Tahap analisis dan interpretasi merupakan jantung dari penelitian hukum yuridis normatif. Pada tahap inilah bahan hukum yang telah dikumpulkan diolah secara intelektual untuk menjawab permasalahan penelitian dan menghasilkan temuan serta argumentasi hukum yang kokoh.
Metode Analisis Bahan Hukum
Analisis dalam penelitian
hukum normatif secara fundamental bersifat kualitatif. Tujuannya bukan mengukur
frekuensi atau hubungan statistik, melainkan menguraikan, menjelaskan, dan
memberi makna pada bahan hukum yang ada melalui penggunaan logika dan penalaran
hukum. Analisis ini bertujuan mengolah bahan hukum menjadi uraian dalam bentuk
kalimat yang teratur, logis, dan efektif sehingga mudah dipahami dan
diinterpretasikan.
Proses analisis ini bukanlah
sekadar kompilasi atau rangkuman pasif dari peraturan dan pendapat ahli.
Sebaliknya, ia merupakan proses intelektual aktif yang melibatkan penilaian
kritis, penemuan makna tersembunyi, pencarian koherensi dalam sistem hukum, dan
pembangunan argumentasi hukum yang kuat dan meyakinkan. Beberapa teknik
analisis utama yang sering digunakan secara terintegrasi (bersifat
deskriptif-analitis) meliputi :
- Teknik Deskriptif:
Memaparkan secara akurat dan sistematis fakta-fakta hukum yang relevan,
seperti isi norma dalam peraturan perundang-undangan, pertimbangan hukum
dalam putusan pengadilan (yurisprudensi), atau pandangan doktrin mengenai
suatu isu. Tujuannya adalah memberikan gambaran yang jelas mengenai
keadaan hukum (state of the law) terkait permasalahan.
- Teknik Evaluatif:
Memberikan penilaian atau justifikasi terhadap objek yang diteliti (norma,
putusan, pendapat ahli) berdasarkan kriteria hukum tertentu. Penilaian ini
bisa menyangkut kebenaran, keabsahan, kesesuaian (misalnya, kesesuaian
norma dengan asas hukum atau peraturan yang lebih tinggi), efektivitas
(secara normatif, bukan empiris), atau menentukan bagaimana seharusnya
suatu hal diatur atau diputuskan menurut hukum (what the law ought to
be).
- Teknik Interpretatif:
Menerapkan berbagai metode penafsiran hukum (yang akan dibahas lebih
lanjut di sub-bab B) untuk menggali dan menetapkan makna yang terkandung
dalam teks-teks hukum (peraturan atau putusan) yang ambigu atau memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
- Teknik Sistematis:
Mencari keterkaitan, hubungan, dan konsistensi antara berbagai aturan
hukum dalam kerangka sistem hukum yang lebih luas. Ini melibatkan upaya
menghubungkan satu pasal dengan pasal lain dalam satu UU, atau
menghubungkan satu UU dengan UU lain yang relevan, untuk memahami hukum
sebagai satu kesatuan yang koheren. Analisis sinkronisasi vertikal dan
horizontal termasuk dalam teknik ini.
- Teknik Konstruktif:
Membentuk atau mengusulkan konstruksi hukum baru untuk mengisi kekosongan
hukum atau mengatasi permasalahan yang tidak diatur secara eksplisit dalam
peraturan. Konstruksi ini biasanya dilakukan melalui penggunaan penalaran
hukum seperti analogi atau argumentum a contrario.
- Teknik Argumentatif:
Membangun alur penalaran hukum yang logis, sistematis, dan persuasif untuk
mendukung kesimpulan, penilaian, atau interpretasi yang diajukan peneliti.
Argumentasi ini harus didasarkan pada analisis bahan hukum primer dan
sekunder yang telah dilakukan.
- Teknik Komparatif:
Jika menggunakan pendekatan perbandingan, teknik ini melibatkan analisis
perbandingan untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara sistem
hukum, aturan, atau putusan yang dibandingkan.
Landasan utama dalam melakukan
analisis ini adalah norma hukum positif (peraturan perundang-undangan),
yurisprudensi (putusan pengadilan yang relevan), dan doktrin (pendapat para
sarjana hukum), yang seringkali dipertimbangkan secara hierarkis. Proses berpikir
dalam analisis ini dapat bergerak secara deduktif (dari norma umum ke kasus
khusus) maupun induktif (dari data/kasus khusus ke prinsip/asas umum),
seringkali dalam suatu proses dialektis untuk menghubungkan peristiwa konkret
(sebagai pemicu masalah) dengan peraturan hukum yang relevan.
Metode Penafsiran Hukum
Penafsiran hukum (rechtsvinding
atau interpretatie) merupakan salah satu kegiatan sentral dalam analisis
hukum normatif. Penafsiran diperlukan karena bahasa yang digunakan dalam
perumusan norma hukum tidak selalu jelas, bisa bersifat ambigu, atau konteks
sosial dan teknologi saat norma diterapkan mungkin sudah berbeda dari saat
norma tersebut dibuat. Penafsiran bertujuan untuk memahami makna yang
sebenarnya terkandung dalam teks hukum agar dapat diterapkan secara tepat pada
suatu kasus atau isu hukum.
Terdapat berbagai metode
penafsiran hukum yang telah dikembangkan dalam ilmu hukum. Penguasaan
metode-metode ini penting bagi peneliti, namun yang lebih krusial adalah
kemampuan untuk memilih dan menerapkan metode yang paling tepat secara
bijaksana dan argumentatif sesuai dengan konteks masalah hukum yang dihadapi.
Tidak ada hierarki atau prioritas mutlak di antara metode-metode ini; pilihan
metode bergantung pada justifikasi peneliti. Hasil penafsiran pun dapat berbeda
tergantung metode yang digunakan. Berikut adalah beberapa metode penafsiran
yang umum digunakan:
- Penafsiran Gramatikal (Bahasa):
Menafsirkan arti kata-kata dalam teks hukum sesuai dengan kaidah tata
bahasa dan makna yang lazim digunakan dalam bahasa sehari-hari atau bahasa
hukum pada saat aturan itu dibuat. Fokusnya adalah pada makna literal
teks.
- Penafsiran Sistematis (Logis):
Menafsirkan suatu ketentuan hukum dengan cara menghubungkannya dengan
ketentuan hukum lain dalam peraturan yang sama atau peraturan lain yang
terkait, atau dengan melihatnya sebagai bagian dari keseluruhan sistem
hukum. Membaca penjelasan resmi UU juga termasuk dalam metode ini.
- Penafsiran Historis:
Mencari makna ketentuan hukum dengan meneliti sejarah pembentukannya. Ini
bisa berupa:
- Sejarah Peraturan Perundang-undangan
(Wetshistorische Interpretatie): Meneliti proses
legislasi, seperti risalah pembahasan, naskah akademik, atau debat di
parlemen, untuk memahami maksud asli pembentuk UU (original intent).
- Sejarah Hukum (Rechtshistorische
Interpretatie): Meneliti konteks sejarah hukum yang
lebih luas di mana suatu aturan atau lembaga hukum berkembang.
- Penafsiran Teleologis (Sosiologis):
Menafsirkan ketentuan hukum berdasarkan tujuan (telos) atau maksud
kemasyarakatan dari peraturan tersebut. Penafsiran ini seringkali
mempertimbangkan kebutuhan dan perkembangan masyarakat saat ini, sehingga
bersifat lebih dinamis.
- Penafsiran Otentik (Resmi):
Penafsiran yang diberikan secara resmi oleh pembentuk UU itu sendiri, yang
biasanya tercantum dalam bagian penjelasan UU atau dalam pasal-pasal
definisi di dalam UU tersebut. Metode ini sebenarnya bukan metode penemuan
hukum oleh hakim, melainkan penegasan makna oleh pembuat UU.
- Penafsiran Ekstensif:
Memperluas cakupan makna suatu istilah atau ketentuan hukum melampaui
batas arti harfiahnya, namun masih dalam kerangka makna dasar istilah
tersebut. Beberapa ahli (seperti Paul Scholten dan B.V.A. Röling)
berpendapat bahwa tidak ada perbedaan prinsipil antara penafsiran
ekstensif dan analogi, atau bahwa analogi adalah bentuk dari penafsiran
teleologis.
- Penafsiran Restriktif:
Mempersempit atau membatasi cakupan makna suatu istilah atau ketentuan
hukum, seringkali bertitik tolak dari makna harfiahnya. Ini adalah
kebalikan dari penafsiran ekstensif.
- Argumentum a Contrario (Penalaran
Berlawanan): Menarik kesimpulan bahwa suatu hal tidak
termasuk dalam cakupan suatu aturan karena hal tersebut merupakan
kebalikan dari apa yang diatur secara eksplisit.
- Analogi (Persamaan):
Menerapkan suatu ketentuan hukum yang mengatur suatu peristiwa tertentu
pada peristiwa lain yang tidak diatur secara eksplisit, tetapi memiliki
esensi atau prinsip dasar yang sama. Analogi dilarang digunakan dalam
hukum pidana untuk menetapkan tindak pidana baru karena bertentangan
dengan asas legalitas.
- Penafsiran Komparatif: Mencari
kejelasan makna suatu ketentuan hukum dengan membandingkannya dengan
sistem hukum atau aturan hukum di negara lain, terutama relevan untuk
hukum yang berasal dari perjanjian internasional.
- Penafsiran Futuristis (Antisipatif):
Mencari solusi atau pemahaman terhadap suatu isu hukum dengan merujuk pada
rancangan undang-undang (RUU) atau peraturan yang sedang dalam proses
pembentukan dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penafsiran hukum, dengan
demikian, bukanlah sekadar aktivitas teknis mekanis, melainkan sebuah proses
yang melibatkan pemahaman mendalam terhadap teks, konteks, tujuan hukum, dan
sistem hukum secara keseluruhan, serta kemampuan membangun argumentasi interpretatif
yang logis dan meyakinkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar