yang inovatif, atau pendekatan komparatif
yang memberikan wawasan baru. Novelty harus didukung oleh
argumentasi yuridis yang kuat dan logis.
Bagi mahasiswa hukum, akademisi,
dan praktisi yang melakukan penelitian hukum yuridis normatif, penguasaan
terhadap ketiga konsep ini menjadi sangat penting. Kemampuan untuk melakukan
tinjauan pustaka yang cermat guna membangun SOTA yang akurat, mengidentifikasi research
gap yang signifikan dan relevan, serta merumuskan novelty yang
argumentatif dan memberikan kontribusi nyata pada pengembangan ilmu hukum
merupakan kunci keberhasilan penelitian. Kualitas sebuah karya ilmiah hukum
normatif pada akhirnya sangat bergantung pada sejauh mana peneliti mampu
menavigasi dan mendemonstrasikan keterkaitan erat antara SOTA, Research Gap,
dan Novelty dalam penelitiannya. Dengan demikian, pemahaman ini tidak
hanya bersifat teoretis, tetapi juga menjadi panduan praktis dalam merancang
dan melaksanakan penelitian hukum yang bermutu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar