I. Konsep Fundamental Perbuatan Melawan Hukum dalam Ranah Pidana
Perbuatan melawan hukum (PMH)
merupakan salah satu pilar esensial dalam arsitektur hukum pidana Indonesia.
Keberadaannya berfungsi sebagai filter krusial dalam menentukan apakah suatu
tindakan, sekalipun telah memenuhi rumusan formal suatu delik (tindak pidana)
sebagaimana tercantum dalam undang-undang, dapat dijatuhi sanksi pidana. Tanpa
adanya sifat melawan hukum, pemidanaan terhadap suatu perbuatan akan kehilangan
legitimasi moral dan yuridisnya. Hal ini menggarisbawahi signifikansi PMH,
bukan hanya sebagai elemen teknis, melainkan sebagai benteng keadilan yang
melindungi individu dari potensi kesewenang-wenangan penerapan hukum.
Penting untuk dicatat bahwa
konsep PMH dalam hukum pidana memiliki perbedaan fundamental dengan PMH
dalam ranah hukum perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Meskipun keduanya berbagi akar
historis dan terminologi, serta perkembangan di satu bidang dapat mempengaruhi
bidang lainnya, orientasi dan konsekuensi hukumnya berbeda secara signifikan. PMH
dalam hukum pidana berfokus pada perlindungan kepentingan publik, penegakan
norma-norma sosial yang fundamental, dan penjatuhan sanksi pidana yang bersifat
publik dan bertujuan memberikan efek jera, rehabilitasi, atau restorasi.
Sebaliknya, PMH dalam hukum perdata lebih menitikberatkan pada kerugian yang
bersifat privat atau individual dan bertujuan untuk memberikan kompensasi
atau ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan. Dualitas fungsi PMH ini
mencerminkan kompleksitas interaksi sosial dan kebutuhan sistem hukum untuk
menyediakan berbagai mekanisme kontrol perilaku serta penyelesaian sengketa.
Evolusi historis, terutama pengaruh putusan Lindebaum-Cohen dalam
memperluas makna PMH perdata, secara tidak langsung turut memperkaya diskursus
mengenai PMH dalam hukum pidana, menunjukkan bahwa konsep hukum tidak
berkembang dalam ruang hampa melainkan merespons kebutuhan masyarakat akan
keadilan dalam berbagai dimensinya.
Lebih lanjut, penekanan pada
PMH sebagai unsur mutlak dari suatu tindak pidana dapat dipandang sebagai
manifestasi dari prinsip nullum crimen sine iniuria (tiada delik tanpa
adanya sifat melawan hukum atau pelanggaran terhadap suatu hak). Prinsip ini
berfungsi sebagai pelengkap esensial dari asas legalitas formal (nullum
crimen, nulla poena sine praevia lege poenali). Jika asas legalitas
mencegah pemidanaan atas perbuatan yang tidak secara eksplisit dilarang oleh
undang-undang, maka keharusan adanya sifat melawan hukum memastikan bahwa
perbuatan yang telah diatur dalam undang-undang tersebut memang layak untuk
dipidana karena secara substantif melanggar norma atau kepentingan hukum
yang lebih fundamental. Dengan demikian, PMH menjadi lapisan perlindungan
tambahan bagi warga negara, memastikan bahwa intervensi negara melalui hukum
pidana hanya dilakukan terhadap perbuatan-perbuatan yang memang secara hakiki
bertentangan dengan tatanan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
II. Evolusi Historis dan
Konseptual Perbuatan Melawan Hukum di Indonesia
Pemahaman mengenai konsep
perbuatan melawan hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari warisan sistem
hukum Belanda. Sebelum tahun 1919, Hoge Raad, selaku Mahkamah Agung pada masa
Hindia Belanda, menganut interpretasi yang sempit terhadap istilah onrechtmatige
daad (perbuatan melawan hukum). Dalam pandangan ini, suatu perbuatan
dianggap melawan hukum hanya jika secara eksplisit bertentangan dengan hak
subjektif orang lain yang timbul dari undang-undang, atau bertentangan dengan
kewajiban hukum pelaku sendiri yang juga bersumber dari undang-undang.
Pendekatan ini sangat legistis dan formalistik, membatasi ruang lingkup PMH
hanya pada pelanggaran terhadap hukum tertulis.
Titik balik signifikan terjadi
dengan lahirnya putusan Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara
ikonik Lindebaum lawan Cohen. Meskipun kasus ini berada dalam ranah
hukum perdata, dampaknya meluas dan turut mempengaruhi pemahaman konsep PMH
secara umum, termasuk dalam konteks hukum pidana. Putusan ini secara
revolusioner memperluas pengertian onrechtmatige daad, tidak lagi
terbatas pada pelanggaran undang-undang semata, tetapi juga mencakup perbuatan
atau kealpaan yang:
- Bertentangan dengan hak orang lain
(pelanggaran hak subjektif).
- Bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku (pelanggaran kewajiban yuridis).
- Bertentangan dengan kesusilaan
(goede zeden).
- Bertentangan dengan kepatutan atau
kecermatan yang seharusnya diindahkan dalam
pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau barang orang lain (zorgvuldigheid
die in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van eens anders
persoon of goed).
Perkembangan ini menandai
pergeseran paradigmatik dari pandangan yang semata-mata mengandalkan hukum
tertulis sebagai satu-satunya sumber keabsahan, menuju pengakuan yang lebih
luas terhadap norma-norma tidak tertulis seperti kesusilaan dan kepatutan masyarakat
sebagai tolok ukur sifat melawan hukum suatu perbuatan. Perluasan konsep PMH
melalui yurisprudensi, sebagaimana dicontohkan oleh kasus Lindebaum-Cohen,
menunjukkan peran aktif peradilan dalam pengembangan hukum (judge-made law).
Hal ini mengindikasikan bahwa bahkan dalam sistem hukum civil law yang
cenderung mengutamakan kodifikasi, kekakuan undang-undang dapat diatasi
melalui interpretasi yudisial yang progresif dan dinamis, sehingga hukum
mampu merespons perubahan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat. Namun, hal ini
juga memunculkan diskursus mengenai batas antara interpretasi dan pembentukan
hukum baru oleh hakim, sebuah isu yang sensitif terutama dalam hukum pidana
yang sangat terikat pada asas legalitas.
Lebih jauh, pengaruh
perkembangan konsep PMH dalam hukum perdata terhadap pemahaman PMH dalam hukum
pidana menandakan adanya interkonektivitas antar konsep hukum dan permeabilitas
batas-batas antar disiplin ilmu hukum. Kebutuhan untuk mendefinisikan apa yang
"melawan hukum" bersifat universal dalam sistem hukum, dan
perkembangan di satu area dapat menginspirasi atau bahkan memaksa penyesuaian
di area lainnya. Ini mengisyaratkan bahwa pemahaman hukum pidana tidak dapat
sepenuhnya terisolasi dari pemahaman asas-asas umum hukum yang lebih luas.
III. Unsur-Unsur Esensial
Perbuatan Melawan Hukum dalam Tindak Pidana
Untuk memahami secara
komprehensif konsep perbuatan melawan hukum dalam konteks pidana, penting untuk
mengidentifikasi unsur-unsur esensial yang membentuknya. Meskipun seringkali
dirujuk dari Pasal 1365 KUH Perdata untuk pemahaman dasar, yang menyebutkan
adanya perbuatan, sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut, adanya
kesalahan, timbulnya kerugian, dan hubungan kausal antara perbuatan dan
kerugian, hukum pidana memiliki penekanan dan nuansa tersendiri.
Dalam doktrin hukum pidana
Indonesia, beberapa ahli terkemuka telah merumuskan unsur-unsur tindak pidana
yang relevan dengan pembahasan PMH. Menurut Moeljatno, unsur-unsur
tindak pidana meliputi: (a) adanya perbuatan; (b) keadaan yang menyertai
perbuatan; (c) keadaan tambahan yang memberatkan pidana; (d) unsur melawan
hukum yang objektif; dan (e) unsur melawan hukum yang subjektif. Sementara itu,
R. Soesilo, sebagaimana dirangkum dalam berbagai literatur, mengemukakan
bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah: (1) adanya perbuatan manusia (actus
reus); (2) perbuatan tersebut bersifat melawan hukum (wederrechtelijk);
dan (3) tidak adanya alasan pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan tersebut.
Unsur "perbuatan"
dalam hukum pidana memiliki cakupan yang luas, dapat berupa tindakan aktif
melakukan sesuatu yang dilarang (commissie delict) maupun tindakan pasif
berupa tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh hukum (ommissie delict).
Selanjutnya, unsur "kesalahan" (schuld) merupakan elemen
krusial yang menunjukkan sikap batin pelaku terhadap perbuatannya. Kesalahan
ini dapat terwujud dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet)
maupun kelalaian atau kealpaan (culpa).
Meskipun terdapat variasi
dalam perumusan oleh para ahli, terdapat konsistensi inti mengenai elemen
perbuatan, sifat melawan hukum, dan kesalahan sebagai pilar-pilar fundamental
yang harus terpenuhi agar suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
dan pelakunya dapat dipertanggungjawabkan. Perbedaan penekanan, seperti
pemisahan antara unsur melawan hukum objektif dan subjektif oleh Moeljatno,
lebih merupakan variasi dalam pendekatan analitis daripada perbedaan
substansial yang mendasar. Hal ini menunjukkan adanya kerangka konseptual yang
relatif mapan dalam doktrin hukum pidana Indonesia mengenai komponen-komponen
yang menjadikan suatu perbuatan dapat dipidana.
Pembedaan yang dikemukakan
oleh Moeljatno antara unsur melawan hukum objektif (yang berkaitan
dengan sifat terlarangnya perbuatan itu sendiri, terlepas dari sikap batin
pelaku) dan unsur melawan hukum subjektif (yang berkaitan dengan niat
atau sikap batin pelaku, seperti adanya niat jahat dalam kasus pencurian
sebagaimana Pasal 362 KUHP) menjadi jembatan penting untuk memahami keterkaitan
erat antara konsep PMH dengan konsep kesalahan (schuld). Ini
mengindikasikan bahwa sifat melawan hukum suatu perbuatan tidak hanya dinilai
dari aspek lahiriah atau formalnya saja, tetapi juga dari dimensi internal
pelaku. Implikasinya, pembuktian sifat melawan hukum seringkali tidak dapat
dipisahkan dari pembuktian adanya kesalahan pada diri pelaku, yang akan dibahas
lebih lanjut dalam konteks teori monistis dan dualistis.
IV. Dimensi Sifat Melawan
Hukum (Wederrechtelijkheid)
Sifat melawan hukum, atau wederrechtelijkheid
dalam terminologi Belanda, merupakan konsep sentral dalam hukum pidana yang
memiliki berbagai dimensi dan interpretasi. Pemahaman terhadap dimensi-dimensi
ini krusial untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana.
A. Sifat Melawan Hukum Formil
(Formele Wederrechtelijkheid)
Ajaran sifat melawan hukum
formil mendefinisikan perbuatan sebagai melawan hukum apabila perbuatan
tersebut secara eksplisit melanggar peraturan perundang-undangan atau hukum
tertulis. Menurut pandangan ini, suatu perbuatan dianggap sebagai tindak
pidana jika telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan delik
sebagaimana diatur dalam undang-undang. Konsekuensinya, sifat melawan hukum
suatu perbuatan hanya dapat dihapuskan atau ditiadakan berdasarkan ketentuan
yang juga terdapat dalam undang-undang, misalnya melalui alasan pembenar yang
diatur secara limitatif dalam KUHP.
Ajaran ini sangat menekankan
asas legalitas (nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali)
dan kepastian hukum. Dengan mendasarkan sifat melawan hukum semata-mata pada
hukum tertulis, ajaran formil memberikan batasan yang jelas dan terukur bagi
aparat penegak hukum dan masyarakat mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang
dilarang dan diancam dengan pidana. Hal ini sejalan dengan prinsip fundamental
bahwa tidak ada pidana tanpa didasari oleh undang-undang yang telah ada
sebelumnya. Implikasi dari pendekatan ini adalah terciptanya perlindungan
terhadap potensi kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum. Namun, di sisi
lain, kekakuan ajaran formil dapat menjadi kelemahan jika terdapat
perbuatan-perbuatan yang secara nyata tercela dan merugikan masyarakat namun
belum atau tidak diatur secara spesifik dalam undang-undang.
B. Sifat Melawan Hukum
Materiil (Materiƫle Wederrechtelijkheid)
Berbeda dengan pandangan
formil, ajaran sifat melawan hukum materiil memperluas cakupan penilaian. Suatu
perbuatan dianggap melawan hukum secara materiil tidak hanya jika
bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis), tetapi juga jika
bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, kepatutan, atau norma-norma sosial
yang hidup dan diakui dalam masyarakat (hukum tidak tertulis). Ini mencakup
pertentangan dengan asas-asas hukum umum yang tidak tertulis atau rasa keadilan
masyarakat.
Sifat melawan hukum materiil
ini memiliki dua fungsi utama:
- Fungsi Negatif:
Dalam fungsi negatifnya, sifat melawan hukum materiil dapat bertindak
sebagai alasan penghapus pidana di luar undang-undang. Artinya,
meskipun suatu perbuatan secara formal telah memenuhi seluruh unsur
rumusan delik dalam undang-undang (dan karenanya melawan hukum secara
formil), perbuatan tersebut dapat dianggap tidak bersifat melawan hukum
secara materiil jika tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat
atau norma-norma tidak tertulis yang berlaku. Akibatnya, pelaku tidak
dipidana. Contoh klasik yang sering dirujuk untuk menggambarkan fungsi
negatif ini adalah Arrest Dokter Hewan Huizen di Belanda, di mana
seorang dokter hewan yang melanggar peraturan demi mencegah penyebaran
wabah penyakit yang lebih luas pada akhirnya tidak dipidana karena
perbuatannya dianggap tidak bertentangan dengan rasa keadilan dan
kepatutan. Di Indonesia, yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 42
K/Kr/1965 dalam perkara Machroes Effendi juga diinterpretasikan sebagai
penganut fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan
hukum materiil dalam fungsi negatif ini menjadi upaya untuk mencapai keadilan
substantif, mengatasi potensi kekakuan dan ketidakadilan yang mungkin
timbul dari penerapan hukum formil secara kaku. Hal ini menunjukkan bahwa
hukum pidana tidak semata-mata tentang penerapan teks undang-undang secara
buta, melainkan juga tentang pencapaian keadilan yang dirasakan dan diakui
oleh masyarakat. Implikasinya adalah adanya fleksibilitas dalam penegakan
hukum, namun di sisi lain juga memunculkan potensi ketidakpastian jika
batasan-batasannya tidak dirumuskan dengan jelas.
- Fungsi Positif:
Dalam fungsi positifnya, sifat melawan hukum materiil memungkinkan
suatu perbuatan untuk dipidana meskipun perbuatan tersebut tidak secara
eksplisit diatur atau dilarang dalam undang-undang. Pemidanaan ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa perbuatan tersebut dianggap sangat
tercela dan bertentangan dengan rasa keadilan atau norma-norma fundamental
yang hidup dalam masyarakat. Namun, penerapan fungsi positif ini sangat
kontroversial dan menuai banyak kritik karena dianggap berpotensi besar
melanggar asas legalitas formal yang mensyaratkan adanya hukum
tertulis sebelum suatu perbuatan dapat dipidana (lex scripta, lex
certa, lex stricta). Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No.
572 K/Pid/2003 menunjukkan adanya upaya penerapan fungsi positif ini,
namun putusan tersebut juga mendapat kritik tajam. Kontroversi seputar
fungsi positif ini mencerminkan ketegangan fundamental dalam filsafat
hukum pidana, yaitu antara upaya mencapai kepastian hukum (yang dilindungi
oleh asas legalitas) dan upaya mencapai keadilan atau fleksibilitas hukum
dalam merespons dinamika sosial. Jika perbuatan yang tidak diatur dalam
undang-undang dapat dipidana hanya berdasarkan "rasa keadilan
masyarakat" yang cenderung subjektif dan tidak terukur, hal ini
membuka pintu bagi interpretasi yang sewenang-wenang dan mengancam jaminan
hak asasi individu.
C. Sifat Melawan Hukum Umum
dan Khusus
Selain pembedaan antara formil
dan materiil, sifat melawan hukum juga dapat dibedakan menjadi sifat melawan
hukum umum dan khusus:
- Sifat Melawan Hukum Umum:
Ini merupakan syarat umum atau elemen inheren yang harus ada pada setiap
perbuatan agar dapat dipidana. Esensinya, suatu perbuatan tidak dapat
dipidana apabila ia tidak bersifat melawan hukum secara umum, meskipun
mungkin memenuhi unsur-unsur lain dalam rumusan delik. Sifat melawan hukum
umum ini dianggap melekat pada setiap tindak pidana, bahkan jika kata
"melawan hukum" tidak dicantumkan secara eksplisit dalam pasal
yang bersangkutan. Putusan Mahkamah Agung RI No. 30K/Kr/1969 secara tegas mengafirmasi
pandangan ini, menyatakan bahwa dalam setiap tindak pidana selalu
terkandung unsur sifat melawan hukum dari perbuatan yang dituduhkan,
walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan.
- Sifat Melawan Hukum Khusus:
Dalam konteks ini, kata "melawan hukum" (wederrechtelijk)
atau frasa lain yang semakna (misalnya "tanpa hak", "tanpa
izin") dicantumkan secara tegas dan eksplisit dalam rumusan delik
tertentu di dalam undang-undang. Contoh yang paling sering dikutip adalah
Pasal 362 KUHP tentang pencurian, yang merumuskan "...dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum". Pencantuman secara eksplisit
ini memiliki konsekuensi penting, yaitu memberikan beban pembuktian kepada
penuntut umum untuk secara spesifik membuktikan bahwa unsur "melawan
hukum" tersebut memang terpenuhi dalam perbuatan terdakwa. Pembedaan
ini memiliki implikasi signifikan dalam praktik peradilan, terutama
terkait dengan strategi pembuktian. Jika "melawan hukum"
dicantumkan secara khusus, jaksa penuntut umum wajib membuktikannya
sebagai salah satu unsur delik yang harus terpenuhi. Sebaliknya, jika
bersifat umum (implisit), maka sifat melawan hukum dianggap ada kecuali
terdapat alasan pembenar yang diajukan dan dapat dibuktikan oleh pihak
terdakwa. Lebih lanjut, pencantuman unsur "melawan hukum" secara
khusus dalam beberapa rumusan delik seringkali bertujuan untuk membatasi
ruang lingkup penerapan pasal agar tidak menjadi terlalu luas, atau untuk
melindungi perbuatan-perbuatan yang dalam konteks tertentu mungkin sah
atau dibenarkan. Misalnya, dalam kasus pencurian, frasa "dimiliki
secara melawan hukum" penting untuk membedakan antara pengambilan
barang yang bersifat kriminal dengan pengambilan barang yang didasari oleh
hak atau kewenangan tertentu. Ini menunjukkan fungsi "melawan hukum"
sebagai katup pengaman dalam perumusan delik.
V. Relasi Antara Sifat Melawan
Hukum dan Kesalahan (Schuld)
Dalam konstruksi hukum pidana,
sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld)
merupakan dua pilar utama yang menentukan apakah suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana dan apakah pelakunya dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Hubungan antara kedua konsep ini telah
menjadi subjek perdebatan panjang dalam doktrin hukum pidana, yang melahirkan
dua teori utama: teori monistis dan teori dualistis.
Teori Monistis
berpandangan bahwa sifat melawan hukum dan kesalahan merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dan keduanya adalah unsur-unsur dari tindak pidana (strafbaar
feit) itu sendiri. Dalam perspektif ini, kesalahan dianggap melekat secara
inheren pada tindak pidana. Artinya, untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana, kedua unsur ini harus terpenuhi secara simultan dalam perbuatan
tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, warisan dari Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch-Indiƫ, secara umum dianggap menganut atau
setidaknya lebih condong pada teori monistis ini. Para ahli hukum pidana
terkemuka yang sering diasosiasikan dengan pandangan monistis antara lain
adalah Van Hamel, Simons, Vos, dan Utrecht.
Sebaliknya, Teori Dualistis
mengajukan pemisahan yang tegas antara perbuatan pidana (yang unsurnya adalah
sifat melawan hukum) dengan pertanggungjawaban pidana (yang dasarnya adalah
kesalahan). Menurut teori ini, sifat melawan hukum adalah karakteristik dari
perbuatannya (actus reus), yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
dilarang oleh hukum. Sementara itu, kesalahan (mens rea) adalah kondisi
psikis atau sikap batin pelaku yang menjadi dasar untuk dapat atau tidaknya ia
dipertanggungjawabkan atas perbuatan melawan hukum yang telah dilakukannya.
Beberapa pakar hukum pidana terkemuka di Indonesia, seperti Moeljatno, Roeslan
Saleh, dan Barda Nawawi Arief, dikenal sebagai pendukung teori dualistis.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang kini telah disahkan
menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (selanjutnya disebut KUHP
Baru), menunjukkan kecenderungan yang lebih kuat untuk mengadopsi teori
dualistis.
Perbedaan antara teori
monistis dan dualistis bukan sekadar perdebatan akademis yang bersifat
teoretis, melainkan memiliki implikasi praktis yang signifikan dalam perumusan
undang-undang pidana, proses pembuktian di pengadilan, dan pada akhirnya dalam
putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Teori dualistis, dengan memisahkan secara
jelas antara aspek perbuatan (objektif) dan aspek pertanggungjawaban
(subjektif), memungkinkan dilakukannya analisis yang lebih jernih dan
terstruktur terhadap masing-masing elemen. Sebagai contoh, dalam kerangka
dualistis, suatu perbuatan bisa saja terbukti memenuhi unsur-unsur delik dan
bersifat melawan hukum, namun pelakunya tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana karena tidak adanya unsur kesalahan (misalnya, karena pelaku
tidak waras atau berada di bawah paksaan absolut). Kecenderungan KUHP Baru
untuk lebih mengakomodasi pandangan dualistis dapat dilihat sebagai upaya untuk
memperjelas struktur pertanggungjawaban pidana dalam sistem hukum pidana
nasional, sejalan dengan perkembangan pemikiran hukum pidana modern.
Meskipun KUHP lama secara umum
lebih condong ke arah teori monistis, praktik peradilan dan perkembangan
doktrin hukum pidana di Indonesia selama beberapa dekade terakhir menunjukkan
adanya pergeseran atau setidaknya penerimaan terhadap elemen-elemen yang lebih
bersifat dualistis. Pandangan para ahli hukum pidana Indonesia yang
berpengaruh, seperti Moeljatno, yang secara konsisten mendukung teori
dualistis, turut memberikan kontribusi signifikan terhadap evolusi pemikiran
ini. Puncak dari perkembangan ini adalah adopsi kerangka yang lebih jelas dan
sistematis yang mencerminkan prinsip-prinsip dualisme dalam KUHP Baru, yang
diharapkan dapat memberikan landasan yang lebih kokoh bagi penentuan tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana di masa mendatang.
VI. Dasar Peniadaan Sifat
Melawan Hukum dan Kemampuan Dipertanggungjawabkan Pidana
Dalam sistem hukum pidana,
tidak semua perbuatan yang memenuhi rumusan delik secara otomatis mengakibatkan
pemidanaan terhadap pelakunya. Terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat
meniadakan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut atau meniadakan kesalahan
(kemampuan untuk dipertanggungjawabkan) dari si pelaku. Keadaan-keadaan ini
dikelompokkan menjadi alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan
alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden).
A. Alasan Pembenar (Rechtvaardigingsgronden)
Alasan pembenar adalah
alasan-alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Dengan
adanya alasan pembenar, perbuatan yang semula tampak sebagai tindak pidana
karena memenuhi rumusan delik, menjadi perbuatan yang patut, benar, dan dibenarkan
oleh hukum. Akibatnya, pelaku tidak dapat dipidana karena perbuatannya tidak
lagi dianggap melawan hukum. Fokus dari alasan pembenar terletak pada aspek
objektif perbuatan itu sendiri, bukan pada kondisi subjektif pelaku. Artinya,
dalam situasi dan kondisi tertentu, hukum atau masyarakat membenarkan
dilakukannya perbuatan tersebut.
Dalam KUHP lama (WvS),
beberapa contoh alasan pembenar yang diatur secara eksplisit meliputi:
- Daya Paksa dalam arti Keadaan Darurat (Noodtoestand):
Sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP, di mana seseorang melakukan
perbuatan pidana karena terdorong oleh suatu keadaan darurat yang
memaksanya untuk memilih antara dua kepentingan hukum yang harus
dilindungi, atau antara suatu kewajiban hukum dengan kepentingan hukum.
- Pembelaan Terpaksa (Noodweer):
Diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, yaitu perbuatan yang dilakukan karena
terpaksa untuk membela diri sendiri atau orang lain, kehormatan
kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, dari serangan atau
ancaman serangan yang melawan hukum dan bersifat seketika atau sangat
dekat.
- Menjalankan Perintah Undang-Undang (Wettelijk
Voorschrift): Diatur dalam Pasal 50 KUHP, di mana
seseorang melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang.
- Menjalankan Perintah Jabatan yang Sah (Ambtelijk
Bevel): Diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP,
yaitu perbuatan yang dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang.
B. Alasan Pemaaf (Schulduitsluitingsgronden)
Berbeda dengan alasan
pembenar, alasan pemaaf adalah alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (schuld)
dari terdakwa, meskipun perbuatannya secara objektif tetap bersifat melawan
hukum dan merupakan suatu tindak pidana. Dengan adanya alasan pemaaf, pelaku
tidak dipidana bukan karena perbuatannya dibenarkan, melainkan karena ia
dianggap tidak memiliki kesalahan atau tidak mampu dipertanggungjawabkan atas
perbuatan tersebut. Fokus dari alasan pemaaf terletak pada aspek subjektif
pelaku, yaitu kondisi mental, psikis, atau keadaan khusus yang dialami pelaku
pada saat melakukan perbuatan.
Dalam KUHP lama (WvS),
beberapa contoh alasan pemaaf yang diatur meliputi:
- Ketidakmampuan Bertanggung Jawab (Ontoerekeningsvatbaarheid):
Diatur dalam Pasal 44 KUHP, yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat
dipidana jika perbuatannya dilakukan karena pertumbuhan jiwanya cacat atau
terganggu karena penyakit. Ini mencakup kondisi seperti gangguan jiwa
berat.
- Daya Paksa Absolut atau Psikis (Vis
Absoluta atau Vis Compulsiva): Sebagaimana
diatur dalam Pasal 48 KUHP, di mana seseorang melakukan perbuatan pidana
karena adanya paksaan fisik yang tidak dapat dilawan atau tekanan psikis
yang sangat berat sehingga ia tidak dapat berbuat lain.
- Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer
Exces): Diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP,
yaitu perbuatan pembelaan yang melampaui batas kepatutan, yang dilakukan
karena adanya keguncangan jiwa yang hebat akibat serangan atau ancaman
serangan.
- Melaksanakan Perintah Jabatan yang Tidak
Sah dengan Itikad Baik: Sebagaimana diatur dalam Pasal 51
ayat (2) KUHP, di mana seseorang melaksanakan perintah jabatan yang
ternyata tidak sah, namun ia dengan itikad baik mengira bahwa perintah
tersebut sah dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkup pekerjaannya.
VII. Eksistensi Unsur
"Melawan Hukum" dalam Pasal-Pasal KUHP (Wetboek van Strafrecht)
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) lama, sebagai kodifikasi hukum pidana warisan kolonial Belanda,
memuat berbagai rumusan delik yang sebagian di antaranya secara eksplisit
mencantumkan unsur "melawan hukum" (wederrechtelijk) atau
frasa lain yang memiliki makna serupa, seperti "tanpa hak" (zonder
daartoe gerechtigd te zijn) atau "tanpa izin" (zonder verlof).
Pencantuman ini menunjukkan bahwa untuk beberapa jenis tindak pidana, sifat
melawan hukumnya perbuatan harus secara khusus dibuktikan sebagai salah satu
elemen konstitutif delik.
Beberapa contoh pasal dalam
KUHP lama yang secara eksplisit menyebutkan unsur "melawan hukum"
antara lain:
- Pasal 167 ayat (1):
Mengenai memasuki rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup milik orang
lain secara melawan hukum.
- Pasal 333 ayat (1):
Mengenai perampasan kemerdekaan seseorang secara sengaja dan melawan
hukum.
- Pasal 362:
Mengenai pencurian, yaitu mengambil barang milik orang lain dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum.
- Pasal 372:
Mengenai penggelapan, yaitu dengan sengaja dan melawan hukum memiliki
barang milik orang lain yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan.
- Pasal 378:
Mengenai penipuan, yaitu dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang atau memberi hutang.
- Pasal 406 ayat (1):
Mengenai perusakan barang, yaitu dengan sengaja dan melawan hukum
menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan
barang milik orang lain. Sebuah daftar yang lebih ekstensif mengenai
pasal-pasal yang secara eksplisit menyebutkan "melawan hukum"
atau yang secara inheren mengandung sifat melawan hukum dapat ditemukan
dalam berbagai analisis terhadap KUHP.
Di sisi lain, terdapat pula
pasal-pasal dalam KUHP lama di mana unsur "melawan hukum" tidak
dicantumkan secara eksplisit. Dalam kasus-kasus seperti ini, perbuatannya
seringkali dianggap secara inheren atau berdasarkan sifatnya sudah melawan hukum,
sehingga pencantuman eksplisit dinilai tidak diperlukan. Contoh klasik adalah
Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain
pada dasarnya selalu dianggap melawan hukum, kecuali jika terdapat alasan
pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukumnya. Hal ini terkait erat dengan
konsep sifat melawan hukum umum yang telah dibahas sebelumnya.
Variasi dalam pencantuman
unsur "melawan hukum" (eksplisit versus implisit) dalam KUHP lama
mencerminkan pilihan legislatif yang didasari oleh pertimbangan mengenai sifat
spesifik dari masing-masing delik serta kebutuhan untuk membatasi atau memperjelas
cakupan larangan yang dimaksud. Apabila suatu perbuatan, seperti pembunuhan,
hampir selalu dan secara universal dianggap melawan hukum, maka pencantuman
eksplisit unsur tersebut mungkin dianggap sebagai suatu redundansi oleh
pembentuk undang-undang. Namun, untuk perbuatan-perbuatan yang dalam konteks
tertentu bisa jadi sah atau dibenarkan (misalnya, mengambil suatu barang),
pencantuman frasa "melawan hukum" menjadi krusial untuk membedakan
antara tindakan yang bersifat kriminal dan tindakan yang memiliki dasar hukum
atau justifikasi. Ini menunjukkan adanya pertimbangan atau legislative
wisdom di balik teknik perumusan delik dalam KUHP.
Keharusan pembuktian unsur
"melawan hukum" yang dicantumkan secara eksplisit (yang dikenal
sebagai sifat melawan hukum khusus) menjadi salah satu jaminan penting bagi
hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana. Sebagaimana diuraikan dalam berbagai
sumber , jika "melawan hukum" merupakan unsur khusus yang termuat
dalam rumusan delik, maka jaksa penuntut umum memiliki beban untuk membuktikan
bahwa unsur tersebut benar-benar terpenuhi. Kegagalan dalam membuktikan unsur
ini akan berakibat pada tidak terbuktinya dakwaan secara keseluruhan. Hal ini
mencegah terjadinya penuntutan yang sembrono dan memastikan bahwa semua elemen
yang menjadikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana benar-benar terbukti
secara sah dan meyakinkan. Ini adalah manifestasi dari prinsip praduga tak
bersalah (presumption of innocence) dan prinsip bahwa beban pembuktian
dalam perkara pidana berada pada pihak penuntut.
VIII. Kontribusi Doktrinal
Para Ahli Hukum Pidana Indonesia
Pemahaman dan perkembangan
konsep perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana Indonesia tidak terlepas dari
kontribusi pemikiran para ahli hukum pidana terkemuka. Pandangan-pandangan
mereka telah membentuk diskursus akademis, mempengaruhi praktik peradilan, dan
memberikan landasan bagi pembaharuan hukum pidana.
Moeljatno
dikenal dengan definisinya mengenai perbuatan pidana sebagai perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai dengan
ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut. Beliau juga mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yang
mencakup unsur melawan hukum objektif (berkaitan dengan perbuatannya) dan unsur
melawan hukum subjektif (berkaitan dengan sikap batin pelaku). Moeljatno
cenderung mendukung teori dualistis dalam memandang hubungan antara tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Selain itu, Moeljatno juga merumuskan
kriteria kriminalisasi, yaitu suatu perbuatan layak dijadikan tindak pidana
jika merugikan publik, kriminalisasi merupakan sarana utama untuk
menanggulanginya, dan adanya kemampuan negara untuk menegakkan hukum tersebut.
Beliau juga mengingatkan akan bahaya "inflasi pidana" jika terlalu
banyak perbuatan dijadikan tindak pidana tanpa pertimbangan matang.
Sudarto
memberikan definisi pidana sebagai suatu penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Beliau membedakan antara pengertian unsur tindak pidana secara umum (yang lebih
luas) dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam
rumusan undang-undang. Sudarto juga mengemukakan kriteria kriminalisasi yang
penting, yaitu: (1) perbuatan tersebut tidak dikehendaki atau merugikan
masyarakat; (2) perlu adanya analisis biaya-manfaat (social-costs and
benefits) dalam menggunakan sarana hukum pidana; dan (3) pertimbangan
mengenai beban penegakan hukum. Pandangannya mengenai politik hukum pidana
menekankan pada usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang
paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Terkait sifat
melawan hukum, Sudarto mengakui eksistensi sifat melawan hukum materiil, baik
dalam fungsinya yang negatif maupun yang positif.
Oemar Seno Adji
banyak membahas mengenai perkembangan asas sifat melawan hukum materiil dalam
hukum pidana Indonesia. Beliau mengkategorikan afwezigheid van alle
materiele wederrechtelijkheid (AVMW) atau ketiadaan sifat melawan hukum
materiil sebagai salah satu alasan pembenar. Oemar Seno Adji juga menyoroti
peran penting yurisprudensi dalam mengakui dan menerapkan alasan-alasan
pembenar yang tidak tertulis dalam undang-undang , yang menunjukkan dinamika
hukum dalam merespons kebutuhan keadilan.
Selain para ahli hukum
Indonesia, pandangan dari para yuris Belanda yang karyanya menjadi rujukan
penting dalam pengembangan hukum pidana di Indonesia juga patut diperhatikan:
- Simons mendefinisikan strafbaar
feit (tindak pidana) dengan lima unsur utama: (1) perbuatan manusia
(aktif atau pasif); (2) diancam dengan pidana oleh undang-undang; (3)
bersifat melawan hukum (onrechtmatig); (4) dilakukan dengan
kesalahan (met schuld in verband staand); dan (5) dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon).
Simons merupakan salah satu penganut teori monistis.
- Van Hamel
mendefinisikan strafbaar feit sebagai kelakuan manusia yang
dirumuskan dalam undang-undang (wet), bersifat melawan hukum, patut
dipidana (strafwaardig), dan dilakukan dengan kesalahan. Van Hamel
juga dikenal sebagai penganut teori monistis.
- Hazewinkel-Suringa
memberikan definisi strafbaar feit sebagai suatu perilaku manusia
yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam suatu pergaulan hidup
tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum
pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang
terdapat di dalam undang-undang. Pandangannya juga dirujuk oleh Oemar Seno
Adji terkait dengan yurisprudensi mengenai alasan pembenar yang tidak
tertulis.
Barda Nawawi Arief,
sebagai salah satu tokoh pembaharuan hukum pidana Indonesia kontemporer,
dikenal sebagai pendukung teori dualistis. Beliau berpandangan bahwa upaya
pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditujukan untuk perlindungan
masyarakat dari tindakan-tindakan antisosial yang merugikan dan untuk
meningkatkan efektivitas penegakan hukum melalui perbaikan substansi hukum,
struktur hukum, dan budaya hukum.
Dari berbagai pandangan para
ahli tersebut, dapat ditarik beberapa pemahaman penting. Pertama, meskipun
terdapat keragaman dalam perumusan definisi dan unsur-unsur tindak pidana serta
posisi sifat melawan hukum, terdapat konsensus mengenai sentralitas sifat
melawan hukum dan kesalahan sebagai elemen konstitutif tindak pidana. Variasi
yang ada lebih mencerminkan perbedaan dalam penekanan analitis daripada
perbedaan substansial yang fundamental. Kedua, pemikiran para ahli hukum
Indonesia tidak hanya bersifat reseptif terhadap doktrin-doktrin dari tradisi
hukum Belanda, tetapi juga menunjukkan adanya upaya pengembangan, kritik, dan
adaptasi terhadap konteks dan kebutuhan hukum di Indonesia. Dukungan Moeljatno
terhadap teori dualistis, misalnya, merupakan salah satu bentuk pengembangan
pemikiran yang signifikan. Demikian pula, pandangan Sudarto dan Oemar Seno Adji
mengenai sifat melawan hukum materiil menunjukkan refleksi mendalam terhadap
pencarian keadilan substantif dalam sistem hukum pidana nasional. Ketiga, diskusi
mengenai kriteria kriminalisasi yang dikemukakan oleh Moeljatno dan Sudarto
memberikan landasan filosofis dan kebijakan kriminal (criminal policy)
yang sangat penting bagi setiap upaya pembaharuan hukum pidana. Pertimbangan
mengenai apakah suatu perbuatan benar-benar merugikan masyarakat, apakah hukum
pidana adalah sarana yang tepat, serta analisis biaya-manfaat dan kemampuan
penegakan hukum, menjadi filter krusial dalam merumuskan perbuatan apa saja
yang layak dikategorikan sebagai "melawan hukum" hingga memerlukan
intervensi berupa sanksi pidana. Ini menghubungkan konsep teoretis
"melawan hukum" dengan aspek praktis pembentukan dan penerapan undang-undang
pidana yang efektif dan adil.
IX. Peran Yurisprudensi
Mahkamah Agung dalam Menginterpretasi Sifat Melawan Hukum
Mahkamah Agung Republik
Indonesia (MA RI) memegang peranan krusial dalam menginterpretasikan dan
mengembangkan konsep sifat melawan hukum melalui putusan-putusannya
(yurisprudensi). Yurisprudensi MA tidak hanya berfungsi untuk menyelesaikan
perkara konkret, tetapi juga memberikan panduan dan membentuk pemahaman hukum
bagi praktisi dan akademisi, terutama dalam menghadapi kekosongan atau
ketidakjelasan dalam peraturan perundang-undangan.
Beberapa putusan MA yang
signifikan terkait interpretasi sifat melawan hukum antara lain:
- Putusan MA No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8
Januari 1966 (Perkara Machroes Effendi): Putusan ini
dianggap sebagai salah satu tonggak penting yang mengakui dan menerapkan
ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Dalam
pertimbangannya, MA menyatakan bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat
hilang sifatnya sebagai melawan hukum tidak hanya berdasarkan ketentuan
dalam perundang-undangan (hukum tertulis), melainkan juga berdasarkan
asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat
umum. Meskipun secara formil terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang
memenuhi unsur delik, sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut dapat
dihapuskan oleh adanya asas-asas keadilan atau hukum tidak tertulis yang
bersifat umum. Ini menunjukkan bahwa MA bersedia melampaui interpretasi
legalistik-formal demi mencapai keadilan substantif.
- Putusan MA No. 30K/Kr/1969 tanggal 6 Juni
1970: Putusan ini menegaskan prinsip bahwa dalam setiap
tindak pidana selalu terkandung unsur "sifat melawan hukum" dari
perbuatan yang dituduhkan, meskipun unsur tersebut tidak selalu
dicantumkan secara eksplisit dalam rumusan delik. Lebih lanjut, putusan
ini menyatakan bahwa meskipun rumusan delik penadahan tidak mencantumkan
unsur sifat melawan hukum, hal itu tidak berarti perbuatan yang dituduhkan
tidak merupakan delik penadahan, walaupun sifat melawan hukum tidak ada
sama sekali. Putusan ini mengukuhkan eksistensi sifat melawan hukum umum
sebagai elemen inheren dari setiap tindak pidana.
- Putusan MA No. 572 K/Pid/2003:
Putusan ini menunjukkan adanya upaya MA untuk menerapkan sifat melawan
hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Dalam kasus ini, perbuatan
yang dianggap bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau
kepatutan dalam pergaulan hidup dinilai memenuhi unsur melawan hukum
materiil, meskipun perbuatan tersebut mungkin tidak secara tegas diatur
dalam undang-undang sebagai tindak pidana. Namun, penerapan fungsi positif
ini menuai kritik tajam karena dianggap berpotensi melanggar asas
legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) yang mensyaratkan adanya dasar
hukum tertulis sebelum seseorang dapat dipidana. Kritik ini menyoroti
bahwa penggunaan hukum tidak tertulis sebagai dasar untuk memidana dapat
mengancam kepastian hukum.
- Putusan MA No. 592 K/PID/1984 (Perkara
Ahmad Lanun Marpaung): Dalam putusan ini, MA membebaskan
terdakwa dari dakwaan pencurian karena unsur "dengan maksud untuk
memiliki dengan melawan hukum" tidak terbukti. Pertimbangan utama MA
adalah ketidakjelasan mengenai batas-batas tanah yang menjadi objek perkara
dan adanya anggapan pada diri terdakwa bahwa ia berada di kebun miliknya
sendiri ketika melakukan perbuatan yang didakwakan. Putusan ini
menggarisbawahi pentingnya pembuktian yang cermat dan meyakinkan terhadap
setiap unsur delik, termasuk unsur melawan hukum yang bersifat subjektif
(niat). Ini juga menunjukkan bahwa MA dapat mengoreksi putusan pengadilan
di bawahnya (judex factie) jika terdapat kekurangcermatan dalam
pemeriksaan dan pembuktian fakta hukum yang menjadi dasar penentuan
terpenuhinya unsur melawan hukum.
Secara umum, yurisprudensi MA
telah menunjukkan adanya dinamika dalam pemahaman konsep sifat melawan hukum,
dengan kecenderungan untuk bergeser dari pandangan yang semata-mata formil
menuju pengakuan terhadap aspek materiil. Bahkan, terdapat upaya untuk menerapkan
fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil, meskipun hal ini tetap
menjadi area yang kontroversial dan penuh perdebatan, terutama dalam
kasus-kasus seperti tindak pidana korupsi sebelum adanya putusan Mahkamah
Konstitusi yang membatasi penafsiran tersebut.
Peran Mahkamah Agung sebagai interpreter
dan bahkan developer konsep sifat melawan hukum menjadi sangat vital,
terutama dalam mengisi kekosongan hukum atau mengatasi kekakuan undang-undang.
Putusan seperti kasus Machroes Effendi adalah contoh nyata bagaimana MA,
melalui penemuan hukum (rechtsvinding), mengadopsi dan melegitimasi
konsep sifat melawan hukum materiil fungsi negatif yang tidak secara eksplisit
diatur dalam KUHP lama. Ini menunjukkan bahwa MA tidak hanya menerapkan hukum
secara mekanis, tetapi juga berupaya mencapai keadilan yang lebih substantif.
Namun demikian, dinamika dan terkadang inkonsistensi dalam yurisprudensi MA
terkait sifat melawan hukum materiil, khususnya mengenai fungsi positifnya,
mencerminkan perdebatan doktrinal yang lebih luas dan kompleksitas dalam
menyeimbangkan antara tuntutan keadilan substantif dengan prinsip kepastian
hukum. Putusan-putusan MA juga menegaskan bahwa konsep abstrak "melawan
hukum" harus diuji dan dibuktikan secara konkret berdasarkan fakta-fakta
yang terungkap di persidangan, menuntut kecermatan dari judex factie
dalam menilai setiap kasus.
X. Transformasi Konsep
Perbuatan Melawan Hukum dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) membawa perubahan
signifikan dalam berbagai aspek hukum pidana Indonesia, termasuk dalam
perumusan dan pemahaman konsep perbuatan melawan hukum. KUHP Baru berupaya mengkodifikasi
perkembangan doktrin dan yurisprudensi yang telah ada, sekaligus memperkenalkan
beberapa inovasi.
A. Definisi dan Ruang Lingkup
Sifat Melawan Hukum dalam Pasal 12 KUHP Baru
Pasal 12 KUHP Baru menjadi
salah satu pasal kunci yang mengatur mengenai tindak pidana dan sifat melawan
hukum. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini adalah sebagai berikut:
- Pasal 12 ayat (1)
menyatakan: "Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan
perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan".
Ayat ini memberikan definisi dasar mengenai apa yang dimaksud dengan
tindak pidana, yaitu perbuatan yang telah ditetapkan dan diancam dengan
sanksi oleh hukum tertulis.
- Pasal 12 ayat (2)
menyatakan: "Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan
yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan
perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat". Ini merupakan ketentuan yang
sangat penting karena secara eksplisit mengkodifikasi pengakuan terhadap
sifat melawan hukum materiil. Frasa "harus bersifat melawan
hukum" merujuk pada pertentangan dengan hukum tertulis
(undang-undang), sedangkan frasa "atau bertentangan dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat" merujuk pada pertentangan dengan hukum tidak
tertulis atau norma-norma yang diakui masyarakat. Ini adalah langkah maju
yang signifikan dibandingkan KUHP lama yang tidak secara eksplisit
mengatur sifat melawan hukum materiil sebagai syarat kumulatif.
- Pasal 12 ayat (3)
menyatakan: "Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum,
kecuali ada alasan pembenar". Ayat ini menegaskan bahwa sifat melawan
hukum adalah unsur inheren atau umum dari setiap tindak pidana. Artinya,
setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pada dasarnya
selalu mengandung sifat melawan hukum. Namun, sifat melawan hukum ini
dapat ditiadakan atau gugur jika terdapat alasan pembenar yang diakui oleh
hukum. Penjelasan Pasal 12 ayat (3) lebih lanjut memperjelas bahwa ketiadaan
sifat melawan hukum dari Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2) merupakan suatu alasan pembenar. Ini memperkuat posisi sifat
melawan hukum umum dan sekaligus mengaitkannya secara langsung dengan
mekanisme alasan pembenar.
B. Implikasi "Hukum yang
Hidup dalam Masyarakat" (Pasal 2 KUHP Baru) terhadap Sifat Melawan Hukum
Materiil
Salah satu inovasi paling
signifikan dan sekaligus kontroversial dalam KUHP Baru adalah pengakuan
terhadap "hukum yang hidup dalam masyarakat" sebagai dasar
pemidanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2.
- Pasal 2 ayat (1)
KUHP Baru menyatakan: "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam Undang-Undang ini". Pasal ini secara formal
mengakui sumber hukum pidana di luar kodifikasi (undang-undang), yaitu
hukum adat atau hukum tidak tertulis yang hidup dan diakui dalam
masyarakat tertentu. Ini merupakan manifestasi paling jelas dari
pengadopsian sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, di
mana suatu perbuatan dapat dipidana berdasarkan norma tidak tertulis
meskipun tidak ada larangan eksplisit dalam KUHP Baru atau undang-undang
pidana lainnya.
- Namun, Pasal 2 ayat (2) memberikan
batasan terhadap keberlakuan hukum yang hidup tersebut. Dinyatakan bahwa
hukum yang hidup dalam masyarakat berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan
berlaku dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini serta sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas
hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
- Penjelasan Pasal 2
lebih lanjut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan "hukum yang hidup
dalam masyarakat" adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang
yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Untuk memperkuat
keberlakuan hukum yang hidup tersebut, Peraturan Daerah dapat mengatur
mengenai Tindak Pidana adat tersebut. Selain itu, Pasal 2 ayat (3)
menyebutkan bahwa ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan
hukum yang hidup dalam masyarakat akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pengaturan mengenai hukum yang
hidup dalam masyarakat ini telah menimbulkan pro dan kontra yang luas. Di satu
sisi, ia dipandang sebagai upaya untuk mengakomodasi kearifan lokal, pluralisme
hukum di Indonesia, dan mencapai keadilan substantif yang berakar pada
nilai-nilai masyarakat. Namun, di sisi lain, ia dikhawatirkan dapat mengancam
kepastian hukum, melanggar asas legalitas formal (karena potensi pemidanaan
tanpa dasar hukum tertulis yang jelas dan berlaku umum), serta membuka ruang
bagi interpretasi yang subjektif dan multitafsir. Persyaratan pembentukan
Peraturan Daerah untuk memberlakukan hukum yang hidup dapat dilihat sebagai
upaya untuk menyeimbangkan pengakuan terhadap hukum adat dengan kebutuhan akan
formalisasi dan kepastian hukum. Ini adalah upaya untuk memberikan bentuk yang
lebih konkret dan dapat diakses terhadap "hukum yang hidup" tersebut,
sekaligus mencegah penerapan yang sewenang-wenang. Namun, ini juga memunculkan
tantangan baru terkait standarisasi, harmonisasi antar-Perda, dan potensi konflik
antara hukum adat dengan prinsip-prinsip hukum nasional dan hak asasi manusia.
Implementasi Pasal 2 KUHP Baru ini dipastikan akan menjadi arena perdebatan
hukum yang intens di masa mendatang.
C. Alasan Pembenar dalam KUHP
Baru
KUHP Baru juga mengatur
mengenai alasan-alasan pembenar secara lebih sistematis dan terkodifikasi, yang
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum yang lebih besar mengenai
perbuatan-perbuatan apa saja yang, meskipun secara sepintas memenuhi rumusan
delik, tidak bersifat melawan hukum. Beberapa alasan pembenar yang diatur dalam
KUHP Baru antara lain:
- Pembelaan Terpaksa:
Diatur dalam Pasal 32 KUHP Baru (sebelumnya Pasal 49 ayat (1) KUHP Lama),
yang menyatakan bahwa setiap orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang
dilarang tidak dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan
terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum
terhadap diri sendiri atau orang lain, serta kehormatan dalam arti
kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain.
- Keadaan Darurat:
Diatur dalam Pasal 33 KUHP Baru (sebelumnya bagian dari Pasal 48 KUHP Lama
terkait noodtoestand), yang memungkinkan seseorang tidak dipidana
jika melakukan perbuatan karena terpaksa oleh keadaan darurat.
- Pelaksanaan Ketentuan Peraturan
Perundang-undangan: Diatur dalam Pasal 34 KUHP Baru
(sebelumnya Pasal 50 KUHP Lama), yang menyatakan bahwa orang yang
melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak dipidana.
- Pelaksanaan Perintah Jabatan:
Diatur dalam Pasal 35 KUHP Baru (sebelumnya Pasal 51 ayat (1) KUHP Lama),
yang menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan
perintah jabatan dari pejabat yang berwenang tidak dipidana.
Selain itu, KUHP Baru juga
mengatur mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf yang dapat digunakan oleh
korporasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2023. Pengaturan
ini merupakan respons terhadap perkembangan hukum pidana modern yang mengakui
korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana. Pengakuan bahwa korporasi juga dapat memiliki "alasan
pembenar" adalah konsekuensi logis dari pengakuan korporasi sebagai subjek
tindak pidana, menunjukkan adaptasi KUHP Baru terhadap realitas ekonomi dan
sosial kontemporer.
D. Perdebatan Doktrinal
Terkait Sifat Melawan Hukum Materiil Positif dan Negatif Pasca UU No. 1 Tahun
2023
Dengan diaturnya Pasal 2 dan
Pasal 12 ayat (2) KUHP Baru yang secara eksplisit mengakui "hukum yang
hidup dalam masyarakat" sebagai dasar untuk menentukan sifat melawan hukum
suatu perbuatan, maka KUHP Baru secara efektif telah mengadopsi ajaran sifat
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Hal ini menandai
pergeseran signifikan dari KUHP lama yang lebih kental dengan nuansa sifat
melawan hukum formil atau, jika pun materiil, lebih banyak diinterpretasikan
dalam fungsi negatifnya melalui yurisprudensi.
Meskipun demikian,
pengadopsian fungsi positif ini tidak serta-merta mengakhiri perdebatan
doktrinal. Sebaliknya, ia memindahkan arena perdebatan ke tataran interpretasi
dan implementasi pasal-pasal tersebut. Potensi bentrokan dengan asas legalitas
formal (sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Baru yang menyatakan
"Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau
tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan") dan
prinsip kepastian hukum tetap menjadi isu sentral. Beberapa ahli hukum pidana
tetap berpandangan bahwa yang lebih dibutuhkan dan lebih aman bagi sistem hukum
pidana Indonesia adalah pengakuan terhadap sifat melawan hukum materiil dalam
fungsinya yang negatif, yang berfungsi sebagai katup pengaman keadilan tanpa
harus mengorbankan prinsip legalitas secara fundamental.
Lebih lanjut, meskipun Pasal 1
ayat (2) KUHP Baru secara tegas melarang penggunaan analogi dalam menetapkan
adanya tindak pidana, pengakuan terhadap "hukum yang hidup dalam
masyarakat" melalui Pasal 2 ayat (1) dapat dilihat sebagai suatu bentuk
perluasan atau bahkan penyimpangan dari larangan analogi tersebut jika tidak
diatur dan diterapkan dengan sangat hati-hati dan terukur. Tantangan terbesar
ke depan adalah bagaimana mendamaikan pengakuan terhadap hukum yang hidup (yang
bertujuan untuk fleksibilitas dan keadilan substantif yang berakar pada
nilai-nilai lokal) dengan prinsip-prinsip fundamental hukum pidana modern
seperti kepastian hukum (lex certa), larangan retroaktif, dan
perlindungan hak asasi manusia. Ini adalah suatu balancing act yang
kompleks dan akan sangat bergantung pada kearifan pembentuk peraturan pelaksana
(Pemerintah dan DPRD) serta para hakim dalam menafsirkan dan menerapkan
ketentuan-ketentuan baru ini.
XI. Analisis Kritis: Tantangan
dan Implikasi Praktis
Pemberlakuan KUHP Baru,
khususnya terkait transformasi konsep perbuatan melawan hukum, membawa sejumlah
tantangan dan implikasi praktis yang signifikan bagi sistem peradilan pidana di
Indonesia. Pengakuan eksplisit terhadap sifat melawan hukum materiil dan
"hukum yang hidup dalam masyarakat" sebagai dasar pemidanaan akan
menuntut perubahan paradigma dan penyesuaian kapasitas dari seluruh komponen
sistem peradilan pidana.
Salah satu tantangan utama
adalah potensi isu interpretasi yang sangat besar terkait Pasal 2 dan Pasal 12
KUHP Baru. Menentukan secara objektif dan konsisten apa yang dimaksud dengan
"hukum yang hidup dalam masyarakat," bagaimana membuktikannya di
pengadilan, siapa yang berwenang menafsirkannya, dan bagaimana memastikan
kesesuaiannya dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, serta HAM, akan menjadi
pekerjaan rumah yang kompleks. Tanpa pedoman yang jelas dan mekanisme kontrol
yang efektif, terdapat risiko disparitas putusan dan ketidakpastian hukum.
Implikasi langsung dari
perubahan ini adalah kebutuhan mendesak akan sosialisasi masif dan pelatihan
komprehensif bagi aparat penegak hukum, mulai dari penyidik, penuntut umum,
hingga hakim. Mereka harus dibekali dengan pemahaman yang mendalam mengenai konsep-konsep
baru ini, termasuk filosofi di baliknya dan bagaimana menerapkannya secara adil
dan konsisten. Kegagalan dalam membangun pemahaman yang seragam dapat berujung
pada kesalahan penerapan hukum dan potensi pelanggaran hak-hak tersangka atau
terdakwa.
Selain itu, terdapat
kekhawatiran yang disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat sipil bahwa
pasal-pasal tertentu dalam KUHP Baru, termasuk yang berkaitan dengan
interpretasi sifat melawan hukum berdasarkan norma-norma masyarakat yang tidak
tertulis, dapat disalahgunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi, kritik, atau
tindakan-tindakan yang seharusnya dilindungi dalam negara demokrasi.
Fleksibilitas yang ditawarkan oleh pengakuan hukum yang hidup harus diimbangi
dengan jaminan perlindungan terhadap kebebasan fundamental dan hak-hak
minoritas.
Implementasi KUHP Baru,
khususnya terkait konsep sifat melawan hukum materiil dan pengakuan terhadap
hukum yang hidup, akan menjadi ujian berat bagi kapasitas sistem hukum
Indonesia untuk beradaptasi, berinovasi, sekaligus menjaga keseimbangan antara
berbagai nilai hukum yang fundamental: keadilan substantif, kepastian hukum,
kemanfaatan sosial, dan perlindungan hak asasi manusia. Keberhasilan KUHP Baru
tidak hanya akan ditentukan oleh kualitas teks normatifnya, tetapi lebih
penting lagi oleh bagaimana ia diinterpretasikan, diimplementasikan, dan
dihidupkan melalui praktik penegakan hukum, putusan-putusan yudisial yang
bijaksana, serta penerimaan dan partisipasi kritis dari masyarakat.
Dalam konteks ini, peran
Mahkamah Agung akan kembali menjadi sentral. Sebagaimana MA telah berkontribusi
dalam membentuk pemahaman mengenai sifat melawan hukum di bawah KUHP lama
melalui yurisprudensi-yurisprudensi penting, MA juga akan diharapkan untuk melakukan
hal yang sama dalam mengawal implementasi KUHP Baru. Putusan-putusan awal yang
menguji dan menafsirkan Pasal 2 dan Pasal 12 KUHP Baru akan menjadi preseden
krusial yang membentuk arah praktik hukum pidana di masa depan. Ini menunjukkan
adanya siklus yang berkelanjutan dalam pengembangan hukum, di mana produk
legislasi akan selalu diikuti dan disempurnakan melalui proses interpretasi
yudisial yang dinamis dan responsif terhadap tantangan zaman.
XII. Kesimpulan
Konsep perbuatan melawan hukum
dalam hukum pidana Indonesia telah mengalami evolusi yang signifikan, bergerak
dari pemahaman yang sempit dan legistis-formal menuju pengakuan yang lebih luas
terhadap aspek materiil dan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Perkembangan ini dipengaruhi oleh dinamika yurisprudensi, kontribusi doktrinal
para ahli hukum, serta kebutuhan untuk menciptakan sistem hukum pidana yang
lebih responsif dan berkeadilan.
KUHP lama (WvS) secara
implisit maupun eksplisit telah mengakui unsur melawan hukum sebagai elemen
esensial tindak pidana. Perdebatan klasik antara ajaran sifat melawan hukum
formil yang menekankan kepastian hukum berdasarkan hukum tertulis, dengan ajaran
sifat melawan hukum materiil yang berupaya mencapai keadilan substantif dengan
merujuk pada hukum tidak tertulis, telah mewarnai diskursus hukum pidana selama
berpuluh-puluh tahun. Yurisprudensi Mahkamah Agung memainkan peran penting
dalam menjembatani ketegangan ini, terutama melalui pengakuan terhadap sifat
melawan hukum materiil dalam fungsi negatifnya.
Kini, KUHP Baru (UU No. 1
Tahun 2023) secara eksplisit mengkodifikasi banyak perkembangan tersebut. Pasal
12 KUHP Baru menegaskan bahwa sifat melawan hukum atau pertentangan dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat adalah syarat mutlak suatu perbuatan dapat
dinyatakan sebagai tindak pidana. Lebih lanjut, Pasal 2 KUHP Baru secara
kontroversial mengakui "hukum yang hidup dalam masyarakat" sebagai
dasar pemidanaan, yang secara efektif mengadopsi sifat melawan hukum materiil
dalam fungsi positifnya. Langkah ini, meskipun bertujuan untuk mengakomodasi
pluralisme hukum dan kearifan lokal, membawa tantangan besar terkait kepastian
hukum, potensi konflik dengan asas legalitas formal, dan risiko interpretasi
yang beragam.
Implementasi konsep perbuatan
melawan hukum dalam kerangka KUHP Baru akan menghadapi ujian berat. Diperlukan
upaya serius dalam penyusunan peraturan pelaksana yang cermat (Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Daerah), sosialisasi dan pelatihan yang masif bagi
aparat penegak hukum, serta pengembangan yurisprudensi yang konsisten dan
progresif oleh Mahkamah Agung. Keseimbangan antara pengakuan terhadap
nilai-nilai keadilan masyarakat dan perlindungan terhadap hak-hak individu
serta prinsip-prinsip hukum pidana modern akan menjadi kunci keberhasilan
reformasi hukum pidana ini.
Pada akhirnya, pemahaman dan
penerapan konsep perbuatan melawan hukum akan terus berkembang seiring dengan
dinamika masyarakat dan kebutuhan akan sistem peradilan pidana yang tidak hanya
pasti secara hukum, tetapi juga adil secara substantif dan mampu menjawab
tantangan zaman. Peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan – akademisi,
praktisi hukum, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil – akan sangat
menentukan arah masa depan konsep fundamental ini dalam tatanan hukum pidana
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar