Senin, 05 Mei 2025

Perencanaan Penelitian Hukum Yuridis Normatif

Tahap perencanaan merupakan fondasi krusial dalam penelitian hukum yuridis normatif. Perencanaan yang matang akan mengarahkan seluruh proses penelitian secara sistematis dan logis menuju pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Tahapan ini meliputi identifikasi dan perumusan masalah, penetapan kerangka teoretis dan konseptual, serta pemilihan pendekatan penelitian yang tepat.  

Identifikasi dan Perumusan Masalah Hukum

Langkah awal dalam setiap penelitian adalah mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang akan diteliti. Dalam konteks penelitian hukum normatif, masalah hukum biasanya bersumber dari kondisi norma hukum itu sendiri.  

  1. Identifikasi Masalah: Proses ini melibatkan pencarian dan penemuan isu hukum yang relevan dan layak untuk diteliti. Titik berangkat identifikasi masalah seringkali adalah adanya persoalan dalam sistem norma, seperti:  
    • Kekosongan Hukum (Rechtsvacuum): Situasi di mana tidak ada aturan hukum yang jelas untuk mengatur suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu.  
    • Kekaburan Norma (Obscuur Norm): Adanya aturan hukum yang rumusannya tidak jelas, ambigu, atau multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.  
    • Konflik Norma (Antinomy): Terjadinya pertentangan antara satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya, baik secara vertikal (antara peraturan yang lebih tinggi dan rendah) maupun horizontal (antar peraturan sederajat).  
  2. Latar Belakang Masalah dan Konsep Das Sein vs Das Sollen: Setelah isu hukum teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah menyusun latar belakang masalah. Bagian ini sangat penting untuk memberikan konteks dan justifikasi mengapa penelitian perlu dilakukan. Latar belakang harus mampu menggambarkan adanya kesenjangan antara das Sein (hukum dalam kenyataan, apa yang terjadi atau diterapkan) dan das Sollen (hukum yang seharusnya berlaku menurut norma, teori, atau cita-cita hukum). Argumentasi mengenai pemilihan topik penelitian harus secara eksplisit menunjukkan perbedaan atau ketidaksesuaian antara kedua ranah ini. Penting untuk dipahami bahwa penyebutan das Sein dalam latar belakang penelitian normatif tidak berarti penelitian tersebut menjadi empiris. Deskripsi mengenai peristiwa konkret atau fenomena sosial (das Sein) berfungsi sebagai pemicu masalah (trigger) dan konteks untuk menyoroti relevansi pengkajian norma (das Sollen). Fokus analisis tetap pada norma hukum, bukan pada pengujian fakta empiris di lapangan. Latar belakang yang baik memuat uraian deskriptif dan eksploratif mengenai gejala/fenomena praktis yang diteliti, argumentasi pemilihan topik (kesenjangan das Sein dan das Sollen), situasi yang melatarbelakangi masalah (diuraikan dari umum ke khusus lalu ke umum lagi), serta tinjauan terhadap penelitian terdahulu yang relevan untuk menunjukkan posisi penelitian saat ini.  
  3. Perumusan Masalah: Berdasarkan latar belakang yang telah disusun, masalah penelitian kemudian dirumuskan secara eksplisit. Rumusan masalah adalah pernyataan yang lengkap, jelas, dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti. Rumusan masalah harus fokus, terukur, dan dapat dijawab melalui analisis bahan hukum dengan menggunakan metode normatif. Biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian. Jumlah rumusan masalah akan menentukan jumlah tujuan penelitian yang ingin dicapai.  
  4. Judul Penelitian: Judul penelitian harus dirumuskan secara singkat, jelas, dan akurat mencerminkan isi, fokus, dan ruang lingkup penelitian normatif yang akan dilakukan. Judul seringkali berangkat dari pertanyaan dasar mengenai suatu peristiwa hukum (siapa pelakunya, apa tujuannya, mengapa terjadi, bagaimana prosesnya). Berbagai contoh judul skripsi atau tesis hukum normatif dapat ditemukan dalam repositori universitas atau jurnal ilmiah.  

Penetapan Kerangka Teoretis dan Konseptual

Setelah masalah dirumuskan, peneliti perlu membangun landasan berpikir yang kokoh melalui kerangka teoretis dan konseptual.

  1. Kerangka Teoretis: Bagian ini melibatkan penyusunan landasan teori yang relevan dengan isu hukum yang diteliti. Teori dapat berasal dari teori-teori hukum yang sudah mapan, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, maupun pendapat para sarjana (doktrin). Teori berfungsi untuk memberikan penjelasan, mengorganisasikan, dan mensistematisasikan masalah yang dipelajari , serta menjadi dasar atau "pisau analisis" dalam membedah permasalahan hukum. Pada tahap proposal, kerangka teoretis ini seringkali masih bersifat tentatif atau sementara. Dalam penelitian hukum normatif yang bersifat terapan (seperti skripsi atau tesis), penting untuk memahami fungsi instrumental dari teori. Teori tidak menjadi objek utama yang diteliti, melainkan digunakan sebagai alat bantu untuk menganalisis dan mengevaluasi norma hukum atau kasus yang menjadi fokus penelitian. Oleh karena itu, peneliti harus cermat memilih teori yang paling relevan dan dapat diterapkan untuk memecahkan masalah yang dirumuskan, bukan sekadar memaparkan berbagai teori tanpa kaitan analisis yang jelas.  
  2. Kerangka Konseptual: Kerangka konseptual bertujuan untuk memberikan definisi operasional terhadap istilah-istilah atau konsep-konsep kunci yang digunakan dalam penelitian. Hal ini penting untuk menghindari ambiguitas, kesimpangsiuran pengertian, dan memastikan konsistensi penggunaan istilah di seluruh laporan penelitian. Definisi konseptual memberikan batasan yang jelas mengenai makna variabel atau konsep utama yang diteliti.  

Pemilihan Pendekatan Penelitian

Pemilihan pendekatan merupakan bagian penting dari strategi penelitian. Pendekatan akan menentukan cara peneliti dalam mengumpulkan informasi dan menganalisis isu hukum dari berbagai aspek. Dalam penelitian hukum normatif, terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan, baik secara tunggal maupun kombinasi, tergantung pada sifat dan kompleksitas masalah yang diteliti.  

  1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach): Ini adalah pendekatan fundamental dalam penelitian hukum normatif yang fokus pada aturan hukum tertulis. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang relevan dengan isu hukum yang sedang dibahas. Tujuannya adalah untuk memahami isi norma, mencari ratio legis (alasan pembentukan hukum), dasar filosofis, yuridis, dan sosiologisnya, serta menganalisis potensi harmonisasi dan sinkronisasi antar peraturan. Pendekatan ini hampir selalu digunakan dalam penelitian normatif yang mengkaji hukum positif.  
  2. Pendekatan Kasus (Case Approach): Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah kasus-kasus atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti. Fokus utamanya adalah pada ratio decidendi atau pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tersebut. Pendekatan ini berbeda dengan studi kasus (case study) yang menganalisis satu kasus secara mendalam dari berbagai sudut pandang hukum.  
  3. Pendekatan Historis (Historical Approach): Pendekatan ini menelaah latar belakang sejarah dan perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi. Tujuannya adalah untuk mengungkap filosofi, pola pikir, dan konteks sosial-politik yang melahirkan suatu aturan atau konsep hukum, terutama jika pemahaman historis tersebut masih relevan untuk masa kini.  
  4. Pendekatan Komparatif (Comparative Approach): Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan sistem hukum, aturan hukum, atau putusan pengadilan antara Indonesia dengan satu atau lebih negara lain, atau membandingkan aturan dari waktu yang berbeda. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan, memahami berbagai alternatif pengaturan, serta menganalisis konsistensi antara filosofi dan implementasi hukum di berbagai yurisdiksi.  
  5. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach): Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari konsep dan prinsip hukum yang relevan, peneliti dapat membangun argumentasi hukum untuk memecahkan isu yang dihadapi.  
  6. Pendekatan Lain: Beberapa sumber juga menyebutkan pendekatan lain seperti pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach) , yang mungkin memiliki tumpang tindih dengan pendekatan konseptual atau fokus pada aspek filosofis hukum. Ada pula penyebutan pendekatan fakta (fact approach) yang dalam konteks normatif perlu dipahami secara hati-hati, kemungkinan merujuk pada analisis fakta hukum dalam putusan (terkait pendekatan kasus) atau penggunaan fakta sebagai pemicu masalah (das Sein), bukan analisis fakta empiris. Pendekatan frasa (phrase approach) fokus pada interpretasi istilah hukum spesifik.  

Pemilihan pendekatan tidak bersifat kaku; seringkali peneliti perlu mengkombinasikan beberapa pendekatan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap masalah hukum yang kompleks. Misalnya, pendekatan perundang-undangan dapat dikombinasikan dengan pendekatan kasus untuk melihat bagaimana norma diterapkan dalam putusan, atau dengan pendekatan konseptual untuk memperdalam analisis makna norma tersebut. Fleksibilitas dalam memilih dan menggabungkan pendekatan yang relevan menjadi kunci strategi penelitian yang efektif.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...