Minggu, 08 Juni 2025

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia

Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah satu pilar fundamental dalam tata kelola hubungan industrial di Indonesia. Keberadaannya tidak hanya bertujuan untuk menciptakan hubungan kerja yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan antara pekerja dan pengusaha , tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya. Dalam konteks yang lebih luas, kerangka hukum ini dirancang untuk menjamin hak-hak dasar pekerja, kesamaan kesempatan, serta perlakuan tanpa diskriminasi, seraya tetap memperhatikan perkembangan dunia usaha.  

Namun, lanskap regulasi ketenagakerjaan di Indonesia bersifat dinamis dan terus mengalami evolusi, terutama pasca-diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, serta berbagai putusan yudisial penting yang mengikutinya. Perubahan-perubahan ini, termasuk yang terbaru melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023, menghadirkan tantangan sekaligus kebutuhan mendesak bagi semua pemangku kepentingan untuk senantiasa memperbarui pemahaman mereka terhadap norma-norma hukum yang berlaku.  

Dinamika regulasi yang cepat dan signifikan ini, kendati bertujuan untuk menyederhanakan birokrasi dan meningkatkan ekosistem investasi , pada praktiknya dapat menciptakan periode ketidakpastian hukum sementara bagi pelaku usaha dan pekerja. Klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja, misalnya, menjadi salah satu area yang paling banyak menuai perdebatan publik dan berujung pada serangkaian uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengoreksi beberapa norma dalam UU Cipta Kerja mencerminkan adanya dialektika berkelanjutan antara aspirasi untuk pertumbuhan ekonomi dan imperatif untuk melindungi hak-hak dasar pekerja. Kondisi ini mengharuskan para pihak, baik pengusaha maupun pekerja, untuk tidak hanya terpaku pada teks undang-undang, tetapi juga secara proaktif memantau perkembangan peraturan pelaksana dan yurisprudensi.  

Lebih jauh, evolusi regulasi ini juga mengindikasikan adanya pergeseran paradigma dalam pendekatan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Terdapat kecenderungan menuju peningkatan fleksibilitas pasar kerja , sebuah konsep yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing nasional. Namun, upaya ini tidak serta merta mengabaikan aspek perlindungan. Pengawasan yudisial, sebagaimana terefleksi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 , menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi tetap berperan sebagai penjaga konstitusi dengan menetapkan batasan-batasan tertentu untuk memastikan bahwa fleksibilitas tersebut tidak mengorbankan perlindungan fundamental bagi pekerja, yang secara inheren seringkali berada pada posisi tawar yang lebih lemah. Penegasan batasan jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan pengembalian beberapa ketentuan terkait pesangon adalah contoh nyata dari upaya mencari titik temu antara kebutuhan ekonomi dan prinsip keadilan sosial dalam kerangka hukum ketenagakerjaan nasional.  

2. Landasan Yuridis Ketenagakerjaan di Indonesia

Kerangka hukum ketenagakerjaan di Indonesia tersusun dari berbagai peraturan perundang-undangan yang saling terkait dan bersifat dinamis. Pemahaman yang komprehensif terhadap landasan yuridis ini krusial bagi para pihak dalam hubungan kerja.

Dasar utama hukum ketenagakerjaan di Indonesia adalah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Undang-undang ini berfungsi sebagai hukum induk yang meletakkan fondasi bagi pengaturan hubungan kerja, hak dan kewajiban pekerja serta pengusaha, mekanisme perlindungan pekerja, pelatihan kerja, penempatan tenaga kerja, hingga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.  

Perkembangan signifikan terjadi dengan diundangkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 6 Tahun 2023. UU Cipta Kerja, melalui metode omnibus law, mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru terhadap berbagai ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Tujuan utama dari UU Cipta Kerja adalah untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, di mana klaster ketenagakerjaan menjadi salah satu sektor yang mengalami perubahan paling substansial.  

Untuk mengimplementasikan ketentuan dalam UU Cipta Kerja, pemerintah menerbitkan serangkaian peraturan pelaksana, di antaranya yang paling relevan adalah:

  1. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PP ini menjadi rujukan teknis utama dalam pelaksanaan aspek-aspek krusial hubungan kerja pasca-UU Cipta Kerja.  
  2. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2023. Perubahan ini mengatur ulang formula dan mekanisme penetapan upah minimum serta berbagai kebijakan pengupahan lainnya, menunjukkan adanya adaptasi berkelanjutan dalam merespons dinamika ekonomi dan kebutuhan pekerja.  
  3. Sebagai contoh peraturan turunan teknis tahunan, diterbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025.  

Dinamika hukum ketenagakerjaan tidak berhenti pada level undang-undang dan peraturan pemerintah. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023 pada tanggal 31 Oktober 2024 menjadi tonggak penting berikutnya. Putusan ini mengabulkan sebagian permohonan uji materiil terhadap UU No. 6 Tahun 2023 (UU Cipta Kerja) dan membawa implikasi signifikan dengan mengubah atau memberikan pemaknaan baru terhadap sejumlah norma krusial dalam klaster ketenagakerjaan. Aspek-aspek yang terdampak mencakup ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing (TKA), PKWT, alih daya, waktu istirahat panjang, sistem pengupahan (termasuk peran dewan pengupahan dan upah minimum sektoral), serta prosedur dan kompensasi PHK. Putusan ini, pada esensinya, menegaskan kembali beberapa aspek perlindungan hak-hak pekerja yang sebelumnya dinilai tereduksi oleh UU Cipta Kerja.  

Kompleksitas muncul dari hierarki dan interaksi dinamis antara berbagai instrumen hukum ini. UU Cipta Kerja sebagai omnibus law mengubah banyak undang-undang sektoral, termasuk UU Ketenagakerjaan, dan peraturan pemerintah berfungsi sebagai aturan pelaksananya. Putusan Mahkamah Konstitusi, dalam kapasitasnya sebagai penjaga konstitusionalitas undang-undang, tidak membatalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan, melainkan memberikan koreksi, pemaknaan baru, dan arahan legislatif terhadap norma-norma tertentu. Sebagai contoh, Mahkamah Konstitusi meminta agar undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan dipisahkan dari UU Cipta Kerja dan disusun sebagai undang-undang tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha dan pekerja harus memahami bahwa peraturan pemerintah mungkin perlu disesuaikan atau ditafsirkan ulang berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi.  

Peran aktif lembaga yudikatif, khususnya Mahkamah Konstitusi, dalam membentuk dan mengarahkan evolusi hukum ketenagakerjaan menggarisbawahi bahwa interpretasi hukum akan terus berkembang. Ini berarti pemahaman yang komprehensif tidak cukup hanya dengan membaca teks undang-undang atau peraturan pemerintah semata, tetapi juga harus diikuti dengan pemantauan terhadap perkembangan yurisprudensi dan putusan-putusan pengadilan yang relevan. Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 yang memberikan "pemaknaan baru" atau "perubahan" terhadap norma-norma dalam UU Cipta Kerja merupakan manifestasi dari peran Mahkamah dalam menyelaraskan undang-undang dengan nilai-nilai konstitusi dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini menegaskan bahwa hukum ketenagakerjaan adalah sebuah disiplin hukum yang "hidup" dan senantiasa berada dalam proses interpretasi dan penyempurnaan berkelanjutan.  

3. Definisi Esensial dalam Ekosistem Ketenagakerjaan

Pemahaman yang akurat terhadap definisi-definisi kunci dalam hukum ketenagakerjaan merupakan prasyarat untuk menginterpretasikan dan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum secara tepat. Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyediakan landasan definisi bagi berbagai istilah fundamental, yang sebagian besar tetap relevan meskipun terdapat perubahan oleh UU Cipta Kerja.  

  • Ketenagakerjaan didefinisikan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Definisi ini mencakup spektrum yang luas, mulai dari perencanaan tenaga kerja, pelatihan, penempatan, hubungan kerja, perlindungan, hingga pemutusan hubungan kerja dan jaminan di masa tua.  

  • Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Konsep ini merujuk pada populasi usia produktif yang memiliki kapasitas untuk bekerja.  

  • Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Istilah "pekerja" dan "buruh" digunakan secara bergantian dan memiliki makna yang sama dalam konteks hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Subjek inilah yang menjadi fokus utama perlindungan dalam hukum ketenagakerjaan.  

  • Pengusaha memiliki cakupan yang luas, meliputi :  

    • Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
    • Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya (misalnya, pengelola atau direksi yang ditunjuk).
    • Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam poin a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia (misalnya, kantor perwakilan perusahaan asing). Definisi ini memastikan bahwa berbagai bentuk entitas pemberi kerja dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan hukum ketenagakerjaan.
  • Perusahaan adalah :  

    • Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
    • Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Cakupan ini meliputi entitas profit maupun non-profit yang mempekerjakan tenaga kerja.
  • Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Adanya ketiga unsur ini (pekerjaan yang dilakukan di bawah arahan/perintah pengusaha, dan adanya imbalan berupa upah) menjadi penentu apakah suatu relasi dapat dikategorikan sebagai hubungan kerja yang tunduk pada UU Ketenagakerjaan.  

  • Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja merupakan dasar formal yang mengikat hubungan kerja. UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Namun, untuk jenis perjanjian tertentu seperti Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), peraturan perundang-undangan, termasuk UU Cipta Kerja dan Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023, secara tegas mewajibkan bentuk tertulis.  

Definisi-definisi ini memiliki implikasi hukum yang fundamental karena menentukan siapa saja subjek (pekerja dan pengusaha) dan objek (hubungan kerja) yang diatur oleh hukum ketenagakerjaan. Sebagai contoh, status seseorang sebagai "pekerja/buruh" akan menentukan apakah ia berhak atas berbagai perlindungan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, seperti hak atas upah minimum, jam kerja yang layak, cuti, jaminan sosial, dan kompensasi PHK. Jika suatu relasi kerja tidak memenuhi unsur-unsur "hubungan kerja" sebagaimana didefinisikan, maka individu tersebut mungkin tidak dapat menuntut hak-hak normatif tersebut.

Perkembangan model kerja kontemporer, khususnya yang difasilitasi oleh platform digital dalam lingkup gig economy, telah menghadirkan tantangan tersendiri terhadap definisi-definisi tradisional ini. Banyak pekerja dalam gig economy (misalnya, pengemudi ojek online atau pekerja lepas berbasis platform) seringkali diklasifikasikan sebagai "mitra" oleh perusahaan platform, bukan sebagai "pekerja/buruh". Klasifikasi ini berpotensi mengeluarkan mereka dari cakupan perlindungan hukum ketenagakerjaan konvensional. Studi menunjukkan bahwa kontrak elektronik yang digunakan oleh platform digital di Indonesia seringkali bersifat tidak adil dan lebih menguntungkan pihak platform, sementara regulasi mengenai gig economy di Indonesia dinilai belum memberikan perlindungan yang memadai, berbeda dengan beberapa yurisdiksi lain yang telah menetapkan standar minimum perlindungan bagi pekerja gig. Ketidakjelasan status hukum dan ketidakseimbangan posisi tawar ini menciptakan area abu-abu yang signifikan dalam perlindungan hukum bagi segmen pekerja yang terus berkembang ini, menandakan adanya kebutuhan mendesak untuk adaptasi dan reformasi hukum ketenagakerjaan di Indonesia agar tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman.  

4. Jenis Perjanjian Kerja: Implikasi dan Perlindungan Hukum

Hukum ketenagakerjaan Indonesia mengenal dua jenis utama perjanjian kerja yang mendasari hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Masing-masing memiliki karakteristik, syarat, dan implikasi hukum yang berbeda, terutama setelah adanya penyesuaian melalui UU Cipta Kerja, PP No. 35 Tahun 2021, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023.

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

PKWTT seringkali dianggap sebagai bentuk hubungan kerja standar atau permanen, yang ditujukan untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap dan berkelanjutan dalam operasional perusahaan. Karakteristik utama PKWTT adalah tidak adanya batas waktu akhir yang ditentukan secara spesifik dalam perjanjian. Hubungan kerja berdasarkan PKWTT berlangsung terus menerus hingga terjadinya kondisi yang mengakhiri hubungan kerja, seperti pensiun, pengunduran diri pekerja, meninggal dunia, atau pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha dengan alasan yang sah dan sesuai prosedur.  

Menurut ketentuan, PKWTT dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Meskipun demikian, praktik terbaik dan demi kepastian hukum bagi kedua belah pihak, sangat dianjurkan agar PKWTT dituangkan dalam bentuk tertulis. Dalam PKWTT, pengusaha diperbolehkan untuk mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) dengan durasi maksimal 3 bulan. Selama masa percobaan, pekerja berhak menerima upah paling sedikit sebesar upah minimum yang berlaku. Apabila terjadi PHK terhadap pekerja dengan status PKWTT, pengusaha wajib mengikuti prosedur yang diatur dalam perundang-undangan dan membayarkan kompensasi penuh yang terdiri dari uang pesangon (UP), uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang penggantian hak (UPH), yang besarannya disesuaikan dengan masa kerja dan alasan PHK.  

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

PKWT, atau sering disebut sebagai kontrak kerja, adalah perjanjian kerja yang didasarkan pada jangka waktu tertentu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Penggunaan PKWT dibatasi hanya untuk jenis pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :  

  • Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
  • Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
  • Pekerjaan yang bersifat musiman.
  • Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
  • Pekerjaan yang jenis, sifat, atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

Regulasi mengenai PKWT mengalami perubahan signifikan melalui UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021, yang kemudian beberapa aspeknya ditegaskan atau dikoreksi oleh Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023:

  • Jangka Waktu Maksimal: Berdasarkan PP No. 35 Tahun 2021, PKWT yang didasarkan atas jangka waktu dapat dibuat untuk paling lama 5 tahun secara keseluruhan, termasuk jika ada perpanjangan. Jika pekerjaan belum selesai pada saat jangka waktu PKWT berakhir, perpanjangan dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan total keseluruhan PKWT dan perpanjangannya tidak melebihi 5 tahun. Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 mempertegas bahwa batasan jangka waktu PKWT, baik yang didasarkan pada jangka waktu maupun selesainya pekerjaan tertentu, adalah paling lama 5 tahun, termasuk perpanjangannya. Mahkamah juga menekankan bahwa ketentuan mengenai batasan jangka waktu ini idealnya diatur dalam undang-undang, bukan hanya dalam peraturan pemerintah, untuk memberikan kepastian hukum yang lebih kuat.  

  • Kewajiban Tertulis dan Pencatatan: PKWT wajib dibuat secara tertulis, menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf Latin. Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 mengubah frasa "dibuat secara tertulis serta harus menggunakan..." menjadi "harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan...", yang memberikan penekanan lebih kuat pada kewajiban bentuk tertulis. Selanjutnya, PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan secara daring paling lama 3 hari kerja sejak penandatanganan, atau secara tertulis ke dinas ketenagakerjaan kabupaten/kota paling lama 7 hari kerja jika sistem daring belum tersedia.  

  • Larangan Masa Percobaan: PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Apabila dalam PKWT dicantumkan masa percobaan, maka masa percobaan tersebut batal demi hukum, dan masa kerja tetap dihitung sejak awal perjanjian.  

  • Uang Kompensasi di Akhir PKWT: Salah satu perubahan signifikan pasca UU Cipta Kerja adalah kewajiban pengusaha untuk memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh dengan status PKWT pada saat berakhirnya PKWT. Kompensasi ini diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja paling sedikit 1 bulan secara terus-menerus. Besaran uang kompensasi dihitung secara proporsional berdasarkan masa kerja, dengan formula: (masa kerja/12) x 1 bulan upah. Jika PKWT diperpanjang, uang kompensasi diberikan saat selesainya jangka waktu PKWT sebelum perpanjangan, dan kemudian dihitung kembali untuk periode perpanjangan.  

Perubahan regulasi terkait PKWT, khususnya melalui UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021, pada dasarnya bertujuan untuk memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada pengusaha dalam merekrut tenaga kerja untuk kebutuhan yang bersifat temporer atau proyek tertentu. Penyederhanaan mekanisme perpanjangan dan penghapusan jeda waktu antar kontrak (yang sebelumnya ada di UU No. 13 Tahun 2003) menjadi total maksimal 5 tahun adalah manifestasi dari upaya fleksibilitas ini. Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan kembali pentingnya batasan jangka waktu maksimal 5 tahun yang idealnya diatur dalam UU menunjukkan adanya kekhawatiran bahwa tanpa batasan yang jelas dan kuat, PKWT dapat disalahgunakan menjadi bentuk "pekerjaan tetap terselubung" yang merugikan pekerja dalam hal kepastian kerja dan hak-hak jangka panjang.  

Pengenalan kewajiban pemberian uang kompensasi pada akhir masa PKWT merupakan sebuah perkembangan penting dan bentuk perlindungan baru yang signifikan bagi pekerja kontrak. Sebelum UU Cipta Kerja, pekerja PKWT yang kontraknya berakhir umumnya tidak secara otomatis berhak atas kompensasi finansial layaknya pesangon bagi pekerja PKWTT. Adanya ketentuan uang kompensasi dalam PP No. 35 Tahun 2021 dapat dilihat sebagai upaya untuk memberikan semacam "jaring pengaman finansial" atau penghargaan atas kontribusi pekerja kontrak yang hubungan kerjanya berakhir. Ini mencerminkan pergeseran menuju pengakuan bahwa pekerja kontrak juga memberikan kontribusi bagi perusahaan dan memerlukan dukungan finansial transisi ketika pekerjaan mereka selesai.  

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut adalah tabel perbandingan antara PKWT dan PKWTT:

Tabel 1: Perbandingan Komprehensif PKWT dan PKWTT Pasca UU Cipta Kerja dan Putusan MK 168/PUU-XXI/2023

AspekPerjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Dasar Hukum UtamaUU 13/2003, UU Cipta Kerja (UU 6/2023), PP 35/2021, Putusan MK 168/PUU-XXI/2023UU 13/2003, UU Cipta Kerja (UU 6/2023), PP 35/2021
Sifat PekerjaanPekerjaan tertentu yang sementara, sekali selesai, musiman, produk baru/percobaan, atau sifatnya tidak tetap Pekerjaan yang bersifat tetap dan berkelanjutan
Jangka WaktuDidasarkan jangka waktu tertentu atau selesainya pekerjaan tertentu. Maksimal 5 tahun keseluruhan (termasuk perpanjangan) Tidak ada batas waktu akhir yang ditentukan, berlangsung terus menerus hingga pensiun atau PHK
Masa PercobaanTidak dapat mensyaratkan masa percobaan. Jika ada, batal demi hukum Diperbolehkan, maksimal 3 bulan dengan upah minimal sesuai ketentuan
Bentuk PerjanjianWajib dibuat secara tertulis, Bahasa Indonesia, huruf Latin Dapat dibuat tertulis atau lisan (praktik terbaik: tertulis)
Kewajiban PencatatanWajib dicatatkan oleh pengusaha ke instansi ketenagakerjaan Tidak ada kewajiban pencatatan spesifik seperti PKWT (namun data pekerja tetap dilaporkan)
Kompensasi PHK/Akhir KontrakBerhak atas uang kompensasi jika telah bekerja min. 1 bulan, saat PKWT berakhir/diperpanjang. Dihitung proporsional. Tidak berhak pesangon/UPMK.Berhak atas Uang Pesangon (UP), Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), dan Uang Penggantian Hak (UPH)
Implikasi Putusan MK 168/PUU-XXI/2023Penegasan batas maksimal 5 tahun (termasuk perpanjangan) idealnya diatur dalam UU. Penegasan kewajiban PKWT dibuat tertulis.Tidak secara langsung mengubah ketentuan dasar PKWTT, namun berdampak pada keseluruhan ekosistem ketenagakerjaan.
  

Sumber Data:.  

Pemahaman yang cermat terhadap perbedaan dan implikasi hukum dari kedua jenis perjanjian kerja ini sangat esensial bagi pengusaha dalam merancang strategi manajemen sumber daya manusia yang patuh hukum, serta bagi pekerja untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka.

5. Hak-Hak Fundamental Pekerja sebagai Subjek Hukum

Sebagai subjek hukum utama dalam hubungan industrial, pekerja/buruh memiliki serangkaian hak fundamental yang dijamin dan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hak-hak ini mencakup aspek pengupahan, waktu kerja, istirahat, cuti, dan berbagai perlindungan lainnya yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi pekerja.

5.1. Hak atas Pengupahan yang Layak

Hak atas pengupahan yang layak merupakan salah satu hak paling mendasar bagi setiap pekerja. Pengupahan tidak hanya dipandang sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan, tetapi juga sebagai sarana untuk mencapai penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

  • Penghidupan yang Layak: Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023 memberikan pemaknaan yang lebih komprehensif terhadap konsep ini, menyatakan bahwa penghidupan yang layak mencakup penghasilan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar. Kebutuhan tersebut meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan Jaminan Hari Tua (JHT). Penafsiran ini mengembalikan penekanan pada aspek kebutuhan riil pekerja dan keluarganya sebagai standar kelayakan upah.  

  • Kebijakan Upah Minimum (UMP/UMK): Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan, termasuk upah minimum, sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja atas penghidupan yang layak. Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan. Formula perhitungan upah minimum mengalami perubahan melalui Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2023 (yang mengubah PP No. 36 Tahun 2021). Formula baru ini mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan suatu "indeks tertentu" (disimbolkan dengan α). Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 memaknai "indeks tertentu" ini sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota, dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bagi pekerja/buruh. Hal ini mengindikasikan bahwa komponen KHL, yang sempat tidak secara eksplisit menjadi bagian formula di bawah UU Cipta Kerja awal, kembali menjadi pertimbangan penting. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 16 Tahun 2024 kemudian mengatur secara teknis penetapan Upah Minimum untuk tahun 2025. Upah minimum berfungsi sebagai jaring pengaman (safety net) untuk memastikan pekerja menerima upah serendah-rendahnya sesuai standar yang ditetapkan.  

  • Struktur dan Skala Upah: Pengusaha wajib menyusun dan menerapkan struktur dan skala upah di perusahaan. Penyusunan ini harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Lebih lanjut, pasca Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023, penyusunan struktur dan skala upah juga wajib memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja. Penekanan pada aspek "proporsional" dalam penyusunan struktur dan skala upah juga ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi.  

  • Upah Kerja Lembur: Pekerja yang melakukan pekerjaan melebihi waktu kerja normal yang telah ditetapkan berhak atas upah kerja lembur. Ketentuan jam kerja lembur adalah maksimal 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu. Perhitungan upah lembur pada hari kerja adalah 1,5 kali upah sejam untuk jam pertama lembur, dan 2 kali upah sejam untuk setiap jam kerja lembur berikutnya. Perhitungan ini berbeda jika kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan atau hari libur resmi, di mana tarifnya bisa mencapai 2, 3, hingga 4 kali upah sejam tergantung durasi dan skema hari kerja.  

  • Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan: Pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih. Besaran THR bagi pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih adalah sebesar 1 bulan upah. Bagi pekerja dengan masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, THR diberikan secara proporsional sesuai dengan masa kerja dengan perhitungan: (masa kerja/12) x 1 bulan upah.  

  • Upah Selama Tidak Bekerja karena Alasan Tertentu: Dalam kondisi tertentu, pengusaha tetap wajib membayar upah meskipun pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Kondisi tersebut meliputi: pekerja sakit (dengan ketentuan pembayaran bertahap jika sakit berkepanjangan), pekerja perempuan sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya, menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami/istri atau anak atau menantu atau orang tua/mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, menjalankan kewajiban terhadap negara, menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, melaksanakan hak istirahat, melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha, atau melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.  

5.2. Hak atas Waktu Kerja, Istirahat, dan Cuti

Selain pengupahan, pengaturan waktu kerja, istirahat, dan cuti merupakan aspek krusial dalam perlindungan pekerja untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi, serta untuk pemulihan kondisi fisik dan mental.

  • Jam Kerja Standar: Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja yaitu 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.  

  • Hak Istirahat Antar Jam Kerja: Pekerja/buruh berhak atas istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.  

  • Hak Istirahat Mingguan: Pekerja/buruh berhak atas istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 menegaskan kembali opsi 2 hari libur untuk skema 5 hari kerja dalam seminggu.  

  • Hak Cuti Tahunan: Pekerja/buruh yang telah bekerja selama 12 bulan secara terus menerus berhak atas cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja. Pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.  

  • Hak Cuti Sakit: Pekerja/buruh yang sakit dan tidak dapat melakukan pekerjaan berhak atas cuti sakit dengan upah tetap dibayar. Jika sakit berkepanjangan, upah dibayarkan dengan persentase tertentu: untuk 4 bulan pertama dibayar 100% dari upah, untuk 4 bulan kedua dibayar 75% dari upah, untuk 4 bulan ketiga dibayar 50% dari upah, dan untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum PHK dilakukan oleh pengusaha.  

  • Hak Cuti Melahirkan dan Keguguran: Pekerja/buruh perempuan berhak atas istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan (total 3 bulan). Dalam hal mengalami keguguran kandungan, pekerja perempuan berhak istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Suami dari pekerja perempuan juga berhak atas cuti selama 2 hari untuk mendampingi istri yang melahirkan atau mengalami keguguran. Selama menjalankan hak cuti ini, upah tetap dibayarkan penuh.  

  • Hak Cuti karena Alasan Penting: Pekerja/buruh berhak atas cuti tidak masuk kerja karena alasan penting dengan tetap mendapat upah, antara lain: pekerja menikah (diberikan cuti selama 3 hari), menikahkan anaknya (2 hari), mengkhitankan anaknya (2 hari), membaptiskan anaknya (2 hari), istri melahirkan atau keguguran kandungan (2 hari bagi suami), suami/istri, orang tua/mertua, anak/menantu meninggal dunia (2 hari), atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia (1 hari).  

  • Hak Istirahat Panjang: Untuk pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama, berhak atas istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan, dengan ketentuan pekerja tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun. Ketentuan ini berlaku bagi perusahaan tertentu yang mengatur hal tersebut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 menghilangkan kata "dapat" dalam norma terkait, sehingga menjadikan pemberian istirahat panjang sebagai kewajiban bagi perusahaan tertentu yang memenuhi syarat dan telah mengaturnya.  

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023 membawa dampak signifikan dalam memperkuat elemen perlindungan pekerja, khususnya dalam aspek pengupahan dan waktu istirahat. Penegasan makna "penghidupan layak" yang lebih komprehensif, pengaktifan kembali peran Dewan Pengupahan Daerah dalam perumusan kebijakan upah, kembalinya konsep Upah Minimum Sektoral (UMS), serta penegasan kewajiban istirahat panjang bagi perusahaan tertentu, merupakan beberapa contoh bagaimana yudikatif berupaya menyeimbangkan dampak dari UU Cipta Kerja yang sebelumnya dinilai cenderung lebih berorientasi pada fleksibilitas. UU Cipta Kerja sempat dikritik karena menghilangkan beberapa ketentuan terkait upah dan menyerahkan pengaturan istirahat panjang sepenuhnya pada diskresi perusahaan. Putusan MK mengembalikan atau memperkuat beberapa aspek perlindungan tersebut. Misalnya, definisi "penghidupan layak" yang lebih rinci dan mempertimbangkan kebutuhan keluarga serta kembalinya UMS berpotensi meningkatkan standar upah minimum di sektor-sektor usaha tertentu.  

Meskipun demikian, penegasan hak-hak normatif ini dalam kerangka hukum tidak secara otomatis menjamin implementasi yang mulus di lapangan. Pengawasan terhadap kepatuhan pembayaran upah minimum dan pemenuhan hak cuti secara konsisten oleh semua perusahaan tetap menjadi tantangan struktural. Kompleksitas formula upah minimum yang baru sebagaimana diatur dalam PP No. 51 Tahun 2023, yang melibatkan variabel "indeks tertentu (α)" dan pertimbangan KHL , juga memerlukan pemahaman yang mendalam dan sosialisasi yang efektif kepada seluruh pemangku kepentingan. Tantangan terkait kepatuhan perusahaan (terutama skala kecil dan menengah), keterbatasan sumber daya pengawas, dan besarnya cakupan sektor informal adalah isu-isu yang memerlukan perhatian berkelanjutan. Dengan demikian, efektivitas perlindungan hak-hak pekerja tidak hanya bergantung pada kualitas regulasi, tetapi juga pada kekuatan penegakan hukum, kesadaran hukum para pihak, dan mekanisme pengawasan yang efektif.  

Berikut adalah tabel ringkasan hak-hak pekerja:

Tabel 2: Rincian Hak Pekerja Terkait Upah, Waktu Kerja, Istirahat, Cuti, dan Lembur (Update Pasca UU Cipta Kerja & Putusan MK 168/PUU-XXI/2023)

Kategori HakRincian KetentuanDasar Hukum Utama (Pasal & UU/PP/Putusan MK terkait)Catatan Penting/Perubahan
PENGUPAHAN
Penghidupan LayakBerhak atas penghasilan yang memenuhi kebutuhan hidup wajar pekerja & keluarga (makanan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, JHT)Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 jo. UU 6/2023; Putusan MK 168/PUU-XXI/2023 Pemaknaan diperluas oleh MK.
Upah Minimum (UMP/UMK)Ditetapkan Gubernur berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan. Formula: Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Tertentu (α) yang pertimbangkan KHL.PP 51/2023; Pasal 88D UU 13/2003 jo. UU 6/2023; Putusan MK 168/PUU-XXI/2023 Formula baru, KHL kembali jadi pertimbangan.
Upah Minimum Sektoral (UMS)Gubernur wajib menetapkan UMS Provinsi/Kab/Kota.Pasal 88C UU 13/2003 jo. UU 6/2023 (dimaknai oleh Putusan MK 168/PUU-XXI/2023) Dihidupkan kembali oleh Putusan MK.
Struktur dan Skala UpahWajib disusun pengusaha, proporsional, perhatikan kemampuan perusahaan, produktivitas, golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, kompetensi.Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003 jo. UU 6/2023; Putusan MK 168/PUU-XXI/2023 Kriteria diperluas dan ditegaskan oleh MK.
Upah Kerja LemburMaks. 4 jam/hari, 18 jam/minggu. Hari kerja: jam ke-1 = 1.5× upah/jam, jam berikutnya = 2× upah/jam. Hari libur: tarif lebih tinggi.Pasal 78 UU 13/2003 jo. UU 6/2023; PP 35/2021
Tunjangan Hari Raya (THR)Min. masa kerja 1 bulan. Proporsional atau 1 bulan upah.Permenaker 6/2016; Pasal 81 angka 29 UU 6/2023 (mengubah Pasal 90B UU 13/2003)
Upah Saat Tidak BekerjaDibayar jika: sakit (ketentuan khusus), haid (hari 1&2), menikah, keluarga meninggal, ibadah, dll.Pasal 93 UU 13/2003 jo. UU 6/2023
WAKTU KERJA, ISTIRAHAT, CUTI
Jam Kerja Standar7 jam/hari (6 hr kerja) atau 8 jam/hari (5 hr kerja); total 40 jam/minggu.Pasal 77 UU 13/2003 jo. UU 6/2023
Istirahat Antar Jam KerjaMin. 30 menit setelah 4 jam kerja terus menerus (tidak termasuk jam kerja).Pasal 79 ayat (2)a UU 13/2003 jo. UU 6/2023
Istirahat Mingguan1 hari (6 hr kerja) atau 2 hari (5 hr kerja).Pasal 79 ayat (2)b UU 13/2003 jo. UU 6/2023; Putusan MK 168/PUU-XXI/2023 Opsi 2 hari libur (5 hr kerja) ditegaskan MK.
Cuti TahunanMin. 12 hari kerja setelah 12 bulan kerja terus menerus.Pasal 79 ayat (2)c UU 13/2003 jo. UU 6/2023
Cuti SakitUpah dibayar (100% 4 bln I, 75% 4 bln II, 50% 4 bln III, 25% selanjutnya).Pasal 93 ayat (2)a UU 13/2003
Cuti Melahirkan/KeguguranPerempuan: 1.5 bln sebelum & 1.5 bln sesudah melahirkan; 1.5 bln untuk keguguran. Suami: 2 hari dampingi istri. Upah dibayar.Pasal 82 UU 13/2003; Pasal 93 ayat (2)c&d UU 13/2003
Cuti Alasan PentingMenikah (3hr), menikahkan anak (2hr), khitan/baptis anak (2hr), keluarga inti meninggal (1-2hr). Upah dibayar.Pasal 93 ayat (2)c & ayat (4) UU 13/2003
Istirahat PanjangPerusahaan tertentu: min. 2 bln (tahun ke-7 & ke-8, @1 bln) setelah kerja 6 tahun terus menerus.Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003 jo. UU 6/2023; Putusan MK 168/PUU-XXI/2023 Menjadi kewajiban (bukan "dapat") bagi perusahaan tertentu yang mengatur, pasca Putusan MK.
  

Sumber Data:.  

6. Kewajiban Para Pihak dalam Menjaga Keseimbangan Hubungan Kerja

Hubungan kerja yang harmonis dan produktif didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja. Pelaksanaan kewajiban secara bertanggung jawab oleh kedua belah pihak menjadi kunci untuk mencegah timbulnya perselisihan dan menjaga kelangsungan usaha serta kesejahteraan pekerja.

6.1. Kewajiban Utama Pengusaha

Sebagai pihak yang mempekerjakan dan memiliki sumber daya, pengusaha memikul serangkaian kewajiban fundamental terhadap pekerjanya, sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan:

  1. Membayar Upah Tepat Waktu dan Sesuai Ketentuan: Ini merupakan kewajiban paling esensial bagi pengusaha. Upah harus dibayarkan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, dan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku. Keterlambatan atau kegagalan membayar upah dapat dikenai sanksi.  
  2. Menyediakan Lingkungan Kerja yang Aman dan Sehat (K3): Pengusaha wajib menerapkan upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk melindungi pekerja dari risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Ini mencakup penyediaan alat pelindung diri (APD) yang sesuai, penerapan sistem manajemen K3 (SMK3), dan melakukan tindakan pencegahan risiko di tempat kerja, sesuai dengan amanat UU No. 1 Tahun 1970 dan Pasal 86 serta Pasal 87 UU Ketenagakerjaan.  
  3. Mendaftarkan Pekerja dalam Program Jaminan Sosial: Pengusaha wajib mendaftarkan seluruh pekerjanya sebagai peserta program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan (meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan) dan BPJS Kesehatan, serta membayar iuran sesuai ketentuan.  
  4. Memberikan Hak-Hak Normatif Pekerja: Pengusaha berkewajiban untuk memenuhi hak-hak normatif pekerja lainnya seperti hak istirahat dan cuti (tahunan, sakit, melahirkan, alasan penting, istirahat panjang bagi perusahaan tertentu), Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan, dan hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.  
  5. Memberikan Pelatihan Kerja: Untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi pekerjanya, pengusaha bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pelatihan kerja. Kewajiban ini ditegaskan dalam Pasal 12 UU Ketenagakerjaan, yang substansinya dipertahankan dalam Pasal 81 UU Cipta Kerja.  
  6. Membuat dan Melaksanakan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB): Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 orang wajib membuat Peraturan Perusahaan (PP) yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, kecuali jika perusahaan tersebut telah memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB). PP atau PKB ini memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban kedua belah pihak.  
  7. Membayar Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA): Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib membayar kompensasi atas setiap TKA yang dipekerjakannya, sesuai ketentuan Pasal 81 angka 9 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 47 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.  

6.2. Kewajiban Utama Pekerja

Di sisi lain, pekerja juga memiliki serangkaian kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pengusaha dan perusahaan tempatnya bekerja:

  1. Melaksanakan Pekerjaan Sesuai Perjanjian dan Arahan: Kewajiban utama pekerja adalah melakukan pekerjaan yang telah disepakati dalam perjanjian kerja (PKWT atau PKWTT), peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, serta mengikuti petunjuk dan arahan yang wajar dari pengusaha atau atasannya, dengan penuh tanggung jawab dan sebaik-baiknya.  
  2. Menaati Peraturan Perusahaan, Tata Tertib, dan Ketentuan K3: Pekerja wajib mematuhi segala ketentuan yang berlaku di tempat kerja, termasuk peraturan perusahaan, tata tertib kerja, standar operasional prosedur, dan instruksi terkait keselamatan dan kesehatan kerja untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau kerugian.  
  3. Menjaga Kerahasiaan Perusahaan: Pekerja berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan data dan informasi perusahaan yang bersifat rahasia dan tidak menyebarluaskannya kepada pihak yang tidak berhak, baik selama maupun setelah hubungan kerja berakhir, yang jika dilanggar dapat merugikan perusahaan.  
  4. Bersikap Loyal kepada Perusahaan: Loyalitas diwujudkan dengan tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan kepentingan perusahaan, serta menunjukkan dedikasi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.  
  5. Melaksanakan Kewajiban Hingga Tanggal Pengunduran Diri: Dalam hal pekerja mengundurkan diri, ia wajib mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri, tidak terikat dalam ikatan dinas, dan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri, kecuali atas persetujuan pengusaha.  

Keseimbangan dalam pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban oleh kedua belah pihak merupakan fondasi penting bagi terciptanya hubungan industrial yang harmonis dan saling menguntungkan. Pelanggaran terhadap kewajiban oleh salah satu pihak tidak jarang menjadi pemicu timbulnya perselisihan hubungan industrial, yang pada akhirnya dapat berdampak negatif terhadap produktivitas perusahaan dan kesejahteraan pekerja. Sebagai contoh, kegagalan pengusaha membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih dapat menjadi alasan bagi pekerja untuk mengajukan PHK dengan hak atas kompensasi. Sebaliknya, pekerja yang mangkir selama lima hari kerja atau lebih secara berturut-turut tanpa keterangan yang sah dan telah dipanggil secara patut dapat dikualifikasikan mengundurkan diri dan berpotensi di-PHK.  

Penekanan pada "kepatuhan terhadap perjanjian kerja" menggarisbawahi signifikansi kontrak kerja sebagai dokumen hukum yang mengikat dan menjadi rujukan utama bagi kedua belah pihak dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, penting bagi perjanjian kerja untuk disusun secara jelas, komprehensif, dan yang terpenting, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Klausul dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan hukum ketenagakerjaan, misalnya menyepakati upah di bawah standar upah minimum, akan batal demi hukum. Ini menegaskan supremasi hukum ketenagakerjaan di atas kesepakatan privat yang berpotensi merugikan pihak yang lebih lemah, dalam hal ini pekerja.  

7. Jaminan Perlindungan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan)

Jaminan perlindungan sosial ketenagakerjaan merupakan salah satu pilar penting dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dasar bagi pekerja dan keluarganya terhadap berbagai risiko sosial ekonomi yang dapat terjadi. Penyelenggaraan program jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Pengusaha memiliki kewajiban hukum untuk mendaftarkan seluruh pekerjanya sebagai peserta program BPJS Ketenagakerjaan dan membayar iuran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan beberapa program utama, yaitu :  

  1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK): Program ini memberikan perlindungan komprehensif atas risiko kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi selama perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang timbul karena hubungan kerja. Manfaat yang diberikan meliputi biaya pengobatan dan perawatan tanpa batas sesuai kebutuhan medis (medical benefit), santunan berupa uang tunai jika terjadi cacat (sebagian maupun total tetap) atau kematian akibat kecelakaan kerja, serta program pendampingan kembali bekerja (return to work) bagi pekerja yang mengalami disabilitas akibat kecelakaan kerja.

  2. Jaminan Kematian (JKM): Program ini memberikan manfaat kepada ahli waris pekerja jika peserta meninggal dunia bukan karena kecelakaan kerja. Manfaat yang diberikan berupa santunan kematian tunai, biaya pemakaman, dan beasiswa pendidikan bagi anak pekerja yang ditinggalkan, yang berlaku dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  3. Jaminan Hari Tua (JHT): JHT merupakan program tabungan bersifat wajib yang iurannya berasal dari pekerja dan pengusaha. Akumulasi dana JHT beserta hasil pengembangannya dapat dicairkan oleh peserta apabila telah mencapai usia pensiun (saat ini 56 tahun), mengalami cacat total tetap sehingga tidak dapat bekerja kembali, atau meninggal dunia. Dana JHT ini bertujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun atau tidak lagi produktif bekerja.

  4. Jaminan Pensiun (JP): Berbeda dengan JHT yang manfaatnya dibayarkan sekaligus (lump sum), program Jaminan Pensiun bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap. Manfaat JP diberikan secara berkala (bulanan) kepada peserta atau ahli warisnya (janda/duda atau anak) setelah memenuhi masa iur minimal yang ditetapkan.

  5. Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP): Program ini merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diperkenalkan dan diperkuat melalui UU Cipta Kerja. JKP memberikan manfaat kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak sambil berusaha mendapatkan pekerjaan kembali. Manfaat JKP meliputi uang tunai yang diberikan selama beberapa bulan (umumnya 6 bulan dengan persentase tertentu dari upah terakhir), akses terhadap informasi pasar kerja, dan partisipasi dalam pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi atau alih keahlian.  

Program-program jaminan sosial ketenagakerjaan ini merupakan manifestasi dari tanggung jawab negara dan pengusaha dalam memberikan perlindungan sosial yang fundamental bagi seluruh pekerja. Keberadaan jaminan ini krusial untuk mengurangi dampak negatif dari berbagai risiko sosial dan ekonomi yang dihadapi pekerja, seperti sakit, kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki hari tua, atau kematian. Manfaat seperti JKK dan JKM memberikan rasa aman dan perlindungan finansial bagi pekerja dan keluarganya saat menghadapi musibah. JHT dan JP dirancang untuk memastikan adanya jaminan kesejahteraan di masa tua ketika pekerja tidak lagi produktif. Sementara itu, JKP menjadi sangat relevan dalam konteks pasar kerja yang semakin dinamis dan fleksibel, berfungsi sebagai bantalan sosial (social cushion) bagi pekerja yang terdampak PHK, membantu mereka dalam masa transisi mencari pekerjaan baru.

Efektivitas dari keseluruhan sistem BPJS Ketenagakerjaan ini sangat bergantung pada beberapa faktor, terutama tingkat kepatuhan pengusaha dalam mendaftarkan pekerjanya dan membayar iuran secara tertib, serta tingkat kesadaran pekerja akan hak-hak dan manfaat yang dapat mereka peroleh. Meskipun peraturan perundang-undangan telah mewajibkan kepesertaan , tantangan dalam implementasi masih ada, khususnya menjangkau pekerja di sektor informal dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang jumlahnya signifikan. Peningkatan kesadaran publik mengenai pentingnya jaminan sosial ketenagakerjaan juga masih perlu terus digalakkan. Program JKP, sebagai salah satu program yang relatif baru, memerlukan sosialisasi yang lebih masif dan berkelanjutan agar manfaatnya dapat dirasakan secara optimal oleh pekerja yang berhak.  

8. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sebagai Prioritas

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan aspek fundamental dalam hukum ketenagakerjaan yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan produktif. Perlindungan K3 tidak hanya menjadi hak dasar bagi setiap pekerja, tetapi juga merupakan kewajiban bagi pengusaha untuk menyelenggarakannya secara komprehensif.

Landasan hukum utama pengaturan K3 di Indonesia adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Selain itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003), khususnya Pasal 86 dan Pasal 87, juga menegaskan pentingnya perlindungan K3. Pasal 86 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, diselenggarakan upaya K3. Lebih lanjut, Pasal 87 mengamanatkan bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.  

Tujuan utama dari penerapan K3, sebagaimana diuraikan dalam UU No. 1 Tahun 1970, meliputi tiga aspek pokok :  

  1. Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja. Ini berarti mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, serta melindungi pekerja dari berbagai risiko yang dapat mengancam jiwa dan kesehatannya.
  2. Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien. K3 tidak hanya berfokus pada keselamatan manusia, tetapi juga memastikan bahwa peralatan, mesin, bahan, dan proses produksi dapat beroperasi dengan aman, efektif, dan efisien, sehingga tidak menimbulkan kerugian.
  3. Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas nasional. Dengan terciptanya lingkungan kerja yang aman dan sehat, diharapkan moral kerja dan produktivitas karyawan akan meningkat, yang pada gilirannya akan berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional.

Kewajiban pengusaha dalam penyelenggaraan K3 sangatlah luas, mencakup antara lain :  

  • Menyediakan tempat kerja, lingkungan kerja, alat kerja, bahan, dan proses pengolahan yang aman.
  • Menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai dan memadai bagi pekerja.
  • Melakukan identifikasi bahaya, penilaian risiko, dan pengendalian risiko di tempat kerja.
  • Memberikan pembinaan dan pelatihan K3 kepada pekerja.
  • Membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) bagi perusahaan yang memenuhi syarat.
  • Melaporkan setiap kecelakaan kerja yang terjadi.
  • Menerapkan Sistem Manajemen K3 (SMK3), terutama bagi perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 orang atau mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Di sisi lain, pekerja juga memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas K3 dan berkewajiban untuk mematuhi semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai APD yang diwajibkan.  

Penerapan K3 tidak boleh dipandang sebagai beban biaya semata, melainkan sebagai investasi strategis bagi perusahaan. Lingkungan kerja yang aman dan sehat secara langsung berkorelasi positif dengan peningkatan moral kerja, loyalitas, dan produktivitas pekerja. Sebaliknya, pengabaian terhadap aspek K3 dapat mengakibatkan kerugian yang jauh lebih besar, baik berupa biaya pengobatan akibat kecelakaan kerja, hilangnya waktu kerja produktif, kerusakan aset perusahaan, menurunnya reputasi, hingga sanksi hukum. UU No. 1 Tahun 1970 bahkan mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran ketentuan K3.

Penting untuk dicatat bahwa pendekatan dan standar K3 dapat bervariasi antar sektor industri, tergantung pada karakteristik dan tingkat risiko yang melekat pada jenis pekerjaan tersebut. Sektor-sektor dengan risiko tinggi, seperti pertambangan, konstruksi, atau industri kimia, umumnya memiliki regulasi K3 yang lebih spesifik, detail, dan ketat. Sebagai contoh, dalam industri pertambangan, terdapat penekanan khusus pada penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, yang mencakup aspek K3 secara mendalam, untuk menjamin keselamatan pekerja dan keberlanjutan lingkungan. Diferensiasi ini menunjukkan bahwa upaya perlindungan K3 harus disesuaikan dengan konteks dan potensi bahaya spesifik di masing-masing tempat kerja.  

9. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): Prosedur, Alasan, dan Kompensasi

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh yang dapat terjadi karena berbagai alasan. Mengingat dampak signifikan PHK terhadap kelangsungan hidup pekerja dan keluarganya, hukum ketenagakerjaan Indonesia mengatur secara ketat mengenai alasan yang sah, prosedur yang harus ditempuh, serta hak-hak kompensasi bagi pekerja yang di-PHK.

9.1. Alasan-Alasan Sah dan yang Dilarang untuk PHK

Peraturan perundang-undangan, termasuk UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, dan peraturan pelaksananya seperti PP No. 35 Tahun 2021, telah merinci alasan-alasan yang dapat menjadi dasar sah bagi pengusaha untuk melakukan PHK. Beberapa alasan yang umumnya diakui meliputi :  

  • Efisiensi Perusahaan: Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh. PHK karena efisiensi juga dapat dilakukan jika perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa (force majeure).
  • Keadaan Memaksa (Force Majeure): Kondisi di luar kendali yang menyebabkan perusahaan tidak dapat melanjutkan operasionalnya.
  • Perusahaan Pailit atau Mengalami Kerugian: Jika perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan atau mengalami kerugian yang signifikan.
  • Pelanggaran oleh Pekerja: Pekerja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB), setelah sebelumnya diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
  • Pengunduran Diri Pekerja: Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi persyaratan (pengajuan tertulis 30 hari sebelumnya, tidak terikat ikatan dinas, tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal pengunduran diri).
  • Mangkir: Pekerja mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis.
  • Tindak Pidana oleh Pekerja: Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana.
  • Sakit Berkepanjangan: Pekerja mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
  • Memasuki Usia Pensiun.
  • Pekerja Meninggal Dunia.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023 turut memberikan penekanan dan mengembalikan beberapa batasan alasan PHK agar lebih sejalan dengan prinsip perlindungan pekerja sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003.  

Di sisi lain, terdapat alasan-alasan di mana pengusaha dilarang melakukan PHK terhadap pekerja/buruh, antara lain :  

  • Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus.
  • Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara.
  • Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
  • Pekerja menikah.
  • Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
  • Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.
  • Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, atau melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.

9.2. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja

Proses PHK harus dilakukan melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum:

  1. Upaya Menghindari PHK: Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.  
  2. Pemberitahuan dan Perundingan Bipartit: Apabila PHK tidak dapat dihindari, maksud dan alasan PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. Jika pekerja/buruh menolak PHK, maka penyelesaian PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa perundingan bipartit ini harus dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.  
  3. Penyelesaian Melalui Mekanisme PPHI: Dalam hal perundingan bipartit tidak menghasilkan kesepakatan, maka PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI). Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 secara signifikan memperkuat aspek ini dengan menyatakan bahwa PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga PPHI yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).  
  4. Pembayaran Upah Selama Proses: Selama proses penyelesaian perselisihan PHK belum mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Ini berarti pengusaha tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh, kecuali jika pekerja/buruh diskors secara sah.  

9.3. Hak Pekerja Akibat PHK (Kompensasi)

Pekerja/buruh yang mengalami PHK berhak atas kompensasi yang terdiri dari beberapa komponen, tergantung pada alasan PHK dan masa kerjanya:

  • Uang Pesangon (UP): Diberikan kepada pekerja/buruh yang di-PHK dengan perhitungan berdasarkan masa kerja. Sesuai PP No. 35 Tahun 2021, besarannya adalah sebagai berikut :  

    • Masa kerja < 1 tahun: 1 bulan upah
    • Masa kerja 1 s.d. < 2 tahun: 2 bulan upah
    • Masa kerja 2 s.d. < 3 tahun: 3 bulan upah
    • Masa kerja 3 s.d. < 4 tahun: 4 bulan upah
    • Masa kerja 4 s.d. < 5 tahun: 5 bulan upah
    • Masa kerja 5 s.d. < 6 tahun: 6 bulan upah
    • Masa kerja 6 s.d. < 7 tahun: 7 bulan upah
    • Masa kerja 7 s.d. < 8 tahun: 8 bulan upah
    • Masa kerja 8 tahun: 9 bulan upah Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa ketentuan besaran uang pesangon ini merupakan besaran "paling sedikit" , yang mengembalikan semangat UU No. 13 Tahun 2003 dan membuka ruang untuk pengaturan yang lebih baik dalam PK, PP, atau PKB.  
  • Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK): Diberikan kepada pekerja/buruh yang memiliki masa kerja tertentu, sebagai tambahan dari uang pesangon. Besarannya sesuai PP No. 35 Tahun 2021 adalah :  

    • Masa kerja 3 s.d. < 6 tahun: 2 bulan upah
    • Masa kerja 6 s.d. < 9 tahun: 3 bulan upah
    • Masa kerja 9 s.d. < 12 tahun: 4 bulan upah
    • Masa kerja 12 s.d. < 15 tahun: 5 bulan upah
    • Masa kerja 15 s.d. < 18 tahun: 6 bulan upah
    • Masa kerja 18 s.d. < 21 tahun: 7 bulan upah
    • Masa kerja 21 tahun: 8 bulan upah (beberapa sumber menyebutkan skema hingga 10 bulan upah untuk masa kerja 24 tahun atau lebih , perlu verifikasi konsistensi dengan PP 35/2021).  
  • Uang Penggantian Hak (UPH): Meliputi penggantian hak-hak yang seharusnya diterima pekerja/buruh dan belum diambil atau belum gugur, antara lain :  

    • Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
    • Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja (jika pemulangan tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan).
    • Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
    • Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15% dari jumlah uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. UU Cipta Kerja sempat menghapus komponen UPH 15% ini. Namun, Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 yang menyatakan pengembalian nilai perhitungan pesangon sesuai UU No. 13 Tahun 2003 dapat diinterpretasikan sebagai potensi kembalinya komponen UPH 15% ini, meskipun memerlukan penegasan lebih lanjut dalam peraturan turunan.  

Proses PHK di Indonesia dirancang untuk tidak bersifat arbitrer dan bertujuan memberikan perlindungan yang signifikan bagi pekerja, terutama melalui kewajiban perundingan yang berjenjang dan pembayaran kompensasi yang substansial. Penegasan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa PHK baru sah setelah adanya putusan PPHI yang berkekuatan hukum tetap semakin memperkuat aspek prosedural perlindungan pekerja, meskipun dari perspektif pengusaha hal ini dapat memperpanjang proses. Demikian pula, penegasan bahwa besaran pesangon adalah "paling sedikit" membuka ruang bagi pekerja atau serikat pekerja untuk menegosiasikan atau mengatur standar kompensasi yang lebih tinggi melalui PKB.

Meskipun demikian, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sengketa terkait PHK masih sering terjadi dan mendominasi kasus-kasus di Pengadilan Hubungan Industrial. Penyebabnya beragam, mulai dari ketidakpahaman atau pengabaian prosedur oleh pengusaha, ketidakmampuan finansial perusahaan untuk membayar kompensasi sesuai ketentuan, hingga praktik PHK sepihak yang merugikan pekerja. Data Kemnaker (2023) yang dikutip dalam salah satu sumber menunjukkan bahwa 72% sengketa ketenagakerjaan berasal dari PHK dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara kerangka regulasi yang ideal dengan implementasi praktis di lapangan, yang menuntut penguatan pengawasan, penegakan hukum, serta peningkatan kesadaran hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial.  

Perselisihan dalam hubungan industrial merupakan hal yang potensial terjadi antara pengusaha dan pekerja/serikat pekerja. Untuk menangani perselisihan tersebut secara adil, cepat, dan tepat, Indonesia memiliki sistem Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang ini menyediakan berbagai mekanisme penyelesaian, baik melalui jalur non-litigasi maupun litigasi.  

Jenis perselisihan hubungan industrial yang diatur meliputi:

  • Perselisihan Hak: Perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  • Perselisihan Kepentingan: Perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  • Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
  • Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh: Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.  

Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial diatur secara berjenjang sebagai berikut :  

  1. Perundingan Bipartit: Ini adalah tahap pertama dan wajib diupayakan dalam setiap jenis perselisihan hubungan industrial. Perundingan bipartit dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh. Hasil perundingan bipartit yang mencapai kesepakatan dibuatkan Perjanjian Bersama yang memiliki kekuatan hukum mengikat.

  2. Mediasi: Apabila perundingan bipartit gagal mencapai kesepakatan (atau salah satu pihak menolak berunding), maka salah satu atau kedua belah pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat, dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Selanjutnya, perselisihan (khususnya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan PHK) dapat diselesaikan melalui mediasi. Mediasi dilakukan oleh seorang atau lebih mediator yang netral dari instansi ketenagakerjaan. Mediator bertugas membantu para pihak dalam perundingan untuk mencapai kesepakatan, namun tidak memiliki kewenangan untuk memutus atau memaksakan penyelesaian. Jika tercapai kesepakatan, dibuatkan Perjanjian Bersama yang ditandatangani para pihak dan disaksikan oleh mediator. Jika tidak tercapai kesepakatan, mediator mengeluarkan anjuran tertulis. Dalam praktik, mediasi merupakan jalur yang paling banyak dipilih setelah bipartit gagal.  

  3. Konsiliasi: Sebagai alternatif dari mediasi (untuk perselisihan kepentingan, PHK, dan antar serikat pekerja), para pihak dapat memilih penyelesaian melalui konsiliasi. Konsiliator adalah seorang atau lebih yang netral dan dapat dipilih oleh para pihak (termasuk dari kalangan swasta yang terdaftar). Prosesnya mirip mediasi, di mana konsiliator berusaha mendamaikan para pihak dan dapat memberikan anjuran tertulis jika tidak tercapai kesepakatan.

  4. Arbitrase: Untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, para pihak dapat sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter atau majelis arbiter. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) bagi para pihak.

  5. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI): Apabila penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi tidak berhasil mencapai kesepakatan (mediator/konsiliator telah mengeluarkan anjuran tertulis dan salah satu atau kedua pihak menolak anjuran tersebut), maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). PHI adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum pada setiap Pengadilan Negeri kabupaten/kota yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. PHI berwenang mengadili perselisihan hak dan perselisihan PHK. Untuk perselisihan kepentingan, PHI dapat mengadili jika para pihak sebelumnya tidak memilih atau gagal dalam penyelesaian melalui arbitrase. Putusan PHI mengenai perselisihan hak dan PHK dapat diajukan kasasi langsung ke Mahkamah Agung.

Penting untuk dicatat bahwa UU PPHI mendorong penyelesaian perselisihan secara damai dan musyawarah melalui mekanisme bipartit, mediasi, dan konsiliasi sebelum menempuh jalur litigasi di PHI. Hal ini bertujuan untuk mencapai solusi yang lebih cepat, efisien, dan dapat menjaga hubungan baik antara pengusaha dan pekerja. Bahkan di tingkat PHI pun, dimungkinkan adanya penyelesaian melalui akta perdamaian (acte van dading) jika para pihak mencapai kesepakatan selama proses persidangan.  

Meskipun sistem PPHI telah menyediakan berbagai mekanisme, efektivitasnya dalam praktik masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu isu yang sering muncul adalah terkait eksekusi putusan PHI, terutama yang menyangkut pembayaran hak-hak pekerja. Faktor-faktor seperti keterbatasan anggaran pemerintah untuk biaya eksekusi atau keengganan pihak yang kalah untuk mematuhi putusan dapat menghambat pelaksanaan keadilan. Selain itu, akses terhadap bantuan hukum yang memadai dan pemahaman yang komprehensif mengenai prosedur PPHI, khususnya bagi pekerja, juga menjadi aspek krusial yang perlu terus ditingkatkan untuk memastikan bahwa sistem ini dapat berjalan secara optimal dan memberikan keadilan bagi semua pihak.  

11. Peran Organisasi Pekerja dan Instrumen Hubungan Industrial

Dalam dinamika hubungan industrial, keberadaan organisasi pekerja dan instrumen-instrumen kolektif memegang peranan penting untuk menciptakan keseimbangan posisi tawar antara pekerja dan pengusaha, serta sebagai sarana untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja secara efektif.

11.1. Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB)

Kebebasan berserikat bagi pekerja/buruh dijamin oleh konstitusi dan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) didefinisikan sebagai organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.  

  • Syarat Pendirian: Untuk membentuk SP/SB di tingkat perusahaan, diperlukan sekurang-kurangnya 10 orang pekerja/buruh. Pembentukan ini harus disertai dengan pembuatan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) serta pemilihan pengurus. SP/SB yang telah terbentuk kemudian wajib memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat.  

  • Peran dan Fungsi: SP/SB memiliki peran dan fungsi yang krusial dalam hubungan industrial, antara lain :  

    1. Sebagai pihak dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan penyelesaian perselisihan industrial.
    2. Mewakili pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya (misalnya, Lembaga Kerja Sama Bipartit, Dewan Pengupahan).
    3. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
    4. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya.
    5. Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    6. Mewakili pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan (jika ada skema tersebut). Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023 juga memperkuat peran SP/SB, misalnya dalam hal kesepakatan mengenai penetapan upah di atas upah minimum di perusahaan.  

11.2. Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha, atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.  

  • Pembuatan PKB: PKB dibuat melalui perundingan antara SP/SB dengan pengusaha. Jika di suatu perusahaan terdapat lebih dari satu SP/SB, maka mereka dapat membentuk tim perunding bersama. Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat satu PKB yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan tersebut, termasuk mereka yang bukan anggota SP/SB pembuat PKB. PKB menggantikan Peraturan Perusahaan (PP) jika di perusahaan tersebut telah terbentuk SP/SB yang memenuhi syarat untuk berunding.  

  • Isi Minimal PKB: Sekurang-kurangnya PKB harus memuat :  

    1. Nama, tempat kedudukan, serta alamat serikat pekerja/serikat buruh.
    2. Nama, tempat kedudukan, serta alamat perusahaan.
    3. Nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi ketenagakerjaan.
    4. Hak dan kewajiban pengusaha.
    5. Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh.
    6. Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB (biasanya 2 tahun dan dapat diperpanjang).
    7. Tanda tangan para pihak pembuat PKB. PKB seringkali mengatur kondisi kerja yang lebih baik (better terms and conditions) daripada yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (standar minimum).

11.3. Hak Mogok Kerja

Mogok kerja adalah hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan, yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.  

  • Syarat dan Prosedur Sah Mogok Kerja:

    1. Akibat Gagal Perundingan: Mogok kerja hanya sah jika merupakan akibat dari gagalnya perundingan bipartit (misalnya, tidak tercapai kesepakatan atau pengusaha menolak berunding setelah diminta secara patut).
    2. Pemberitahuan Tertulis: Pekerja/buruh dan/atau SP/SB yang bermaksud melakukan mogok kerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 hari kerja sebelum mogok kerja dimulai.  
    3. Isi Pemberitahuan: Surat pemberitahuan harus memuat waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhirinya mogok kerja, tempat mogok kerja, alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja, serta tanda tangan ketua dan sekretaris SP/SB sebagai penanggung jawab mogok kerja (atau perwakilan pekerja jika mogok dilakukan oleh pekerja non-anggota SP/SB).  
    4. Upaya Penyelesaian Lanjutan: Selama periode pemberitahuan dan pelaksanaan mogok, instansi ketenagakerjaan wajib terus mengupayakan penyelesaian.
    5. Pelaksanaan yang Tertib dan Damai: Mogok kerja harus dilakukan secara tertib, damai, dan tidak mengganggu keamanan serta ketertiban umum, atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda.
  • Akibat Mogok Kerja Tidak Sah: Mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku dianggap tidak sah. Konsekuensinya, pekerja yang melakukan mogok tidak sah dapat dianggap mangkir, tidak berhak atas upah selama mogok, dan bahkan dapat dikenai sanksi hingga PHK sesuai ketentuan yang berlaku.  

Keberadaan SP/SB dan instrumen seperti PKB merupakan pilar penting dalam mewujudkan hubungan industrial yang lebih demokratis dan seimbang. Melalui SP/SB, pekerja memiliki representasi kolektif yang dapat menyuarakan aspirasi dan bernegosiasi dengan pengusaha secara lebih setara. PKB yang disusun berdasarkan kesepakatan bersama dapat menciptakan kondisi kerja yang lebih kondusif dan mengurangi potensi timbulnya perselisihan, karena syarat-syarat kerja telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Namun, efektivitas SP/SB dalam menjalankan fungsinya sangat bergantung pada berbagai faktor, termasuk tingkat independensi organisasi, soliditas dan partisipasi anggota, serta kapasitas dan kapabilitas pengurus dalam melakukan perundingan dan advokasi. Ada pandangan bahwa upaya untuk mencapai fleksibilitas pasar kerja yang absolut terkadang dapat beriringan dengan upaya pelemahan peran serikat buruh, karena serikat buruh dianggap sebagai salah satu hambatan bagi pergerakan modal yang bebas. Ini menunjukkan adanya potensi ketegangan inheren antara kepentingan modal dan kepentingan pekerja yang perlu dijembatani melalui dialog sosial yang konstruktif. Hak mogok kerja, sebagai instrumen pamungkas bagi pekerja, diatur dengan prosedur yang ketat untuk memastikan bahwa tindakan tersebut benar-benar merupakan jalan terakhir setelah semua upaya perundingan damai menemui jalan buntu, dan bukan merupakan tindakan yang dilakukan secara gegabah atau anarkis.  

12. Analisis Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023, yang dibacakan pada 31 Oktober 2024, membawa perubahan signifikan dan memberikan pemaknaan baru terhadap sejumlah norma krusial dalam klaster ketenagakerjaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Putusan ini mengabulkan sebagian dari 21 norma yang diuji materiil, dengan implikasi yang luas bagi praktik hubungan industrial di Indonesia.  

Berikut adalah poin-poin utama perubahan atau pemaknaan baru pasca Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023, beserta implikasinya:

  1. Pemisahan UU Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja: Mahkamah Konstitusi meminta pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) untuk segera menyusun undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkannya dari UU Cipta Kerja. MK menilai ketentuan ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja sulit dipahami dan menimbulkan ketidakpastian hukum.  

    • Implikasi: Ini merupakan arahan legislatif fundamental yang berpotensi mengubah struktur kodifikasi hukum ketenagakerjaan di masa depan, menuju regulasi yang lebih fokus dan komprehensif.
  2. Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA):

    • Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) ditegaskan menjadi kewenangan Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Menteri Tenaga Kerja), bukan "Pemerintah Pusat" secara umum (perubahan makna Pasal 42 ayat (1) UU 13/2003 sebagaimana diubah UU Cipta Kerja).  
    • Penggunaan TKA harus memperhatikan pengutamaan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) (penambahan frasa pada Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003).  
    • Implikasi: Memperjelas otoritas perizinan TKA dan menekankan kembali prinsip perlindungan pasar kerja domestik.
  3. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT):

    • Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dalam PKWT (termasuk PKWT berdasarkan selesainya pekerjaan) dibuat tidak melebihi paling lama 5 tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan (pemaknaan baru Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003).  
    • PKWT "harus" dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin (penegasan pada Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003).  
    • Implikasi: Memberikan batasan yang lebih tegas terhadap durasi PKWT untuk mencegah praktik kontrak berkepanjangan yang merugikan pekerja dan memperkuat kepastian hukum mengenai formalitas PKWT.
  4. Alih Daya (Outsourcing):

    • Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya (pemaknaan baru Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003).  
    • Implikasi: Mengembalikan peran pemerintah (Menteri) dalam menentukan batasan pekerjaan yang boleh dialihdayakan, yang sebelumnya lebih fleksibel di bawah UU Cipta Kerja.
  5. Waktu Istirahat dan Cuti:

    • Istirahat mingguan ditegaskan dapat berupa 1 hari untuk 6 hari kerja atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu (penegasan pada Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003).  
    • Perusahaan tertentu "memberikan" (bukan "dapat memberikan") istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB (penghapusan kata "dapat" pada Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003).  
    • Implikasi: Memperkuat hak pekerja atas istirahat mingguan yang memadai dan mengembalikan kewajiban (bagi perusahaan tertentu yang mengatur) untuk memberikan istirahat panjang.
  6. Pengupahan:

    • Penghidupan Layak: Dimaknai sebagai penghasilan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar (makanan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan JHT) (pemaknaan Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003).  
    • Peran Dewan Pengupahan Daerah: Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan dengan melibatkan Dewan Pengupahan Daerah (yang terdapat unsur Pemda) dalam perumusan kebijakan yang menjadi bahan bagi Pemerintah Pusat (pemaknaan Pasal 88 ayat (2) UU 13/2003). Dewan Pengupahan juga ditegaskan "berpartisipasi secara aktif" (pemaknaan Pasal 98 ayat (1) UU 13/2003).  
    • Struktur dan Skala Upah: Harus "proporsional" dan wajib memperhatikan kemampuan perusahaan, produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi (pemaknaan Pasal 88 ayat (3) huruf b dan Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003).  
    • Upah Minimum Sektoral (UMS): Gubernur "wajib" menetapkan UMS pada wilayah Provinsi dan "dapat" untuk Kabupaten/Kota (pemaknaan Pasal 88C UU 13/2003).  
    • Formula Upah Minimum: "Indeks tertentu" dalam formula perhitungan upah minimum dimaknai sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) (pemaknaan Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003).  
    • Penetapan Upah Minimum dalam Keadaan Tertentu: "Keadaan tertentu" di mana pemerintah dapat menetapkan formula berbeda dimaknai mencakup bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global/nasional yang ditetapkan Presiden (pemaknaan Pasal 88F UU 13/2003).  
    • Kesepakatan Upah di Atas Upah Minimum: Ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh "atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh" di perusahaan (penambahan frasa pada Pasal 90A UU 13/2003).  
    • Implikasi: Perubahan signifikan dalam filosofi dan mekanisme pengupahan, mengembalikan penekanan pada KHL, memperkuat peran Dewan Pengupahan Daerah dan SP/SB, serta menghidupkan kembali UMS. Ini berpotensi mengubah cara penetapan upah minimum dan struktur upah di perusahaan.
  7. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Kompensasi:

    • Prosedur PHK: Jika perundingan bipartit (yang harus secara musyawarah mufakat) gagal, PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) (pemaknaan baru Pasal 151 ayat (3) dan (4) UU 13/2003).  
    • Uang Pesangon: Besaran uang pesangon yang diatur dalam undang-undang merupakan besaran "paling sedikit" (pengembalian frasa pada Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003).  
    • Kewajiban Selama Proses Perselisihan: Pelaksanaan kewajiban (bekerja bagi pekerja, membayar upah bagi pengusaha) dilakukan sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap (pemaknaan Pasal 157A ayat (3) UU 13/2003).  
    • Prioritas Hak Pekerja Saat Pailit: Hak upah dan hak lainnya dari pekerja didahulukan pembayarannya atas semua kreditur, termasuk kreditur preferen, kecuali kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (pemaknaan Pasal 95 ayat (3) UU 13/2003).  
    • Implikasi: Proses PHK menjadi lebih panjang dan memerlukan kepastian hukum dari PPHI sebelum efektif. Hak kompensasi pekerja (pesangon) ditegaskan sebagai standar minimum, membuka ruang negosiasi lebih lanjut. Perlindungan upah pekerja saat perusahaan dalam proses PPHI atau pailit juga diperkuat.

Secara keseluruhan, Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 dapat dilihat sebagai upaya yudisial untuk mengembalikan atau memperkuat sejumlah aspek perlindungan hak-hak pekerja yang dirasakan berkurang atau menjadi kurang pasti pasca pemberlakuan UU Cipta Kerja. Implikasi dari putusan ini sangat luas dan mengharuskan pemerintah untuk segera melakukan penyesuaian regulasi turunan, serta bagi pengusaha dan pekerja untuk memahami dan mengadaptasi praktik hubungan industrial mereka. Banyak poin putusan, seperti batasan PKWT, kembalinya UMS, penegasan pesangon sebagai standar minimum, dan prosedur PHK yang lebih ketat, secara langsung mengarah pada norma-norma yang cenderung lebih pro-pekerja, mirip dengan semangat yang terkandung dalam UU No. 13 Tahun 2003 sebelum diubah oleh UU Cipta Kerja.

Implementasi putusan ini di lapangan akan menjadi tantangan tersendiri. Diperlukan sosialisasi yang masif kepada seluruh pemangku kepentingan, penyesuaian cepat terhadap peraturan-peraturan pelaksana, dan kesiapan dari dunia usaha untuk beradaptasi dengan perubahan ini. Potensi munculnya perbedaan interpretasi terhadap beberapa amar putusan dan kemungkinan adanya resistensi dari sebagian kalangan pengusaha yang merasa fleksibilitasnya berkurang perlu diantisipasi. Lebih jauh, arah penyusunan RUU Ketenagakerjaan yang baru, sebagaimana diamanatkan oleh MK, akan menjadi sangat krusial dalam menentukan lanskap hukum ketenagakerjaan Indonesia di masa mendatang. Diskusi mengenai bagaimana memberikan argumentasi yang tepat kepada serikat pekerja atau pekerja pasca putusan MK menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan panduan praktis bagi para pelaku hubungan industrial dalam menavigasi periode transisi ini.  

Berikut adalah tabel matriks yang merangkum beberapa perubahan kunci:

Tabel 4: Matriks Perubahan Kunci UU Ketenagakerjaan/UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023

Aspek KetenagakerjaanKetentuan Sebelum Putusan MK (UU Cipta Kerja/PP Turunan)Ketentuan/Pemaknaan Pasca Putusan MKImplikasi Praktis
PKWT (Jangka Waktu)Jangka waktu atau selesainya pekerjaan ditentukan berdasarkan perjanjian kerja (Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003 diubah UU Cipta Kerja). PP 35/2021: PKWT berdasarkan jangka waktu maks. 5 tahun, PKWT berdasarkan selesainya pekerjaan tidak ada batas waktu eksplisit.Jangka waktu selesainya pekerjaan tertentu (termasuk PKWT berdasarkan selesainya pekerjaan) dibuat tidak melebihi paling lama 5 tahun, termasuk perpanjangan. Idealnya diatur dalam UU. (Pemaknaan Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003) Batasan durasi PKWT lebih tegas (maks. 5 tahun untuk semua jenis PKWT), mengurangi potensi kontrak permanen terselubung.
PKWT (Bentuk)Dibuat secara tertulis serta harus menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin. (Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003 diubah UU Cipta Kerja)"Harus" dibuat secara tertulis "dengan" menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin. (Penegasan Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003) Penekanan lebih kuat pada kewajiban bentuk tertulis untuk PKWT.
Alih Daya (Outsourcing)Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang dapat dialihdayakan. (Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003 diubah UU Cipta Kerja)Menteri Ketenagakerjaan menetapkan jenis & bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya. (Pemaknaan Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003) Pembatasan jenis pekerjaan outsourcing kembali ke kewenangan Menteri, mengurangi fleksibilitas absolut.
Istirahat Mingguan1 hari untuk 6 hari kerja/minggu. (Pasal 79 ayat (2)b UU 13/2003 diubah UU Cipta Kerja)1 hari (6 hr kerja) "atau 2 hari (5 hr kerja)". (Penegasan Pasal 79 ayat (2)b UU 13/2003) Memperjelas opsi 2 hari libur untuk skema 5 hari kerja.
Istirahat PanjangPerusahaan tertentu "dapat" memberikan. (Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003 diubah UU Cipta Kerja)Perusahaan tertentu "memberikan" (kata "dapat" dihapus). (Perubahan Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003) Menjadi kewajiban bagi perusahaan tertentu yang telah mengaturnya.
Upah Minimum (KHL & Indeks Tertentu)Formula: Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Tertentu. KHL tidak eksplisit. (Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003 diubah UU Cipta Kerja)"Indeks tertentu" dimaknai sebagai kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan KHL. (Pemaknaan Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003) KHL kembali menjadi pertimbangan penting dalam formula upah minimum.
Upah Minimum Sektoral (UMS)Dihilangkan oleh UU Cipta Kerja.Gubernur "wajib" menetapkan UMS Provinsi/Kab/Kota. (Pemaknaan Pasal 88C UU 13/2003) UMS dihidupkan kembali, berpotensi menaikkan upah di sektor tertentu.
PHK (Prosedur)Jika bipartit gagal, PHK melalui tahap PPHI berikutnya. (Pasal 151 ayat (4) UU 13/2003 diubah UU Cipta Kerja)Jika bipartit (musyawarah mufakat) gagal, PHK hanya sah setelah putusan PPHI berkekuatan hukum tetap (inkrah). (Pemaknaan Pasal 151 ayat (3)&(4) UU 13/2003) Proses PHK menjadi lebih panjang dan memerlukan putusan pengadilan yang final.
Uang Pesangon (Besaran)Diberikan dengan ketentuan tertentu. (Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003 diubah UU Cipta Kerja)Diberikan "paling sedikit" sesuai ketentuan. (Pengembalian frasa Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003) Menegaskan formula pesangon sebagai standar minimum, membuka ruang negosiasi.
  

Sumber Data:.  

13. Tantangan Implementasi dan Pengawasan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia

Meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum ketenagakerjaan yang relatif komprehensif, yang terus disempurnakan melalui berbagai perubahan legislatif dan yudisial, implementasi dan pengawasannya di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan signifikan. Tantangan-tantangan ini menghambat pencapaian tujuan ideal hukum ketenagakerjaan, yaitu terciptanya hubungan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan, serta perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang optimal.

Beberapa tantangan utama yang teridentifikasi meliputi:

  1. Kepatuhan terhadap Upah Minimum: Salah satu isu klasik adalah tingkat kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan upah minimum (UMP/UMK). Banyak perusahaan, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), seringkali menyatakan kesulitan finansial untuk memenuhi standar upah minimum yang ditetapkan. Hal ini diperparah dengan keterbatasan dalam mekanisme pengawasan dan penegakan sanksi bagi perusahaan yang melanggar. Proses penangguhan pembayaran upah minimum yang diajukan perusahaan terkadang juga disalahgunakan.  

  2. Pengawasan Ketenagakerjaan yang Terbatas: Efektivitas pengawasan terhadap pelaksanaan norma-norma ketenagakerjaan, termasuk upah, jam kerja, K3, dan jaminan sosial, masih menjadi kendala. Keterbatasan jumlah dan kapasitas sumber daya pengawas ketenagakerjaan di tingkat pusat maupun daerah menyebabkan sulitnya melakukan inspeksi dan penindakan secara menyeluruh dan berkala terhadap seluruh perusahaan.  

  3. Perlindungan Pekerja di Sektor Informal dan Gig Economy: Indonesia memiliki sektor informal yang sangat besar, di mana mayoritas pekerjanya belum tersentuh oleh perlindungan hukum ketenagakerjaan formal. Mereka umumnya tidak memiliki perjanjian kerja yang jelas, tidak terdaftar dalam program jaminan sosial, dan tidak terlindungi oleh standar upah minimum atau jam kerja. Lebih lanjut, perkembangan pesat gig economy yang dimediasi oleh platform digital menghadirkan tantangan baru. Pekerja gig seringkali diklasifikasikan sebagai "mitra" bukan "pekerja", sehingga berada di luar lingkup definisi tradisional hubungan kerja dan perlindungan yang menyertainya. Kontrak elektronik yang digunakan oleh platform digital juga seringkali dinilai tidak adil dan lebih menguntungkan pihak platform, dengan posisi tawar pekerja yang lemah.  

  4. Efektivitas Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial: Meskipun telah ada mekanisme PPHI yang berjenjang, efektivitasnya, terutama dalam hal eksekusi putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), masih menjadi persoalan. Banyak putusan PHI yang mengabulkan hak-hak pekerja, seperti pembayaran pesangon, mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Selain itu, akses terhadap bantuan hukum yang terjangkau dan pemahaman yang memadai mengenai prosedur PPHI bagi pekerja juga masih terbatas, yang dapat menghambat upaya mereka dalam memperjuangkan hak-haknya. Data menunjukkan bahwa sengketa PHK, seringkali karena alasan yang tidak jelas atau prosedur yang tidak dipatuhi, masih mendominasi perkara di PHI.  

  5. Keseimbangan antara Fleksibilitas Pasar Kerja dan Perlindungan Pekerja: Upaya pemerintah untuk meningkatkan fleksibilitas pasar kerja melalui UU Cipta Kerja, dengan tujuan menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja , seringkali dipandang berpotensi mengurangi tingkat perlindungan dan kepastian kerja bagi pekerja. Mencapai keseimbangan yang tepat antara kebutuhan dunia usaha akan fleksibilitas dan keharusan negara untuk melindungi hak-hak dasar serta kesejahteraan pekerja merupakan dialektika yang terus berlangsung dan menjadi tantangan kebijakan yang kompleks.  

  6. Kurangnya Pemahaman dan Kesadaran Hukum: Tingkat pemahaman dan kesadaran hukum mengenai hak dan kewajiban ketenagakerjaan, baik di kalangan pekerja maupun pengusaha (khususnya skala kecil), masih perlu ditingkatkan. Kurangnya pemahaman ini dapat menyebabkan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum atau kesulitan dalam mengakses hak.  

Tantangan-tantangan ini menunjukkan adanya kesenjangan (gap) antara regulasi yang ada (yang semakin kompleks dengan adanya UU Cipta Kerja dan berbagai putusan MK) dengan realitas implementasi di lapangan. Penegakan hukum yang belum optimal dan kesadaran hukum yang masih rendah di kalangan sebagian pemangku kepentingan turut memperburuk situasi. Meskipun kerangka hukum terus disempurnakan, efektivitasnya dalam memberikan perlindungan nyata bagi pekerja akan sangat bergantung pada upaya kolektif untuk mengatasi berbagai kendala implementasi dan pengawasan ini.

Munculnya model kerja baru seperti gig economy secara khusus menghadirkan tantangan baru yang belum sepenuhnya dapat diakomodasi oleh kerangka hukum ketenagakerjaan yang ada, yang sebagian besar masih bertumpu pada model hubungan kerja bipartit tradisional antara majikan dan buruh. Diperlukan inovasi regulasi dan pendekatan kebijakan yang adaptif untuk memastikan bahwa pekerja dalam model-model kerja non-tradisional ini juga mendapatkan perlindungan sosial dan hak-hak kerja yang layak, sejalan dengan prinsip keadilan dan perkembangan ekonomi digital.

14. Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

14.1. Sintesis Pokok-Pokok Utama

Hukum ketenagakerjaan di Indonesia merupakan bidang hukum yang dinamis dan kompleks, dengan landasan utama pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang telah mengalami perubahan signifikan melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023) beserta peraturan pelaksananya, dan yang terkini, dipengaruhi secara substansial oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023. Kerangka hukum ini mengatur secara komprehensif berbagai aspek hubungan industrial, mulai dari definisi para pihak, jenis perjanjian kerja (PKWTT dan PKWT), hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, sistem pengupahan (termasuk upah minimum, struktur skala upah, dan UMS yang dihidupkan kembali oleh MK), waktu kerja, istirahat dan cuti, jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan, standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), prosedur dan kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hingga peran serikat pekerja/serikat buruh, Perjanjian Kerja Bersama (PKB), hak mogok kerja, dan mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 secara khusus telah memberikan koreksi dan pemaknaan baru terhadap banyak norma dalam klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, dengan kecenderungan memperkuat kembali aspek perlindungan hak-hak pekerja, seperti pembatasan durasi PKWT, penegasan kewajiban istirahat panjang, pengembalian peran KHL dan Dewan Pengupahan Daerah dalam penetapan upah minimum, pemberlakuan kembali UMS, penegasan pesangon sebagai standar minimum, serta prosedur PHK yang lebih ketat yang mensyaratkan putusan PPHI berkekuatan hukum tetap.

Meskipun kerangka regulasi terus disempurnakan, implementasi dan pengawasan hukum ketenagakerjaan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk isu kepatuhan upah minimum, keterbatasan pengawasan, perlindungan pekerja di sektor informal dan gig economy, serta efektivitas penyelesaian perselisihan.

14.2. Rekomendasi Strategis

Untuk mewujudkan hubungan industrial yang lebih harmonis, dinamis, berkeadilan, serta menjamin perlindungan dan kesejahteraan pekerja seiring dengan pertumbuhan ekonomi, diperlukan langkah-langkah strategis dari berbagai pemangku kepentingan:

Bagi Pemerintah:

  1. Menyusun RUU Ketenagakerjaan Komprehensif: Segera menindaklanjuti amanat Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang terpisah dari UU Cipta Kerja. RUU ini harus mengakomodasi seluruh amar putusan MK, menjawab dinamika pasar kerja terkini (termasuk gig economy), dan menyeimbangkan kebutuhan fleksibilitas dengan perlindungan pekerja yang kuat.  
  2. Memperkuat Pengawasan Ketenagakerjaan: Meningkatkan kuantitas, kualitas, dan sumber daya bagi pengawas ketenagakerjaan, serta mengoptimalkan penggunaan teknologi untuk efektivitas inspeksi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran norma ketenagakerjaan.
  3. Sosialisasi dan Edukasi Masif: Melakukan sosialisasi yang intensif dan berkelanjutan mengenai perubahan regulasi ketenagakerjaan, termasuk implikasi Putusan MK, kepada seluruh pengusaha (khususnya UMKM), pekerja, serikat pekerja, dan aparat penegak hukum.
  4. Mengembangkan Kerangka Hukum Adaptif untuk Pekerja Non-Standar: Merumuskan regulasi khusus atau mengadaptasi regulasi yang ada untuk memberikan perlindungan yang memadai (termasuk status hukum, upah layak, jaminan sosial, dan K3) bagi pekerja di sektor informal dan pekerja berbasis platform digital (gig economy).
  5. Optimalisasi Kebijakan Pengupahan: Memastikan implementasi formula upah minimum yang adil, transparan, dan partisipatif dengan mengoptimalkan peran Dewan Pengupahan Nasional dan Daerah, serta mempertimbangkan secara sungguh-sungguh komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan kontribusi pekerja.

Bagi Pengusaha:

  1. Kepatuhan Proaktif terhadap Regulasi: Secara proaktif mempelajari, memahami, dan mematuhi seluruh ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku, termasuk semua perubahan yang diakibatkan oleh UU Cipta Kerja dan Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023.
  2. Peninjauan dan Penyesuaian Dokumen Internal: Melakukan peninjauan dan penyesuaian terhadap perjanjian kerja (PKWT/PKWTT), Peraturan Perusahaan (PP), dan/atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) agar selaras dengan ketentuan hukum terbaru. Penggunaan HR compliance checklist yang komprehensif dan terkini sangat dianjurkan.  
  3. Mengedepankan Dialog Sosial: Membangun dan memelihara komunikasi serta dialog sosial yang konstruktif dengan pekerja dan/atau serikat pekerja/serikat buruh dalam menyelesaikan setiap permasalahan hubungan kerja dan dalam perumusan kebijakan perusahaan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.
  4. Investasi dalam K3 dan Kesejahteraan Pekerja: Memandang K3 dan program kesejahteraan pekerja bukan sebagai beban, melainkan sebagai investasi strategis untuk meningkatkan produktivitas, loyalitas, dan citra positif perusahaan.
  5. Penerapan Prinsip Good Corporate Governance: Menerapkan tata kelola perusahaan yang baik dalam aspek ketenagakerjaan, termasuk transparansi dalam kebijakan SDM dan pemenuhan hak-hak pekerja secara adil.

Bagi Pekerja/Serikat Pekerja/Serikat Buruh:

  1. Peningkatan Pemahaman Hak dan Kewajiban: Aktif meningkatkan pemahaman mengenai hak dan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan terbaru, termasuk memanfaatkan sumber informasi dan edukasi yang tersedia.
  2. Penguatan Peran SP/SB: Memperkuat peran dan kapasitas serikat pekerja/serikat buruh sebagai wadah perjuangan kolektif, advokasi hak-hak pekerja, serta mitra dialog yang konstruktif dengan pengusaha dalam perundingan PKB dan penyelesaian perselisihan.
  3. Pemanfaatan Mekanisme PPHI: Memahami dan memanfaatkan secara efektif mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang tersedia jika terjadi sengketa dengan pengusaha, dimulai dari upaya bipartit.

Bagi Praktisi Hukum dan Akademisi:

  1. Kajian dan Analisis Berkelanjutan: Terus melakukan kajian, penelitian, dan analisis kritis terhadap perkembangan hukum ketenagakerjaan, termasuk dampak implementasi UU Cipta Kerja dan putusan-putusan pengadilan.
  2. Kontribusi Konstruktif untuk Kebijakan: Memberikan masukan dan rekomendasi yang berbasis bukti (evidence-based) kepada pemerintah dan DPR dalam proses penyusunan atau revisi regulasi ketenagakerjaan.
  3. Pengembangan Yurisprudensi: Menganalisis putusan-putusan pengadilan, baik dari Pengadilan Hubungan Industrial maupun Mahkamah Agung , sebagai sumber penting dalam pengembangan yurisprudensi dan pemahaman hukum ketenagakerjaan di Indonesia.  

Hukum ketenagakerjaan Indonesia saat ini berada dalam fase transformasi yang signifikan. Kompleksitas yang timbul dari upaya reformasi regulasi melalui UU Cipta Kerja, yang kemudian dikoreksi dan diarahkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi, menunjukkan bahwa pencarian titik keseimbangan antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan melindungi hak-hak serta kesejahteraan pekerja adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Keberhasilan navigasi dalam lanskap hukum yang dinamis ini menuntut adanya kolaborasi, komitmen, dan pemahaman yang mendalam dari semua pemangku kepentingan. Arah ke depan akan sangat ditentukan oleh bagaimana pemerintah menindaklanjuti Putusan MK, terutama dalam penyusunan UU Ketenagakerjaan yang baru, serta sejauh mana sistem hukum mampu beradaptasi dengan model-model kerja baru yang terus berkembang di era digital.

Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan

1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Pemahaman Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan memegang peranan sentral sebagai salah s...