1. Pendahuluan
Dalam
sistem hukum administrasi negara, konsep kewenangan (bevoegdheid)
memegang peranan sentral sebagai landasan bagi setiap tindakan yang dilakukan
oleh organ-organ pemerintahan dan pejabat negara. Sebagai negara hukum (rechtsstaat),
Republik Indonesia menuntut agar seluruh tindakan penyelenggara negara
didasarkan pada kekuasaan yang sah, yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tanpa adanya kewenangan yang jelas dan
legitimate, tindakan administrasi negara dapat dianggap tidak sah dan
berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum serta pelanggaran terhadap hak-hak
warga negara. Laporan ini bertujuan untuk menyajikan analisis komprehensif
mengenai tiga konsep fundamental yang berkaitan dengan perolehan dan pelaksanaan
kewenangan dalam hukum administrasi negara Indonesia, yaitu kewenangan
atribusi, mandat, dan delegasi. Pembahasan ini akan didasarkan pada pendapat
para ahli hukum terkemuka di Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang
relevan, guna memberikan pemahaman yang mendalam mengenai perbedaan,
karakteristik, implikasi hukum, dan dasar hukum dari masing-masing konsep
tersebut. Pemahaman yang jernih terhadap ketiga konsep ini krusial untuk
memastikan kepastian hukum, akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan, dan
berjalannya sistem administrasi negara yang efektif dan sesuai dengan
prinsip-prinsip negara hukum.
2. Kewenangan Atribusi (Attribution of Authority)
- Definisi dan Penjelasan oleh Ahli Hukum:
Kewenangan
atribusi merupakan konsep dasar dalam hukum administrasi negara yang merujuk
pada pemberian kewenangan pemerintahan secara langsung oleh peraturan
perundang-undangan kepada suatu organ atau pejabat negara pada saat pembentukan
organ atau jabatan tersebut. Menurut Boli, kewenangan atribusi adalah
kompetensi yang secara langsung diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau
undang-undang. Pandangan ini menekankan bahwa sumber utama kewenangan atribusi
adalah konstitusi dan undang-undang, yang secara eksplisit mencantumkan
kekuasaan yang dimiliki oleh suatu lembaga atau pejabat negara.
Contoh
yang dikemukakan oleh Boli adalah kewenangan Mahkamah Agung untuk membatalkan
peraturan daerah, yang secara atribusi diberikan oleh Pasal 24A ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan atribusi
bersifat orisinal dan melekat pada jabatan atau lembaga yang bersangkutan sejak
awal pembentukannya.
Philipus
M. Hadjon mendefinisikan atribusi sebagai pemberian kewenangan
kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 atau undang-undang. Hadjon lebih lanjut
menjelaskan bahwa kewenangan melalui atribusi memiliki beberapa ciri, yaitu
diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang, merupakan kewenangan baru atau
sebelumnya tidak ada, dan diberikan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Aspek "baru atau sebelumnya tidak ada" ini penting karena menunjukkan
bahwa atribusi menciptakan kewenangan yang sebelumnya tidak dimiliki oleh organ
pemerintahan mana pun dalam konteks spesifik tersebut.
Definisi
yang serupa juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, yang menyatakan bahwa atribusi adalah pemberian
Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Definisi ini
mengukuhkan pandangan bahwa sumber utama kewenangan atribusi adalah pembentuk
undang-undang, baik dalam arti formal (DPR bersama Presiden) maupun dalam arti
materiil (UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi).
Secara
etimologis, istilah "atribusi" berasal dari bahasa Latin "ad
tribuere," yang berarti "memberikan kepada". Dalam konteks hukum
tata negara dan hukum administrasi, konsep teknis kewenangan atribusi diartikan
sebagai kewenangan yang diberikan atau ditetapkan untuk jabatan tertentu.
Jabatan yang dibentuk oleh UUD memperoleh atribusi kewenangan dari UUD, seperti
wewenang atribusi Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 untuk
melaksanakan kekuasaan pemerintahan. Begitu pula, jabatan yang dibentuk oleh
undang-undang memperoleh kewenangan atribusi yang ditetapkan oleh
undang-undang, contohnya adalah wewenang Gubernur dan Bupati/Walikota yang
ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan
demikian, atribusi menunjuk kepada Kewenangan Asli atas dasar ketentuan
Hukum Tata Negara dan merupakan wewenang untuk membuat Keputusan (Besluit)
yang langsung bersumber kepada Undang-Undang dalam arti Materiil.
H.D
van Wijk dan Willem Konijnenbelt juga mendefinisikan atribusi
sebagai pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ
pemerintahan. Ridwan HR menambahkan bahwa wewenang yang diperoleh secara
atribusi bersifat asli dan berasal langsung dari peraturan perundang-undangan,
di mana organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi
pasal tertentu dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima
wewenang memiliki kapasitas untuk menciptakan wewenang baru atau memperluas
wewenang yang sudah ada.
Indroharto
berpendapat
bahwa atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu, J.G Brouwer
menyatakan bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu
organ (institusi) pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif
yang independen, dan kewenangan ini bersifat asli, tidak diambil dari
kewenangan lain maupun merupakan perluasan kewenangan sebelumnya.
- Karakteristik Utama Kewenangan Atribusi:
Berdasarkan
berbagai definisi dan penjelasan dari para ahli hukum, dapat disimpulkan
beberapa karakteristik utama dari kewenangan atribusi. Pertama, kewenangan
atribusi bersumber langsung dari peraturan perundang-undangan yang memiliki
kedudukan paling tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar dan undang-undang.
Kedua, atribusi menciptakan kewenangan yang baru atau yang sebelumnya tidak
ada pada organ pemerintahan yang bersangkutan. Ketiga, kewenangan
atribusi diberikan secara spesifik kepada badan atau pejabat pemerintahan
tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya. Keempat, tanggung jawab
atas pelaksanaan kewenangan yang diatribusikan sepenuhnya berada pada badan
atau pejabat pemerintahan yang bersangkutan. Kelima, kewenangan atribusi pada
umumnya tidak dapat didelegasikan kepada pihak lain, kecuali jika secara
eksplisit diatur atau diperbolehkan oleh Undang-Undang Dasar atau
undang-undang. Pembatasan ini menunjukkan sifat fundamental dan orisinal dari
kewenangan atribusi, di mana pembuat undang-undang telah secara khusus
mempercayakan kewenangan tersebut kepada organ atau pejabat tertentu.
- Contoh Penerapan Kewenangan Atribusi dalam
Praktik Administrasi Negara di Indonesia:
Beberapa
contoh penerapan konsep kewenangan atribusi dalam praktik administrasi negara
di Indonesia dapat diidentifikasi. Salah satunya adalah kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang
secara jelas diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Kewenangan ini merupakan
atribusi langsung dari konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
negara yang memiliki fungsi khusus dalam menjaga konstitusionalitas norma
hukum.
Contoh
lain adalah kewenangan Presiden untuk membentuk peraturan pemerintah dalam
rangka melaksanakan undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2)
UUD 1945. Meskipun dalam hal ini Presiden bertindak sebagai delegated
legislator dalam arti membuat peraturan pelaksana, kewenangan untuk membuat
peraturan tersebut secara atribusi diberikan oleh konstitusi.
Di
tingkat daerah, kewenangan Pemerintah Daerah untuk membentuk peraturan daerah
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah juga merupakan contoh kewenangan
atribusi yang diberikan oleh undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan untuk membatalkan peraturan
daerah oleh Menteri Dalam Negeri, yang sempat disinggung oleh Boli , juga
diklaim bersumber dari atribusi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, meskipun
legitimasi kewenangan tersebut dapat diperdebatkan.
3. Mandat (Mandate)
- Definisi dan Penjelasan oleh Ahli Hukum:
Konsep
mandat dalam hukum administrasi negara merujuk pada suatu penugasan atau
pemberian perintah dari atasan kepada bawahan dalam suatu struktur organisasi
pemerintahan untuk melaksanakan suatu tindakan atau mengambil keputusan atas
nama dan untuk kepentingan pemberi mandat. Dalam konteks mandat, tidak
terjadi pelimpahan kewenangan yang sesungguhnya, melainkan penerima mandat
bertindak sebagai perpanjangan tangan atau representasi dari pemberi mandat.
Philipus M. Hadjon menjelaskan bahwa mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
mendefinisikan mandat sebagai pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi
mandat.
Menurut
Ridwan HR, mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Ia juga menekankan bahwa
dalam mandat, penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi
mandat, dan tanggung jawab akhir atas keputusan yang diambil tetap berada pada
pemberi mandat. Indroharto mengemukakan bahwa pada mandat tidak terjadi
pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan Tata
Usaha Negara yang satu kepada yang lain. Bagir Manan menyatakan bahwa
mandat diartikan sebagai suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan yang
bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama
(a/n) pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat.
Karakteristik
penting dari mandat adalah bahwa meskipun tindakan secara faktual dilakukan
oleh penerima mandat, secara yuridis tindakan tersebut dianggap dilakukan
oleh pemberi mandat, sehingga segala implikasi hukum yang timbul dibebankan
kepada pemberi mandat. Prosedur penyerahan kewenangan dalam mandat bersifat
rutin, terutama dalam hubungan atasan dan bawahan, kecuali jika dilarang secara
tegas oleh peraturan perundang-undangan. Pemberi mandat setiap saat dapat
menggunakan sendiri kewenangan yang telah dimandatkan.
- Karakteristik Utama Mandat:
Beberapa
karakteristik utama dari konsep mandat dapat diidentifikasi. Pertama, mandat
merupakan penugasan atau perintah untuk melaksanakan suatu tugas atau mengambil
keputusan atas nama pemberi mandat. Kedua, hubungan dalam mandat umumnya
terjadi dalam konteks hierarki organisasi pemerintahan, yaitu antara
atasan dan bawahan, dan seringkali bersifat rutin. Ketiga, tanggung jawab dan
tanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh penerima mandat tetap berada
pada pemberi mandat. Keempat, mandat tidak memerlukan dasar peraturan
perundang-undangan yang formal dan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
Kelima, pemberi mandat memiliki hak untuk sewaktu-waktu menggunakan sendiri
kewenangan yang telah dimandatkan. Keenam, penerima mandat dalam bertindak
harus menyebutkan bahwa ia bertindak atas nama pemberi mandat, yang biasanya
ditunjukkan dengan penggunaan singkatan "a.n." (atas nama),
"u.b." (untuk beliau), atau "a.p." (atas perintah) dalam
tata naskah dinas.
- Contoh Penerapan Mandat dalam Praktik
Administrasi Negara di Indonesia:
Dalam
praktik administrasi negara di Indonesia, contoh penerapan konsep mandat sangat
umum ditemukan dalam kegiatan sehari-hari. Misalnya, seorang Menteri
memberikan mandat kepada seorang Kepala Biro untuk menandatangani surat
keputusan tertentu atas nama Menteri ("a.n. Menteri"). Dalam hal
ini, Kepala Biro bertindak berdasarkan perintah dan kewenangan yang diberikan
oleh Menteri, dan tanggung jawab hukum atas surat keputusan tersebut tetap
berada pada Menteri sebagai pemberi mandat.
Contoh
lain adalah penggunaan nota dinas atau surat perintah dari atasan kepada
bawahan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu, di mana bawahan bertindak atas
perintah dan nama atasan. Penggunaan singkatan "u.b." (untuk beliau)
juga menunjukkan adanya mandat, di mana pejabat setingkat di bawah pimpinan
menandatangani surat atas nama pimpinan yang berhalangan. Kepala Seksi yang
menandatangani surat atas nama Kepala Bidang juga merupakan contoh pelaksanaan
mandat.
4. Delegasi Kewenangan (Delegation of Authority)
- Definisi dan Penjelasan oleh Ahli Hukum:
Delegasi
kewenangan, atau pelimpahan wewenang, adalah pengalihan kewenangan
pemerintahan dari suatu organ atau pejabat negara yang telah memiliki
kewenangan tersebut (delegator atau delegans) kepada organ atau pejabat
negara lain (delegatee atau delegataris). Berbeda dengan mandat,
dalam delegasi terjadi pemindahan kewenangan yang sesungguhnya, di mana
delegatee bertindak atas nama dan tanggung jawabnya sendiri dalam batas-batas
kewenangan yang telah dilimpahkan.
Menurut
Boli, kompetensi delegasi adalah pengalihan dari orang atau lembaga yang telah
memiliki atribusi kepada lembaga lain. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan mendefinisikan delegasi sebagai pelimpahan
Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan
tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
Ridwan
HR menjelaskan
bahwa delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, dan dalam delegasi tidak ada
penciptaan wewenang baru, melainkan hanya pelimpahan wewenang yang sudah ada
dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis dalam
delegasi beralih dari pemberi delegasi kepada penerima delegasi. Indroharto menyatakan
bahwa delegasi adalah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau
jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara
atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya.
Syarat
penting dalam delegasi adalah bahwa delegator harus terlebih dahulu memiliki
kewenangan yang akan didelegasikan melalui atribusi.
Tanpa adanya atribusi, tidak mungkin terjadi delegasi. Beberapa ahli hukum juga
menekankan bahwa delegasi harus bersifat definitif, artinya delegans tidak lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan. Selain itu, delegasi
harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang memungkinkan adanya
pelimpahan kewenangan. Meskipun terdapat perbedaan pendapat, beberapa ahli
menyatakan bahwa delegasi tidak diperkenankan dalam hubungan hierarki
kepegawaian yang ketat (tidak kepada bawahan) , namun UU No. 30/2014 secara
eksplisit menyebutkan pelimpahan dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang
lebih rendah. Penerima delegasi (delegataris) memiliki kewajiban untuk
memberikan keterangan atau penjelasan mengenai pelaksanaan wewenang yang
didelegasikan kepada pemberi delegasi (delegans). Pemberi delegasi juga
dapat memberikan instruksi atau petunjuk mengenai penggunaan wewenang yang
didelegasikan.
- Karakteristik Utama Delegasi Kewenangan:
Beberapa
karakteristik utama dari delegasi kewenangan adalah sebagai berikut: Pertama, delegasi
merupakan pelimpahan kewenangan yang sudah ada, yang sebelumnya diperoleh
melalui atribusi. Kedua, tanggung jawab dan tanggung gugat atas pelaksanaan
kewenangan yang didelegasikan beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi (delegataris).
Ketiga, delegasi umumnya harus didasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang secara eksplisit memperbolehkan adanya pelimpahan
kewenangan tersebut. Keempat, setelah terjadi delegasi, pemberi delegasi (delegans)
pada umumnya tidak dapat lagi menggunakan sendiri kewenangan yang telah
dilimpahkan, kecuali dalam kondisi tertentu seperti pencabutan delegasi
berdasarkan asas contrarius actus. Kelima, delegasi harus bersifat
definitif dan tidak bersifat insidental. Keenam, menurut Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014, delegasi terjadi dari badan/pejabat pemerintahan yang lebih tinggi
kepada yang lebih rendah.
- Contoh Penerapan Delegasi Kewenangan dalam
Praktik Administrasi Negara di Indonesia:
Contoh
penerapan delegasi kewenangan dalam praktik administrasi negara di Indonesia
dapat ditemukan dalam berbagai bidang. Misalnya, Presiden dapat
mendelegasikan kewenangan untuk menerbitkan peraturan pelaksanaan undang-undang
tertentu kepada Menteri terkait. Dalam hal ini, Menteri bertindak atas nama
dan tanggung jawabnya sendiri dalam menerbitkan peraturan tersebut, sesuai
dengan kewenangan yang telah dilimpahkan oleh Presiden.
Contoh
lain adalah Gubernur yang mendelegasikan kewenangan untuk memberikan izin
tertentu kepada Kepala Dinas di tingkat provinsi, berdasarkan peraturan daerah
atau peraturan gubernur yang relevan. Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati serta
Walikota dan Wakil Walikota oleh Gubernur di ibu kota provinsi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juga merupakan contoh delegasi kewenangan.
Dalam konteks ini, Gubernur, yang memiliki kewenangan atribusi terkait
pemerintahan daerah, mendelegasikan sebagian kewenangannya dalam hal pelantikan
kepada kepala daerah terpilih.
5. Perbedaan Mendasar Antara Kewenangan Atribusi, Mandat, dan Delegasi
Perbedaan
mendasar antara kewenangan atribusi, mandat, dan delegasi terletak pada
beberapa aspek kunci, termasuk sumber kewenangan, mekanisme transfer
kewenangan, dan tanggung jawab yang melekat pada pelaksanaan kewenangan
tersebut.
Fitur |
Kewenangan Atribusi |
Mandat |
Delegasi Kewenangan |
Sumber Kewenangan |
Undang-Undang Dasar atau undang-undang
(orisinal) |
Pemberi mandat (atasan dalam hierarki) |
Badan/pejabat yang memiliki kewenangan
atribusi (transfer) |
Transfer Kewenangan |
Pemberian kewenangan baru |
Penugasan untuk bertindak atas nama pemberi
mandat |
Pelimpahan kewenangan yang sudah ada |
Tanggung Jawab |
Penerima atribusi |
Tetap pada pemberi mandat |
Beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi |
Dasar Hukum |
Umumnya diperlukan (konstitusi atau
undang-undang) |
Tidak selalu memerlukan dasar hukum formal
(seringkali rutin) |
Umumnya diperlukan (undang-undang atau
peraturan di bawahnya) |
Hubungan |
Pembentukan kewenangan asli |
Hubungan atasan-bawahan |
Hubungan antara dua badan/pejabat
pemerintahan (seringkali hierarkis) |
Kemampuan
Mendelegasikan Lebih Lanjut |
Umumnya tidak dapat didelegasikan kecuali
diizinkan oleh undang-undang |
Tidak dapat dimandatkan lebih lanjut |
Berpotensi dapat didelegasikan lebih lanjut
jika diizinkan peraturan |
Pemberi Dapat
Bertindak? |
Ya, badan/pejabat yang diatribusikan
kewenangannya |
Ya, pemberi mandat masih dapat menggunakan
kewenangan tersebut |
Umumnya tidak, kecuali setelah pencabutan
berdasarkan asas contrarius actus |
Kewenangan
atribusi merupakan sumber kewenangan yang paling utama dan orisinal, yang
secara langsung diberikan oleh pembentuk undang-undang. Mandat, di sisi lain,
adalah penugasan dalam konteks hubungan hierarki, di mana tidak terjadi
transfer kewenangan yang sebenarnya, dan tanggung jawab tetap berada pada
pemberi mandat. Delegasi kewenangan melibatkan transfer kewenangan yang sudah
ada dari suatu badan atau pejabat kepada badan atau pejabat lain, dengan
konsekuensi beralihnya tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima
delegasi.
6. Analisis Perbandingan dan Kontras oleh Ahli Hukum
Beberapa
ahli hukum secara eksplisit telah melakukan perbandingan dan kontras antara
konsep mandat dan delegasi. Philipus M. Hadjon dalam tabel perbandingannya
menunjukkan perbedaan mendasar antara keduanya dalam hal prosedur pelimpahan,
tanggung jawab dan tanggung gugat, serta kemungkinan pemberi menggunakan
wewenang lagi.
Dalam
mandat, prosedur pelimpahan biasanya terjadi dalam hubungan rutin
atasan-bawahan dan merupakan hal biasa kecuali dilarang tegas, sedangkan dalam
delegasi, pelimpahan terjadi dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tanggung jawab dan tanggung gugat
dalam mandat tetap berada pada pemberi mandat, sementara dalam delegasi beralih
kepada penerima delegasi. Selain itu, pemberi mandat setiap saat dapat
menggunakan sendiri wewenang yang telah dimandatkan, sedangkan pemberi delegasi
tidak dapat lagi menggunakan wewenang yang didelegasikan kecuali setelah ada
pencabutan berdasarkan asas contrarius actus.
Sebuah
artikel hukum juga memberikan perbandingan mendetail antara atribusi, delegasi,
dan mandat, menyoroti perbedaan dalam pengertian, sumber wewenang, sifat
wewenang, tanggung jawab, dan hubungan yang terlibat. Atribusi menciptakan
wewenang baru langsung dari undang-undang, delegasi memindahkan wewenang yang
sudah ada beserta tanggung jawabnya, sedangkan mandat hanya memberikan kuasa
kepada bawahan untuk bertindak atas nama dan tanggung jawab atasan tanpa adanya
pemindahan wewenang yang sesungguhnya.
Lebih
lanjut, wewenang atribusi adalah wewenang yang langsung diberikan, wewenang
delegasi adalah bentuk pelimpahan setelah wewenang atribusi dibentuk, dan
wewenang mandat merupakan bentuk penugasan dalam hubungan rutin atasan dan
bawahan dan bukan sebagai pelimpahan. Hal ini menekankan bahwa delegasi selalu
didahului oleh atribusi, dan mandat berbeda karena tidak melibatkan pelimpahan
kewenangan yang sebenarnya.
7. Implikasi dan Konsekuensi Hukum dari Masing-Masing Konsep
- Kewenangan Atribusi:
Badan atau pejabat yang menerima kewenangan atribusi memiliki otoritas
hukum penuh untuk bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh
konstitusi atau undang-undang. Tindakan yang diambil berdasarkan atribusi
yang sah memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun, penggunaan
kewenangan atribusi dapat menjadi subjek peninjauan yudisial (judicial
review) jika dianggap melampaui batas-batas hukum atau disalahgunakan.
- Mandat: Konsekuensi hukum
utama dari mandat adalah bahwa pemberi mandat tetap bertanggung jawab
secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh penerima mandat.
Penerima mandat bertindak atas nama dan untuk kepentingan pemberi mandat,
sehingga secara hukum, tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan pemberi
mandat.
- Delegasi Kewenangan:
Dalam hal delegasi, penerima delegasi (delegataris) memikul
tanggung jawab hukum penuh atas tindakan yang diambil dalam
pelaksanaan kewenangan yang didelegasikan. Pemberi delegasi (delegans)
umumnya tidak lagi bertanggung jawab atas tindakan tersebut, kecuali jika
terjadi penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran hukum lainnya oleh
penerima delegasi. Namun, delegator memiliki hak untuk mencabut delegasi
berdasarkan asas contrarius actus. Keabsahan delegasi itu sendiri
dapat dipersoalkan secara hukum jika tidak memenuhi persyaratan yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau jika melampaui batas
kewenangan atribusi yang dimiliki oleh delegator.
8. Dasar Hukum yang Relevan di Indonesia
Beberapa
dasar hukum yang relevan di Indonesia mendasari konsep kewenangan atribusi,
mandat, dan delegasi menurut interpretasi para ahli hukum:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945): Sebagai konstitusi
negara, UUD 1945 merupakan sumber utama kewenangan atribusi bagi berbagai
lembaga negara dan pejabat tinggi negara, seperti Presiden, Mahkamah
Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Pembagian kekuasaan antar cabang
pemerintahan dan pembentukan lembaga-lembaga negara dalam UUD 1945 secara
implisit dan eksplisit memberikan kewenangan atribusi kepada organ-organ
tersebut.
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan: Undang-undang ini secara
eksplisit mendefinisikan konsep atribusi, delegasi, dan mandat dalam Pasal
1 angka 22, 23, dan 24. Undang-undang ini menjadi dasar hukum penting
dalam memahami dan menerapkan ketiga konsep tersebut dalam praktik
administrasi negara di Indonesia.
- Undang-Undang Sektoral Lainnya:
Berbagai undang-undang sektoral yang mengatur tentang organisasi dan
fungsi lembaga-lembaga negara atau bidang-bidang pemerintahan tertentu
juga mengandung ketentuan-ketentuan yang memberikan kewenangan atribusi
kepada organ atau pejabat yang bersangkutan. Contohnya adalah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
mengatur kewenangan pemerintah daerah dan kepala daerah , serta
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(sebagaimana telah diubah) yang mengatur kewenangan peradilan tata usaha
negara.
- Peraturan Perundang-undangan di Bawah
Undang-Undang: Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya di tingkat
bawah seringkali menjadi dasar hukum untuk delegasi kewenangan.
Peraturan-peraturan ini dapat secara spesifik mengatur bagaimana dan
kepada siapa suatu kewenangan yang telah diatribusikan dapat
didelegasikan.
9. Kesimpulan
Kewenangan
atribusi, mandat, dan delegasi merupakan tiga konsep fundamental dalam hukum
administrasi negara Indonesia yang menjelaskan bagaimana organ-organ
pemerintahan dan pejabat negara memperoleh dan melaksanakan kekuasaan mereka.
Kewenangan atribusi adalah pemberian kewenangan yang orisinal dan langsung dari
konstitusi atau undang-undang kepada suatu badan atau pejabat negara. Mandat
adalah penugasan dari atasan kepada bawahan untuk bertindak atas nama dan
tanggung jawab atasan. Delegasi kewenangan adalah pelimpahan kewenangan yang
sudah ada dari suatu badan atau pejabat kepada badan atau pejabat lain, dengan
konsekuensi beralihnya tanggung jawab kepada penerima delegasi.
Perbedaan
utama di antara ketiga konsep ini terletak pada sumber kewenangan, mekanisme
transfer kewenangan, dan alokasi tanggung jawab. Pemahaman yang akurat mengenai
perbedaan ini sangat penting untuk memastikan legalitas setiap tindakan
administrasi negara dan untuk menetapkan pertanggungjawaban yang tepat. Dengan
memahami sumber dan jenis kewenangan yang digunakan dalam setiap tindakan
pemerintahan, diharapkan tercipta kepastian hukum dan penyelenggaraan
pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum yang dianut oleh
Indonesia.