Selasa, 13 Mei 2025

Konsep Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Pidana Indonesia

I. Konsep Fundamental Perbuatan Melawan Hukum dalam Ranah Pidana

Perbuatan melawan hukum (PMH) merupakan salah satu pilar esensial dalam arsitektur hukum pidana Indonesia. Keberadaannya berfungsi sebagai filter krusial dalam menentukan apakah suatu tindakan, sekalipun telah memenuhi rumusan formal suatu delik (tindak pidana) sebagaimana tercantum dalam undang-undang, dapat dijatuhi sanksi pidana. Tanpa adanya sifat melawan hukum, pemidanaan terhadap suatu perbuatan akan kehilangan legitimasi moral dan yuridisnya. Hal ini menggarisbawahi signifikansi PMH, bukan hanya sebagai elemen teknis, melainkan sebagai benteng keadilan yang melindungi individu dari potensi kesewenang-wenangan penerapan hukum.  

Penting untuk dicatat bahwa konsep PMH dalam hukum pidana memiliki perbedaan fundamental dengan PMH dalam ranah hukum perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Meskipun keduanya berbagi akar historis dan terminologi, serta perkembangan di satu bidang dapat mempengaruhi bidang lainnya, orientasi dan konsekuensi hukumnya berbeda secara signifikan. PMH dalam hukum pidana berfokus pada perlindungan kepentingan publik, penegakan norma-norma sosial yang fundamental, dan penjatuhan sanksi pidana yang bersifat publik dan bertujuan memberikan efek jera, rehabilitasi, atau restorasi. Sebaliknya, PMH dalam hukum perdata lebih menitikberatkan pada kerugian yang bersifat privat atau individual dan bertujuan untuk memberikan kompensasi atau ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan. Dualitas fungsi PMH ini mencerminkan kompleksitas interaksi sosial dan kebutuhan sistem hukum untuk menyediakan berbagai mekanisme kontrol perilaku serta penyelesaian sengketa. Evolusi historis, terutama pengaruh putusan Lindebaum-Cohen dalam memperluas makna PMH perdata, secara tidak langsung turut memperkaya diskursus mengenai PMH dalam hukum pidana, menunjukkan bahwa konsep hukum tidak berkembang dalam ruang hampa melainkan merespons kebutuhan masyarakat akan keadilan dalam berbagai dimensinya.  

Lebih lanjut, penekanan pada PMH sebagai unsur mutlak dari suatu tindak pidana dapat dipandang sebagai manifestasi dari prinsip nullum crimen sine iniuria (tiada delik tanpa adanya sifat melawan hukum atau pelanggaran terhadap suatu hak). Prinsip ini berfungsi sebagai pelengkap esensial dari asas legalitas formal (nullum crimen, nulla poena sine praevia lege poenali). Jika asas legalitas mencegah pemidanaan atas perbuatan yang tidak secara eksplisit dilarang oleh undang-undang, maka keharusan adanya sifat melawan hukum memastikan bahwa perbuatan yang telah diatur dalam undang-undang tersebut memang layak untuk dipidana karena secara substantif melanggar norma atau kepentingan hukum yang lebih fundamental. Dengan demikian, PMH menjadi lapisan perlindungan tambahan bagi warga negara, memastikan bahwa intervensi negara melalui hukum pidana hanya dilakukan terhadap perbuatan-perbuatan yang memang secara hakiki bertentangan dengan tatanan hukum dan rasa keadilan masyarakat.  

II. Evolusi Historis dan Konseptual Perbuatan Melawan Hukum di Indonesia

Pemahaman mengenai konsep perbuatan melawan hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari warisan sistem hukum Belanda. Sebelum tahun 1919, Hoge Raad, selaku Mahkamah Agung pada masa Hindia Belanda, menganut interpretasi yang sempit terhadap istilah onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum). Dalam pandangan ini, suatu perbuatan dianggap melawan hukum hanya jika secara eksplisit bertentangan dengan hak subjektif orang lain yang timbul dari undang-undang, atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku sendiri yang juga bersumber dari undang-undang. Pendekatan ini sangat legistis dan formalistik, membatasi ruang lingkup PMH hanya pada pelanggaran terhadap hukum tertulis.  

Titik balik signifikan terjadi dengan lahirnya putusan Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara ikonik Lindebaum lawan Cohen. Meskipun kasus ini berada dalam ranah hukum perdata, dampaknya meluas dan turut mempengaruhi pemahaman konsep PMH secara umum, termasuk dalam konteks hukum pidana. Putusan ini secara revolusioner memperluas pengertian onrechtmatige daad, tidak lagi terbatas pada pelanggaran undang-undang semata, tetapi juga mencakup perbuatan atau kealpaan yang:

  1. Bertentangan dengan hak orang lain (pelanggaran hak subjektif).
  2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (pelanggaran kewajiban yuridis).
  3. Bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden).
  4. Bertentangan dengan kepatutan atau kecermatan yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau barang orang lain (zorgvuldigheid die in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van eens anders persoon of goed).  

Perkembangan ini menandai pergeseran paradigmatik dari pandangan yang semata-mata mengandalkan hukum tertulis sebagai satu-satunya sumber keabsahan, menuju pengakuan yang lebih luas terhadap norma-norma tidak tertulis seperti kesusilaan dan kepatutan masyarakat sebagai tolok ukur sifat melawan hukum suatu perbuatan. Perluasan konsep PMH melalui yurisprudensi, sebagaimana dicontohkan oleh kasus Lindebaum-Cohen, menunjukkan peran aktif peradilan dalam pengembangan hukum (judge-made law). Hal ini mengindikasikan bahwa bahkan dalam sistem hukum civil law yang cenderung mengutamakan kodifikasi, kekakuan undang-undang dapat diatasi melalui interpretasi yudisial yang progresif dan dinamis, sehingga hukum mampu merespons perubahan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat. Namun, hal ini juga memunculkan diskursus mengenai batas antara interpretasi dan pembentukan hukum baru oleh hakim, sebuah isu yang sensitif terutama dalam hukum pidana yang sangat terikat pada asas legalitas.

Lebih jauh, pengaruh perkembangan konsep PMH dalam hukum perdata terhadap pemahaman PMH dalam hukum pidana menandakan adanya interkonektivitas antar konsep hukum dan permeabilitas batas-batas antar disiplin ilmu hukum. Kebutuhan untuk mendefinisikan apa yang "melawan hukum" bersifat universal dalam sistem hukum, dan perkembangan di satu area dapat menginspirasi atau bahkan memaksa penyesuaian di area lainnya. Ini mengisyaratkan bahwa pemahaman hukum pidana tidak dapat sepenuhnya terisolasi dari pemahaman asas-asas umum hukum yang lebih luas.

III. Unsur-Unsur Esensial Perbuatan Melawan Hukum dalam Tindak Pidana

Untuk memahami secara komprehensif konsep perbuatan melawan hukum dalam konteks pidana, penting untuk mengidentifikasi unsur-unsur esensial yang membentuknya. Meskipun seringkali dirujuk dari Pasal 1365 KUH Perdata untuk pemahaman dasar, yang menyebutkan adanya perbuatan, sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut, adanya kesalahan, timbulnya kerugian, dan hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian, hukum pidana memiliki penekanan dan nuansa tersendiri.  

Dalam doktrin hukum pidana Indonesia, beberapa ahli terkemuka telah merumuskan unsur-unsur tindak pidana yang relevan dengan pembahasan PMH. Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana meliputi: (a) adanya perbuatan; (b) keadaan yang menyertai perbuatan; (c) keadaan tambahan yang memberatkan pidana; (d) unsur melawan hukum yang objektif; dan (e) unsur melawan hukum yang subjektif. Sementara itu, R. Soesilo, sebagaimana dirangkum dalam berbagai literatur, mengemukakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah: (1) adanya perbuatan manusia (actus reus); (2) perbuatan tersebut bersifat melawan hukum (wederrechtelijk); dan (3) tidak adanya alasan pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut.  

Unsur "perbuatan" dalam hukum pidana memiliki cakupan yang luas, dapat berupa tindakan aktif melakukan sesuatu yang dilarang (commissie delict) maupun tindakan pasif berupa tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh hukum (ommissie delict). Selanjutnya, unsur "kesalahan" (schuld) merupakan elemen krusial yang menunjukkan sikap batin pelaku terhadap perbuatannya. Kesalahan ini dapat terwujud dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) maupun kelalaian atau kealpaan (culpa).  

Meskipun terdapat variasi dalam perumusan oleh para ahli, terdapat konsistensi inti mengenai elemen perbuatan, sifat melawan hukum, dan kesalahan sebagai pilar-pilar fundamental yang harus terpenuhi agar suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan pelakunya dapat dipertanggungjawabkan. Perbedaan penekanan, seperti pemisahan antara unsur melawan hukum objektif dan subjektif oleh Moeljatno, lebih merupakan variasi dalam pendekatan analitis daripada perbedaan substansial yang mendasar. Hal ini menunjukkan adanya kerangka konseptual yang relatif mapan dalam doktrin hukum pidana Indonesia mengenai komponen-komponen yang menjadikan suatu perbuatan dapat dipidana.

Pembedaan yang dikemukakan oleh Moeljatno antara unsur melawan hukum objektif (yang berkaitan dengan sifat terlarangnya perbuatan itu sendiri, terlepas dari sikap batin pelaku) dan unsur melawan hukum subjektif (yang berkaitan dengan niat atau sikap batin pelaku, seperti adanya niat jahat dalam kasus pencurian sebagaimana Pasal 362 KUHP) menjadi jembatan penting untuk memahami keterkaitan erat antara konsep PMH dengan konsep kesalahan (schuld). Ini mengindikasikan bahwa sifat melawan hukum suatu perbuatan tidak hanya dinilai dari aspek lahiriah atau formalnya saja, tetapi juga dari dimensi internal pelaku. Implikasinya, pembuktian sifat melawan hukum seringkali tidak dapat dipisahkan dari pembuktian adanya kesalahan pada diri pelaku, yang akan dibahas lebih lanjut dalam konteks teori monistis dan dualistis.  

IV. Dimensi Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijkheid)

Sifat melawan hukum, atau wederrechtelijkheid dalam terminologi Belanda, merupakan konsep sentral dalam hukum pidana yang memiliki berbagai dimensi dan interpretasi. Pemahaman terhadap dimensi-dimensi ini krusial untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

A. Sifat Melawan Hukum Formil (Formele Wederrechtelijkheid)

Ajaran sifat melawan hukum formil mendefinisikan perbuatan sebagai melawan hukum apabila perbuatan tersebut secara eksplisit melanggar peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis. Menurut pandangan ini, suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana jika telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan delik sebagaimana diatur dalam undang-undang. Konsekuensinya, sifat melawan hukum suatu perbuatan hanya dapat dihapuskan atau ditiadakan berdasarkan ketentuan yang juga terdapat dalam undang-undang, misalnya melalui alasan pembenar yang diatur secara limitatif dalam KUHP.  

Ajaran ini sangat menekankan asas legalitas (nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali) dan kepastian hukum. Dengan mendasarkan sifat melawan hukum semata-mata pada hukum tertulis, ajaran formil memberikan batasan yang jelas dan terukur bagi aparat penegak hukum dan masyarakat mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan diancam dengan pidana. Hal ini sejalan dengan prinsip fundamental bahwa tidak ada pidana tanpa didasari oleh undang-undang yang telah ada sebelumnya. Implikasi dari pendekatan ini adalah terciptanya perlindungan terhadap potensi kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum. Namun, di sisi lain, kekakuan ajaran formil dapat menjadi kelemahan jika terdapat perbuatan-perbuatan yang secara nyata tercela dan merugikan masyarakat namun belum atau tidak diatur secara spesifik dalam undang-undang.

B. Sifat Melawan Hukum Materiil (Materiƫle Wederrechtelijkheid)

Berbeda dengan pandangan formil, ajaran sifat melawan hukum materiil memperluas cakupan penilaian. Suatu perbuatan dianggap melawan hukum secara materiil tidak hanya jika bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis), tetapi juga jika bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, kepatutan, atau norma-norma sosial yang hidup dan diakui dalam masyarakat (hukum tidak tertulis). Ini mencakup pertentangan dengan asas-asas hukum umum yang tidak tertulis atau rasa keadilan masyarakat.  

Sifat melawan hukum materiil ini memiliki dua fungsi utama:

  1. Fungsi Negatif: Dalam fungsi negatifnya, sifat melawan hukum materiil dapat bertindak sebagai alasan penghapus pidana di luar undang-undang. Artinya, meskipun suatu perbuatan secara formal telah memenuhi seluruh unsur rumusan delik dalam undang-undang (dan karenanya melawan hukum secara formil), perbuatan tersebut dapat dianggap tidak bersifat melawan hukum secara materiil jika tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat atau norma-norma tidak tertulis yang berlaku. Akibatnya, pelaku tidak dipidana. Contoh klasik yang sering dirujuk untuk menggambarkan fungsi negatif ini adalah Arrest Dokter Hewan Huizen di Belanda, di mana seorang dokter hewan yang melanggar peraturan demi mencegah penyebaran wabah penyakit yang lebih luas pada akhirnya tidak dipidana karena perbuatannya dianggap tidak bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan. Di Indonesia, yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 42 K/Kr/1965 dalam perkara Machroes Effendi juga diinterpretasikan sebagai penganut fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif ini menjadi upaya untuk mencapai keadilan substantif, mengatasi potensi kekakuan dan ketidakadilan yang mungkin timbul dari penerapan hukum formil secara kaku. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak semata-mata tentang penerapan teks undang-undang secara buta, melainkan juga tentang pencapaian keadilan yang dirasakan dan diakui oleh masyarakat. Implikasinya adalah adanya fleksibilitas dalam penegakan hukum, namun di sisi lain juga memunculkan potensi ketidakpastian jika batasan-batasannya tidak dirumuskan dengan jelas.  
  2. Fungsi Positif: Dalam fungsi positifnya, sifat melawan hukum materiil memungkinkan suatu perbuatan untuk dipidana meskipun perbuatan tersebut tidak secara eksplisit diatur atau dilarang dalam undang-undang. Pemidanaan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perbuatan tersebut dianggap sangat tercela dan bertentangan dengan rasa keadilan atau norma-norma fundamental yang hidup dalam masyarakat. Namun, penerapan fungsi positif ini sangat kontroversial dan menuai banyak kritik karena dianggap berpotensi besar melanggar asas legalitas formal yang mensyaratkan adanya hukum tertulis sebelum suatu perbuatan dapat dipidana (lex scripta, lex certa, lex stricta). Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 572 K/Pid/2003 menunjukkan adanya upaya penerapan fungsi positif ini, namun putusan tersebut juga mendapat kritik tajam. Kontroversi seputar fungsi positif ini mencerminkan ketegangan fundamental dalam filsafat hukum pidana, yaitu antara upaya mencapai kepastian hukum (yang dilindungi oleh asas legalitas) dan upaya mencapai keadilan atau fleksibilitas hukum dalam merespons dinamika sosial. Jika perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang dapat dipidana hanya berdasarkan "rasa keadilan masyarakat" yang cenderung subjektif dan tidak terukur, hal ini membuka pintu bagi interpretasi yang sewenang-wenang dan mengancam jaminan hak asasi individu.  

C. Sifat Melawan Hukum Umum dan Khusus

Selain pembedaan antara formil dan materiil, sifat melawan hukum juga dapat dibedakan menjadi sifat melawan hukum umum dan khusus:

  1. Sifat Melawan Hukum Umum: Ini merupakan syarat umum atau elemen inheren yang harus ada pada setiap perbuatan agar dapat dipidana. Esensinya, suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila ia tidak bersifat melawan hukum secara umum, meskipun mungkin memenuhi unsur-unsur lain dalam rumusan delik. Sifat melawan hukum umum ini dianggap melekat pada setiap tindak pidana, bahkan jika kata "melawan hukum" tidak dicantumkan secara eksplisit dalam pasal yang bersangkutan. Putusan Mahkamah Agung RI No. 30K/Kr/1969 secara tegas mengafirmasi pandangan ini, menyatakan bahwa dalam setiap tindak pidana selalu terkandung unsur sifat melawan hukum dari perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan.  
  2. Sifat Melawan Hukum Khusus: Dalam konteks ini, kata "melawan hukum" (wederrechtelijk) atau frasa lain yang semakna (misalnya "tanpa hak", "tanpa izin") dicantumkan secara tegas dan eksplisit dalam rumusan delik tertentu di dalam undang-undang. Contoh yang paling sering dikutip adalah Pasal 362 KUHP tentang pencurian, yang merumuskan "...dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum". Pencantuman secara eksplisit ini memiliki konsekuensi penting, yaitu memberikan beban pembuktian kepada penuntut umum untuk secara spesifik membuktikan bahwa unsur "melawan hukum" tersebut memang terpenuhi dalam perbuatan terdakwa. Pembedaan ini memiliki implikasi signifikan dalam praktik peradilan, terutama terkait dengan strategi pembuktian. Jika "melawan hukum" dicantumkan secara khusus, jaksa penuntut umum wajib membuktikannya sebagai salah satu unsur delik yang harus terpenuhi. Sebaliknya, jika bersifat umum (implisit), maka sifat melawan hukum dianggap ada kecuali terdapat alasan pembenar yang diajukan dan dapat dibuktikan oleh pihak terdakwa. Lebih lanjut, pencantuman unsur "melawan hukum" secara khusus dalam beberapa rumusan delik seringkali bertujuan untuk membatasi ruang lingkup penerapan pasal agar tidak menjadi terlalu luas, atau untuk melindungi perbuatan-perbuatan yang dalam konteks tertentu mungkin sah atau dibenarkan. Misalnya, dalam kasus pencurian, frasa "dimiliki secara melawan hukum" penting untuk membedakan antara pengambilan barang yang bersifat kriminal dengan pengambilan barang yang didasari oleh hak atau kewenangan tertentu. Ini menunjukkan fungsi "melawan hukum" sebagai katup pengaman dalam perumusan delik.  

V. Relasi Antara Sifat Melawan Hukum dan Kesalahan (Schuld)

Dalam konstruksi hukum pidana, sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) merupakan dua pilar utama yang menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan apakah pelakunya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Hubungan antara kedua konsep ini telah menjadi subjek perdebatan panjang dalam doktrin hukum pidana, yang melahirkan dua teori utama: teori monistis dan teori dualistis.  

Teori Monistis berpandangan bahwa sifat melawan hukum dan kesalahan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan keduanya adalah unsur-unsur dari tindak pidana (strafbaar feit) itu sendiri. Dalam perspektif ini, kesalahan dianggap melekat secara inheren pada tindak pidana. Artinya, untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, kedua unsur ini harus terpenuhi secara simultan dalam perbuatan tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, warisan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-IndiĆ«, secara umum dianggap menganut atau setidaknya lebih condong pada teori monistis ini. Para ahli hukum pidana terkemuka yang sering diasosiasikan dengan pandangan monistis antara lain adalah Van Hamel, Simons, Vos, dan Utrecht.  

Sebaliknya, Teori Dualistis mengajukan pemisahan yang tegas antara perbuatan pidana (yang unsurnya adalah sifat melawan hukum) dengan pertanggungjawaban pidana (yang dasarnya adalah kesalahan). Menurut teori ini, sifat melawan hukum adalah karakteristik dari perbuatannya (actus reus), yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh hukum. Sementara itu, kesalahan (mens rea) adalah kondisi psikis atau sikap batin pelaku yang menjadi dasar untuk dapat atau tidaknya ia dipertanggungjawabkan atas perbuatan melawan hukum yang telah dilakukannya. Beberapa pakar hukum pidana terkemuka di Indonesia, seperti Moeljatno, Roeslan Saleh, dan Barda Nawawi Arief, dikenal sebagai pendukung teori dualistis. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang kini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (selanjutnya disebut KUHP Baru), menunjukkan kecenderungan yang lebih kuat untuk mengadopsi teori dualistis.  

Perbedaan antara teori monistis dan dualistis bukan sekadar perdebatan akademis yang bersifat teoretis, melainkan memiliki implikasi praktis yang signifikan dalam perumusan undang-undang pidana, proses pembuktian di pengadilan, dan pada akhirnya dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Teori dualistis, dengan memisahkan secara jelas antara aspek perbuatan (objektif) dan aspek pertanggungjawaban (subjektif), memungkinkan dilakukannya analisis yang lebih jernih dan terstruktur terhadap masing-masing elemen. Sebagai contoh, dalam kerangka dualistis, suatu perbuatan bisa saja terbukti memenuhi unsur-unsur delik dan bersifat melawan hukum, namun pelakunya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena tidak adanya unsur kesalahan (misalnya, karena pelaku tidak waras atau berada di bawah paksaan absolut). Kecenderungan KUHP Baru untuk lebih mengakomodasi pandangan dualistis dapat dilihat sebagai upaya untuk memperjelas struktur pertanggungjawaban pidana dalam sistem hukum pidana nasional, sejalan dengan perkembangan pemikiran hukum pidana modern.  

Meskipun KUHP lama secara umum lebih condong ke arah teori monistis, praktik peradilan dan perkembangan doktrin hukum pidana di Indonesia selama beberapa dekade terakhir menunjukkan adanya pergeseran atau setidaknya penerimaan terhadap elemen-elemen yang lebih bersifat dualistis. Pandangan para ahli hukum pidana Indonesia yang berpengaruh, seperti Moeljatno, yang secara konsisten mendukung teori dualistis, turut memberikan kontribusi signifikan terhadap evolusi pemikiran ini. Puncak dari perkembangan ini adalah adopsi kerangka yang lebih jelas dan sistematis yang mencerminkan prinsip-prinsip dualisme dalam KUHP Baru, yang diharapkan dapat memberikan landasan yang lebih kokoh bagi penentuan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana di masa mendatang.

VI. Dasar Peniadaan Sifat Melawan Hukum dan Kemampuan Dipertanggungjawabkan Pidana

Dalam sistem hukum pidana, tidak semua perbuatan yang memenuhi rumusan delik secara otomatis mengakibatkan pemidanaan terhadap pelakunya. Terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat meniadakan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut atau meniadakan kesalahan (kemampuan untuk dipertanggungjawabkan) dari si pelaku. Keadaan-keadaan ini dikelompokkan menjadi alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden).

A. Alasan Pembenar (Rechtvaardigingsgronden)

Alasan pembenar adalah alasan-alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Dengan adanya alasan pembenar, perbuatan yang semula tampak sebagai tindak pidana karena memenuhi rumusan delik, menjadi perbuatan yang patut, benar, dan dibenarkan oleh hukum. Akibatnya, pelaku tidak dapat dipidana karena perbuatannya tidak lagi dianggap melawan hukum. Fokus dari alasan pembenar terletak pada aspek objektif perbuatan itu sendiri, bukan pada kondisi subjektif pelaku. Artinya, dalam situasi dan kondisi tertentu, hukum atau masyarakat membenarkan dilakukannya perbuatan tersebut.  

Dalam KUHP lama (WvS), beberapa contoh alasan pembenar yang diatur secara eksplisit meliputi:

  1. Daya Paksa dalam arti Keadaan Darurat (Noodtoestand): Sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP, di mana seseorang melakukan perbuatan pidana karena terdorong oleh suatu keadaan darurat yang memaksanya untuk memilih antara dua kepentingan hukum yang harus dilindungi, atau antara suatu kewajiban hukum dengan kepentingan hukum.  
  2. Pembelaan Terpaksa (Noodweer): Diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, yaitu perbuatan yang dilakukan karena terpaksa untuk membela diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, dari serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan bersifat seketika atau sangat dekat.  
  3. Menjalankan Perintah Undang-Undang (Wettelijk Voorschrift): Diatur dalam Pasal 50 KUHP, di mana seseorang melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang.  
  4. Menjalankan Perintah Jabatan yang Sah (Ambtelijk Bevel): Diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP, yaitu perbuatan yang dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.  

B. Alasan Pemaaf (Schulduitsluitingsgronden)

Berbeda dengan alasan pembenar, alasan pemaaf adalah alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (schuld) dari terdakwa, meskipun perbuatannya secara objektif tetap bersifat melawan hukum dan merupakan suatu tindak pidana. Dengan adanya alasan pemaaf, pelaku tidak dipidana bukan karena perbuatannya dibenarkan, melainkan karena ia dianggap tidak memiliki kesalahan atau tidak mampu dipertanggungjawabkan atas perbuatan tersebut. Fokus dari alasan pemaaf terletak pada aspek subjektif pelaku, yaitu kondisi mental, psikis, atau keadaan khusus yang dialami pelaku pada saat melakukan perbuatan.  

Dalam KUHP lama (WvS), beberapa contoh alasan pemaaf yang diatur meliputi:

  1. Ketidakmampuan Bertanggung Jawab (Ontoerekeningsvatbaarheid): Diatur dalam Pasal 44 KUHP, yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana jika perbuatannya dilakukan karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit. Ini mencakup kondisi seperti gangguan jiwa berat.  
  2. Daya Paksa Absolut atau Psikis (Vis Absoluta atau Vis Compulsiva): Sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP, di mana seseorang melakukan perbuatan pidana karena adanya paksaan fisik yang tidak dapat dilawan atau tekanan psikis yang sangat berat sehingga ia tidak dapat berbuat lain.  
  3. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Exces): Diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, yaitu perbuatan pembelaan yang melampaui batas kepatutan, yang dilakukan karena adanya keguncangan jiwa yang hebat akibat serangan atau ancaman serangan.  
  4. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Tidak Sah dengan Itikad Baik: Sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP, di mana seseorang melaksanakan perintah jabatan yang ternyata tidak sah, namun ia dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut sah dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkup pekerjaannya.  

VII. Eksistensi Unsur "Melawan Hukum" dalam Pasal-Pasal KUHP (Wetboek van Strafrecht)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, sebagai kodifikasi hukum pidana warisan kolonial Belanda, memuat berbagai rumusan delik yang sebagian di antaranya secara eksplisit mencantumkan unsur "melawan hukum" (wederrechtelijk) atau frasa lain yang memiliki makna serupa, seperti "tanpa hak" (zonder daartoe gerechtigd te zijn) atau "tanpa izin" (zonder verlof). Pencantuman ini menunjukkan bahwa untuk beberapa jenis tindak pidana, sifat melawan hukumnya perbuatan harus secara khusus dibuktikan sebagai salah satu elemen konstitutif delik.

Beberapa contoh pasal dalam KUHP lama yang secara eksplisit menyebutkan unsur "melawan hukum" antara lain:

  • Pasal 167 ayat (1): Mengenai memasuki rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup milik orang lain secara melawan hukum.  
  • Pasal 333 ayat (1): Mengenai perampasan kemerdekaan seseorang secara sengaja dan melawan hukum.  
  • Pasal 362: Mengenai pencurian, yaitu mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.  
  • Pasal 372: Mengenai penggelapan, yaitu dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang milik orang lain yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.  
  • Pasal 378: Mengenai penipuan, yaitu dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang atau memberi hutang.  
  • Pasal 406 ayat (1): Mengenai perusakan barang, yaitu dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan barang milik orang lain. Sebuah daftar yang lebih ekstensif mengenai pasal-pasal yang secara eksplisit menyebutkan "melawan hukum" atau yang secara inheren mengandung sifat melawan hukum dapat ditemukan dalam berbagai analisis terhadap KUHP.  

Di sisi lain, terdapat pula pasal-pasal dalam KUHP lama di mana unsur "melawan hukum" tidak dicantumkan secara eksplisit. Dalam kasus-kasus seperti ini, perbuatannya seringkali dianggap secara inheren atau berdasarkan sifatnya sudah melawan hukum, sehingga pencantuman eksplisit dinilai tidak diperlukan. Contoh klasik adalah Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain pada dasarnya selalu dianggap melawan hukum, kecuali jika terdapat alasan pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukumnya. Hal ini terkait erat dengan konsep sifat melawan hukum umum yang telah dibahas sebelumnya.  

Variasi dalam pencantuman unsur "melawan hukum" (eksplisit versus implisit) dalam KUHP lama mencerminkan pilihan legislatif yang didasari oleh pertimbangan mengenai sifat spesifik dari masing-masing delik serta kebutuhan untuk membatasi atau memperjelas cakupan larangan yang dimaksud. Apabila suatu perbuatan, seperti pembunuhan, hampir selalu dan secara universal dianggap melawan hukum, maka pencantuman eksplisit unsur tersebut mungkin dianggap sebagai suatu redundansi oleh pembentuk undang-undang. Namun, untuk perbuatan-perbuatan yang dalam konteks tertentu bisa jadi sah atau dibenarkan (misalnya, mengambil suatu barang), pencantuman frasa "melawan hukum" menjadi krusial untuk membedakan antara tindakan yang bersifat kriminal dan tindakan yang memiliki dasar hukum atau justifikasi. Ini menunjukkan adanya pertimbangan atau legislative wisdom di balik teknik perumusan delik dalam KUHP.

Keharusan pembuktian unsur "melawan hukum" yang dicantumkan secara eksplisit (yang dikenal sebagai sifat melawan hukum khusus) menjadi salah satu jaminan penting bagi hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana. Sebagaimana diuraikan dalam berbagai sumber , jika "melawan hukum" merupakan unsur khusus yang termuat dalam rumusan delik, maka jaksa penuntut umum memiliki beban untuk membuktikan bahwa unsur tersebut benar-benar terpenuhi. Kegagalan dalam membuktikan unsur ini akan berakibat pada tidak terbuktinya dakwaan secara keseluruhan. Hal ini mencegah terjadinya penuntutan yang sembrono dan memastikan bahwa semua elemen yang menjadikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana benar-benar terbukti secara sah dan meyakinkan. Ini adalah manifestasi dari prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan prinsip bahwa beban pembuktian dalam perkara pidana berada pada pihak penuntut.  

VIII. Kontribusi Doktrinal Para Ahli Hukum Pidana Indonesia

Pemahaman dan perkembangan konsep perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana Indonesia tidak terlepas dari kontribusi pemikiran para ahli hukum pidana terkemuka. Pandangan-pandangan mereka telah membentuk diskursus akademis, mempengaruhi praktik peradilan, dan memberikan landasan bagi pembaharuan hukum pidana.

Moeljatno dikenal dengan definisinya mengenai perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Beliau juga mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yang mencakup unsur melawan hukum objektif (berkaitan dengan perbuatannya) dan unsur melawan hukum subjektif (berkaitan dengan sikap batin pelaku). Moeljatno cenderung mendukung teori dualistis dalam memandang hubungan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Selain itu, Moeljatno juga merumuskan kriteria kriminalisasi, yaitu suatu perbuatan layak dijadikan tindak pidana jika merugikan publik, kriminalisasi merupakan sarana utama untuk menanggulanginya, dan adanya kemampuan negara untuk menegakkan hukum tersebut. Beliau juga mengingatkan akan bahaya "inflasi pidana" jika terlalu banyak perbuatan dijadikan tindak pidana tanpa pertimbangan matang.  

Sudarto memberikan definisi pidana sebagai suatu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Beliau membedakan antara pengertian unsur tindak pidana secara umum (yang lebih luas) dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Sudarto juga mengemukakan kriteria kriminalisasi yang penting, yaitu: (1) perbuatan tersebut tidak dikehendaki atau merugikan masyarakat; (2) perlu adanya analisis biaya-manfaat (social-costs and benefits) dalam menggunakan sarana hukum pidana; dan (3) pertimbangan mengenai beban penegakan hukum. Pandangannya mengenai politik hukum pidana menekankan pada usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Terkait sifat melawan hukum, Sudarto mengakui eksistensi sifat melawan hukum materiil, baik dalam fungsinya yang negatif maupun yang positif.  

Oemar Seno Adji banyak membahas mengenai perkembangan asas sifat melawan hukum materiil dalam hukum pidana Indonesia. Beliau mengkategorikan afwezigheid van alle materiele wederrechtelijkheid (AVMW) atau ketiadaan sifat melawan hukum materiil sebagai salah satu alasan pembenar. Oemar Seno Adji juga menyoroti peran penting yurisprudensi dalam mengakui dan menerapkan alasan-alasan pembenar yang tidak tertulis dalam undang-undang , yang menunjukkan dinamika hukum dalam merespons kebutuhan keadilan.  

Selain para ahli hukum Indonesia, pandangan dari para yuris Belanda yang karyanya menjadi rujukan penting dalam pengembangan hukum pidana di Indonesia juga patut diperhatikan:

  • Simons mendefinisikan strafbaar feit (tindak pidana) dengan lima unsur utama: (1) perbuatan manusia (aktif atau pasif); (2) diancam dengan pidana oleh undang-undang; (3) bersifat melawan hukum (onrechtmatig); (4) dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand); dan (5) dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon). Simons merupakan salah satu penganut teori monistis.  
  • Van Hamel mendefinisikan strafbaar feit sebagai kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang (wet), bersifat melawan hukum, patut dipidana (strafwaardig), dan dilakukan dengan kesalahan. Van Hamel juga dikenal sebagai penganut teori monistis.  
  • Hazewinkel-Suringa memberikan definisi strafbaar feit sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalam undang-undang. Pandangannya juga dirujuk oleh Oemar Seno Adji terkait dengan yurisprudensi mengenai alasan pembenar yang tidak tertulis.  

Barda Nawawi Arief, sebagai salah satu tokoh pembaharuan hukum pidana Indonesia kontemporer, dikenal sebagai pendukung teori dualistis. Beliau berpandangan bahwa upaya pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditujukan untuk perlindungan masyarakat dari tindakan-tindakan antisosial yang merugikan dan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum melalui perbaikan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.  

Dari berbagai pandangan para ahli tersebut, dapat ditarik beberapa pemahaman penting. Pertama, meskipun terdapat keragaman dalam perumusan definisi dan unsur-unsur tindak pidana serta posisi sifat melawan hukum, terdapat konsensus mengenai sentralitas sifat melawan hukum dan kesalahan sebagai elemen konstitutif tindak pidana. Variasi yang ada lebih mencerminkan perbedaan dalam penekanan analitis daripada perbedaan substansial yang fundamental. Kedua, pemikiran para ahli hukum Indonesia tidak hanya bersifat reseptif terhadap doktrin-doktrin dari tradisi hukum Belanda, tetapi juga menunjukkan adanya upaya pengembangan, kritik, dan adaptasi terhadap konteks dan kebutuhan hukum di Indonesia. Dukungan Moeljatno terhadap teori dualistis, misalnya, merupakan salah satu bentuk pengembangan pemikiran yang signifikan. Demikian pula, pandangan Sudarto dan Oemar Seno Adji mengenai sifat melawan hukum materiil menunjukkan refleksi mendalam terhadap pencarian keadilan substantif dalam sistem hukum pidana nasional. Ketiga, diskusi mengenai kriteria kriminalisasi yang dikemukakan oleh Moeljatno dan Sudarto memberikan landasan filosofis dan kebijakan kriminal (criminal policy) yang sangat penting bagi setiap upaya pembaharuan hukum pidana. Pertimbangan mengenai apakah suatu perbuatan benar-benar merugikan masyarakat, apakah hukum pidana adalah sarana yang tepat, serta analisis biaya-manfaat dan kemampuan penegakan hukum, menjadi filter krusial dalam merumuskan perbuatan apa saja yang layak dikategorikan sebagai "melawan hukum" hingga memerlukan intervensi berupa sanksi pidana. Ini menghubungkan konsep teoretis "melawan hukum" dengan aspek praktis pembentukan dan penerapan undang-undang pidana yang efektif dan adil.  

IX. Peran Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Menginterpretasi Sifat Melawan Hukum

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) memegang peranan krusial dalam menginterpretasikan dan mengembangkan konsep sifat melawan hukum melalui putusan-putusannya (yurisprudensi). Yurisprudensi MA tidak hanya berfungsi untuk menyelesaikan perkara konkret, tetapi juga memberikan panduan dan membentuk pemahaman hukum bagi praktisi dan akademisi, terutama dalam menghadapi kekosongan atau ketidakjelasan dalam peraturan perundang-undangan.

Beberapa putusan MA yang signifikan terkait interpretasi sifat melawan hukum antara lain:

  1. Putusan MA No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 (Perkara Machroes Effendi): Putusan ini dianggap sebagai salah satu tonggak penting yang mengakui dan menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Dalam pertimbangannya, MA menyatakan bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum tidak hanya berdasarkan ketentuan dalam perundang-undangan (hukum tertulis), melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum. Meskipun secara formil terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang memenuhi unsur delik, sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut dapat dihapuskan oleh adanya asas-asas keadilan atau hukum tidak tertulis yang bersifat umum. Ini menunjukkan bahwa MA bersedia melampaui interpretasi legalistik-formal demi mencapai keadilan substantif.  
  2. Putusan MA No. 30K/Kr/1969 tanggal 6 Juni 1970: Putusan ini menegaskan prinsip bahwa dalam setiap tindak pidana selalu terkandung unsur "sifat melawan hukum" dari perbuatan yang dituduhkan, meskipun unsur tersebut tidak selalu dicantumkan secara eksplisit dalam rumusan delik. Lebih lanjut, putusan ini menyatakan bahwa meskipun rumusan delik penadahan tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum, hal itu tidak berarti perbuatan yang dituduhkan tidak merupakan delik penadahan, walaupun sifat melawan hukum tidak ada sama sekali. Putusan ini mengukuhkan eksistensi sifat melawan hukum umum sebagai elemen inheren dari setiap tindak pidana.  
  3. Putusan MA No. 572 K/Pid/2003: Putusan ini menunjukkan adanya upaya MA untuk menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Dalam kasus ini, perbuatan yang dianggap bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau kepatutan dalam pergaulan hidup dinilai memenuhi unsur melawan hukum materiil, meskipun perbuatan tersebut mungkin tidak secara tegas diatur dalam undang-undang sebagai tindak pidana. Namun, penerapan fungsi positif ini menuai kritik tajam karena dianggap berpotensi melanggar asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) yang mensyaratkan adanya dasar hukum tertulis sebelum seseorang dapat dipidana. Kritik ini menyoroti bahwa penggunaan hukum tidak tertulis sebagai dasar untuk memidana dapat mengancam kepastian hukum.  
  4. Putusan MA No. 592 K/PID/1984 (Perkara Ahmad Lanun Marpaung): Dalam putusan ini, MA membebaskan terdakwa dari dakwaan pencurian karena unsur "dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum" tidak terbukti. Pertimbangan utama MA adalah ketidakjelasan mengenai batas-batas tanah yang menjadi objek perkara dan adanya anggapan pada diri terdakwa bahwa ia berada di kebun miliknya sendiri ketika melakukan perbuatan yang didakwakan. Putusan ini menggarisbawahi pentingnya pembuktian yang cermat dan meyakinkan terhadap setiap unsur delik, termasuk unsur melawan hukum yang bersifat subjektif (niat). Ini juga menunjukkan bahwa MA dapat mengoreksi putusan pengadilan di bawahnya (judex factie) jika terdapat kekurangcermatan dalam pemeriksaan dan pembuktian fakta hukum yang menjadi dasar penentuan terpenuhinya unsur melawan hukum.  

Secara umum, yurisprudensi MA telah menunjukkan adanya dinamika dalam pemahaman konsep sifat melawan hukum, dengan kecenderungan untuk bergeser dari pandangan yang semata-mata formil menuju pengakuan terhadap aspek materiil. Bahkan, terdapat upaya untuk menerapkan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil, meskipun hal ini tetap menjadi area yang kontroversial dan penuh perdebatan, terutama dalam kasus-kasus seperti tindak pidana korupsi sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatasi penafsiran tersebut.  

Peran Mahkamah Agung sebagai interpreter dan bahkan developer konsep sifat melawan hukum menjadi sangat vital, terutama dalam mengisi kekosongan hukum atau mengatasi kekakuan undang-undang. Putusan seperti kasus Machroes Effendi adalah contoh nyata bagaimana MA, melalui penemuan hukum (rechtsvinding), mengadopsi dan melegitimasi konsep sifat melawan hukum materiil fungsi negatif yang tidak secara eksplisit diatur dalam KUHP lama. Ini menunjukkan bahwa MA tidak hanya menerapkan hukum secara mekanis, tetapi juga berupaya mencapai keadilan yang lebih substantif. Namun demikian, dinamika dan terkadang inkonsistensi dalam yurisprudensi MA terkait sifat melawan hukum materiil, khususnya mengenai fungsi positifnya, mencerminkan perdebatan doktrinal yang lebih luas dan kompleksitas dalam menyeimbangkan antara tuntutan keadilan substantif dengan prinsip kepastian hukum. Putusan-putusan MA juga menegaskan bahwa konsep abstrak "melawan hukum" harus diuji dan dibuktikan secara konkret berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, menuntut kecermatan dari judex factie dalam menilai setiap kasus.

X. Transformasi Konsep Perbuatan Melawan Hukum dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek hukum pidana Indonesia, termasuk dalam perumusan dan pemahaman konsep perbuatan melawan hukum. KUHP Baru berupaya mengkodifikasi perkembangan doktrin dan yurisprudensi yang telah ada, sekaligus memperkenalkan beberapa inovasi.

A. Definisi dan Ruang Lingkup Sifat Melawan Hukum dalam Pasal 12 KUHP Baru

Pasal 12 KUHP Baru menjadi salah satu pasal kunci yang mengatur mengenai tindak pidana dan sifat melawan hukum. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini adalah sebagai berikut:

  • Pasal 12 ayat (1) menyatakan: "Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan". Ayat ini memberikan definisi dasar mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana, yaitu perbuatan yang telah ditetapkan dan diancam dengan sanksi oleh hukum tertulis.  
  • Pasal 12 ayat (2) menyatakan: "Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat". Ini merupakan ketentuan yang sangat penting karena secara eksplisit mengkodifikasi pengakuan terhadap sifat melawan hukum materiil. Frasa "harus bersifat melawan hukum" merujuk pada pertentangan dengan hukum tertulis (undang-undang), sedangkan frasa "atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat" merujuk pada pertentangan dengan hukum tidak tertulis atau norma-norma yang diakui masyarakat. Ini adalah langkah maju yang signifikan dibandingkan KUHP lama yang tidak secara eksplisit mengatur sifat melawan hukum materiil sebagai syarat kumulatif.  
  • Pasal 12 ayat (3) menyatakan: "Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar". Ayat ini menegaskan bahwa sifat melawan hukum adalah unsur inheren atau umum dari setiap tindak pidana. Artinya, setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pada dasarnya selalu mengandung sifat melawan hukum. Namun, sifat melawan hukum ini dapat ditiadakan atau gugur jika terdapat alasan pembenar yang diakui oleh hukum. Penjelasan Pasal 12 ayat (3) lebih lanjut memperjelas bahwa ketiadaan sifat melawan hukum dari Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) merupakan suatu alasan pembenar. Ini memperkuat posisi sifat melawan hukum umum dan sekaligus mengaitkannya secara langsung dengan mekanisme alasan pembenar.  

B. Implikasi "Hukum yang Hidup dalam Masyarakat" (Pasal 2 KUHP Baru) terhadap Sifat Melawan Hukum Materiil

Salah satu inovasi paling signifikan dan sekaligus kontroversial dalam KUHP Baru adalah pengakuan terhadap "hukum yang hidup dalam masyarakat" sebagai dasar pemidanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2.

  • Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru menyatakan: "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini". Pasal ini secara formal mengakui sumber hukum pidana di luar kodifikasi (undang-undang), yaitu hukum adat atau hukum tidak tertulis yang hidup dan diakui dalam masyarakat tertentu. Ini merupakan manifestasi paling jelas dari pengadopsian sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, di mana suatu perbuatan dapat dipidana berdasarkan norma tidak tertulis meskipun tidak ada larangan eksplisit dalam KUHP Baru atau undang-undang pidana lainnya.  
  • Namun, Pasal 2 ayat (2) memberikan batasan terhadap keberlakuan hukum yang hidup tersebut. Dinyatakan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan berlaku dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini serta sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.  
  • Penjelasan Pasal 2 lebih lanjut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan "hukum yang hidup dalam masyarakat" adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup tersebut, Peraturan Daerah dapat mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut. Selain itu, Pasal 2 ayat (3) menyebutkan bahwa ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.  

Pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat ini telah menimbulkan pro dan kontra yang luas. Di satu sisi, ia dipandang sebagai upaya untuk mengakomodasi kearifan lokal, pluralisme hukum di Indonesia, dan mencapai keadilan substantif yang berakar pada nilai-nilai masyarakat. Namun, di sisi lain, ia dikhawatirkan dapat mengancam kepastian hukum, melanggar asas legalitas formal (karena potensi pemidanaan tanpa dasar hukum tertulis yang jelas dan berlaku umum), serta membuka ruang bagi interpretasi yang subjektif dan multitafsir. Persyaratan pembentukan Peraturan Daerah untuk memberlakukan hukum yang hidup dapat dilihat sebagai upaya untuk menyeimbangkan pengakuan terhadap hukum adat dengan kebutuhan akan formalisasi dan kepastian hukum. Ini adalah upaya untuk memberikan bentuk yang lebih konkret dan dapat diakses terhadap "hukum yang hidup" tersebut, sekaligus mencegah penerapan yang sewenang-wenang. Namun, ini juga memunculkan tantangan baru terkait standarisasi, harmonisasi antar-Perda, dan potensi konflik antara hukum adat dengan prinsip-prinsip hukum nasional dan hak asasi manusia. Implementasi Pasal 2 KUHP Baru ini dipastikan akan menjadi arena perdebatan hukum yang intens di masa mendatang.  

C. Alasan Pembenar dalam KUHP Baru

KUHP Baru juga mengatur mengenai alasan-alasan pembenar secara lebih sistematis dan terkodifikasi, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum yang lebih besar mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang, meskipun secara sepintas memenuhi rumusan delik, tidak bersifat melawan hukum. Beberapa alasan pembenar yang diatur dalam KUHP Baru antara lain:

  • Pembelaan Terpaksa: Diatur dalam Pasal 32 KUHP Baru (sebelumnya Pasal 49 ayat (1) KUHP Lama), yang menyatakan bahwa setiap orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, serta kehormatan dalam arti kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain.  
  • Keadaan Darurat: Diatur dalam Pasal 33 KUHP Baru (sebelumnya bagian dari Pasal 48 KUHP Lama terkait noodtoestand), yang memungkinkan seseorang tidak dipidana jika melakukan perbuatan karena terpaksa oleh keadaan darurat.  
  • Pelaksanaan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan: Diatur dalam Pasal 34 KUHP Baru (sebelumnya Pasal 50 KUHP Lama), yang menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dipidana.
  • Pelaksanaan Perintah Jabatan: Diatur dalam Pasal 35 KUHP Baru (sebelumnya Pasal 51 ayat (1) KUHP Lama), yang menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang tidak dipidana.  

Selain itu, KUHP Baru juga mengatur mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf yang dapat digunakan oleh korporasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2023. Pengaturan ini merupakan respons terhadap perkembangan hukum pidana modern yang mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pengakuan bahwa korporasi juga dapat memiliki "alasan pembenar" adalah konsekuensi logis dari pengakuan korporasi sebagai subjek tindak pidana, menunjukkan adaptasi KUHP Baru terhadap realitas ekonomi dan sosial kontemporer.  

D. Perdebatan Doktrinal Terkait Sifat Melawan Hukum Materiil Positif dan Negatif Pasca UU No. 1 Tahun 2023

Dengan diaturnya Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (2) KUHP Baru yang secara eksplisit mengakui "hukum yang hidup dalam masyarakat" sebagai dasar untuk menentukan sifat melawan hukum suatu perbuatan, maka KUHP Baru secara efektif telah mengadopsi ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Hal ini menandai pergeseran signifikan dari KUHP lama yang lebih kental dengan nuansa sifat melawan hukum formil atau, jika pun materiil, lebih banyak diinterpretasikan dalam fungsi negatifnya melalui yurisprudensi.  

Meskipun demikian, pengadopsian fungsi positif ini tidak serta-merta mengakhiri perdebatan doktrinal. Sebaliknya, ia memindahkan arena perdebatan ke tataran interpretasi dan implementasi pasal-pasal tersebut. Potensi bentrokan dengan asas legalitas formal (sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Baru yang menyatakan "Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan") dan prinsip kepastian hukum tetap menjadi isu sentral. Beberapa ahli hukum pidana tetap berpandangan bahwa yang lebih dibutuhkan dan lebih aman bagi sistem hukum pidana Indonesia adalah pengakuan terhadap sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yang berfungsi sebagai katup pengaman keadilan tanpa harus mengorbankan prinsip legalitas secara fundamental.  

Lebih lanjut, meskipun Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru secara tegas melarang penggunaan analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana, pengakuan terhadap "hukum yang hidup dalam masyarakat" melalui Pasal 2 ayat (1) dapat dilihat sebagai suatu bentuk perluasan atau bahkan penyimpangan dari larangan analogi tersebut jika tidak diatur dan diterapkan dengan sangat hati-hati dan terukur. Tantangan terbesar ke depan adalah bagaimana mendamaikan pengakuan terhadap hukum yang hidup (yang bertujuan untuk fleksibilitas dan keadilan substantif yang berakar pada nilai-nilai lokal) dengan prinsip-prinsip fundamental hukum pidana modern seperti kepastian hukum (lex certa), larangan retroaktif, dan perlindungan hak asasi manusia. Ini adalah suatu balancing act yang kompleks dan akan sangat bergantung pada kearifan pembentuk peraturan pelaksana (Pemerintah dan DPRD) serta para hakim dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru ini.  

XI. Analisis Kritis: Tantangan dan Implikasi Praktis

Pemberlakuan KUHP Baru, khususnya terkait transformasi konsep perbuatan melawan hukum, membawa sejumlah tantangan dan implikasi praktis yang signifikan bagi sistem peradilan pidana di Indonesia. Pengakuan eksplisit terhadap sifat melawan hukum materiil dan "hukum yang hidup dalam masyarakat" sebagai dasar pemidanaan akan menuntut perubahan paradigma dan penyesuaian kapasitas dari seluruh komponen sistem peradilan pidana.

Salah satu tantangan utama adalah potensi isu interpretasi yang sangat besar terkait Pasal 2 dan Pasal 12 KUHP Baru. Menentukan secara objektif dan konsisten apa yang dimaksud dengan "hukum yang hidup dalam masyarakat," bagaimana membuktikannya di pengadilan, siapa yang berwenang menafsirkannya, dan bagaimana memastikan kesesuaiannya dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, serta HAM, akan menjadi pekerjaan rumah yang kompleks. Tanpa pedoman yang jelas dan mekanisme kontrol yang efektif, terdapat risiko disparitas putusan dan ketidakpastian hukum.  

Implikasi langsung dari perubahan ini adalah kebutuhan mendesak akan sosialisasi masif dan pelatihan komprehensif bagi aparat penegak hukum, mulai dari penyidik, penuntut umum, hingga hakim. Mereka harus dibekali dengan pemahaman yang mendalam mengenai konsep-konsep baru ini, termasuk filosofi di baliknya dan bagaimana menerapkannya secara adil dan konsisten. Kegagalan dalam membangun pemahaman yang seragam dapat berujung pada kesalahan penerapan hukum dan potensi pelanggaran hak-hak tersangka atau terdakwa.  

Selain itu, terdapat kekhawatiran yang disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat sipil bahwa pasal-pasal tertentu dalam KUHP Baru, termasuk yang berkaitan dengan interpretasi sifat melawan hukum berdasarkan norma-norma masyarakat yang tidak tertulis, dapat disalahgunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi, kritik, atau tindakan-tindakan yang seharusnya dilindungi dalam negara demokrasi. Fleksibilitas yang ditawarkan oleh pengakuan hukum yang hidup harus diimbangi dengan jaminan perlindungan terhadap kebebasan fundamental dan hak-hak minoritas.  

Implementasi KUHP Baru, khususnya terkait konsep sifat melawan hukum materiil dan pengakuan terhadap hukum yang hidup, akan menjadi ujian berat bagi kapasitas sistem hukum Indonesia untuk beradaptasi, berinovasi, sekaligus menjaga keseimbangan antara berbagai nilai hukum yang fundamental: keadilan substantif, kepastian hukum, kemanfaatan sosial, dan perlindungan hak asasi manusia. Keberhasilan KUHP Baru tidak hanya akan ditentukan oleh kualitas teks normatifnya, tetapi lebih penting lagi oleh bagaimana ia diinterpretasikan, diimplementasikan, dan dihidupkan melalui praktik penegakan hukum, putusan-putusan yudisial yang bijaksana, serta penerimaan dan partisipasi kritis dari masyarakat.

Dalam konteks ini, peran Mahkamah Agung akan kembali menjadi sentral. Sebagaimana MA telah berkontribusi dalam membentuk pemahaman mengenai sifat melawan hukum di bawah KUHP lama melalui yurisprudensi-yurisprudensi penting, MA juga akan diharapkan untuk melakukan hal yang sama dalam mengawal implementasi KUHP Baru. Putusan-putusan awal yang menguji dan menafsirkan Pasal 2 dan Pasal 12 KUHP Baru akan menjadi preseden krusial yang membentuk arah praktik hukum pidana di masa depan. Ini menunjukkan adanya siklus yang berkelanjutan dalam pengembangan hukum, di mana produk legislasi akan selalu diikuti dan disempurnakan melalui proses interpretasi yudisial yang dinamis dan responsif terhadap tantangan zaman.

XII. Kesimpulan

Konsep perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana Indonesia telah mengalami evolusi yang signifikan, bergerak dari pemahaman yang sempit dan legistis-formal menuju pengakuan yang lebih luas terhadap aspek materiil dan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Perkembangan ini dipengaruhi oleh dinamika yurisprudensi, kontribusi doktrinal para ahli hukum, serta kebutuhan untuk menciptakan sistem hukum pidana yang lebih responsif dan berkeadilan.

KUHP lama (WvS) secara implisit maupun eksplisit telah mengakui unsur melawan hukum sebagai elemen esensial tindak pidana. Perdebatan klasik antara ajaran sifat melawan hukum formil yang menekankan kepastian hukum berdasarkan hukum tertulis, dengan ajaran sifat melawan hukum materiil yang berupaya mencapai keadilan substantif dengan merujuk pada hukum tidak tertulis, telah mewarnai diskursus hukum pidana selama berpuluh-puluh tahun. Yurisprudensi Mahkamah Agung memainkan peran penting dalam menjembatani ketegangan ini, terutama melalui pengakuan terhadap sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatifnya.

Kini, KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023) secara eksplisit mengkodifikasi banyak perkembangan tersebut. Pasal 12 KUHP Baru menegaskan bahwa sifat melawan hukum atau pertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah syarat mutlak suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana. Lebih lanjut, Pasal 2 KUHP Baru secara kontroversial mengakui "hukum yang hidup dalam masyarakat" sebagai dasar pemidanaan, yang secara efektif mengadopsi sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positifnya. Langkah ini, meskipun bertujuan untuk mengakomodasi pluralisme hukum dan kearifan lokal, membawa tantangan besar terkait kepastian hukum, potensi konflik dengan asas legalitas formal, dan risiko interpretasi yang beragam.

Implementasi konsep perbuatan melawan hukum dalam kerangka KUHP Baru akan menghadapi ujian berat. Diperlukan upaya serius dalam penyusunan peraturan pelaksana yang cermat (Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah), sosialisasi dan pelatihan yang masif bagi aparat penegak hukum, serta pengembangan yurisprudensi yang konsisten dan progresif oleh Mahkamah Agung. Keseimbangan antara pengakuan terhadap nilai-nilai keadilan masyarakat dan perlindungan terhadap hak-hak individu serta prinsip-prinsip hukum pidana modern akan menjadi kunci keberhasilan reformasi hukum pidana ini.

Pada akhirnya, pemahaman dan penerapan konsep perbuatan melawan hukum akan terus berkembang seiring dengan dinamika masyarakat dan kebutuhan akan sistem peradilan pidana yang tidak hanya pasti secara hukum, tetapi juga adil secara substantif dan mampu menjawab tantangan zaman. Peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan – akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil – akan sangat menentukan arah masa depan konsep fundamental ini dalam tatanan hukum pidana Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...