Selasa, 13 Mei 2025

Konsep Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Pidana Indonesia

I. Konsep Fundamental Perbuatan Melawan Hukum dalam Ranah Pidana

Perbuatan melawan hukum (PMH) merupakan salah satu pilar esensial dalam arsitektur hukum pidana Indonesia. Keberadaannya berfungsi sebagai filter krusial dalam menentukan apakah suatu tindakan, sekalipun telah memenuhi rumusan formal suatu delik (tindak pidana) sebagaimana tercantum dalam undang-undang, dapat dijatuhi sanksi pidana. Tanpa adanya sifat melawan hukum, pemidanaan terhadap suatu perbuatan akan kehilangan legitimasi moral dan yuridisnya. Hal ini menggarisbawahi signifikansi PMH, bukan hanya sebagai elemen teknis, melainkan sebagai benteng keadilan yang melindungi individu dari potensi kesewenang-wenangan penerapan hukum.  

Penting untuk dicatat bahwa konsep PMH dalam hukum pidana memiliki perbedaan fundamental dengan PMH dalam ranah hukum perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Meskipun keduanya berbagi akar historis dan terminologi, serta perkembangan di satu bidang dapat mempengaruhi bidang lainnya, orientasi dan konsekuensi hukumnya berbeda secara signifikan. PMH dalam hukum pidana berfokus pada perlindungan kepentingan publik, penegakan norma-norma sosial yang fundamental, dan penjatuhan sanksi pidana yang bersifat publik dan bertujuan memberikan efek jera, rehabilitasi, atau restorasi. Sebaliknya, PMH dalam hukum perdata lebih menitikberatkan pada kerugian yang bersifat privat atau individual dan bertujuan untuk memberikan kompensasi atau ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan. Dualitas fungsi PMH ini mencerminkan kompleksitas interaksi sosial dan kebutuhan sistem hukum untuk menyediakan berbagai mekanisme kontrol perilaku serta penyelesaian sengketa. Evolusi historis, terutama pengaruh putusan Lindebaum-Cohen dalam memperluas makna PMH perdata, secara tidak langsung turut memperkaya diskursus mengenai PMH dalam hukum pidana, menunjukkan bahwa konsep hukum tidak berkembang dalam ruang hampa melainkan merespons kebutuhan masyarakat akan keadilan dalam berbagai dimensinya.  

Lebih lanjut, penekanan pada PMH sebagai unsur mutlak dari suatu tindak pidana dapat dipandang sebagai manifestasi dari prinsip nullum crimen sine iniuria (tiada delik tanpa adanya sifat melawan hukum atau pelanggaran terhadap suatu hak). Prinsip ini berfungsi sebagai pelengkap esensial dari asas legalitas formal (nullum crimen, nulla poena sine praevia lege poenali). Jika asas legalitas mencegah pemidanaan atas perbuatan yang tidak secara eksplisit dilarang oleh undang-undang, maka keharusan adanya sifat melawan hukum memastikan bahwa perbuatan yang telah diatur dalam undang-undang tersebut memang layak untuk dipidana karena secara substantif melanggar norma atau kepentingan hukum yang lebih fundamental. Dengan demikian, PMH menjadi lapisan perlindungan tambahan bagi warga negara, memastikan bahwa intervensi negara melalui hukum pidana hanya dilakukan terhadap perbuatan-perbuatan yang memang secara hakiki bertentangan dengan tatanan hukum dan rasa keadilan masyarakat.  

II. Evolusi Historis dan Konseptual Perbuatan Melawan Hukum di Indonesia

Pemahaman mengenai konsep perbuatan melawan hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari warisan sistem hukum Belanda. Sebelum tahun 1919, Hoge Raad, selaku Mahkamah Agung pada masa Hindia Belanda, menganut interpretasi yang sempit terhadap istilah onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum). Dalam pandangan ini, suatu perbuatan dianggap melawan hukum hanya jika secara eksplisit bertentangan dengan hak subjektif orang lain yang timbul dari undang-undang, atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku sendiri yang juga bersumber dari undang-undang. Pendekatan ini sangat legistis dan formalistik, membatasi ruang lingkup PMH hanya pada pelanggaran terhadap hukum tertulis.  

Titik balik signifikan terjadi dengan lahirnya putusan Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara ikonik Lindebaum lawan Cohen. Meskipun kasus ini berada dalam ranah hukum perdata, dampaknya meluas dan turut mempengaruhi pemahaman konsep PMH secara umum, termasuk dalam konteks hukum pidana. Putusan ini secara revolusioner memperluas pengertian onrechtmatige daad, tidak lagi terbatas pada pelanggaran undang-undang semata, tetapi juga mencakup perbuatan atau kealpaan yang:

  1. Bertentangan dengan hak orang lain (pelanggaran hak subjektif).
  2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (pelanggaran kewajiban yuridis).
  3. Bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden).
  4. Bertentangan dengan kepatutan atau kecermatan yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau barang orang lain (zorgvuldigheid die in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van eens anders persoon of goed).  

Perkembangan ini menandai pergeseran paradigmatik dari pandangan yang semata-mata mengandalkan hukum tertulis sebagai satu-satunya sumber keabsahan, menuju pengakuan yang lebih luas terhadap norma-norma tidak tertulis seperti kesusilaan dan kepatutan masyarakat sebagai tolok ukur sifat melawan hukum suatu perbuatan. Perluasan konsep PMH melalui yurisprudensi, sebagaimana dicontohkan oleh kasus Lindebaum-Cohen, menunjukkan peran aktif peradilan dalam pengembangan hukum (judge-made law). Hal ini mengindikasikan bahwa bahkan dalam sistem hukum civil law yang cenderung mengutamakan kodifikasi, kekakuan undang-undang dapat diatasi melalui interpretasi yudisial yang progresif dan dinamis, sehingga hukum mampu merespons perubahan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat. Namun, hal ini juga memunculkan diskursus mengenai batas antara interpretasi dan pembentukan hukum baru oleh hakim, sebuah isu yang sensitif terutama dalam hukum pidana yang sangat terikat pada asas legalitas.

Lebih jauh, pengaruh perkembangan konsep PMH dalam hukum perdata terhadap pemahaman PMH dalam hukum pidana menandakan adanya interkonektivitas antar konsep hukum dan permeabilitas batas-batas antar disiplin ilmu hukum. Kebutuhan untuk mendefinisikan apa yang "melawan hukum" bersifat universal dalam sistem hukum, dan perkembangan di satu area dapat menginspirasi atau bahkan memaksa penyesuaian di area lainnya. Ini mengisyaratkan bahwa pemahaman hukum pidana tidak dapat sepenuhnya terisolasi dari pemahaman asas-asas umum hukum yang lebih luas.

III. Unsur-Unsur Esensial Perbuatan Melawan Hukum dalam Tindak Pidana

Untuk memahami secara komprehensif konsep perbuatan melawan hukum dalam konteks pidana, penting untuk mengidentifikasi unsur-unsur esensial yang membentuknya. Meskipun seringkali dirujuk dari Pasal 1365 KUH Perdata untuk pemahaman dasar, yang menyebutkan adanya perbuatan, sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut, adanya kesalahan, timbulnya kerugian, dan hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian, hukum pidana memiliki penekanan dan nuansa tersendiri.  

Dalam doktrin hukum pidana Indonesia, beberapa ahli terkemuka telah merumuskan unsur-unsur tindak pidana yang relevan dengan pembahasan PMH. Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana meliputi: (a) adanya perbuatan; (b) keadaan yang menyertai perbuatan; (c) keadaan tambahan yang memberatkan pidana; (d) unsur melawan hukum yang objektif; dan (e) unsur melawan hukum yang subjektif. Sementara itu, R. Soesilo, sebagaimana dirangkum dalam berbagai literatur, mengemukakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah: (1) adanya perbuatan manusia (actus reus); (2) perbuatan tersebut bersifat melawan hukum (wederrechtelijk); dan (3) tidak adanya alasan pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut.  

Unsur "perbuatan" dalam hukum pidana memiliki cakupan yang luas, dapat berupa tindakan aktif melakukan sesuatu yang dilarang (commissie delict) maupun tindakan pasif berupa tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh hukum (ommissie delict). Selanjutnya, unsur "kesalahan" (schuld) merupakan elemen krusial yang menunjukkan sikap batin pelaku terhadap perbuatannya. Kesalahan ini dapat terwujud dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) maupun kelalaian atau kealpaan (culpa).  

Meskipun terdapat variasi dalam perumusan oleh para ahli, terdapat konsistensi inti mengenai elemen perbuatan, sifat melawan hukum, dan kesalahan sebagai pilar-pilar fundamental yang harus terpenuhi agar suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan pelakunya dapat dipertanggungjawabkan. Perbedaan penekanan, seperti pemisahan antara unsur melawan hukum objektif dan subjektif oleh Moeljatno, lebih merupakan variasi dalam pendekatan analitis daripada perbedaan substansial yang mendasar. Hal ini menunjukkan adanya kerangka konseptual yang relatif mapan dalam doktrin hukum pidana Indonesia mengenai komponen-komponen yang menjadikan suatu perbuatan dapat dipidana.

Pembedaan yang dikemukakan oleh Moeljatno antara unsur melawan hukum objektif (yang berkaitan dengan sifat terlarangnya perbuatan itu sendiri, terlepas dari sikap batin pelaku) dan unsur melawan hukum subjektif (yang berkaitan dengan niat atau sikap batin pelaku, seperti adanya niat jahat dalam kasus pencurian sebagaimana Pasal 362 KUHP) menjadi jembatan penting untuk memahami keterkaitan erat antara konsep PMH dengan konsep kesalahan (schuld). Ini mengindikasikan bahwa sifat melawan hukum suatu perbuatan tidak hanya dinilai dari aspek lahiriah atau formalnya saja, tetapi juga dari dimensi internal pelaku. Implikasinya, pembuktian sifat melawan hukum seringkali tidak dapat dipisahkan dari pembuktian adanya kesalahan pada diri pelaku, yang akan dibahas lebih lanjut dalam konteks teori monistis dan dualistis.  

IV. Dimensi Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijkheid)

Sifat melawan hukum, atau wederrechtelijkheid dalam terminologi Belanda, merupakan konsep sentral dalam hukum pidana yang memiliki berbagai dimensi dan interpretasi. Pemahaman terhadap dimensi-dimensi ini krusial untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

A. Sifat Melawan Hukum Formil (Formele Wederrechtelijkheid)

Ajaran sifat melawan hukum formil mendefinisikan perbuatan sebagai melawan hukum apabila perbuatan tersebut secara eksplisit melanggar peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis. Menurut pandangan ini, suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana jika telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan delik sebagaimana diatur dalam undang-undang. Konsekuensinya, sifat melawan hukum suatu perbuatan hanya dapat dihapuskan atau ditiadakan berdasarkan ketentuan yang juga terdapat dalam undang-undang, misalnya melalui alasan pembenar yang diatur secara limitatif dalam KUHP.  

Ajaran ini sangat menekankan asas legalitas (nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali) dan kepastian hukum. Dengan mendasarkan sifat melawan hukum semata-mata pada hukum tertulis, ajaran formil memberikan batasan yang jelas dan terukur bagi aparat penegak hukum dan masyarakat mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan diancam dengan pidana. Hal ini sejalan dengan prinsip fundamental bahwa tidak ada pidana tanpa didasari oleh undang-undang yang telah ada sebelumnya. Implikasi dari pendekatan ini adalah terciptanya perlindungan terhadap potensi kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum. Namun, di sisi lain, kekakuan ajaran formil dapat menjadi kelemahan jika terdapat perbuatan-perbuatan yang secara nyata tercela dan merugikan masyarakat namun belum atau tidak diatur secara spesifik dalam undang-undang.

B. Sifat Melawan Hukum Materiil (Materiƫle Wederrechtelijkheid)

Berbeda dengan pandangan formil, ajaran sifat melawan hukum materiil memperluas cakupan penilaian. Suatu perbuatan dianggap melawan hukum secara materiil tidak hanya jika bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis), tetapi juga jika bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, kepatutan, atau norma-norma sosial yang hidup dan diakui dalam masyarakat (hukum tidak tertulis). Ini mencakup pertentangan dengan asas-asas hukum umum yang tidak tertulis atau rasa keadilan masyarakat.  

Sifat melawan hukum materiil ini memiliki dua fungsi utama:

  1. Fungsi Negatif: Dalam fungsi negatifnya, sifat melawan hukum materiil dapat bertindak sebagai alasan penghapus pidana di luar undang-undang. Artinya, meskipun suatu perbuatan secara formal telah memenuhi seluruh unsur rumusan delik dalam undang-undang (dan karenanya melawan hukum secara formil), perbuatan tersebut dapat dianggap tidak bersifat melawan hukum secara materiil jika tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat atau norma-norma tidak tertulis yang berlaku. Akibatnya, pelaku tidak dipidana. Contoh klasik yang sering dirujuk untuk menggambarkan fungsi negatif ini adalah Arrest Dokter Hewan Huizen di Belanda, di mana seorang dokter hewan yang melanggar peraturan demi mencegah penyebaran wabah penyakit yang lebih luas pada akhirnya tidak dipidana karena perbuatannya dianggap tidak bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan. Di Indonesia, yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 42 K/Kr/1965 dalam perkara Machroes Effendi juga diinterpretasikan sebagai penganut fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif ini menjadi upaya untuk mencapai keadilan substantif, mengatasi potensi kekakuan dan ketidakadilan yang mungkin timbul dari penerapan hukum formil secara kaku. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak semata-mata tentang penerapan teks undang-undang secara buta, melainkan juga tentang pencapaian keadilan yang dirasakan dan diakui oleh masyarakat. Implikasinya adalah adanya fleksibilitas dalam penegakan hukum, namun di sisi lain juga memunculkan potensi ketidakpastian jika batasan-batasannya tidak dirumuskan dengan jelas.  
  2. Fungsi Positif: Dalam fungsi positifnya, sifat melawan hukum materiil memungkinkan suatu perbuatan untuk dipidana meskipun perbuatan tersebut tidak secara eksplisit diatur atau dilarang dalam undang-undang. Pemidanaan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perbuatan tersebut dianggap sangat tercela dan bertentangan dengan rasa keadilan atau norma-norma fundamental yang hidup dalam masyarakat. Namun, penerapan fungsi positif ini sangat kontroversial dan menuai banyak kritik karena dianggap berpotensi besar melanggar asas legalitas formal yang mensyaratkan adanya hukum tertulis sebelum suatu perbuatan dapat dipidana (lex scripta, lex certa, lex stricta). Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 572 K/Pid/2003 menunjukkan adanya upaya penerapan fungsi positif ini, namun putusan tersebut juga mendapat kritik tajam. Kontroversi seputar fungsi positif ini mencerminkan ketegangan fundamental dalam filsafat hukum pidana, yaitu antara upaya mencapai kepastian hukum (yang dilindungi oleh asas legalitas) dan upaya mencapai keadilan atau fleksibilitas hukum dalam merespons dinamika sosial. Jika perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang dapat dipidana hanya berdasarkan "rasa keadilan masyarakat" yang cenderung subjektif dan tidak terukur, hal ini membuka pintu bagi interpretasi yang sewenang-wenang dan mengancam jaminan hak asasi individu.  

C. Sifat Melawan Hukum Umum dan Khusus

Selain pembedaan antara formil dan materiil, sifat melawan hukum juga dapat dibedakan menjadi sifat melawan hukum umum dan khusus:

  1. Sifat Melawan Hukum Umum: Ini merupakan syarat umum atau elemen inheren yang harus ada pada setiap perbuatan agar dapat dipidana. Esensinya, suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila ia tidak bersifat melawan hukum secara umum, meskipun mungkin memenuhi unsur-unsur lain dalam rumusan delik. Sifat melawan hukum umum ini dianggap melekat pada setiap tindak pidana, bahkan jika kata "melawan hukum" tidak dicantumkan secara eksplisit dalam pasal yang bersangkutan. Putusan Mahkamah Agung RI No. 30K/Kr/1969 secara tegas mengafirmasi pandangan ini, menyatakan bahwa dalam setiap tindak pidana selalu terkandung unsur sifat melawan hukum dari perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan.  
  2. Sifat Melawan Hukum Khusus: Dalam konteks ini, kata "melawan hukum" (wederrechtelijk) atau frasa lain yang semakna (misalnya "tanpa hak", "tanpa izin") dicantumkan secara tegas dan eksplisit dalam rumusan delik tertentu di dalam undang-undang. Contoh yang paling sering dikutip adalah Pasal 362 KUHP tentang pencurian, yang merumuskan "...dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum". Pencantuman secara eksplisit ini memiliki konsekuensi penting, yaitu memberikan beban pembuktian kepada penuntut umum untuk secara spesifik membuktikan bahwa unsur "melawan hukum" tersebut memang terpenuhi dalam perbuatan terdakwa. Pembedaan ini memiliki implikasi signifikan dalam praktik peradilan, terutama terkait dengan strategi pembuktian. Jika "melawan hukum" dicantumkan secara khusus, jaksa penuntut umum wajib membuktikannya sebagai salah satu unsur delik yang harus terpenuhi. Sebaliknya, jika bersifat umum (implisit), maka sifat melawan hukum dianggap ada kecuali terdapat alasan pembenar yang diajukan dan dapat dibuktikan oleh pihak terdakwa. Lebih lanjut, pencantuman unsur "melawan hukum" secara khusus dalam beberapa rumusan delik seringkali bertujuan untuk membatasi ruang lingkup penerapan pasal agar tidak menjadi terlalu luas, atau untuk melindungi perbuatan-perbuatan yang dalam konteks tertentu mungkin sah atau dibenarkan. Misalnya, dalam kasus pencurian, frasa "dimiliki secara melawan hukum" penting untuk membedakan antara pengambilan barang yang bersifat kriminal dengan pengambilan barang yang didasari oleh hak atau kewenangan tertentu. Ini menunjukkan fungsi "melawan hukum" sebagai katup pengaman dalam perumusan delik.  

V. Relasi Antara Sifat Melawan Hukum dan Kesalahan (Schuld)

Dalam konstruksi hukum pidana, sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) merupakan dua pilar utama yang menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan apakah pelakunya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Hubungan antara kedua konsep ini telah menjadi subjek perdebatan panjang dalam doktrin hukum pidana, yang melahirkan dua teori utama: teori monistis dan teori dualistis.  

Teori Monistis berpandangan bahwa sifat melawan hukum dan kesalahan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan keduanya adalah unsur-unsur dari tindak pidana (strafbaar feit) itu sendiri. Dalam perspektif ini, kesalahan dianggap melekat secara inheren pada tindak pidana. Artinya, untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, kedua unsur ini harus terpenuhi secara simultan dalam perbuatan tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, warisan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-IndiĆ«, secara umum dianggap menganut atau setidaknya lebih condong pada teori monistis ini. Para ahli hukum pidana terkemuka yang sering diasosiasikan dengan pandangan monistis antara lain adalah Van Hamel, Simons, Vos, dan Utrecht.  

Sebaliknya, Teori Dualistis mengajukan pemisahan yang tegas antara perbuatan pidana (yang unsurnya adalah sifat melawan hukum) dengan pertanggungjawaban pidana (yang dasarnya adalah kesalahan). Menurut teori ini, sifat melawan hukum adalah karakteristik dari perbuatannya (actus reus), yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh hukum. Sementara itu, kesalahan (mens rea) adalah kondisi psikis atau sikap batin pelaku yang menjadi dasar untuk dapat atau tidaknya ia dipertanggungjawabkan atas perbuatan melawan hukum yang telah dilakukannya. Beberapa pakar hukum pidana terkemuka di Indonesia, seperti Moeljatno, Roeslan Saleh, dan Barda Nawawi Arief, dikenal sebagai pendukung teori dualistis. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang kini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (selanjutnya disebut KUHP Baru), menunjukkan kecenderungan yang lebih kuat untuk mengadopsi teori dualistis.  

Perbedaan antara teori monistis dan dualistis bukan sekadar perdebatan akademis yang bersifat teoretis, melainkan memiliki implikasi praktis yang signifikan dalam perumusan undang-undang pidana, proses pembuktian di pengadilan, dan pada akhirnya dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Teori dualistis, dengan memisahkan secara jelas antara aspek perbuatan (objektif) dan aspek pertanggungjawaban (subjektif), memungkinkan dilakukannya analisis yang lebih jernih dan terstruktur terhadap masing-masing elemen. Sebagai contoh, dalam kerangka dualistis, suatu perbuatan bisa saja terbukti memenuhi unsur-unsur delik dan bersifat melawan hukum, namun pelakunya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena tidak adanya unsur kesalahan (misalnya, karena pelaku tidak waras atau berada di bawah paksaan absolut). Kecenderungan KUHP Baru untuk lebih mengakomodasi pandangan dualistis dapat dilihat sebagai upaya untuk memperjelas struktur pertanggungjawaban pidana dalam sistem hukum pidana nasional, sejalan dengan perkembangan pemikiran hukum pidana modern.  

Meskipun KUHP lama secara umum lebih condong ke arah teori monistis, praktik peradilan dan perkembangan doktrin hukum pidana di Indonesia selama beberapa dekade terakhir menunjukkan adanya pergeseran atau setidaknya penerimaan terhadap elemen-elemen yang lebih bersifat dualistis. Pandangan para ahli hukum pidana Indonesia yang berpengaruh, seperti Moeljatno, yang secara konsisten mendukung teori dualistis, turut memberikan kontribusi signifikan terhadap evolusi pemikiran ini. Puncak dari perkembangan ini adalah adopsi kerangka yang lebih jelas dan sistematis yang mencerminkan prinsip-prinsip dualisme dalam KUHP Baru, yang diharapkan dapat memberikan landasan yang lebih kokoh bagi penentuan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana di masa mendatang.

VI. Dasar Peniadaan Sifat Melawan Hukum dan Kemampuan Dipertanggungjawabkan Pidana

Dalam sistem hukum pidana, tidak semua perbuatan yang memenuhi rumusan delik secara otomatis mengakibatkan pemidanaan terhadap pelakunya. Terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat meniadakan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut atau meniadakan kesalahan (kemampuan untuk dipertanggungjawabkan) dari si pelaku. Keadaan-keadaan ini dikelompokkan menjadi alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden).

A. Alasan Pembenar (Rechtvaardigingsgronden)

Alasan pembenar adalah alasan-alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Dengan adanya alasan pembenar, perbuatan yang semula tampak sebagai tindak pidana karena memenuhi rumusan delik, menjadi perbuatan yang patut, benar, dan dibenarkan oleh hukum. Akibatnya, pelaku tidak dapat dipidana karena perbuatannya tidak lagi dianggap melawan hukum. Fokus dari alasan pembenar terletak pada aspek objektif perbuatan itu sendiri, bukan pada kondisi subjektif pelaku. Artinya, dalam situasi dan kondisi tertentu, hukum atau masyarakat membenarkan dilakukannya perbuatan tersebut.  

Dalam KUHP lama (WvS), beberapa contoh alasan pembenar yang diatur secara eksplisit meliputi:

  1. Daya Paksa dalam arti Keadaan Darurat (Noodtoestand): Sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP, di mana seseorang melakukan perbuatan pidana karena terdorong oleh suatu keadaan darurat yang memaksanya untuk memilih antara dua kepentingan hukum yang harus dilindungi, atau antara suatu kewajiban hukum dengan kepentingan hukum.  
  2. Pembelaan Terpaksa (Noodweer): Diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, yaitu perbuatan yang dilakukan karena terpaksa untuk membela diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, dari serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan bersifat seketika atau sangat dekat.  
  3. Menjalankan Perintah Undang-Undang (Wettelijk Voorschrift): Diatur dalam Pasal 50 KUHP, di mana seseorang melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang.  
  4. Menjalankan Perintah Jabatan yang Sah (Ambtelijk Bevel): Diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP, yaitu perbuatan yang dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.  

B. Alasan Pemaaf (Schulduitsluitingsgronden)

Berbeda dengan alasan pembenar, alasan pemaaf adalah alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (schuld) dari terdakwa, meskipun perbuatannya secara objektif tetap bersifat melawan hukum dan merupakan suatu tindak pidana. Dengan adanya alasan pemaaf, pelaku tidak dipidana bukan karena perbuatannya dibenarkan, melainkan karena ia dianggap tidak memiliki kesalahan atau tidak mampu dipertanggungjawabkan atas perbuatan tersebut. Fokus dari alasan pemaaf terletak pada aspek subjektif pelaku, yaitu kondisi mental, psikis, atau keadaan khusus yang dialami pelaku pada saat melakukan perbuatan.  

Dalam KUHP lama (WvS), beberapa contoh alasan pemaaf yang diatur meliputi:

  1. Ketidakmampuan Bertanggung Jawab (Ontoerekeningsvatbaarheid): Diatur dalam Pasal 44 KUHP, yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana jika perbuatannya dilakukan karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit. Ini mencakup kondisi seperti gangguan jiwa berat.  
  2. Daya Paksa Absolut atau Psikis (Vis Absoluta atau Vis Compulsiva): Sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP, di mana seseorang melakukan perbuatan pidana karena adanya paksaan fisik yang tidak dapat dilawan atau tekanan psikis yang sangat berat sehingga ia tidak dapat berbuat lain.  
  3. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Exces): Diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, yaitu perbuatan pembelaan yang melampaui batas kepatutan, yang dilakukan karena adanya keguncangan jiwa yang hebat akibat serangan atau ancaman serangan.  
  4. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Tidak Sah dengan Itikad Baik: Sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP, di mana seseorang melaksanakan perintah jabatan yang ternyata tidak sah, namun ia dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut sah dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkup pekerjaannya.  

VII. Eksistensi Unsur "Melawan Hukum" dalam Pasal-Pasal KUHP (Wetboek van Strafrecht)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, sebagai kodifikasi hukum pidana warisan kolonial Belanda, memuat berbagai rumusan delik yang sebagian di antaranya secara eksplisit mencantumkan unsur "melawan hukum" (wederrechtelijk) atau frasa lain yang memiliki makna serupa, seperti "tanpa hak" (zonder daartoe gerechtigd te zijn) atau "tanpa izin" (zonder verlof). Pencantuman ini menunjukkan bahwa untuk beberapa jenis tindak pidana, sifat melawan hukumnya perbuatan harus secara khusus dibuktikan sebagai salah satu elemen konstitutif delik.

Beberapa contoh pasal dalam KUHP lama yang secara eksplisit menyebutkan unsur "melawan hukum" antara lain:

  • Pasal 167 ayat (1): Mengenai memasuki rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup milik orang lain secara melawan hukum.  
  • Pasal 333 ayat (1): Mengenai perampasan kemerdekaan seseorang secara sengaja dan melawan hukum.  
  • Pasal 362: Mengenai pencurian, yaitu mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.  
  • Pasal 372: Mengenai penggelapan, yaitu dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang milik orang lain yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.  
  • Pasal 378: Mengenai penipuan, yaitu dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang atau memberi hutang.  
  • Pasal 406 ayat (1): Mengenai perusakan barang, yaitu dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan barang milik orang lain. Sebuah daftar yang lebih ekstensif mengenai pasal-pasal yang secara eksplisit menyebutkan "melawan hukum" atau yang secara inheren mengandung sifat melawan hukum dapat ditemukan dalam berbagai analisis terhadap KUHP.  

Di sisi lain, terdapat pula pasal-pasal dalam KUHP lama di mana unsur "melawan hukum" tidak dicantumkan secara eksplisit. Dalam kasus-kasus seperti ini, perbuatannya seringkali dianggap secara inheren atau berdasarkan sifatnya sudah melawan hukum, sehingga pencantuman eksplisit dinilai tidak diperlukan. Contoh klasik adalah Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain pada dasarnya selalu dianggap melawan hukum, kecuali jika terdapat alasan pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukumnya. Hal ini terkait erat dengan konsep sifat melawan hukum umum yang telah dibahas sebelumnya.  

Variasi dalam pencantuman unsur "melawan hukum" (eksplisit versus implisit) dalam KUHP lama mencerminkan pilihan legislatif yang didasari oleh pertimbangan mengenai sifat spesifik dari masing-masing delik serta kebutuhan untuk membatasi atau memperjelas cakupan larangan yang dimaksud. Apabila suatu perbuatan, seperti pembunuhan, hampir selalu dan secara universal dianggap melawan hukum, maka pencantuman eksplisit unsur tersebut mungkin dianggap sebagai suatu redundansi oleh pembentuk undang-undang. Namun, untuk perbuatan-perbuatan yang dalam konteks tertentu bisa jadi sah atau dibenarkan (misalnya, mengambil suatu barang), pencantuman frasa "melawan hukum" menjadi krusial untuk membedakan antara tindakan yang bersifat kriminal dan tindakan yang memiliki dasar hukum atau justifikasi. Ini menunjukkan adanya pertimbangan atau legislative wisdom di balik teknik perumusan delik dalam KUHP.

Keharusan pembuktian unsur "melawan hukum" yang dicantumkan secara eksplisit (yang dikenal sebagai sifat melawan hukum khusus) menjadi salah satu jaminan penting bagi hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana. Sebagaimana diuraikan dalam berbagai sumber , jika "melawan hukum" merupakan unsur khusus yang termuat dalam rumusan delik, maka jaksa penuntut umum memiliki beban untuk membuktikan bahwa unsur tersebut benar-benar terpenuhi. Kegagalan dalam membuktikan unsur ini akan berakibat pada tidak terbuktinya dakwaan secara keseluruhan. Hal ini mencegah terjadinya penuntutan yang sembrono dan memastikan bahwa semua elemen yang menjadikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana benar-benar terbukti secara sah dan meyakinkan. Ini adalah manifestasi dari prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan prinsip bahwa beban pembuktian dalam perkara pidana berada pada pihak penuntut.  

VIII. Kontribusi Doktrinal Para Ahli Hukum Pidana Indonesia

Pemahaman dan perkembangan konsep perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana Indonesia tidak terlepas dari kontribusi pemikiran para ahli hukum pidana terkemuka. Pandangan-pandangan mereka telah membentuk diskursus akademis, mempengaruhi praktik peradilan, dan memberikan landasan bagi pembaharuan hukum pidana.

Moeljatno dikenal dengan definisinya mengenai perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Beliau juga mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yang mencakup unsur melawan hukum objektif (berkaitan dengan perbuatannya) dan unsur melawan hukum subjektif (berkaitan dengan sikap batin pelaku). Moeljatno cenderung mendukung teori dualistis dalam memandang hubungan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Selain itu, Moeljatno juga merumuskan kriteria kriminalisasi, yaitu suatu perbuatan layak dijadikan tindak pidana jika merugikan publik, kriminalisasi merupakan sarana utama untuk menanggulanginya, dan adanya kemampuan negara untuk menegakkan hukum tersebut. Beliau juga mengingatkan akan bahaya "inflasi pidana" jika terlalu banyak perbuatan dijadikan tindak pidana tanpa pertimbangan matang.  

Sudarto memberikan definisi pidana sebagai suatu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Beliau membedakan antara pengertian unsur tindak pidana secara umum (yang lebih luas) dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Sudarto juga mengemukakan kriteria kriminalisasi yang penting, yaitu: (1) perbuatan tersebut tidak dikehendaki atau merugikan masyarakat; (2) perlu adanya analisis biaya-manfaat (social-costs and benefits) dalam menggunakan sarana hukum pidana; dan (3) pertimbangan mengenai beban penegakan hukum. Pandangannya mengenai politik hukum pidana menekankan pada usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Terkait sifat melawan hukum, Sudarto mengakui eksistensi sifat melawan hukum materiil, baik dalam fungsinya yang negatif maupun yang positif.  

Oemar Seno Adji banyak membahas mengenai perkembangan asas sifat melawan hukum materiil dalam hukum pidana Indonesia. Beliau mengkategorikan afwezigheid van alle materiele wederrechtelijkheid (AVMW) atau ketiadaan sifat melawan hukum materiil sebagai salah satu alasan pembenar. Oemar Seno Adji juga menyoroti peran penting yurisprudensi dalam mengakui dan menerapkan alasan-alasan pembenar yang tidak tertulis dalam undang-undang , yang menunjukkan dinamika hukum dalam merespons kebutuhan keadilan.  

Selain para ahli hukum Indonesia, pandangan dari para yuris Belanda yang karyanya menjadi rujukan penting dalam pengembangan hukum pidana di Indonesia juga patut diperhatikan:

  • Simons mendefinisikan strafbaar feit (tindak pidana) dengan lima unsur utama: (1) perbuatan manusia (aktif atau pasif); (2) diancam dengan pidana oleh undang-undang; (3) bersifat melawan hukum (onrechtmatig); (4) dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand); dan (5) dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon). Simons merupakan salah satu penganut teori monistis.  
  • Van Hamel mendefinisikan strafbaar feit sebagai kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang (wet), bersifat melawan hukum, patut dipidana (strafwaardig), dan dilakukan dengan kesalahan. Van Hamel juga dikenal sebagai penganut teori monistis.  
  • Hazewinkel-Suringa memberikan definisi strafbaar feit sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalam undang-undang. Pandangannya juga dirujuk oleh Oemar Seno Adji terkait dengan yurisprudensi mengenai alasan pembenar yang tidak tertulis.  

Barda Nawawi Arief, sebagai salah satu tokoh pembaharuan hukum pidana Indonesia kontemporer, dikenal sebagai pendukung teori dualistis. Beliau berpandangan bahwa upaya pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditujukan untuk perlindungan masyarakat dari tindakan-tindakan antisosial yang merugikan dan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum melalui perbaikan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.  

Dari berbagai pandangan para ahli tersebut, dapat ditarik beberapa pemahaman penting. Pertama, meskipun terdapat keragaman dalam perumusan definisi dan unsur-unsur tindak pidana serta posisi sifat melawan hukum, terdapat konsensus mengenai sentralitas sifat melawan hukum dan kesalahan sebagai elemen konstitutif tindak pidana. Variasi yang ada lebih mencerminkan perbedaan dalam penekanan analitis daripada perbedaan substansial yang fundamental. Kedua, pemikiran para ahli hukum Indonesia tidak hanya bersifat reseptif terhadap doktrin-doktrin dari tradisi hukum Belanda, tetapi juga menunjukkan adanya upaya pengembangan, kritik, dan adaptasi terhadap konteks dan kebutuhan hukum di Indonesia. Dukungan Moeljatno terhadap teori dualistis, misalnya, merupakan salah satu bentuk pengembangan pemikiran yang signifikan. Demikian pula, pandangan Sudarto dan Oemar Seno Adji mengenai sifat melawan hukum materiil menunjukkan refleksi mendalam terhadap pencarian keadilan substantif dalam sistem hukum pidana nasional. Ketiga, diskusi mengenai kriteria kriminalisasi yang dikemukakan oleh Moeljatno dan Sudarto memberikan landasan filosofis dan kebijakan kriminal (criminal policy) yang sangat penting bagi setiap upaya pembaharuan hukum pidana. Pertimbangan mengenai apakah suatu perbuatan benar-benar merugikan masyarakat, apakah hukum pidana adalah sarana yang tepat, serta analisis biaya-manfaat dan kemampuan penegakan hukum, menjadi filter krusial dalam merumuskan perbuatan apa saja yang layak dikategorikan sebagai "melawan hukum" hingga memerlukan intervensi berupa sanksi pidana. Ini menghubungkan konsep teoretis "melawan hukum" dengan aspek praktis pembentukan dan penerapan undang-undang pidana yang efektif dan adil.  

IX. Peran Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Menginterpretasi Sifat Melawan Hukum

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) memegang peranan krusial dalam menginterpretasikan dan mengembangkan konsep sifat melawan hukum melalui putusan-putusannya (yurisprudensi). Yurisprudensi MA tidak hanya berfungsi untuk menyelesaikan perkara konkret, tetapi juga memberikan panduan dan membentuk pemahaman hukum bagi praktisi dan akademisi, terutama dalam menghadapi kekosongan atau ketidakjelasan dalam peraturan perundang-undangan.

Beberapa putusan MA yang signifikan terkait interpretasi sifat melawan hukum antara lain:

  1. Putusan MA No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 (Perkara Machroes Effendi): Putusan ini dianggap sebagai salah satu tonggak penting yang mengakui dan menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Dalam pertimbangannya, MA menyatakan bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum tidak hanya berdasarkan ketentuan dalam perundang-undangan (hukum tertulis), melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum. Meskipun secara formil terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang memenuhi unsur delik, sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut dapat dihapuskan oleh adanya asas-asas keadilan atau hukum tidak tertulis yang bersifat umum. Ini menunjukkan bahwa MA bersedia melampaui interpretasi legalistik-formal demi mencapai keadilan substantif.  
  2. Putusan MA No. 30K/Kr/1969 tanggal 6 Juni 1970: Putusan ini menegaskan prinsip bahwa dalam setiap tindak pidana selalu terkandung unsur "sifat melawan hukum" dari perbuatan yang dituduhkan, meskipun unsur tersebut tidak selalu dicantumkan secara eksplisit dalam rumusan delik. Lebih lanjut, putusan ini menyatakan bahwa meskipun rumusan delik penadahan tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum, hal itu tidak berarti perbuatan yang dituduhkan tidak merupakan delik penadahan, walaupun sifat melawan hukum tidak ada sama sekali. Putusan ini mengukuhkan eksistensi sifat melawan hukum umum sebagai elemen inheren dari setiap tindak pidana.  
  3. Putusan MA No. 572 K/Pid/2003: Putusan ini menunjukkan adanya upaya MA untuk menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Dalam kasus ini, perbuatan yang dianggap bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau kepatutan dalam pergaulan hidup dinilai memenuhi unsur melawan hukum materiil, meskipun perbuatan tersebut mungkin tidak secara tegas diatur dalam undang-undang sebagai tindak pidana. Namun, penerapan fungsi positif ini menuai kritik tajam karena dianggap berpotensi melanggar asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) yang mensyaratkan adanya dasar hukum tertulis sebelum seseorang dapat dipidana. Kritik ini menyoroti bahwa penggunaan hukum tidak tertulis sebagai dasar untuk memidana dapat mengancam kepastian hukum.  
  4. Putusan MA No. 592 K/PID/1984 (Perkara Ahmad Lanun Marpaung): Dalam putusan ini, MA membebaskan terdakwa dari dakwaan pencurian karena unsur "dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum" tidak terbukti. Pertimbangan utama MA adalah ketidakjelasan mengenai batas-batas tanah yang menjadi objek perkara dan adanya anggapan pada diri terdakwa bahwa ia berada di kebun miliknya sendiri ketika melakukan perbuatan yang didakwakan. Putusan ini menggarisbawahi pentingnya pembuktian yang cermat dan meyakinkan terhadap setiap unsur delik, termasuk unsur melawan hukum yang bersifat subjektif (niat). Ini juga menunjukkan bahwa MA dapat mengoreksi putusan pengadilan di bawahnya (judex factie) jika terdapat kekurangcermatan dalam pemeriksaan dan pembuktian fakta hukum yang menjadi dasar penentuan terpenuhinya unsur melawan hukum.  

Secara umum, yurisprudensi MA telah menunjukkan adanya dinamika dalam pemahaman konsep sifat melawan hukum, dengan kecenderungan untuk bergeser dari pandangan yang semata-mata formil menuju pengakuan terhadap aspek materiil. Bahkan, terdapat upaya untuk menerapkan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil, meskipun hal ini tetap menjadi area yang kontroversial dan penuh perdebatan, terutama dalam kasus-kasus seperti tindak pidana korupsi sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatasi penafsiran tersebut.  

Peran Mahkamah Agung sebagai interpreter dan bahkan developer konsep sifat melawan hukum menjadi sangat vital, terutama dalam mengisi kekosongan hukum atau mengatasi kekakuan undang-undang. Putusan seperti kasus Machroes Effendi adalah contoh nyata bagaimana MA, melalui penemuan hukum (rechtsvinding), mengadopsi dan melegitimasi konsep sifat melawan hukum materiil fungsi negatif yang tidak secara eksplisit diatur dalam KUHP lama. Ini menunjukkan bahwa MA tidak hanya menerapkan hukum secara mekanis, tetapi juga berupaya mencapai keadilan yang lebih substantif. Namun demikian, dinamika dan terkadang inkonsistensi dalam yurisprudensi MA terkait sifat melawan hukum materiil, khususnya mengenai fungsi positifnya, mencerminkan perdebatan doktrinal yang lebih luas dan kompleksitas dalam menyeimbangkan antara tuntutan keadilan substantif dengan prinsip kepastian hukum. Putusan-putusan MA juga menegaskan bahwa konsep abstrak "melawan hukum" harus diuji dan dibuktikan secara konkret berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, menuntut kecermatan dari judex factie dalam menilai setiap kasus.

X. Transformasi Konsep Perbuatan Melawan Hukum dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek hukum pidana Indonesia, termasuk dalam perumusan dan pemahaman konsep perbuatan melawan hukum. KUHP Baru berupaya mengkodifikasi perkembangan doktrin dan yurisprudensi yang telah ada, sekaligus memperkenalkan beberapa inovasi.

A. Definisi dan Ruang Lingkup Sifat Melawan Hukum dalam Pasal 12 KUHP Baru

Pasal 12 KUHP Baru menjadi salah satu pasal kunci yang mengatur mengenai tindak pidana dan sifat melawan hukum. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini adalah sebagai berikut:

  • Pasal 12 ayat (1) menyatakan: "Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan". Ayat ini memberikan definisi dasar mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana, yaitu perbuatan yang telah ditetapkan dan diancam dengan sanksi oleh hukum tertulis.  
  • Pasal 12 ayat (2) menyatakan: "Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat". Ini merupakan ketentuan yang sangat penting karena secara eksplisit mengkodifikasi pengakuan terhadap sifat melawan hukum materiil. Frasa "harus bersifat melawan hukum" merujuk pada pertentangan dengan hukum tertulis (undang-undang), sedangkan frasa "atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat" merujuk pada pertentangan dengan hukum tidak tertulis atau norma-norma yang diakui masyarakat. Ini adalah langkah maju yang signifikan dibandingkan KUHP lama yang tidak secara eksplisit mengatur sifat melawan hukum materiil sebagai syarat kumulatif.  
  • Pasal 12 ayat (3) menyatakan: "Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar". Ayat ini menegaskan bahwa sifat melawan hukum adalah unsur inheren atau umum dari setiap tindak pidana. Artinya, setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pada dasarnya selalu mengandung sifat melawan hukum. Namun, sifat melawan hukum ini dapat ditiadakan atau gugur jika terdapat alasan pembenar yang diakui oleh hukum. Penjelasan Pasal 12 ayat (3) lebih lanjut memperjelas bahwa ketiadaan sifat melawan hukum dari Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) merupakan suatu alasan pembenar. Ini memperkuat posisi sifat melawan hukum umum dan sekaligus mengaitkannya secara langsung dengan mekanisme alasan pembenar.  

B. Implikasi "Hukum yang Hidup dalam Masyarakat" (Pasal 2 KUHP Baru) terhadap Sifat Melawan Hukum Materiil

Salah satu inovasi paling signifikan dan sekaligus kontroversial dalam KUHP Baru adalah pengakuan terhadap "hukum yang hidup dalam masyarakat" sebagai dasar pemidanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2.

  • Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru menyatakan: "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini". Pasal ini secara formal mengakui sumber hukum pidana di luar kodifikasi (undang-undang), yaitu hukum adat atau hukum tidak tertulis yang hidup dan diakui dalam masyarakat tertentu. Ini merupakan manifestasi paling jelas dari pengadopsian sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, di mana suatu perbuatan dapat dipidana berdasarkan norma tidak tertulis meskipun tidak ada larangan eksplisit dalam KUHP Baru atau undang-undang pidana lainnya.  
  • Namun, Pasal 2 ayat (2) memberikan batasan terhadap keberlakuan hukum yang hidup tersebut. Dinyatakan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan berlaku dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini serta sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.  
  • Penjelasan Pasal 2 lebih lanjut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan "hukum yang hidup dalam masyarakat" adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup tersebut, Peraturan Daerah dapat mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut. Selain itu, Pasal 2 ayat (3) menyebutkan bahwa ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.  

Pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat ini telah menimbulkan pro dan kontra yang luas. Di satu sisi, ia dipandang sebagai upaya untuk mengakomodasi kearifan lokal, pluralisme hukum di Indonesia, dan mencapai keadilan substantif yang berakar pada nilai-nilai masyarakat. Namun, di sisi lain, ia dikhawatirkan dapat mengancam kepastian hukum, melanggar asas legalitas formal (karena potensi pemidanaan tanpa dasar hukum tertulis yang jelas dan berlaku umum), serta membuka ruang bagi interpretasi yang subjektif dan multitafsir. Persyaratan pembentukan Peraturan Daerah untuk memberlakukan hukum yang hidup dapat dilihat sebagai upaya untuk menyeimbangkan pengakuan terhadap hukum adat dengan kebutuhan akan formalisasi dan kepastian hukum. Ini adalah upaya untuk memberikan bentuk yang lebih konkret dan dapat diakses terhadap "hukum yang hidup" tersebut, sekaligus mencegah penerapan yang sewenang-wenang. Namun, ini juga memunculkan tantangan baru terkait standarisasi, harmonisasi antar-Perda, dan potensi konflik antara hukum adat dengan prinsip-prinsip hukum nasional dan hak asasi manusia. Implementasi Pasal 2 KUHP Baru ini dipastikan akan menjadi arena perdebatan hukum yang intens di masa mendatang.  

C. Alasan Pembenar dalam KUHP Baru

KUHP Baru juga mengatur mengenai alasan-alasan pembenar secara lebih sistematis dan terkodifikasi, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum yang lebih besar mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang, meskipun secara sepintas memenuhi rumusan delik, tidak bersifat melawan hukum. Beberapa alasan pembenar yang diatur dalam KUHP Baru antara lain:

  • Pembelaan Terpaksa: Diatur dalam Pasal 32 KUHP Baru (sebelumnya Pasal 49 ayat (1) KUHP Lama), yang menyatakan bahwa setiap orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, serta kehormatan dalam arti kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain.  
  • Keadaan Darurat: Diatur dalam Pasal 33 KUHP Baru (sebelumnya bagian dari Pasal 48 KUHP Lama terkait noodtoestand), yang memungkinkan seseorang tidak dipidana jika melakukan perbuatan karena terpaksa oleh keadaan darurat.  
  • Pelaksanaan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan: Diatur dalam Pasal 34 KUHP Baru (sebelumnya Pasal 50 KUHP Lama), yang menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dipidana.
  • Pelaksanaan Perintah Jabatan: Diatur dalam Pasal 35 KUHP Baru (sebelumnya Pasal 51 ayat (1) KUHP Lama), yang menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang tidak dipidana.  

Selain itu, KUHP Baru juga mengatur mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf yang dapat digunakan oleh korporasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2023. Pengaturan ini merupakan respons terhadap perkembangan hukum pidana modern yang mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pengakuan bahwa korporasi juga dapat memiliki "alasan pembenar" adalah konsekuensi logis dari pengakuan korporasi sebagai subjek tindak pidana, menunjukkan adaptasi KUHP Baru terhadap realitas ekonomi dan sosial kontemporer.  

D. Perdebatan Doktrinal Terkait Sifat Melawan Hukum Materiil Positif dan Negatif Pasca UU No. 1 Tahun 2023

Dengan diaturnya Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (2) KUHP Baru yang secara eksplisit mengakui "hukum yang hidup dalam masyarakat" sebagai dasar untuk menentukan sifat melawan hukum suatu perbuatan, maka KUHP Baru secara efektif telah mengadopsi ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Hal ini menandai pergeseran signifikan dari KUHP lama yang lebih kental dengan nuansa sifat melawan hukum formil atau, jika pun materiil, lebih banyak diinterpretasikan dalam fungsi negatifnya melalui yurisprudensi.  

Meskipun demikian, pengadopsian fungsi positif ini tidak serta-merta mengakhiri perdebatan doktrinal. Sebaliknya, ia memindahkan arena perdebatan ke tataran interpretasi dan implementasi pasal-pasal tersebut. Potensi bentrokan dengan asas legalitas formal (sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Baru yang menyatakan "Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan") dan prinsip kepastian hukum tetap menjadi isu sentral. Beberapa ahli hukum pidana tetap berpandangan bahwa yang lebih dibutuhkan dan lebih aman bagi sistem hukum pidana Indonesia adalah pengakuan terhadap sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yang berfungsi sebagai katup pengaman keadilan tanpa harus mengorbankan prinsip legalitas secara fundamental.  

Lebih lanjut, meskipun Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru secara tegas melarang penggunaan analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana, pengakuan terhadap "hukum yang hidup dalam masyarakat" melalui Pasal 2 ayat (1) dapat dilihat sebagai suatu bentuk perluasan atau bahkan penyimpangan dari larangan analogi tersebut jika tidak diatur dan diterapkan dengan sangat hati-hati dan terukur. Tantangan terbesar ke depan adalah bagaimana mendamaikan pengakuan terhadap hukum yang hidup (yang bertujuan untuk fleksibilitas dan keadilan substantif yang berakar pada nilai-nilai lokal) dengan prinsip-prinsip fundamental hukum pidana modern seperti kepastian hukum (lex certa), larangan retroaktif, dan perlindungan hak asasi manusia. Ini adalah suatu balancing act yang kompleks dan akan sangat bergantung pada kearifan pembentuk peraturan pelaksana (Pemerintah dan DPRD) serta para hakim dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru ini.  

XI. Analisis Kritis: Tantangan dan Implikasi Praktis

Pemberlakuan KUHP Baru, khususnya terkait transformasi konsep perbuatan melawan hukum, membawa sejumlah tantangan dan implikasi praktis yang signifikan bagi sistem peradilan pidana di Indonesia. Pengakuan eksplisit terhadap sifat melawan hukum materiil dan "hukum yang hidup dalam masyarakat" sebagai dasar pemidanaan akan menuntut perubahan paradigma dan penyesuaian kapasitas dari seluruh komponen sistem peradilan pidana.

Salah satu tantangan utama adalah potensi isu interpretasi yang sangat besar terkait Pasal 2 dan Pasal 12 KUHP Baru. Menentukan secara objektif dan konsisten apa yang dimaksud dengan "hukum yang hidup dalam masyarakat," bagaimana membuktikannya di pengadilan, siapa yang berwenang menafsirkannya, dan bagaimana memastikan kesesuaiannya dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, serta HAM, akan menjadi pekerjaan rumah yang kompleks. Tanpa pedoman yang jelas dan mekanisme kontrol yang efektif, terdapat risiko disparitas putusan dan ketidakpastian hukum.  

Implikasi langsung dari perubahan ini adalah kebutuhan mendesak akan sosialisasi masif dan pelatihan komprehensif bagi aparat penegak hukum, mulai dari penyidik, penuntut umum, hingga hakim. Mereka harus dibekali dengan pemahaman yang mendalam mengenai konsep-konsep baru ini, termasuk filosofi di baliknya dan bagaimana menerapkannya secara adil dan konsisten. Kegagalan dalam membangun pemahaman yang seragam dapat berujung pada kesalahan penerapan hukum dan potensi pelanggaran hak-hak tersangka atau terdakwa.  

Selain itu, terdapat kekhawatiran yang disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat sipil bahwa pasal-pasal tertentu dalam KUHP Baru, termasuk yang berkaitan dengan interpretasi sifat melawan hukum berdasarkan norma-norma masyarakat yang tidak tertulis, dapat disalahgunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi, kritik, atau tindakan-tindakan yang seharusnya dilindungi dalam negara demokrasi. Fleksibilitas yang ditawarkan oleh pengakuan hukum yang hidup harus diimbangi dengan jaminan perlindungan terhadap kebebasan fundamental dan hak-hak minoritas.  

Implementasi KUHP Baru, khususnya terkait konsep sifat melawan hukum materiil dan pengakuan terhadap hukum yang hidup, akan menjadi ujian berat bagi kapasitas sistem hukum Indonesia untuk beradaptasi, berinovasi, sekaligus menjaga keseimbangan antara berbagai nilai hukum yang fundamental: keadilan substantif, kepastian hukum, kemanfaatan sosial, dan perlindungan hak asasi manusia. Keberhasilan KUHP Baru tidak hanya akan ditentukan oleh kualitas teks normatifnya, tetapi lebih penting lagi oleh bagaimana ia diinterpretasikan, diimplementasikan, dan dihidupkan melalui praktik penegakan hukum, putusan-putusan yudisial yang bijaksana, serta penerimaan dan partisipasi kritis dari masyarakat.

Dalam konteks ini, peran Mahkamah Agung akan kembali menjadi sentral. Sebagaimana MA telah berkontribusi dalam membentuk pemahaman mengenai sifat melawan hukum di bawah KUHP lama melalui yurisprudensi-yurisprudensi penting, MA juga akan diharapkan untuk melakukan hal yang sama dalam mengawal implementasi KUHP Baru. Putusan-putusan awal yang menguji dan menafsirkan Pasal 2 dan Pasal 12 KUHP Baru akan menjadi preseden krusial yang membentuk arah praktik hukum pidana di masa depan. Ini menunjukkan adanya siklus yang berkelanjutan dalam pengembangan hukum, di mana produk legislasi akan selalu diikuti dan disempurnakan melalui proses interpretasi yudisial yang dinamis dan responsif terhadap tantangan zaman.

XII. Kesimpulan

Konsep perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana Indonesia telah mengalami evolusi yang signifikan, bergerak dari pemahaman yang sempit dan legistis-formal menuju pengakuan yang lebih luas terhadap aspek materiil dan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Perkembangan ini dipengaruhi oleh dinamika yurisprudensi, kontribusi doktrinal para ahli hukum, serta kebutuhan untuk menciptakan sistem hukum pidana yang lebih responsif dan berkeadilan.

KUHP lama (WvS) secara implisit maupun eksplisit telah mengakui unsur melawan hukum sebagai elemen esensial tindak pidana. Perdebatan klasik antara ajaran sifat melawan hukum formil yang menekankan kepastian hukum berdasarkan hukum tertulis, dengan ajaran sifat melawan hukum materiil yang berupaya mencapai keadilan substantif dengan merujuk pada hukum tidak tertulis, telah mewarnai diskursus hukum pidana selama berpuluh-puluh tahun. Yurisprudensi Mahkamah Agung memainkan peran penting dalam menjembatani ketegangan ini, terutama melalui pengakuan terhadap sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatifnya.

Kini, KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023) secara eksplisit mengkodifikasi banyak perkembangan tersebut. Pasal 12 KUHP Baru menegaskan bahwa sifat melawan hukum atau pertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah syarat mutlak suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana. Lebih lanjut, Pasal 2 KUHP Baru secara kontroversial mengakui "hukum yang hidup dalam masyarakat" sebagai dasar pemidanaan, yang secara efektif mengadopsi sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positifnya. Langkah ini, meskipun bertujuan untuk mengakomodasi pluralisme hukum dan kearifan lokal, membawa tantangan besar terkait kepastian hukum, potensi konflik dengan asas legalitas formal, dan risiko interpretasi yang beragam.

Implementasi konsep perbuatan melawan hukum dalam kerangka KUHP Baru akan menghadapi ujian berat. Diperlukan upaya serius dalam penyusunan peraturan pelaksana yang cermat (Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah), sosialisasi dan pelatihan yang masif bagi aparat penegak hukum, serta pengembangan yurisprudensi yang konsisten dan progresif oleh Mahkamah Agung. Keseimbangan antara pengakuan terhadap nilai-nilai keadilan masyarakat dan perlindungan terhadap hak-hak individu serta prinsip-prinsip hukum pidana modern akan menjadi kunci keberhasilan reformasi hukum pidana ini.

Pada akhirnya, pemahaman dan penerapan konsep perbuatan melawan hukum akan terus berkembang seiring dengan dinamika masyarakat dan kebutuhan akan sistem peradilan pidana yang tidak hanya pasti secara hukum, tetapi juga adil secara substantif dan mampu menjawab tantangan zaman. Peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan – akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil – akan sangat menentukan arah masa depan konsep fundamental ini dalam tatanan hukum pidana Indonesia.

Selasa, 06 Mei 2025

Hukum Rahasia Dagang di Indonesia

1. Pendahuluan Mengenai Rahasia Dagang di Indonesia

Perlindungan terhadap rahasia dagang memegang peranan krusial dalam lanskap bisnis dan inovasi kontemporer. Rahasia dagang, sebagai salah satu bentuk kekayaan intelektual (KI) tak berwujud, seringkali menjadi aset paling berharga yang memberikan keunggulan kompetitif signifikan bagi perusahaan. Tujuan utama dari kerangka hukum perlindungan rahasia dagang di Indonesia adalah untuk memajukan industri nasional agar mampu bersaing, baik di kancah domestik maupun internasional. Lebih lanjut, regulasi ini ditujukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi tumbuhnya kreasi dan inovasi di tengah masyarakat. Perlindungan ini juga esensial untuk mencegah praktik persaingan usaha tidak sehat yang dapat merugikan pelaku usaha yang beritikad baik dan mengganggu stabilitas pasar. Dengan demikian, rahasia dagang diakui sebagai elemen kunci yang tidak hanya menunjang kelangsungan operasional perusahaan tetapi juga mendorong daya saingnya di pasar.  

Landasan hukum utama yang mengatur tentang rahasia dagang di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (selanjutnya disebut UURD). Undang-undang ini disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 20 Desember 2000. Pembentukan UURD dilatarbelakangi oleh beberapa faktor fundamental. Pertama, Indonesia telah meratifikasi Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Ratifikasi ini menandakan komitmen Indonesia untuk mengintegrasikan sistem perlindungan kekayaan intelektualnya dengan standar internasional yang berlaku dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Kedua, terdapat kebutuhan mendesak untuk menyediakan kepastian hukum bagi para penemu dan pelaku usaha terkait perlindungan atas invensi dan informasi bisnis mereka, serta untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak rahasia dagang yang mereka miliki. Ketiga, UURD juga memiliki keterkaitan erat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menunjukkan upaya pemerintah untuk menciptakan ekosistem bisnis yang adil dan kompetitif.  

Kehadiran UURD merupakan respons strategis Indonesia, tidak hanya terhadap kewajiban internasional yang timbul dari Persetujuan TRIPs, tetapi juga terhadap kebutuhan domestik untuk membangun iklim usaha yang sehat dan inovatif. Keterkaitan UURD dengan Persetujuan TRIPs dan Undang-Undang Anti Monopoli mengisyaratkan bahwa interpretasi dan penegakan hukum rahasia dagang di Indonesia harus senantiasa mempertimbangkan standar perlindungan internasional dan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Hal ini berarti perlindungan rahasia dagang tidak boleh dilihat secara sempit hanya sebagai instrumen perlindungan hak eksklusif semata, melainkan juga sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk mendorong inovasi yang bertanggung jawab dan persaingan yang adil. Implikasinya, perkembangan global dalam rezim perlindungan rahasia dagang dan praktik-praktik bisnis internasional dapat turut mempengaruhi evolusi dan penerapan hukum rahasia dagang di Indonesia di masa mendatang.

2. Definisi dan Lingkup Perlindungan Rahasia Dagang

Pemahaman yang akurat mengenai definisi dan kriteria perlindungan rahasia dagang merupakan fondasi penting dalam mengaplikasikan UURD secara efektif.

Definisi Rahasia Dagang

Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 1 UURD, Rahasia Dagang didefinisikan sebagai "informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang". Definisi ini secara tegas menggarisbawahi tiga elemen kumulatif yang harus dipenuhi agar suatu informasi dapat dikategorikan sebagai rahasia dagang dan berhak mendapatkan perlindungan hukum.  

Kriteria Informasi yang Dapat Dilindungi

Pasal 3 UURD merinci lebih lanjut mengenai kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu informasi agar dapat memperoleh status perlindungan sebagai rahasia dagang:

  1. Bersifat Rahasia: Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UURD, informasi tersebut dianggap bersifat rahasia apabila hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat. Sifat "tidak diketahui umum" ini menjadi inti dari elemen kerahasiaan dan membedakannya dari informasi publik.  
  2. Memiliki Nilai Ekonomi: Menurut Pasal 3 ayat (1) dan (3) UURD, informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi. Ini berarti informasi tersebut harus mampu memberikan keunggulan kompetitif bagi pemiliknya di pasar.  
  3. Dijaga Kerahasiaannya Melalui Upaya Sebagaimana Mestinya: Pasal 3 ayat (1) dan (4) UURD mensyaratkan bahwa pemilik atau para pihak yang menguasai informasi tersebut telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut untuk menjaga kerahasiaannya. Penjelasan Pasal 3 ayat (4) UURD memberikan panduan bahwa "langkah-langkah yang layak dan patut" mencakup ukuran kewajaran, kelayakan, dan kepatutan yang harus dilakukan, seperti adanya prosedur baku dalam perusahaan berdasarkan praktik umum atau ketentuan internal perusahaan, termasuk bagaimana rahasia dagang itu dijaga dan siapa yang bertanggung jawab atas kerahasiaan itu.  

Perlindungan hukum terhadap rahasia dagang di Indonesia bersifat otomatis apabila ketiga kriteria kumulatif tersebut terpenuhi. Berbeda dengan rezim kekayaan intelektual lainnya seperti paten atau merek yang memerlukan proses pendaftaran formal untuk mendapatkan perlindungan, UURD tidak mensyaratkan adanya pendaftaran rahasia dagang itu sendiri. Karakteristik ini memberikan fleksibilitas namun sekaligus menuntut kewaspadaan tinggi dari pemilik informasi.  

Namun, kriteria "dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya" seringkali bersifat subjektif dan menjadi titik krusial dalam pembuktian di kemudian hari. Ketidakjelasan mengenai batasan konkret dari "langkah-langkah yang layak dan patut" dapat berpotensi menjadi sumber sengketa. Meskipun beberapa contoh praktis seperti pemasangan tanda larangan, penggunaan kata sandi, atau pemusnahan dokumen secara aman telah dikemukakan, daftar ini tidak bersifat definitif menurut undang-undang. Konsekuensinya, beban pembuktian bahwa upaya penjagaan kerahasiaan yang memadai telah dilakukan sepenuhnya berada pada pemilik rahasia dagang. Kegagalan dalam menunjukkan upaya ini dapat berakibat pada gugurnya perlindungan hukum atas informasi tersebut.  

Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan strategis bagi setiap entitas bisnis untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan internal yang jelas, komprehensif, dan terdokumentasi mengenai pengelolaan informasi rahasia. Kebijakan ini seyogianya mencakup, namun tidak terbatas pada, penggunaan perjanjian kerahasiaan (Non-Disclosure Agreements atau NDA) dengan karyawan, konsultan, pemasok, dan pihak ketiga lainnya yang memiliki akses terhadap informasi sensitif perusahaan. Langkah-langkah ini bukan hanya merupakan praktik bisnis yang baik (good business practice) untuk mitigasi risiko, tetapi juga merupakan prasyarat hukum fundamental untuk mempertahankan status dan perlindungan rahasia dagang.  

Lingkup Informasi yang Dilindungi

Pasal 2 UURD menetapkan bahwa lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum. Lingkup ini cukup luas dan dapat mencakup berbagai jenis informasi, seperti formula kimia, resep masakan, strategi pemasaran, daftar pelanggan dan vendor, data finansial internal, algoritma perangkat lunak, hingga inovasi teknologi yang belum atau tidak dipatenkan.  

3. Hak dan Kewajiban Pemilik Rahasia Dagang

UURD memberikan hak eksklusif kepada pemilik rahasia dagang, namun hak tersebut diimbangi dengan kewajiban untuk terus menjaga kerahasiaan informasi yang dilindungi.

Hak Eksklusif Pemilik Rahasia Dagang

Berdasarkan Pasal 4 UURD, pemilik Rahasia Dagang memiliki hak untuk:

  • Menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya (Pasal 4 huruf a UURD). Hak ini memberikan keleluasaan penuh kepada pemilik untuk mengimplementasikan rahasia dagangnya dalam kegiatan usahanya.  
  • Memberikan Lisensi kepada pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang (Pasal 4 huruf b UURD). Melalui lisensi, pemilik dapat memperoleh manfaat ekonomi dari rahasia dagangnya tanpa harus menggunakannya sendiri secara eksklusif.  
  • Melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial (Pasal 4 huruf b UURD). Hak ini merupakan instrumen penting untuk mencegah penyalahgunaan dan pembocoran informasi rahasia oleh pihak yang tidak berhak.  

Hak-hak yang diatur dalam Pasal 4 UURD ini bersifat eksklusif, artinya hanya pemilik rahasia dagang yang sah yang berhak melakukan tindakan-tindakan tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain. Ini memberikan kontrol penuh kepada pemilik atas pemanfaatan dan penyebaran informasi rahasia dagangnya.

Kewajiban Pemilik Rahasia Dagang

Kewajiban utama dan paling fundamental bagi pemilik rahasia dagang adalah untuk terus-menerus menjaga kerahasiaan informasi yang diklaim sebagai rahasia dagang. Kewajiban ini secara implisit termaktub dalam Pasal 3 ayat (4) UURD, yang mensyaratkan adanya "upaya sebagaimana mestinya" untuk menjaga kerahasiaan sebagai salah satu kriteria perlindungan. Apabila kerahasiaan informasi tersebut hilang, misalnya karena terungkap kepada publik tanpa adanya upaya penjagaan yang memadai, maka perlindungan hukumnya secara otomatis akan gugur.  

Keterkaitan antara hak eksklusif dan kewajiban menjaga kerahasiaan ini sangat erat. Hak eksklusif yang diberikan oleh Pasal 4 UURD tidak bersifat absolut dan sangat bergantung pada pemenuhan kewajiban yang ditetapkan dalam Pasal 3 UURD. Kegagalan pemilik dalam menjaga kerahasiaan informasinya secara efektif akan menghilangkan dasar perlindungan hukum dan, akibatnya, hak eksklusif tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Ini menunjukkan adanya hubungan kausal yang fundamental antara upaya penjagaan dan keberlangsungan hak.

Dengan demikian, perlindungan rahasia dagang memiliki sifat yang dinamis dan berkelanjutan, berbeda dengan rezim kekayaan intelektual lain seperti paten yang memiliki jangka waktu perlindungan yang tetap setelah melalui proses pendaftaran formal. Pemilik rahasia dagang harus secara aktif dan terus-menerus melakukan upaya-upaya perlindungan. Jika upaya penjagaan melemah dan informasi rahasia bocor ke publik, hak atas rahasia dagang tersebut dapat hilang kapan saja. Kondisi ini menuntut kewaspadaan tinggi dan investasi berkelanjutan dari pemilik rahasia dagang untuk memastikan aset intelektualnya tetap terlindungi.

4. Pengalihan Hak dan Lisensi Rahasia Dagang

Sebagai aset yang memiliki nilai ekonomi, hak atas rahasia dagang dapat dialihkan atau dilisensikan kepada pihak lain. UURD mengatur mekanisme dan persyaratan untuk kedua tindakan hukum tersebut.

Mekanisme Pengalihan Hak

Pasal 5 UURD mengatur bahwa Hak Rahasia Dagang dapat beralih atau dialihkan melalui beberapa cara, yaitu:

  • Pewarisan;
  • Hibah;
  • Wasiat;
  • Perjanjian tertulis; atau
  • Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.  

Setiap pengalihan Hak Rahasia Dagang harus disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak tersebut. Penting untuk dicatat, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UURD, dokumen pengalihan hak ini berfungsi untuk menunjukkan telah terjadinya peralihan hak kepemilikan atas rahasia dagang, namun substansi dari rahasia dagang itu sendiri tetap tidak diungkapkan dalam dokumen tersebut untuk menjaga kerahasiaannya.  

Kewajiban Pencatatan Pengalihan Hak: UURD mewajibkan agar segala bentuk pengalihan Hak Rahasia Dagang dicatatkan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Ditjen KI) Kementerian Hukum dan HAM RI, dengan disertai pembayaran biaya yang telah ditetapkan. Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UURD lebih lanjut menegaskan bahwa yang wajib dicatatkan hanyalah data yang bersifat administratif dari dokumen pengalihan hak, dan tidak mencakup substansi rahasia dagang yang diperjanjikan.  

Konsekuensi hukum dari tidak dilakukannya pencatatan pengalihan hak ini cukup signifikan. Pasal 5 ayat (4) UURD (sebagaimana terdapat dalam beberapa versi naskah UU, misalnya , dan juga disebutkan dalam) menyatakan bahwa pengalihan Hak Rahasia Dagang yang tidak dicatatkan pada Ditjen KI tidak akan berakibat hukum pada pihak ketiga. Artinya, pihak ketiga yang beritikad baik mungkin tidak terikat oleh pengalihan hak tersebut jika tidak ada pencatatan resmi. Lebih lanjut, pengalihan Hak Rahasia Dagang yang telah dicatatkan akan diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang, yang mana data yang diumumkan juga bersifat administratif.  

Pemberian Lisensi

Selain pengalihan hak secara penuh, pemilik rahasia dagang juga dapat memberikan lisensi kepada pihak lain. Definisi Lisensi: Menurut Pasal 1 Angka 5 UURD, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Rahasia Dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Rahasia Dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.  

Pemegang Hak Rahasia Dagang berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan suatu perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam hak eksklusifnya (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UURD), kecuali jika diperjanjikan lain. Pasal 7 UURD menambahkan bahwa, kecuali diperjanjikan lain, pemegang hak rahasia dagang tetap dapat menggunakan sendiri rahasia dagangnya atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya, meskipun telah memberikan lisensi kepada satu pihak. Ini mengindikasikan bahwa lisensi rahasia dagang secara default bersifat non-eksklusif.  

Kewajiban Pencatatan Perjanjian Lisensi: Serupa dengan pengalihan hak, perjanjian Lisensi Rahasia Dagang juga wajib dicatatkan pada Ditjen KI dan dikenai biaya. Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UURD kembali menekankan bahwa yang dicatatkan hanyalah data administratif dari perjanjian lisensi, bukan substansi rahasia dagang yang dilisensikan. Perjanjian Lisensi yang tidak dicatatkan pada Ditjen KI tidak akan mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Perjanjian Lisensi yang telah dicatatkan akan diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang, dengan data yang diumumkan juga bersifat administratif.  

UURD (Pasal 9 ayat (3)) awalnya mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian Lisensi diatur dengan Keputusan Presiden. Namun, dalam perkembangannya, pengaturan ini lebih banyak diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.  

Peraturan Pelaksana Pencatatan Lisensi:

  1. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual (PP 36/2018): Peraturan ini berlaku untuk berbagai jenis KI, termasuk Rahasia Dagang (Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) huruf f PP 36/2018). PP 36/2018 mengatur secara lebih rinci mengenai syarat-syarat permohonan pencatatan, kerangka isi minimal yang harus ada dalam perjanjian lisensi, dan larangan-larangan tertentu dalam perjanjian lisensi. Misalnya, perjanjian lisensi harus dibuat secara tertulis, dan jika dibuat dalam bahasa asing, wajib diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia (Pasal 5 PP 36/2018). Lebih lanjut, Pasal 6 PP 36/2018 melarang perjanjian lisensi memuat ketentuan yang dapat merugikan perekonomian Indonesia, menghambat penguasaan dan pengembangan teknologi oleh bangsa Indonesia, mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, nilai-nilai agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Ditjen KI juga wajib menolak pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan terlarang tersebut, sejalan dengan amanat Pasal 9 ayat (2) UURD. Penting dicatat, menurut Pasal 17 PP 36/2018, pencatatan perjanjian lisensi berlaku selama jangka waktu perjanjian lisensi itu sendiri berlaku.  
  2. Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 8 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Permohonan Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual (Permenkumham 8/2016): Peraturan Menteri ini mengatur aspek teknis dan prosedural permohonan pencatatan lisensi, baik yang diajukan secara elektronik maupun non-elektronik. Ini mencakup rincian dokumen persyaratan yang harus dilampirkan (Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Permenkumham 8/2016). Berdasarkan Pasal 10 Permenkumham 8/2016, pencatatan perjanjian lisensi berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diajukan permohonan kembali setelahnya dengan dikenai biaya.  

Pencatatan, baik untuk pengalihan hak maupun lisensi, adalah tindakan administratif yang krusial karena memberikan akibat hukum terhadap pihak ketiga. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan kepastian hukum dan memberikan publisitas (meskipun terbatas pada data administratif) mengenai status hak atas rahasia dagang. Tanpa pencatatan, klaim hak dari penerima pengalihan atau penerima lisensi mungkin tidak diakui oleh pihak ketiga yang tidak mengetahui adanya transaksi tersebut.

Meskipun UURD awalnya menunjuk pada Keputusan Presiden untuk mengatur detail pencatatan lisensi, PP 36/2018 dan Permenkumham 8/2016 kini menjadi rujukan utama dalam praktik. Terdapat potensi ketidakselarasan yang perlu diperhatikan antara Permenkumham 8/2016 yang menyatakan masa berlaku pencatatan lisensi adalah 5 tahun, dengan PP 36/2018 yang menyatakan masa berlaku pencatatan adalah selama perjanjian lisensi itu sendiri berlaku. Mengingat hierarki peraturan perundang-undangan, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP 36/2018) memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada Peraturan Menteri (Permenkumham 8/2016). Pasal 21 PP 36/2018 juga menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan dari undang-undang di bidang kekayaan intelektual mengenai pencatatan perjanjian lisensi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PP tersebut, yang mengindikasikan dominasi PP 36/2018 jika terjadi pertentangan.

Lebih lanjut, adanya larangan dalam perjanjian lisensi yang dapat merugikan perekonomian nasional atau menghambat pengembangan teknologi, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UURD dan Pasal 6 PP 36/2018, menunjukkan peran aktif negara dalam mengawasi praktik transfer teknologi dan lisensi. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pemanfaatan kekayaan intelektual, termasuk rahasia dagang, sejalan dengan kepentingan publik yang lebih luas dan tidak disalahgunakan untuk praktik yang merugikan kepentingan nasional. Ini merupakan bentuk intervensi negara dalam ranah kontrak privat demi melindungi kepentingan publik dan kedaulatan ekonomi.  

5. Pelanggaran dan Sanksi Terhadap Rahasia Dagang

UURD secara spesifik mengatur mengenai tindakan-tindakan apa saja yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak rahasia dagang, pengecualiannya, serta sanksi pidana yang dapat dikenakan.

Bentuk-bentuk Pelanggaran Rahasia Dagang

Pelanggaran terhadap rahasia dagang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, sebagaimana diatur dalam UURD:

  • Pasal 13 UURD: Menyatakan bahwa pelanggaran Rahasia Dagang terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan (baik yang tertulis maupun tidak tertulis) untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan. Ketentuan ini mencakup situasi di mana karyawan atau mantan karyawan membocorkan rahasia dagang perusahaan, atau mitra bisnis menyalahgunakan informasi rahasia yang dipercayakan kepadanya. Pelanggaran ini tidak hanya terbatas pada tindakan pencurian aktif, tetapi juga mencakup pelanggaran terhadap kontrak atau kewajiban kerahasiaan yang telah disepakati.  
  • Pasal 14 UURD: Menyatakan bahwa seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh cara yang bertentangan ini bisa meliputi pencurian fisik dokumen, peretasan sistem komputer, spionase industri, atau penyuapan.  
  • Selain itu, menggunakan Rahasia Dagang pihak lain tanpa hak juga merupakan bentuk pelanggaran. Meskipun tidak secara eksplisit dirumuskan sebagai satu pasal pelanggaran tersendiri, hal ini tersirat dari ketentuan Pasal 17 UURD yang mengenakan sanksi pidana terhadap "barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain", yang merujuk pada hak eksklusif pemilik sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UURD.  

Pengecualian Perbuatan yang Tidak Dianggap Pelanggaran

Pasal 15 UURD mengatur beberapa perbuatan yang, meskipun melibatkan pengungkapan atau penggunaan rahasia dagang, tidak dianggap sebagai pelanggaran. Pengecualian ini penting untuk menyeimbangkan antara perlindungan hak privat dengan kepentingan publik dan kemajuan teknologi. Perbuatan tersebut meliputi:

  • Tindakan pengungkapan Rahasia Dagang atau penggunaan Rahasia Dagang tersebut yang didasarkan pada kepentingan pertahanan keamanan, kesehatan, atau keselamatan masyarakat (Pasal 15 huruf a UURD). Dalam situasi tertentu, kepentingan publik yang lebih besar dapat mengesampingkan hak kerahasiaan.  
  • Tindakan rekayasa ulang (reverse engineering) atas produk yang dihasilkan dari penggunaan Rahasia Dagang milik orang lain, yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan (Pasal 15 huruf b UURD). UURD mendefinisikan rekayasa ulang sebagai suatu tindakan analisis dan evaluasi untuk mengetahui informasi tentang suatu teknologi yang sudah ada. Pengecualian ini bertujuan untuk mendorong inovasi berkelanjutan dan mencegah stagnasi teknologi.  

Adanya pengecualian dalam Pasal 15 UURD, khususnya terkait reverse engineering dan kepentingan publik, menunjukkan upaya legislatif untuk menciptakan keseimbangan yang cermat. Di satu sisi, hak eksklusif pemilik rahasia dagang perlu dilindungi untuk mendorong investasi dalam inovasi. Di sisi lain, kemajuan teknologi dan kepentingan masyarakat luas juga harus diakomodasi. Pengecualian ini menggarisbawahi bahwa perlindungan rahasia dagang tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang lebih urgen.

Sanksi Pidana

Bagi pihak yang terbukti melakukan pelanggaran rahasia dagang, Pasal 17 UURD mengatur sanksi pidana.

  • Menurut Pasal 17 ayat (1) UURD, barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain atau melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau Pasal 14, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).  
  • Sangat penting untuk dicatat bahwa tindak pidana yang diatur dalam UURD ini merupakan delik aduan (Pasal 17 ayat (2) UURD). Artinya, proses penuntutan pidana hanya dapat dimulai apabila ada pengaduan resmi dari pihak yang dirugikan, yaitu pemilik Rahasia Dagang atau penerima Lisensi yang sah.  

Sifat delik aduan pada sanksi pidana ini memiliki implikasi signifikan terhadap penegakan hukum. Beban inisiatif untuk memulai proses hukum pidana sepenuhnya berada pada pihak yang merasa haknya dilanggar. Tanpa adanya aduan, aparat penegak hukum tidak memiliki kewenangan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, meskipun mengetahui adanya dugaan pelanggaran. Hal ini berbeda dengan delik biasa, di mana aparat penegak hukum dapat langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan. Konsekuensinya, tingkat penegakan hukum pidana dalam kasus-kasus rahasia dagang mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk keengganan pemilik untuk melalui proses pidana yang kompleks dan berpotensi memakan waktu, atau kekhawatiran akan terungkapnya lebih lanjut informasi rahasia selama proses persidangan. Pemilik rahasia dagang mungkin lebih memilih jalur penyelesaian perdata atau alternatif lainnya. Keputusan untuk mengajukan aduan pidana menjadi pertimbangan strategis yang harus diambil dengan cermat oleh pemilik rahasia dagang.

6. Penyelesaian Sengketa Rahasia Dagang

Apabila terjadi sengketa terkait rahasia dagang, UURD menyediakan beberapa mekanisme penyelesaian, baik melalui jalur litigasi (pengadilan) maupun non-litigasi (alternatif penyelesaian sengketa).

Upaya Hukum Perdata

Pasal 11 UURD memberikan hak kepada pemegang Hak Rahasia Dagang atau penerima Lisensi untuk mengajukan gugatan terhadap siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan pelanggaran terhadap hak eksklusifnya (sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UURD). Bentuk gugatan yang dapat diajukan meliputi:  

  • Gugatan ganti rugi: Untuk meminta kompensasi atas kerugian material dan imaterial yang diderita akibat pelanggaran.  
  • Penghentian semua perbuatan pelanggaran: Untuk meminta perintah pengadilan agar pelaku menghentikan semua tindakan yang melanggar hak rahasia dagang (sering disebut sebagai injunction).  

Gugatan perdata tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri yang berwenang (Pasal 11 ayat (2) UURD). Mengingat sifat sensitif dari informasi yang menjadi objek sengketa, Pasal 18 UURD memberikan kewenangan kepada hakim untuk memerintahkan agar sidang dilakukan secara tertutup atas permintaan para pihak. Langkah ini bertujuan untuk menjaga kerahasiaan informasi selama proses persidangan berlangsung.  

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)

Selain melalui jalur pengadilan, Pasal 12 UURD juga membuka kemungkinan bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan mereka melalui arbitrase atau mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (APS) lainnya. APS ini dapat mencakup negosiasi, mediasi, atau konsiliasi, sesuai dengan kesepakatan para pihak. Pilihan APS seringkali dipertimbangkan karena potensi kerahasiaan proses yang lebih terjamin dan prosedur yang mungkin lebih cepat dan fleksibel dibandingkan litigasi di pengadilan.  

Pilihan antara jalur litigasi dan APS akan sangat dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan strategis, terutama keinginan untuk menjaga kerahasiaan informasi yang disengketakan. Meskipun sidang tertutup di pengadilan merupakan salah satu opsi untuk melindungi kerahasiaan, sifat inheren dari proses APS seringkali menawarkan tingkat kerahasiaan yang lebih tinggi dan kontrol yang lebih besar bagi para pihak atas jalannya proses. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa putusan APS, khususnya mediasi atau konsiliasi, mungkin tidak memiliki kekuatan eksekutorial sekuat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jika tujuan utama adalah memperoleh ganti rugi dan penghentian segera perbuatan pelanggaran dengan menjaga kerahasiaan maksimal, APS bisa menjadi pilihan yang lebih menarik. Sebaliknya, jika dibutuhkan putusan yang mengikat secara publik, memiliki efek jera yang lebih luas, dan dapat dieksekusi secara paksa, jalur litigasi mungkin lebih diutamakan, meskipun dengan risiko informasi lebih terekspos walaupun ada mekanisme sidang tertutup.

Penyidikan Tindak Pidana Rahasia Dagang

Untuk penanganan aspek pidana dari pelanggaran rahasia dagang, Pasal 16 UURD mengatur mengenai kewenangan penyidikan. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Polri), Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Hak Kekayaan Intelektual (dalam hal ini Ditjen KI) juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.  

Wewenang penyidik PPNS ini mencakup berbagai tindakan, seperti melakukan pemeriksaan atas kebenaran pengaduan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Rahasia Dagang, melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan tersangka, melakukan penggeledahan, melakukan penyitaan barang bukti, dan meminta keterangan ahli (Pasal 16 ayat (2) UURD).  

Adanya kewenangan penyidikan pada PPNS dari Ditjen KI menunjukkan adanya upaya untuk menghadirkan spesialisasi dalam penanganan kasus-kasus pidana HKI, termasuk rahasia dagang. Keahlian khusus PPNS Ditjen KI diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses penyidikan. Namun, hal ini juga menuntut adanya koordinasi yang efektif dan sinergis dengan pihak Kepolisian sebagai lembaga penyidik utama. Efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran rahasia dagang akan sangat bergantung pada kapasitas, sumber daya, dan terutama mekanisme koordinasi antara kedua lembaga penyidik ini. Potensi tumpang tindih kewenangan atau justru kurangnya sinergi dapat menjadi tantangan dalam implementasi di lapangan.

7. Biaya Terkait Pencatatan Rahasia Dagang

UURD mengamanatkan bahwa pencatatan pengalihan hak dan perjanjian lisensi rahasia dagang dikenai biaya. Rincian mengenai jenis dan tarif biaya ini ditetapkan melalui peraturan pemerintah.

Dasar Hukum Pengenaan Biaya

Pasal 10 ayat (1) UURD secara tegas menyatakan bahwa pencatatan pengalihan hak dan pencatatan perjanjian Lisensi Rahasia Dagang dikenai biaya yang jumlahnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (2) UURD menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, jangka waktu, dan tata cara pembayaran biaya tersebut diatur dengan Keputusan Presiden. Namun, dalam praktik terkini, penetapan jenis dan tarif biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), termasuk untuk layanan kekayaan intelektual, diatur melalui Peraturan Pemerintah yang spesifik mengenai PNBP di kementerian terkait.  

Rincian Biaya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2024

Peraturan Pemerintah terbaru yang mengatur jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2024 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (PP 45/2024). Tarif untuk layanan terkait rahasia dagang tercantum dalam Lampiran PP 45/2024, pada Bagian IV (Pelayanan Kekayaan Intelektual), Sub-bagian B (Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Rahasia Dagang), Nomor 38 dan 39.  

Tata cara pembayaran PNBP umumnya dilakukan melalui sistem pembayaran elektronik dengan menggunakan kode billing yang akan diterbitkan oleh Ditjen KI setelah permohonan diajukan secara daring (online).  

Biaya pencatatan pengalihan hak dan lisensi rahasia dagang diatur secara spesifik dalam Peraturan Pemerintah tentang PNBP, dengan adanya diferensiasi tarif yang lebih rendah untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), lembaga pendidikan, serta lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah. Kebijakan diferensiasi tarif ini menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk memberikan insentif dan kemudahan bagi kelompok-kelompok tersebut dalam melindungi dan mengkomersialisasikan kekayaan intelektualnya.

Meskipun UURD awalnya mengamanatkan pengaturan tata cara pembayaran biaya melalui Keputusan Presiden, praktik terkini menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah tentang PNBP (seperti PP 45/2024) menjadi rujukan utama untuk penetapan jenis dan tarif biaya. Sementara itu, tata cara pembayaran lebih bersifat teknis administratif yang diatur dan difasilitasi oleh Ditjen KI, seringkali melalui sistem layanan daring. Perubahan ini kemungkinan merupakan refleksi dari upaya reformasi birokrasi dan pengelolaan PNBP yang lebih terpusat, transparan, dan akuntabel.

Pembayaran biaya PNBP sesuai dengan tarif yang berlaku merupakan salah satu syarat administratif yang penting agar proses pencatatan pengalihan hak atau perjanjian lisensi dapat diproses dan disahkan oleh Ditjen KI. Pencatatan yang sah inilah yang kemudian memberikan akibat hukum terhadap pihak ketiga. Oleh karena itu, kegagalan dalam melakukan pembayaran atau melakukan pembayaran yang tidak sesuai dengan tarif yang ditetapkan dapat menghambat proses pencatatan dan, pada akhirnya, mempengaruhi efektivitas perlindungan hukum atas transaksi rahasia dagang tersebut.

8. Upaya Perlindungan Proaktif Rahasia Dagang

Perlindungan hukum yang diberikan oleh UURD bersifat pasif dalam arti bahwa hukum akan melindungi informasi yang memenuhi kriteria dan telah dijaga kerahasiaannya oleh pemilik. Oleh karena itu, upaya proaktif dari pemilik rahasia dagang menjadi sangat esensial.

Pentingnya Perjanjian Kerahasiaan (Non-Disclosure Agreement/NDA)

Salah satu instrumen hukum paling fundamental dalam melindungi rahasia dagang adalah melalui perjanjian kerahasiaan atau Non-Disclosure Agreement (NDA). NDA merupakan kontrak yang mengikat secara hukum antara pemilik rahasia dagang dengan pihak lain (misalnya karyawan, konsultan, mitra bisnis, pemasok) yang akan menerima atau memiliki akses ke informasi rahasia tersebut. Perjanjian ini secara jelas mendefinisikan informasi apa saja yang dianggap rahasia, kewajiban pihak penerima untuk menjaga kerahasiaan, batasan penggunaan informasi, dan konsekuensi hukum jika terjadi pelanggaran.  

Pelanggaran terhadap NDA dapat menjadi dasar yang kuat bagi pemilik rahasia dagang untuk mengambil tindakan hukum, baik perdata maupun pidana (berdasarkan Pasal 13 UURD yang mencakup "mengingkari kesepakatan"). Selain NDA yang bersifat spesifik, klausul kerahasiaan juga sangat dianjurkan untuk dimasukkan ke dalam kontrak kerja karyawan, terutama bagi mereka yang memiliki akses ke informasi sensitif perusahaan.  

Langkah-langkah Internal Perusahaan untuk Menjaga Kerahasiaan

Selain instrumen kontraktual seperti NDA, perusahaan juga perlu mengimplementasikan berbagai langkah internal, baik bersifat teknis maupun administratif, untuk menjaga kerahasiaan informasinya. Langkah-langkah ini merupakan manifestasi dari "upaya sebagaimana mestinya" yang disyaratkan oleh UURD. Beberapa contoh langkah internal yang dapat dilakukan meliputi:

  • Menerapkan Prosedur Baku Internal: Mengembangkan dan memberlakukan kebijakan dan prosedur standar mengenai pengelolaan informasi rahasia. Ini termasuk membatasi akses terhadap informasi rahasia hanya kepada karyawan yang benar-benar membutuhkannya (need-to-know basis), menggunakan sistem kata sandi yang kuat untuk data komputer dan sistem informasi, serta memberikan label atau tanda "RAHASIA" atau "KONFIDENSIAL" pada dokumen fisik maupun digital yang berisi rahasia dagang.  
  • Keamanan Fisik: Memasang tanda peringatan yang jelas di area-area sensitif, seperti "SELAIN KARYAWAN DILARANG MASUK" atau "DILARANG MENGAMBIL GAMBAR/MEMOTRET". Mengontrol akses fisik ke ruangan atau fasilitas tempat rahasia dagang disimpan atau diolah.  
  • Manajemen Dokumen: Menerapkan prosedur untuk pemusnahan dokumen penting yang sudah tidak terpakai secara aman (misalnya dengan mesin penghancur kertas atau pembakaran terkontrol) untuk mencegah informasi jatuh ke tangan yang salah.  
  • Keamanan Tambahan: Menggunakan sistem alarm, kamera pengawas (CCTV), atau personel keamanan untuk memantau dan melindungi area-area kritis.  
  • Kontrol Akses Pihak Eksternal: Mencatat dan memantau siapa saja pihak eksternal (tamu, vendor, dll.) yang datang ke perusahaan atau memasuki area-area tertentu yang berpotensi terpapar informasi rahasia.  

Perlindungan hukum terhadap rahasia dagang sangat bergantung pada sejauh mana pemiliknya secara proaktif dan konsisten melakukan upaya-upaya untuk menjaga kerahasiaan informasi tersebut. Undang-undang pada dasarnya hanya akan memberikan perlindungan terhadap informasi yang memang secara nyata diperlakukan dan dijaga sebagai rahasia oleh pemiliknya. Dengan kata lain, hukum tidak akan melindungi kelalaian.

Langkah-langkah proaktif seperti penggunaan NDA, implementasi kebijakan internal yang ketat, serta penerapan sistem keamanan fisik dan digital, bukan hanya merupakan praktik manajemen risiko yang baik dari perspektif bisnis, tetapi juga merupakan pemenuhan syarat hukum esensial untuk dapat memperoleh dan mempertahankan status perlindungan rahasia dagang. Terdapat sinergi yang kuat antara kebutuhan praktis bisnis untuk melindungi aset kompetitifnya dengan kewajiban hukum yang ditetapkan oleh UURD. Apa yang baik untuk kelangsungan dan keunggulan bisnis, dalam konteks ini, juga baik untuk memenuhi prasyarat hukum perlindungan rahasia dagang.

Mengingat bahwa pemenuhan kriteria "upaya sebagaimana mestinya" dapat menjadi subjek perdebatan dan pembuktian dalam sebuah sengketa hukum, pendokumentasian semua langkah proaktif yang telah diambil oleh perusahaan menjadi sangat krusial. Dokumentasi ini, seperti salinan NDA yang telah ditandatangani oleh semua pihak terkait, log akses ke sistem informasi, catatan pelatihan karyawan mengenai kerahasiaan, serta bukti implementasi kebijakan internal lainnya, akan berfungsi sebagai bukti kuat bahwa pemilik telah secara sungguh-sungguh memenuhi kewajibannya dalam menjaga kerahasiaan. Tanpa dokumentasi yang memadai, pembuktian akan menjadi lebih sulit jika terjadi sengketa, yang pada akhirnya dapat melemahkan posisi hukum pemilik rahasia dagang. Ini adalah implikasi praktis yang sangat penting dari syarat yang terkandung dalam Pasal 3 ayat (4) UURD.

9. Kesimpulan dan Rekomendasi

Hukum rahasia dagang di Indonesia, yang berlandaskan utama pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 beserta peraturan pelaksananya, menyediakan kerangka kerja untuk melindungi informasi bisnis dan teknologi yang bernilai ekonomi dan dijaga kerahasiaannya. Perlindungan ini bersifat otomatis jika kriteria kerahasiaan, nilai ekonomi, dan upaya penjagaan kerahasiaan terpenuhi, tanpa memerlukan pendaftaran formal atas rahasia dagang itu sendiri. Namun, keberlangsungan perlindungan ini sangat bergantung pada upaya aktif dan berkelanjutan dari pemilik untuk menjaga kerahasiaan informasinya. Hak eksklusif pemilik meliputi hak untuk menggunakan sendiri, memberikan lisensi, dan melarang pihak lain menggunakan atau mengungkapkan rahasia dagangnya. Pengalihan hak dan pemberian lisensi atas rahasia dagang diakui, namun pencatatannya pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual menjadi krusial agar memiliki akibat hukum terhadap pihak ketiga. Pelanggaran terhadap rahasia dagang dapat dikenai sanksi perdata berupa ganti rugi dan/atau penghentian perbuatan, serta sanksi pidana yang bersifat delik aduan. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui jalur pengadilan maupun alternatif penyelesaian sengketa.

Bagi para pemilik usaha di Indonesia, perlindungan rahasia dagang yang efektif memerlukan kombinasi antara pemahaman hukum yang baik dan implementasi praktik bisnis yang cermat. Berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan:

  1. Identifikasi dan Klasifikasi Aset Rahasia Dagang: Lakukan audit internal secara berkala untuk mengidentifikasi informasi apa saja dalam perusahaan yang berpotensi menjadi rahasia dagang. Setelah teridentifikasi, klasifikasikan tingkat kerahasiaan dan nilai strategis dari masing-masing informasi tersebut.
  2. Implementasikan Kebijakan Internal yang Komprehensif: Susun dan sosialisasikan kebijakan internal yang jelas dan rinci mengenai penanganan informasi rahasia. Kebijakan ini harus mencakup prosedur pembatasan akses (need-to-know basis), penggunaan kata sandi yang kuat, pelabelan dokumen secara fisik dan digital, serta prosedur pemusnahan informasi yang aman ketika sudah tidak diperlukan.
  3. Manfaatkan Perjanjian Kerahasiaan (NDA) secara Maksimal: Jadikan penandatanganan NDA sebagai prosedur standar bagi karyawan (terutama yang memiliki akses ke informasi sensitif), konsultan, pemasok, mitra bisnis, dan pihak ketiga lainnya yang mungkin terpapar rahasia dagang perusahaan. Pastikan NDA tersebut dirancang secara komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan spesifik.
  4. Adakan Pelatihan Kesadaran bagi Karyawan: Selenggarakan pelatihan secara reguler bagi seluruh karyawan mengenai pentingnya menjaga rahasia dagang perusahaan, definisi rahasia dagang, serta kewajiban hukum dan kontraktual mereka terkait kerahasiaan informasi.
  5. Terapkan Keamanan Fisik dan Digital yang Andal: Implementasikan langkah-langkah keamanan fisik yang memadai, seperti kontrol akses ke area-area tertentu, penggunaan CCTV, dan penjagaan. Selain itu, perkuat keamanan digital melalui penggunaan enkripsi data, firewall, sistem deteksi intrusi, dan pemantauan jaringan secara berkala.
  6. Dokumentasikan Semua Upaya Perlindungan: Simpan catatan dan dokumentasi yang rinci dari semua langkah dan upaya yang telah diambil untuk menjaga kerahasiaan informasi. Dokumentasi ini akan menjadi bukti penting bahwa perusahaan telah memenuhi syarat "upaya yang layak dan patut" jika terjadi sengketa di kemudian hari.
  7. Lakukan Pencatatan Pengalihan Hak dan Perjanjian Lisensi: Segera daftarkan setiap transaksi pengalihan hak atau perjanjian lisensi rahasia dagang ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Pembayaran PNBP yang sesuai juga harus dilakukan untuk memastikan pencatatan sah dan memiliki akibat hukum terhadap pihak ketiga.
  8. Ambil Tindakan Cepat dan Tepat Saat Terjadi Dugaan Pelanggaran: Jika terdapat dugaan terjadinya pelanggaran terhadap rahasia dagang, segera konsultasikan dengan ahli hukum yang berpengalaman dalam bidang kekayaan intelektual untuk menentukan langkah-langkah hukum yang paling tepat dan efektif, baik melalui jalur perdata (gugatan) maupun pidana (pengaduan).
  9. Pahami Batasan dan Pengecualian Perlindungan: Pemilik usaha perlu menyadari adanya batasan dan pengecualian dalam perlindungan rahasia dagang, seperti untuk kepentingan pertahanan keamanan, kesehatan, keselamatan masyarakat, serta tindakan reverse engineering yang sah. Pemahaman ini penting dalam merumuskan strategi perlindungan yang realistis.
  10. Lakukan Evaluasi dan Pembaruan Berkala: Tinjau dan perbarui secara berkala seluruh strategi dan langkah-langkah perlindungan rahasia dagang agar tetap relevan dengan perkembangan model bisnis, kemajuan teknologi, serta potensi perubahan dalam regulasi hukum. Sebagaimana analisis dan evaluasi terhadap UURD sendiri pernah dilakukan, adaptasi berkelanjutan adalah kunci.  

Kepatuhan terhadap kerangka hukum yang ada dan implementasi praktik bisnis yang baik harus berjalan seiring untuk mencapai perlindungan rahasia dagang yang optimal. Penekanan utama dalam perlindungan rahasia dagang sejatinya terletak pada tindakan preventif. Upaya hukum yang bersifat represif, seperti gugatan atau laporan pidana, seringkali baru dilakukan setelah kerugian terjadi dan kerahasiaan informasi mungkin sudah terlanjur terkompromi. Oleh karena itu, investasi dalam membangun sistem perlindungan internal yang kuat jauh lebih strategis.

Terakhir, kompleksitas hukum rahasia dagang dan interpretasi atas syarat-syarat perlindungan seperti "upaya yang layak dan patut" menunjukkan pentingnya kesadaran hukum dan akses terhadap keahlian hukum yang memadai. Hal ini berlaku tidak hanya bagi perusahaan besar, tetapi juga bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang mungkin memiliki keterbatasan sumber daya. Sosialisasi hukum yang lebih luas dan ketersediaan layanan konsultasi hukum HKI yang terjangkau dapat memainkan peran penting dalam membantu seluruh pelaku usaha di Indonesia untuk melindungi aset intelektual mereka yang paling berharga.

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...